Lukman Hakim Saifuddin

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Lukman Hakim Saifuddin
Lukman Hakim Saifuddin.jpg
Aktivitas Utama
  • -
  • -
  • -
Karya Utama
  • -
  • -
  • -

Lukman Hakim Saifuddin lahir pada tanggal 25 November 1962 di Jakarta. Tahun 2014 ia terpilih sebagai Menteri Agama Indonesia di Kabinet Indonesia Bersatu II dan kembali terpilih sebagai Menteri Agama pada Kabinet Kerja masih di tahun yang sama.

Lukman memiliki keterikatan yang kuat dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Ia hadir saat kongres pertama berlangsung di Cirebon tahun 2017, menyampaikan pidatonya selaku Menteri Agama yang sangat mengapresiasi penyelenggaraan kegiatan akbar tersebut. Ia mendukung Sikap dan Pandangan Keagamaan KUPI khususnya pada isu pencegahan perkawinan anak, dan juga menutup kegiatan kongres.

Riwayat Hidup

Lukman Hakim Saifuddin lahir dari pasangan KH. Saifuddin Zuhri dan Nyai Hj. Solichah. Tahun kelahirannya, bertepatan dengan tugas sang ayah yang ditunjuk mantan Presiden RI pertama, Soekarno, menjadi Menteri Agama pada periode 1962-1968. Sementara sang ibu merupakan aktivis Muslimat NU di mana ia pernah menjadi ketua Muslimat NU wilayah Jawa Tengah (1950-1955) dan menjadi salah satu ketua di PP Muslimat NU (1956-1989).

Lukman menikahi Trisna Willy, gadis asal Sumatera Barat. Pasangan yang sudah mengarungi pernikahan selama 32 tahun ini telah dikaruniai 3 orang anak bernama Naufal Zilal Kemal, Zahira Humaira, dan Sabilla Salsabilla.

Lukman adalah bungsu dari 10 bersaudara. Beberapa di antaranya adalah Dr. Fahmi Djafar (beristrikan Dra. Maryam, puteri tokoh NU KH. Ahmad Syaikhu), Farida (bersuamikan KH. Shalahuddin Wahid, putera ketiga KH. Wahid Hasyim, adik kandung Gus Dur), Anisa, Aisyah, Andang FN Baehaqi, Julia, Annie, dan Adib yang menikah dengan Yanti Ilyas (putri KH. M Ilyas).

Tamat dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Jakarta dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Manaratul Ulum, serta SMPN XI Jakarta, Lukman melanjutkan sekolahnya ke Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, pada tahun 1983. Selepas dari pesantren, Lukman berkuliah di Universitas Islam As-Syafiiyah Jakarta pada tahun 1990. Beberapa tahun setelahnya, ia juga pernah menimba ilmu dalam bidang Community Organizer in Health and Development in Asian Rural Settings di Asian Health Institute, Nagoya, Jepang dan di Curtin University, Perth, Australia.

Kedua orangtua Lukman yang memiliki akar kuat dengan tradisi Nahdlatul Ulama (NU) membuatnya terbiasa mengenal pendidikan agama sejak kecil. Sang ibu, Nyai Hj. Solichah, adalah orang pertama yang mengajarkan Lukman cara membaca, termasuk mengajarkannya ilmu-ilmu agama.

Kentalnya tradisi NU yang dicecapnya sejak kecil, secara tak langsung membuat Lukman terlibat aktif di dalam Ormas besar Islam tersebut. Ini dimulai sejak ia berkuliah. Lukman menonjol dalam bidang kajian, pelatihan, dan penelitian. Karenanya, ia memilih untuk aktif di Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (LKKNU), di mana pada tahun 1985-1988 ia terpilih menjadi Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat. Kemudian ia terjun di Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU sebagai Wakil Sekretaris pada 1988-1999. Lalu menjadi Kepala Bidang Administrasi Umum, Koordinator Program Kajian dan Penelitian, Koordinator Program Pendidikan dan Pelatihan, hingga menjadi Ketua Badan Pengurus dalam periode 1996-1999.

Pada Tahun 1995 -1997, Lukman bergabung dengan Helen Keller International sebagai project manager dalam program The Irian Jaya Eye Care Project. Lukman juga pernah menjadi anggota Majelis Pengarah Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, Jawa Barat, pengajar pada Pendidikan Kader Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta, menjadi Wakil Ketua Bidang Pengembangan Program Yayasan Saifuddin Zuhri sejak tahun 1994, serta anggota Komisi Pengawas Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) periode 2004-2007.

Ditunjuknya Lukman sebagai Menteri Agama tak bisa dilepaskan dari kiprahnya yang sudah lama berkecimpung di dunia politik. Ia bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada awal 1994 ia menjadi pengurus PPP yang tercatat sebagai anggota Lembaga Pusat Pendidikan dan Latihan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP, menjadi Ketua di lembaga tersebut pada 1999-2003, serta menjadi Sekretaris Pengurus Harian Pusat DPP PPP periode 2003-2007 dan Ketua DPP PPP periode 2007-2012. Lukman terpilih sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 1997-1999, periode 1999-2004, 2004-2009. Dan pada periode 2009-2014 ia terpilih sebagai Wakil Ketua MPR RI.

Lukman juga merupakan tokoh yang pernah menjadi Sekretaris Forum Konstitusi (wadah berhimpunnya para pelaku sejarah yang merumuskan Rancangan Perubahan UUD 1945), menjabat Wakil Ketua Tim Sosialisasi UUD 1945 MPR RI (2004-2009), Sekretaris Fraksi PPP MPR RI (2004-2007), Wakil Ketua Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI (2006-2007), Anggota Tim Kuasa Hukum DPR RI (2004-2009), dan Ketua Fraksi PPP DPR RI (2007-2009), dan Wakil Ketua MPR RI (2009-2014).

Selama ia menjadi anggota DPR, Lukman pernah memimpin Tim Pemantau Operasional Haji di Arab Saudi, mewakili DPR dalam Young Parliamentarians Meeting di Filipina dan Italia, memenuhi undangan The American Council of Young Political Leaders ke Amerika Serikat, anggota delegasi dalam The Role of the Legislatures di Mongolia, dan anggota delegasi dalam Congress of Democrats from the Islamic World di Turki. Pada Kabinet Indonesia Bersatu II, Lukman ditunjuk sebagai Menteri Agama oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Dan masih di tahun yang sama, Lukman kembali diangkat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia oleh Presiden Joko Widodo periode 2014–2019.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Kesuksesan perhelatan akbar Kongres Ulama Perempuan Indonesia dikarenakan banyaknya dukungan untuk KUPI dari berbagai pihak, termasuk dari pemerintah. Melalui Kementerian Agama, Lukman sebagai Menteri Agama saat itu hadir pada hari terakhir kongres, yaitu Kamis 27 April 2017. Ia juga menutup kegiatan akbar yang mengangkat tema ‘Peran Ulama Perempuan dalam Meneguhkan Nilai Keislaman, Kebangsaan dan Kemanusiaan’ tersebut secara resmi.

Lukman memberikan apresiasi yang sangat besar atas terselenggaranya KUPI. Lukman mencatat, kongres yang diikuti oleh ratusan ulama perempuan di Indonesia dan dunia itu telah berhasil memperjuangkan keadilan gender. KUPI tidak hanya mampu menunjukkan eksistensi dan pengukuhan ulama perempuan, tapi juga berhasil merevitalisasi peran ulama perempuan di Indonesia. Lukman menilai bahwa dalam perhelatan KUPI tidak hanya karena substansi yang dikaji, namun juga adanya hasil dan rekomendasi yang dilahirkan. Dan ia menegaskan juga tentang kekagumannya terhadap KUPI karena prosesnya sepenuhnya berasal dari inisiatif kaum perempuan.

Lukman mencatat setidaknya ada tiga makna strategis KUPI terkait relasi, revitalisasi dan moderasi. Dalam hal relasi, KUPI telah berhasil memperjuangkan keadilan melalui kesadaran peran dan relasi hubungan laki-laki dan perempuan. Lukman menilai, isu relasi gender saat ini dan mendatang akan semakin urgen dan senantiasa relevan. Sementara perihal merevitalisasi, KUPI dianggap telah merekognisi dan merevitalisasi peran ulama perempuan yang sudah berlangsung bahkan sejak zaman Aisyah ra, istri Rasulullah, hingga tokoh perempuan Indonesia. Ia mengapresiasi langkah KUPI yang mampu membangun jaringan ulama perempuan. Perhelatan kongres menjadi oase ulama perempuan tentang pentingnya peran perempuan dalam meneguhkan nilai Keislaman, Kebangsaan, dan Kemanusiaan, sebagaimana tema besar yang diangkat KUPI.

KUPI juga telah berhasil meneguhkan sekaligus menegaskan bahwa moderasi Islam senantiasa harus dikedepankan; Islam sebagai rahmatan lil alamin, Islam yang tidak menyudutkan posisi kedudukan perempuan, dan Islam yang menebarkan kemaslahatan bagi sesama. Sehingga pada gilirannya nanti KUPI bisa berkontribusi bagi pembangunan peradaban dunia.

Selain itu, Lukman juga menyambut baik Pandangan Keagamaan KUPI yang merekomendasikan tiga hal, yaitu: pencegahan perkawinan anak, pencegahan kekerasan seksual dan pencegahan perusakan lingkungan. KUPI berhasil membuka wawasan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan sesuatu yang harus dihindari. Hubungan suami istri atas dasar kerelaan bersama dan tidak boleh ada paksaan. Sedangkan perihal isu perkawinan anak, Lukman menyampaikan bahwa judicial review tentang batasan usia minimal untuk menikah dari 16 tahun menjadi 18 tahun, pernah ditolak Mahkamah Konstitusi. Para hakim menjelaskan bahwa hal tersebut adalah kewenangan legislatif, bukan yudikatif.

Namun, Lukman menyatakan bahwa pemerintah juga punya hak untuk melakukan review. Oleh karena itu, ia akan secepatnya berkomunikasi dengan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak untuk melakukan review dan mengharapkan KUPI memberikan rumusan yang lebih konkret. Keseriusan Lukman dalam menyikapi isu perkawinan anak ini terlihat dari pandangan dan upaya-upaya yang dilakukannya bersama Kementerian Agama. Berdasarkan data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, terdapat 13.251 putusan dispensasi perkawinan anak yang dikeluarkan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia pada tahun 2018. Karenanya hal ini menjadi fenomena gunung es yang membuat Indonesia masuk ke tahap darurat perkawinan anak.

Oleh karena itu, melalui Dirjen Bimas Islam Kemenag RI melakukan upaya rumusan konkret dengan menggelar konsultasi penanggulangan perkawinan anak di Indonesia dengan melibatkan banyak pihak termasuk keterlibatan KUPI. Lukman menilai, perkawinan anak menunjukkan dampak negatif dan juga dampak sosial yang cukup besar. Mulai dari kesiapan alat reproduksi, kesehatan ibu dan anak, serta masalah kualitas sumber daya manusia.  Selain itu, ia juga menyoroti bahwa kegiatan agama dijadikan alat justifikasi atau pembenar untuk tindakan-tindakan tertentu terkait dengan perkawinan anak.

Tak sampai di situ, keseriusan Lukman dalam menyuarakan pencegahan perkawinan anak juga terlihat dari responnya terhadap fenomena perkawinan anak yang dilakukan di beberapa tempat. Seperti saat kasus perkawinan dua remaja usia 14 tahun dan 15 tahun di Bantaeng, Sulawesi Selatan tahun 2018. Ia mengatakan dengan tegas bahwa perkawinan anak sangat banyak madharatnya daripada manfaatnya. Lukman meminta Majelis Hakim Pengadilan Agama mana pun semestinya tidak gampang mengeluarkan dispensasi perkawinan di bawah umur. Dia meminta seluruh Pengadilan Agama memikirkan baik-buruk pernikahan di bawah umur.

Menurutnya, bila hakim hendak mengabulkan dispensasi kepada anak-anak untuk melangsungkan pernikahan, itu harus betul-betul berdasarkan pertimbangan yang masak-masak. Bagaimanapun juga perkawinan anak lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Apalagi jika melihat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah membatasi usia perkawinan anak, yakni usia 18 tahun.

Konsistensi Lukman terhadap isu perkawinan anak juga tampak bukan hanya saat ia menjabat sebagai Menteri. Kini, kendati tak lagi menjabat sebagai Menteri Agama, ia tetap aktif menyuarakan pandangannya itu melalui akun media sosialnya. Baru-baru ini Lukman menyoroti pernyataan Dirjen Dukcapil yang membolehkan pasangan perkawinan siri mendapatkan Kartu Keluarga (KK). Dukcapil merujuk Pasal 1 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun sahnya perkawinan tertulis dalam Pasal 2 Ayat (1) yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Dalam konteks pencegahan perkawinan anak, praktik nikah siri memberi peluang besar bagi terjadinya perkawinan anak. Oleh karena itu, bila negara mengeluarkan kebijakan yang akan berdampak pada ‘arah’ legalisasi dan maraknya perkawinan anak, hal tersebut menurut Lukman menjadi preseden yang buruk. Dalam hal ini adalah kebijakan mengeluarkan Kartu Keluarga (KK) bagi pasangan nikah siri. 

Lukman mempertanyakan kebijakan “legalisasi terhadap perkawinan siri” tersebut dalam kaitannya dengan perlindungan negara terhadap istri dan anak karena peristiwa nikah siri nantinya akan memiliki dampak hukum yang panjang. Pencatatan nikah siri dalam KK, juga menganulir kewenangan Pengadilan Agama dalam mengesahkan nikah siri melalui itsbat nikah, dan kewenangan Pengadilan Negeri dalam menetapkan perkawinan tidak tercatat.

Lukman mengkhawatirkan dan mempertanyakan, apakah syarat pencatatan dalam nikah siri dalam KK berupa adanya surat pernyataan tanggung jawab mutlak tentang kebenaran suami-istri dari 2 orang saksi, berkekuatan hukum dan memadai? Ia khawatir bila nantinya akan muncul sengketa dari saksi lain yang jumlahnya jauh lebih banyak. Oleh karena itu, Lukman berharap betul bahwa negara harus benar-benar mempertimbangkan kebijakan tersebut agar tidak menimbulkan madharat, khususnya bagi perempuan dan anak. 

Daftar Bacaan Lanjutan

  1. https://www.nu.or.id/post/read/73222/nyai-solichah-saifuddin-zuhri-ibu-sejati-yang-tangguh-berorganisasi
  2. https://tasikmalaya.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-061413690/soroti-pernikahan-anak-di-bawah-umur-lukman-hakim-hal-ini-harus-dicegah
  3. https://news.detik.com/berita/d-3595468/marak-cerai-dan-kdrt-kemenag-buat-program-pembinaan-pranikah 
  4. https://www.voaindonesia.com/a/menag-tutup-kongres-ulama-perempuan-indonesia-/3829314.html
  5. https://kemenag.go.id/read/tutup-kupi-menag-sebut-tiga-hal-strategis-kongres-ulama-perempuan-8vavk
  6. https://news.detik.com/berita/d-3974633/menag-pernikahan-di-bawah-umur-lebih-banyak-mudaratnya
  7. https://twitter.com/lukmansaifuddin/status/1446621984972935169?t=SkJQsaV1pQn0rpq17JfUHA&s=19


Penulis : Sari Narulita
Editor : Nor Ismah
Reviewer : Faqihuddin Abdul Kodir