Perempuan Dalam PERDA-PERDA Syari'ah: Melindungi atau Mendiskriminasi?
Oleh: KH. Husein Muhammad
Keberadaan perda-perda bernuansa keagamaan (Islam) atau popular disebut Perda-perda Syari'ah adalah fakta Indonesia hari ini. Ia telah lahir dan disahkan sebagai regulasi pada sejumlah daerah di negeri ini dan mungkin akan terus berkembang di kemudian hari. Fenomena Perda seperti ini dapat dianalisis dari beragam perspektif dengan berbagai argumen; yang positif maupun yang mencemaskan. Tetapi satu hal yang tak dapat diingkari ialah bahwa Perda adalah bagian dari produk politik, karena dibuat dan dilahirkan oleh institusi-institusi politik; lembaga perwakilan rakyat dan pemerintah. Meski demikian, berbeda dengan perda-perda yang lain, perda bernuansa syari'ah tampaknya memiliki dimensi politik jauh lebih kuat dan lebih kental daripada dimensi hukumnya itu sendiri.
Munculnya perda Syari'ah belakangan ini memperoleh kritik yang keras dari sebagian masyarakat. Sepanjang hari perda-perda ini memicu kontroversi di tengah masyarakat yang tak pernah selesai. Perdebatan mengenai kebijakan publik/politik berupa aturan-aturan yang bernuansa agama atau moralitas, sesungguhnya sudah muncul sejak Indonesia merdeka. Sejarah perumusan dasar negara, Pancasila, dengan memasukkan kalimat "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", yang dituangkan dalam Piagam Jakarta, misalnya, adalah cikalbakal bagi perdebatan bangsa Indonesia terhadap masuknya nuansa-nuansa agama dalam konstitusi negara. Sejumlah kebijakan sejenis juga sudah lama ada dan dipraktikkan di negara ini, misalnya UU No. 1 tahun 1974, UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan Syari'ah dan lain-lain.
Itulah kenyataan-kenyataan politik, hukum dan kebudayaan Indonesia sampai hari ini. Ya sudah demikianlah wajah dan warna pikiran, kehendak, harapan, kecenderungan dan pengetahuan bangsa Indonesia saat ini. Sebagai negara demokrasi, realitas ini tentu saja sah adanya dan sah pula untuk diperdebatkan masyarakat. Dalam pikiran saya, perdebatan di sekitar isu-isu perda syari'ah dalam arti khusus dan isu-isu agama dan moralitas dalam arti luas, pada akhirnya akan berujung pada kenyataan lain yang jauh lebih mendasar, yakni menyangkut soal hubungan Agama dan Negara di negeri yang masih belum terpecahkan secara tuntas, final. Sistem kenegaraan kita ini memang unik sekaligus membingungkan; Indonesia bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Sebagian orang Ketidaktuntasan ini akan selalu menyimpan banyak problem serius dalam penataan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan tidak ingin mengusik hal di atas lebih jauh, satu hal yang menjadi concern utama kita adalah pada aspek apakah essensi yang menyertai meteri-materi hukum, baik yang ada dalam undang-undang maupun dalam perda-perda tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang dan Konstitusi. Esensi dan tujuan penegakan hukum tentu saja adalah keadilan bagi semua orang, warga negara, tanpa diskriminasi atas dasar apapun; etnisitas, agama, jenis kelamin dan sebagainya. Semua orang berdasarkan konstitusi tersebut berkedudukan sama dan harus diperlakukan secara proporsional di depan hukum. Essensi ini merupakan prinsip hukum dalam semua Konstitusi di seluruh dunia, dan sejalan dengan tujuan semua agama dan hukum-hukum kemanusiaan. Atas dasar prinsip ini, maka rumusan-rumusan hukum, harus mencerminkan muatan-muatan dan bunyi aturan yang tidak mengandung bias-bias diskriminasi serta menjamin kepastian hukum. Sumber-sumber inspirasi dan referensi bisa dari diambil mana saja, dari sumber agama maupun dari pikiran dan kebudayaan manusia. Ini tidak menjadi soal.
Perda-perda Diskriminatif
"Perda Syari'ah", demikian banyak orang menyebutnya. Komnas Perempuan menyebutnya ”kebijakan diskriminatif”. Regulasi seperti ini sesungguhnya masih kontroversial. Penyebutannya sebagai ”perda syari’ah” juga masih diperdebatkan atau didiskusikan oleh para pembuatnya. Sebagian menganggapnya tepat dan harus disebutkan secara eksplisit. Sementara sebagian yang lain menggantinya dengan nama lain, disesuai dengan muatannya, misalnya perda maksiat, perda kesusilaan, perda pelacuran dan lain-lain. Tetapi terlepas dari apapun sebutannnya, yang tampak jelas adalah bahwa perda-perda yang kontroversial tersebut ingin memasukkan aspirasi-aspirasi dan pikiran-pikiran keagamaan tertentu ke dalam dan sebagai hukum negara, baik diungkapkan secara eksplisit atau implisit. Ini tampak sekali dalam beberapa perda, menggunakan terminologi-terminologi yang terdapat dalam teks-teks keagamaan dimaksud, misalnya ”khalwat” (bersunyi-sunyi), ”maisir” (judi), ”Jinayat” (pidana), ”khamr”, dan sebagainya, sebagaimana dalam ”qanun” Aceh.
Perda-perda ini lahir menyusul perubahan sistem politik negara, pada tahun 1998, dari sistem sentralistik yang mengekang kebebasan dan otoriter ke desantralistik yang lebih demokratis. Lahirnya keputusan politik negara bangsa ini (otonomi daerah) memang positif dan strategis bagi upaya-upaya menciptakan kemandirian, kemajuan dan kesejahteraan daerah, sekaligus sebagai cara memotong sistem politik sentralistik yang memasung kreatifitas dan memiskinkan daerah. Otonomi daerah juga memperluas dan mendekatkan proses demokratisasi sampai pada masyarakat akar rumput.
Sejak digulirkannya sampai hari ini, otonomi daerah telah melahirkan puluhan bahkan ratusan kebijakan daerah, baik dalam bentuk Perda, Pergub/perbup/walikota, maupun keputusan lainnya. Laporan pemantauan Komisi Nasional anti Kekerasan (Komnas Perempuan) akhir tahun 2009, menyebutkan ada 154 Kebijakan yang disebut sebagai Diskriminatif, dan sampai akhir tahun 2012, telah bertambah menjadi 282 kebijakan. Terakhir tahun 2016 jumlah itu meningkat menjadi 421 perda. Sebagian besar terkait dengan perempuan. Meskipun Komnas Perempuan telah menyampaikan rekomendasinya kepada Presiden dan lembaga-lembaga negara terkait, agar membatalkan atau merevisi kebijakan-kebijakan diskriminatif tersebut, namun tidak satupun direspon dengan cepat dan positif. Komnas Perempuan berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan diskriminatif tersebut bertentangan dengan Konstitusi. Beberapa nama daerah yang sudah merealisasikan perda-perda tersebut adalah : Aceh (dengan nama Qanun), Bulukumba, NTB, Tangerang, Cianjur, Indramayu, Tasikmalaya, Solok, Bantul (Yogyakarta) dan lain-lain. Ini hanya menyebut beberapa saja.
Dari sekian perda-perda tersebut, sebagian berkaitan dengan aturan-aturan yang menyangkut relasi antar orang di ranah publik, seperti perda khamr (minum-minuman keras) dan maisir (perjudian), yang sebenarnya sudah diatur dalam KUHP, sebagian yang lain berkaitan dengan urusan-urusan yang menyangkut hak-hak individu, seperti kewajiban berbusana muslim (jilbab), larangan khalwat (bersunyi-sunyi laki-laki-perempuan bukan muhrim), kewajiban membaca al-Qur’an, Jum’at bersih, dan sebagainya. Bagian yang kedua inilah yang banyak diatur dalam perda-perda yang dimaksud.
Perempuan Obyek utama Perda
Membaca sejumlah perda bernuansa syari'ah di berbagai daerah itu kita menemukan dengan jelas bahwa perempuan merupakan obyek atau sasaran pertama dan utama yang ingin diatur di dalamnya. Pikiran pertama yang muncul untuk rencana penyusunan perda-perda ini (dan dalam banyak regulasi bernuansa syari'ah lainnya) pada umumnya adalah soal-soal yang berhubungan dengan tubuh perempuan. Materi-materi perda-perda tersebut tampaknya dibangun di atas perspektif dan dalam kerangka moralitas. Kaum perempuan dalam perspektif ini dianggap sebagai entitas yang acap menciptakan atau memicu kerusakan moral sosial, terutama kekerasan seksual. Perempuan ditempatkan sebagai pihak yang selalu menjadi sumber kebobrokan moral masyarakat. Dalam bahasa agama ia sering disebut sebagai sumber “fitnah”. Secara genuin ia berarti cobaan atau ujian. Akan tetapi perkembangan sosial kemudian membentuk makna ”gangguan”, atau ”godaan”. Jadi perempuan dipersepsi atau dianggap sebagai sumber yang mengganggu ketertiban dan keamanan sosial, menimbulkan keresahan masyarakat dan menggoda pikiran/hasrat seksual laki-laki. Ini sesungguhnya asumsi belaka, dan atas dasar asumsi itu tubuh-tubuh dan gerak-gerik perempuan harus diatur dengan misalnya tidak boleh mengenakan pakaian terbuka atau terbungkus dengan ketat sedemikian rupa sehingga tampak lekuk-lekuknya, dilarang memakai celana jeans, wajib memakai jilbab, dilarang malam (di atas jam 21.00), dilarang pergi sendirian melainkan harus disertai mahram (muhrim) dan seterusnya.
Menurut pendukungnya perda-perda tersebut pada hakikatnya dibuat untuk melindungi, menjaga kesucian dan mengangkat martabat perempuan sendiri. Berhubung laki-laki masih terus terganggu pikiran dan hasrat seksualnya, maka perempuan harus dijaga dan dilindungi melalui hukum. Ini adalah argumen-argumen yang kebanyakan muncul dalam gagasan untuk menyusun perda-perda atau undang-undang yang bernuansa syari'ah. Pandangan mencurigai dan stereotipi perempuan seperti ini tidak hanya diterima sebagai kebenaran oleh para pembuat regulasi tersebut, tetapi juga oleh banyak anggota masyarakat, termasuk kaum perempuan sendiri yang berpikiran sama.
Asumsi-asumsi yang mendasari perda-perda ini sungguh-sungguh dirasakan telah merendahkan sekaligus menyakiti semua kaum perempuan, karena hanya gara-gara tubuhnya mereka dipersalahkan. Mereka dianggap sebagai makhluk Tuhan yang tidak bermoral dan menjadi sumber kerusakan moral sosial. Mereka harus diawasi eksistensinya, dibatasi aspirasinya, dibatasi kehendaknya untuk berbusana, dibatasi keperluannya untuk ke dan di luar rumah dan dibatasi aktivitasnya di arena kehidupan publik. Meskipun acap disebutkan kata ”setiap orang”, yang menunjukkan bahwa aturan tersebut berlaku untuk semua jenis kelamin, namun dalam implementasinya lebih sering diterapkan terhadap perempuan. Merekalah yang sering dikejar-kejar, dijaring razia, didenda dan di ”amankan”, misalnya dalam perda Prostitusi.
Dengan cara pandang seperti ini, perda-perda tersebut sesngguhnya mengandung upaya pelestarian dan peneguhan konstruksi budaya patriarkhis. Kebudayaan ini selalu memandang dan menempatkan perempuan sebagai entitas subordinat, marginal dan tidak merdeka. Mereka tidak memiliki kemerdekaan atau kebebasan sebagaimana yang dimiliki laki-laki.
Mengatur urusan moral personal
Perda-perda yang terkait dengan perempuan tersebut pada sisi lain juga memperlihatkan dengan jelas bahwa hak-hak individu (personal) perempuan diatur dan dapat diintervensi oleh negara. Perda-perda semacam ini alih-alih melindungi mereka, bahkan justeru dapat atau berpotensi menimbulkan akibat-akibat yang serius, yakni kekerasan oleh negara terhadap hak-hak individu warganya. Pembatasan-pembatasan ini, pada sisi lain lagi justeru akan sangat merugikan bagi masa depan bangsa dan negara sendiri dalam banyak aspek kehidupan hari ini maupun yang akan datang. Hal ini karena potensi perempuan dianggap tidak pantas diaktualisasikan dalam kerja-kerja pembangunan dan kemajuan bangsa. Padahal jumlah kaum perempuan hari ini jika tidak lebih banyak adalah seimbang. Potensi intelektual mereka juga relatif seunggul laki-laki. Dalam perkembangan hari ini, semakin banyak perempuan yang memiliki kualitas intelektual dan kemampuan kerja profesional mengungguli laki-laki.
Akibat perda-perda tersebut, perempuan sering menjadi korban salah tangkap. Salah satu kasus yang menonjol adalah kasus Ibu Lilis Lindawati. Dia adalah salah satu korban salah tangkap petugas ketertiban masyarakat (Satpol PP) dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Tangerang tentang prostitusi. Dia ditangkap dan dihukum tanpa bukti yang jelas atas nama perda. Padalah korban adalah perempuan yang baik-baik dan bekerja untuk menghidupi keluarganya. Nama baiknya tercemar dan terstigma, tanpa ada rehabilitasi. Maka dia akhirnya meninggal dunia dalam kondisi sakit-sakitan dan kemiskinan akibat peristiwa yang menimpanya itu. Kasus serupa juga terjadi baru-baru ini di Bantul, Yogyakarta. Akibat penerapan perda no. 5 tahun 2007, seorang perempuan baik-baik ditangkap karena dicurigai sebagai pelacur tanpa bukti. Sayang dalam dua kasus tersebut negara masih juga tidak responsif. Mahkamah Agung menolak Yudicial Review. MA menyatakan bahwa secara prosedural perda tersebut sah adanya.
Kasus-kasus ini bisa dikatakan telah melanggar asas praduga tak bersalah, dan dalam konteks hukum Islam barangkali bisa disebut "tuhmah" (tuduhan), dan boleh jadi juga masuk dalam katagori "qazdaf", yakni menuduh orang yang baik sebagai pelaku zina tanpa bukti yang pasti.[1] Paling minimal ia melukai hati dan kehormatan korban. Kasus ”Putri” di Aceh beberapa waktu lalu, sakit hati dan tercerabutnya kehormatan diri tersebut, mengantarkannya kepada bunuh diri. Kasus "salah tangkap" tersebut juga bisa menimbulkan dampak psikologis bukan hanya pada korban tetapi juga pada perempuan-perempuan lain, dan dalam waktu yang sama atau dalam waktu yang panjang merugikan banyak pihak, terutama keluarga dan negara sekaligus.
Demikianlah, maka perda-perda tersebut telah mendiskriminasi warga negaranya, yang dalam hal ini adalah kaum perempuan. Tak pelak sebagian orang menyebut perda-perda semacam ini sebagai perda-perda diskriminatif. Aturan negara seperti ini niscaya melahirkan ketidakadilan bagi perempuan dan dalam waktu yang sama berpotensi memunculkan kekerasan terhadap mereka.[2]
Membagi Domain Masyarakat dan Negara
Semua orang sepakat bahwa hukum dibuat dalam rangka menjaga ketertiban masyarakat, menjaga moral sosial dan melindungi individu-individu dalam masyarakat. Semua orang juga sepakat bahwa moral masyarakat baik secara individu maupun dalam hubungannya dengan individu lain adalah perlu dan harus menjadi baik dan lebih baik. Pertanyaan kritis yang perlu diajukan adalah dapatkah untuk keperluan ini dibuat atau dirumuskan perda-perda atau aturan hukum lainnya yang dapat melindungi sekaligus tidak membatasi hak-hak personal, tidak mendiskriminasi warga negara dan tidak menimbulkan dampak kekerasan, khususnya terhadap perempuan?.
Pertanyaan tersebut penting untuk dipikirkan oleh para perancang perda atau aturan-aturan publik yang lain. Perlindungan dan kebebasan adalah hak asasi manusia. Ia adalah sesuatu yang esensial dalam hidup manusia di mana saja dan kapan saja. Maka diperlukan prosedur yang dapat melindungi setiap warga negara, khusunya perempuan tanpa membatasi hak-hak asasinya.
Saya kira, dalam kerangkan ini, sudah saatnya kita untuk membagi kerja kekuasaan; apa yang menjadi domain kerja negara dan apa yang menjadi domain kerja masyarakat. Domain kerja negara, sebagaimana sudah dikemukakan adalah mengatur perilaku moral antar personal (moral sosial) yang dirumuskan dalam perundang-undangan atau peraturan-peraturan yang lain berdasarkan kesepakatan-kesepakatan sosial-politik masyarakat dalam sebuah negara. Sementara isu-isu moral personal (privat), seperti soal aurat, jilbab dan khalwat, merupakan isu-isu yang berdimensi moral personal.[3] Pengaturan dan penanganan atas masalah-masalah ini berada di dalam domain masyarakat, bukan domain negara.[4] Cara-cara yang perlu ditempuh untuk mengatur isu-isu ini adalah melalui pendidikan dalam makna luas, mau'izhah hasanah (penyadaran) dan menciptakan tradisi-tradisi yang sesuai dengan kehendak masyarakatnya masing-masing. Di sinilah fungsi dan kewajiban utama para pemimpin agama dan pemimpin masyarakat. Mereka dapat bekerja lebih keras untuk membimbing, menuntun, mencerdaskan, membebaskan dan mengadvokasi masyarakatnya sedemikian rupa sehingga perilaku bermoral masyarakat muncul sebagai tradisi atau menjadi adat-kebiasaan masyarakat. Para tokoh agama dan masyarakat tersebut juga tidak hanya menyadarkan secara persuasive moral personal perempuan, tetapi juga kaum laki-laki. Bahkan dalam konteks system social yang masih patriarkhis, penyadaran terhadap laki-laki justeru harus lebih kuat dan prioritas. Untuk penertiban moral personal seperti ini, tidak boleh diserahkan kepada Negara. Keterlibatan negara (melalui perundang-undangan atau perda-perda) dalam isu-isu personal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang sudah ditetapkan dalam Konstitusi Negara, oleh negara. Dalam banyak kasus perda-perda ini juga tidak efektif.
Keadilan sebagai Pilar Kebijakan Publik
Lebih dari segalanya, sebagaimana sudah disinggung di muka, rumusan-rumusan hukum untuk mengatur relasi antar manusia haruslah mencerminkan dan mewujudkan keadilan. Keputusan-keputusan publik (politik) harus merupakan aturan-aturan yang membawa keadilan. Jika indikator-indikator keadilan dalam aturan tersebut telah dipenuhi, dengan cara apapun ia diperoleh, maka di situlah syari’at Allah. Menurut para ulama, antara lain Ibnu Qayyim al-Jauziyah, " Aturan-aturan hukum (syari'ah) bertujuan untuk tegaknya keadilan di antara hamba-hamba-Nya“. Keadilan adalah gagasan paling sentral sekaligus tujuan tertinggi yang diajarkan setiap agama dan kemanusiaan dalam upaya meraih cita-cita manusia dalam kehidupan bersamanya.
Jika keadilan adalah prinsip dalam hukum dan dalam agama, maka semua orang, laki-laki dan perempuan, tentu berkewajiban menegakkannya. Keadilan adalah melihat semua orang dengan pandangan yang sama di depan hukum dan memperlakukannya dengan cara yang sama pula. Jika keadilan seperti ini belum muncul dalam perda-perda syari'ah di atas, maka masih terbuka peluang yang cukup luas dan panjang untuk memperbaikinya. Lebih dari semuanya kebijakan publik yang non diskriminatif harus dipegang teguh dan ditaati sepenuhnya oleh negara, agar bangsa yang beragam ini tetap bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai. Inilah yang pertama dan yang utama. Semoga.
Daftar Referensi
- ↑ Q.S. al Nur [24]:4: "Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik".
- ↑ Aturan-aturan yang diskriminatif terhadap perempuan muncul secara lebih luas dalam perundang-undangan yang lain, terutama dalam UU No. 1/1974 atau yang lebih dikenal dengan undang-undang perkawinan dan pedomannya yang dikenal sebagai Kompilasi Hukum Islam (KHI).
- ↑ Hal yang sama juga berlaku untuk masalah-masalah keyakinan dan ekspresi-ekspresi seksualitas, seni dan budaya.
- ↑ Dalam khazanah intelektual Islam, masalah-masalah pelanggaran hukum Tuhan yang berkaitan dengan diri sendiri (individu) atau tidak berurusan dengan orang lain disebut "diyanah". Hukuman atas pelanggaran ini bersifat sanksi moral individual dan atau ditentukan oleh Tuhan sendiri kelak di akhirat. Dalam arti lain Tuhanlah yang akan menentukan hukumannya. Hal ini karena aspek pelanggaran atas perbuatan-perbuatan tersebut sulit atau tidak dapat dibuktikan secara hukum. Peran agama dalam hal ini sangat penting.