Kompilasi Teks-teks Hadits Pemukulan Istri
Dalam metodologi keislaman, teks-teks Hadits dianggap sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an. Diskursus mengenai pembaruan Hukum Keluarga Islam mengenai praktik kekerasan dalam rumah tangga, sekalipun referensi sentralnya adalah al-Qur’an, dimana surat an-Nisa (4: 34) memberi gambaran mengenai pola relasi rumah tangga Islam yang membolehkan suami memukul istri, fakta keteladanan Nabi Muhammad Saw yang tidak pernah memukul istri ikut membentuk arah interpretasi terhadap isu tersebut. Bahkan, beberapa ulama mendasarkan pada teks-teks hadits untuk tidak mendukung kebolehan pemukulan istri. Sekalipun kebolehan ini ditegaskan secara tersurat dalam ayat 4: 34.
“Para perempuan (istri) yang kamu khawatirkan kedurhakaanya, hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidur, dan memukul mereka”. (QS. al-Nisa, 4: 34).
Dalam pandangan Atha bin Abi Rabah (w. 114H/732M), seorang ulama generasi abad pertama Hijriyah, misalnya, ketika menafsirkan ayat tersebut di atas, hukum memukul istri adalah justru makruh. Suatu larangan yang setingkat lebih rendah dari haram, sekalipun ayat tersebut secara tersurat membolehkan.[1] Argumentasi yang diajukan adalah teladan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana terdokumentasi dalam berbagai kitab Hadits, yang sama sekali tidak pernah memukul istri maupun pembantu. Di samping teks-teks pernyataan (qawlī) Nabi Saw yang menganjurkan suami untuk tidak memukul istri dan menyindir mereka yang masih berperilaku tidak ramah terhadap istri.
Tafsir-tafsir rujukan dalam isu ini, sekalipun ada pandangan ekstrim dari tafsir klasik yang membolehkan suami mengikat istri yang durhaka di ranjang dan memaksanya berhubungan intim, tetapi sebagian besar interpretasi ulama atas ayat 4: 34 cenderung manusiawi dan ramah terhadap perempuan pada masa tersebut. Banyak ulama telah memberikan batasan yang teramat ketat atas kebolehan memukul dan tidak sedikit juga yang memandang bahwa memukul istri bukan sesuatu yang mulia dengan alasan apapun dan hukum dasarnya adalah khilāf al-awlā atau bertentangan dengan perilaku utama.[2] Kecenderungan ini, kuat kemungkinan karena adanya teks-teks Hadits yang menghembuskan semangat penegasian pemukulan istri.
Dari kecenderungan tafsir ini, menarik untuk ditelusuri lebih lanjut mengenai teks-teks hadits itu sendiri, terkait isu pemukulan istri; sebagai gambaran pembentukan pengetahuan mengenai kekerasan dalam rumah tangga di kalangan masyarakat muslim awal. Untuk tujuan ini, penulusuran dilakukan terutama pada kitab-kitab hadits rujukan utama yang enam (kutub as-Sittah). Yaitu, Sahih Bukhari (w. 256 H/870 M), Sahih Muslim (w. 261 H/875 M), dan empat Sunan; Ibn Majah (w. 273 H/887 M), Abu Dawud (w. 275 H/889 M), Turmudzi (w. 279 H/892 M), dan Nasa’i (w. 303 H/915 M). Ditambah beberapa kitab lain sebagai pembanding, seperti al-Mushannaf karya Abdurrazzaq al-Shan’ani (w. 211 H/826 M) dan al-Mushannaf karya Ibn Abi Syaibah (w. 235 H/849 M). Kompilasi ini dilakukan untuk memperoleh gambaran singkat mengenai teks-teks Hadits yang bisa dikatagorikan sebagai narasi positif untuk gagasan anti KDRT dalam Islam.
Dengan gambaran kompilasi ini, tulisan ini mengajukan thesis bahwa pandangan para pemikir progresif dan feminis Muslim, seperti Riffat Hassan (1991),[3] Ali Asghar Engineer (2001),[4] dan Syed Mohammed Ali (2004),[5] yang menegasikan Hadits dalam proyek pemikiran mereka mengenai Islam adil gender harus ditinjau ulang. Sebaliknya, Hadits bisa ikut berkontribusi besar dalam perumusan prinsip-prinsip keadilan gender dalam Islam. Khususnya pada semangat anti kekerasan berbasis gender.
Kitab Shahīhayn
Kitab Shahīhayn merujuk pada dua kitab, yaitu Sahih Bukhari dan Sahih Muslim yang menjadi referensi utama teks-teks Hadits bagi Muslim Sunni. Sahih Bukhari, sebagai Kitab Hadits paling utama, menurunkan teks terkait tema pemukulan istri dalam tiga tempat; di pembahasan ke-65 mengenai tafsir (Kitāb at-tafsīr), ke-67 mengenai pernikahan (Kitāb an-Nikāh), dan ke-78 (Kitāb al-Adab). Secara khusus, Bukhari menulis tema pasal kemakruhan memukul istri (bāb mā yukrahu min dharb an-Nisā) dalam Kitān an-Nikāh, yang mengindikasikan secara tegas bahwa memukul istri itu sama sekali tidak dianjurkan, bahkan makruh hukumnya. Teks-teks utama dalam kompilasi Sahih Bukhar bermuara pada riwayat Abdullah bin Zam’ah r.a. Semua riwayat ini memuat tema yang serupa, dengan sedikit perbedaan redaksi, tetapi yang satu bisa menjelaskan yang lain. Salah satu dari teks tersebut adalah:
Dari Abdullah bin Zam’ah r.a., mendengar Nabi Saw berkhutbah dan menyebut perempuan, kemudian berkata: “Seseorang diantara kamu masih saja suka memukul istrinya bagaikan memukul hamba sahaya, (padahal) bisa jadi ia menggaulinya (hubungan intim) di akhir hari”. (Redaksi Bukhari).[6]
Teks Abdullah bin Zam’ah ini dalam kompilasi Sahih Bukhari tercatat dalam berbagai redaksi. Dalam perhitungan digital Mawsū‘at al-Hadīts asy-Syarīf, ada di nomor 4992, 5250, dan 6111 dari Sahih al-Bukhari. Teks ini juga dicatat dalam Sahih Muslim no. 7370, Sunan at-Turmudzi no. 3666, Ibn Majah 2059, dan Musnad Ahmad no. 16472, 16473, 16474, dan 16475. Sebagai perbandingan, misalnya, teks Abdullah bin Zam’ah dalam Kitab Mushannaf ‘Abdurrazzaq (w. 211 H/826 M) dan Thabaqāt Ibn Sa’d (w. 230H/844 M) menggunakan sindiran yang sangat kuat kepada suami yang masih saja memukul istri.
“Tidakkah seseorang diantara kamu merasa malu, jika masih memukul istri bagaikan memukul hamba sahaya, sementara di sore hari ia menggaulinya. Tidakkah ia malu?”. (Redaksi ‘Abd ar-Razzāq).[7]
Untuk itu, teks tersebut bisa disebut “Teks Sindiran” terhadap suami yang biasa memukul istri. Sindiran ini tersirat sangat keras karena menyamakan perilaku yang sama dengan hamba dan mengaitkan dengan keinginan suami di sore hari untuk berhubungan intim. Selain teks sindiran, Sahih Muslim mencatat teks lain, yaitu teks yang bercerita mengenai kisah perempuan Fathimah bint Qays r.a. yang datang berkonsultasi kepada Nabi Saw, ketika dia dilamar tiga orang; Abu Juhaim, Mu’awiyah, dan Abu Zayd. Nabi Saw menganjurkan Fathimah untuk tidak memilih Abu Juhaim karena punya perilaku memukul istri.
Nabi Saw berkata (kepada Fathimah bint Qays): “Mu’awiyah itu masih terlunta-lunta dan miskin, sementara Abu al-Jahm itu keras terhadap perempuan –atau suka memukul istri atau seperti itulah- karena itu pilihlah Usamah bin Zayd”. (Redaksi Muslim).[8]
Teks ini bisa disebut sebagai “Teks Anjuran” kepada perempuan atau walinya untuk tidak menikah dengan laki-laki yang berperangai kasar dan suka memukul perempuan. Dalam Mawsū‘at al-Hadīts, teks ini tercatat dalam Sahih Muslim no. 3785 dan 3786, dan dalam Musnan Ahmad no. 27961, 27963, 27965, dan 276973.
Selain teks Abdullah bin Zam’ah dan Fathimah bint Qays, Sahih Muslim mencatat teks lain dari Aisyah bint Abu Bakr ra. Teks ini menceritakan bahwa Nabi Saw adalah suami teladan yang tidak pernah memukul perempuan, atau istri, sama sekali sepanjang hidupnya. Padahal, sebagaimana diceritakan pada teks-teks berikutnya, dalam kehidupan berkeluarga Nabipun Saw menghadapi pertentangan dan konflik dari istri-istrinya, termasuk dari istri yang paling dicintainya, Aisyah ra. Tetapi Nabi Saw justru memilih tidak memukul dan menjadi teladan bagi umatnya agar tidak melakukan pemukulan istri. Teks ini bisa disebut sebagai “Teks Teladan” bahwa Nabi Saw tidask pernah memukul perempuan.
Dari Aisyah ra, berkata: Rasulullah Saw tidak pernah memukul apapun sama sekali dengan tangan, tidak juga (memukul) perempuan, atau pembantu; kecuali ketika dalam perang di jalan Allah. Ketika beliau disakiti mengenai suatu hal, tidak pernah membalas, kecuali jika terkait dengan kehormatan Allah, makan beliau baru akan membalas atas nama Allah Swt. (Redaksi Muslim).[9]
Dalam Mawsū‘at al-Hadīts, teks ini tercatat dalam Sahih Muslim no. 6195, Sunan Abu Dawud no. 4788, Sunan Ibn Majah no. 2060, dan Musnad Ahmad no. 26354. Sunan al-Baihaqi juga mencatat teks hadits dalam Kitāb an-Nikāh no. 13302.[10] Menariknya, dalam Sahih Muslim, teks hadits ini masuk dalam bab mengenai upaya Nabi Saw untuk menjauhi segala hal yang berdosa (mubā‘adat al-Atsām). Bararti, menurut Imam Muslim, memukul istri adalah sebuah tindakan dosa. Sebuah pernyataan yang menegaskan naras positif dari Hadits untuk semangat anti kekerasan terhadap perempuan.
Dengan demikian, sumber-sumber utama Hadits, yaitu Sahih Bukhari dan Sahih Muslim telah mencatat teks-teks penting terkait isu pemukulan istri, yang semuanya bisa diketegorikan sebagai narasi positif bagi penguatan prinsip anti kekerasan. Ketiga teks ini bisa menjadi narasi dasar dalam pembicaraan isu KDRT perspektif Islam, terutama karena rujukannya dari Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Keduanya adalah rujukan utama Hadits yang paling otoritatif di kalangan ulama Sunni. Tentu saja, teks-teks ini juga dicatat dalam berbagai rujukan Hadits yang lain seperti yang telah disinggung di atas.
Kitab As-Sunan al-Arba’ah
Istilah As-Sunan al-Arba’ah merujuk pada empat kitab dari al-Kutub as-Sittah selain Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Teks-teks pemukulan istri dalam kitab Empat Sunan ini, lebih beragam dibanding ketiga teks yang dicatat Shahīhayn. Selain ketiga teks di atas, As-Sunan al-Arba’ah mencatat teks-teks lain yang juga bisa dikatagorikan dalam narasi positif untuk prinsip anti kekerasan terhadap perempuan. Jika melihat isi matannya, ada empat teks yang bisa disebut sebagai “Teks Konflik Keluarga”, “Teks Demonstrasi”, “Teks Hak-Kewajiban”, dan “Teks Larangan”.
Yang dimaksuk Teks Konflik Keluarga adalah Hadits Nu’man bin Basyir ra, yang bercerita mengenai kehidupan keluarga Nabi Saw yang menghadapi pertentangan dan konflik dari istri-istrinya, termasuk dari istri yang paling dicintainya, Aisyah ra. Tetapi dalam Teks Konflik ini, Nabi Saw justru memilih tidak memukul dan menghadang Abu Bakr ra, ayah Aisyah ra, yang hendak memukul putrinya karena dianggap tidak menghormati Nabi Saw. Teks Demonstrasi, yaitu Hadits Iyas bin Abi Dzubab ra, berceria mengenai dukungan Nabi Saw terhadap para perempuan yang datang menghadap, melaporkan, dan menolak para suami yang masih mempraktikkan pemukulan. Teks Hak-Kewajiban, yaitu Hadits bin Mu’awiyah ra, merupakan nasihat Nabi Saw terhadap para suami untuk menghentikan praktik pemukulan istri, sebagai hak istri atas suami, yang bisa diartikan sebagai kewajiban suami dalam memperlakukan istri. Sementara Teks Larangan, yaitu riwayat Laqith bin Shabrah, menceritakan ketegasan Nabi Saw yang tidak memberi jalan bagi suami untuk memukul istri, sekalipun nyata sang istri berlidah kasar.
Empat teks tersebut yang masuk katagori narasi positif bagi semangat anti kekerasan secara berurutan adalah sebagai berikut:
- Dari Nu’man bin Basyir ra, berkata: “Suatu saat Abu Bakr meminta izin (masuk) ke rumah Rasulullah Saw, ia mendengar suarah Aisyah melengking kuat (bertengkar dengan Rasulullah). Rasulullah Saw mengizinkannya, ketika sudah masuk (ke dalam rumah), Abu Bakr menghardik Aisyah: “Saya tidak rela mendengar kamu melengkingkan suara kamu kepada Rasulullah Saw”. Abu Bakr mengangkat tangannya hendak memukul Aisyah, kemudian Rasulullah Saw menghalangi dan mencegahnya. Abu Bakr keluar rumah dengan marah. Rasulullah Saw membujuk (Aisyah): “Lihat bagaimana saya menyelamatkan kamu dari orang itu (Abu Bakr)?”. Selang beberapa hari, Abu Bakr datang lagi dan meminta izin masuk rumah, ia melihat keduanya (Aisyah dan Rasulullah) sudah berdamai. Ia berkata: “Tidakkah saya diizinkan masuk ketika kamu berdua sudah berdamai, sebagaiman saya pernah diizinkan ketika kamu sedang bertengkar?”. Rasulullah Saw berkat: “Ya, kami izinkan”. (Redaksi Abu Dawud).[11]
- Iyas bin Abdillah bin Abi Dzubab ra, berkata: Rasulullah Saw berkata: “Janganlah (kamu sekalian) memukul perempuan”. Kemudian Umar datang menghadap Rasulullah Saw, dan berkata: “Para perempuan membangkang atas suami mereka, maka perkenankanlah (kami) memukul mereka”. Kemudian (di lain hari) para perempuan dalam jumlah banyak (datang berkumpul) mengitari keluarga Rasulullah Saw, dan mereka mengeluhkan perilaku suami-suami mereka. Kemudian Rasulullah Saw berkata: “Para perempuan berkumpul mengitari keluarga Muhammad, mengeluhkan perilaku suami-suami mereka, para suami yang demikian bukanlah termasuk orang-orang yang baik”. (Redaksi Abu Dawud).[12]
- Dari Hakim bin Mu’awiyah bin Hidah al-Qusyairy, dari ayahnya, berkata: Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, apa hak istri seseorang di antara kami?”. Rasul menjawab: “Kamu memberinya makan ketika kamu makan, memberi pakaian ketika kamu berpakaian, jangan memukul wajahnya, jangan menjelek-jelekan, dan jangan pisah tidur kecuali masih dalam satu rumah”. Dalam riwayat Razin, Bahz bin Hakim bin Mu’awiyah berkata: Ayah saya bercerita dari kakek saya, yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa hak istri-istri kami, apa yang harus kami lakukan dan apa yang harus kami tinggalkan?”. Rasulullah menjawab: “Lakukan hubungan intim dengan cara yang kamu suka, berilah makan ketika kamu makan, berilah pakaikan ketika kamu berpakaian, jangan menjelek-jelekkan muka (mereka), dan jangan memukul”. (Redaksi Abu Dawud).[13]
- Dari ‘Ashim bin Laqith bin Shabrah, dari ayahnya ra Laqith bin Shabrah ra, berkata: “Ketika saya datang sebagai utusan Bani al-Muntafiq –atau ikut dalam utusan Bani al-Muntafiq- menemui Rasulullah Rasulullah”, saya bertanya: “Wahai Rasulullah, istri saya lidahnya sangat kasar”. Jawab Rasul: “Kalau begitu, ceraikan saja dia”. Saya jawab: “Tetapi dia juga (enak) bergaul dan sudah punya anak denganku”. Rasul menjawab: “Kalau begitu, nasihatilah dia, kalau ada kebaikan dia akan melakukannya, janganlah kamu memukul istrimu sebagaimana kamu memukul hamba sahayamu”. (Redaksi Abu Dawud).[14]
Dalam perhitungan program digital Mawsū‘at al-Hadīts, teks pertama tercatat dalam Sunan Abu Dawud no. 5011 dan Musnad Ahmad 18685 dan 18712; teks kedua dalam Sunan Abu Dawud no. 2148 dan Sunan Ibn Majah no. 2061; teks ketiga dalam Sunan Abu Dawud no. 2145 dan Musnad Ahmad no. 20347 dan 20362; dan teks terakhir keempat dalam Sunan Abu Dawud no. 145 dan Musnad Ahmad no. 16646 dan 186126.
Di antara keempat teks di atas, Teks Demonstrasi adalah yang paling fenomenal, karena menunjukkan betapa kepentingan laki-laki yang diwakili Umar bin Khattab berbeda dengan kepentingan perempuan. Dalam dinamika ini, Nabi Saw sendiri pada akhirnya memihak kepentingan perempuan yang menganggap pemukulan bukan sebagai kemuliaan dalam Islam. Teks ini juga dicatat dalam berbagai kitab-kitab Hadits. Dalam perhitungan program digital Maktabah Syāmilah, teks ini dicatat juga dalam Musnad Syafi’i, Musnad Humaidi (no. 900), Musannaf Abdurrazzaq (no. 17945), Sunan Darimi (no. 2265), Sunan al-Kubra Nasasi (no. 9122), Sahih Ibn Hibban (no. 4189), Mu’jam al-Kabir Thabrani (no. 784), Sunan Baihaqi (no. 14781), dan Mustadrak Hakim (no. 2765). Teks ini sedikit banyak menggambarkan ketegangan dan dinamika konteks sosial pada saat itu ketika ayat 4: 34 turun mengenai kebolehan memukul istri.
Hadits Laqith bin Shabrah ra, atau bisa dikategorikan sebagai Teks Larangan, juga cukup fenomenal. Karena Nabi Saw tidak memberi jalan sama sekali kepada suami untuk memukul istri, sekalipuan sudah diceritakan di hadapan beliau, tentang kasus istri yang berlidah kasar oleh suaminya sendiri. Nabi Saw hanya memberi jalan nasihat dan terakhir cerai, tetapi “jangan memukul istri layaknya hamba sahaya saja”. Teks ini cukup fenomenal karena bisa mengimbangi ayat 4: 34, terutama pemahaman umum masyarakat Muslim, bahwa pemukulan diperlukan suami untuk mendidik istri yang kasar dan sulit diatur.
Selain teks-teks di atas, Sumber Empat Sunan juga mencatat teks-teks yang masuk kategori narasi negatif. Yaitu Teks Sangsi Negatif dan Teks Pertanggung-jawaban Negatif. Teks pertama, tentang hak sangsi yaitu Hadits Amru bin Ahwash ra, bercerita mengenai hak suami untuk mendidik dan meluruskan perilaku istri yang buruk, termasuk dengan memukul sekalipun. Karena memukul merupuakan hak suami, maka yang kedua Teks Pertanggung-jawaban Negatif, yaitu Hadits Umar bin Khattab ra, menyatakan bahwa ia tidak bisa ditanya siapapun, dan tidak bisa diminta pertanggung-jawaban mengenai perilaku pemukulannya.
Kedua teks yang masuk kategori narasi negatif adalah sebagai berikut:
1. Dari ‘Amru bin al-Ahwash ra, mendengar dari Rasulullah Saw ketika Haji Wada’, berkhutbah, setelah memuji dan mensyukuri Allah, memberi peringatan dan nasihat, menceritakan juga suatu kisah, kemudian beliau berkata: “Ingatlah aku wasiatkan kepada kalian agar berbuat baik pada perempuan, karena mereka sering menjadi korban (kekerasan) di antara kamu. Kamu sekalian tidak berhak (melakukan) apapun kepada mereka, kecuali untuk (kebaikan) tersebut, kecuali kalau mereka berbuat keji yang nyata. Jika mereka melakukan hal itu, maka berpisahlah dari ranjang mereka, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tiak mencederai. Jika mereka suda mentaati kamu, maka janganlah kamu cari-cari jalan (untuk berbuat kekerasan terhadap) mereka. Ingatlah, bahwa kamu memiliki hak atas mereka, sebagaimana mereka juga memiliki hak atas kamu sekalian. Hak kamu atas mereka adalah: tidak boleh ada orang yang kamu benci berada di ranjang kamu atau masuk tanpa izinmu ke rumahmu. Ingatlah hak mereka atas kamu adalah: kamu harus berbuat baik pada mereka, dalam hal pakaian dan makanan. (Redaksi Turmudzi).[15]
2. Dari Asy’ats bin Qais, berkata: (Suatu saat) saya bertandang ke rumah Umar di malam hari yang sudah larut. Dia memukul istrinya dan saya (coba hentikan dengan ) melerai keduanya. Ketika hendak berbaring di ranjang, ia berkata pada saya: “Wahai Asy’ats dengarlah sesuatu dari saya, yang saya dengar dari Rasulullah Saw: “Seseorang (suami) tidak boleh ditanya mengapa ia memukul istrinya, dan janganlah kamu tidur sebelum shalat witir”, saya lupa yang ketiga”. (Redaksi Ibn Majah).[16]
Di Luar al-Kutub as-Sittah
Sebagai deskripsi awal mengenai isu pemukulan istri dalam sumber-sumber referensi Hadits selain al-Kutub as-Sittah, saya merujuk pada dua sumber: Mushannaf karya Abdurrazzaq (Abu Bakr Abdurazzaq bin Hamam bin Nafi’ ash-Shan’ani, w. 211 H/826 M) dan Mushannaf Ibn Abi Syaibah (Abu Bakr Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, w. 235 H/849 M). Teks-teks terkait di Ibnu Abi Syaibah ada Kitab al-Mushannaf, juz ke-6, halaman 106, pasal mengenai ‘suami mendidik istrinya’ (fî ar-rajuli yu’addibu imra’atahu).[17] Sementara teks Abd ar-Razzaq ada di kitabnya al-Mushannaf, juz ke-9, halaman 441-449, terutama pasal ‘memukul perempuan dan para pembantu’ (bâb dharb an-nisâ wa al-khuddam).[18] Kedua sumber tersebut secara umum mencatat juga teks-teks narasi positif untuk penguatan anti kekerasan di samping juga ada narasi negatif.
Selain Musannaf Abdurrazzaq dan Ibn Abi Syaibah, sumber-sumber rujukan untuk teks-teks hadits terkait lebih banyak dan lebih luas, dengan berbagai jalur dan sedikit banyak perbedaan redaksi. Tetapi secara umum, teks-teks tersebut memiliki semangat sama dan muatannya tidak jauh dari sumber-sumber utama al-Kutub as-Sittah. Satu hal yang berbeda dari al-Kutub as-Sittah, adalah bahwa sumber-sumber di luar al-Kutub as-Sittah dokumentasi praktik pemukulan beberapa sahabat Nabi Saw, seperti Umar dan Zubair. Praktek ini tentu saja bertentangan dengan semangat positif dari tradisi Nabi Saw. Kedua sahabat besar ini, dalam catatan Mushannaf Abdurrazzaq dan Ibn Abi Syaibah, termasuk orang yang suka mempraktikkan pemukulan istri. Bahkan, Imam Zuhri (Muhammad bin Muslim bin Shihab az-Zuhri, w. 124 H/742 M), pakar dan rujukan utama ulama Hadits abad pertama dan kedua Hijriyah menyebutnya sebagai hal yang biasa dilakukan para sahabat. Teks yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Mengenai seseorang mendidik istrinya: (25446) Hafsh bin Ghiyâts dari Hisyâm dari Ayahnya, berkata: Zubair (Sahabat Nabi Saw) adalah orang yang sangat keras terhadap istri-istrinya. Ia pernah (memukul) mereka, sampai pecah kayu-kayu (yang dipakai untuk memukul). (25447) ‘Abd al-A’la dari Ma’mar dari az-Zuhry, berkata: Umar (Sahabat Nabi) (juga suka) memukul istri dan para pembantu. (25448) Ghandar dari Syu’bah dari Ya’la bin ‘Atha dari Ayahnya dari Abdullah bin’Umar, berkata: Jangan memukul pembantu kamu, tetapi pukullah istri dan anakmu” (Redasi Ibn Abi Syaibah).[19]
Pasal memukul perempuan dan para pembantu: (17938) Abdurrazzaq dari Ma’mar dari Zuhri bahwa Umar bin Khattab (suka) memukul istri dan para pembantu.[20] (17941) Abdurazzaq dari Ma’mar dari Hisyam bin Urwah bahwa Zubair (juga suka) memukul istri-istrinya, sehingga (pernah memukul) salah satu dari mereka hingga pecah kayu (yang dipakai untuk memukul).[21] (17948) Abdurrzzaq dari Ma’mar, berkata: Zuhri pernah ditanya tentang praktik memukul pembantu, ia menjawab: Mereka (para sahabat dan tabi’in) suka memukul mereka (para pembantu), tetapi tidak melaknat mereka. (Redaksi Abdurrazzaq).[22]
Kedua teks di atas tidak tercatat dalam sumber-sumber Hadits utama, seperti al-Kutub as-Sittah. Tetapi kedua teks tersebut dicatat dalam beberapa buku sejarah, nasehat dan tafsir. Seperti Kitab ath-Thabaqāt karya Ibn Sa’d (w. 230 H/845 M) mencatat lebih detail mengenai perilaku kedua Sahabat tersebut.[23] Beberapa kitab tafsir juga menceritakan pandangan dan perilaku beberapa Sahabat yang keras terhadap perempuan dan suka memukul.[24]
Kedua teks ini tentu tepat untuk disebut sebagai “Teks Teladan Negatif” untuk semangat anti kekerasan terhadap perempuan. Isinya bertentangan dengan teks-teks yang dicatat oleh sumber-sumber yang jauh lebih otoritatif. Dalam Sahih Bukhari dan Muslim misalnya, justru yang ada adalah narasi positif dengan tiga teks seperti yang sudah dijelaskan; Teks Sindirian pada praktik pemukulan, Teks Anjuran, dan Teks Teladan Positif. Jika menggunakan pendekatan hirarkis dalam metodologi sumber-sumber hukum Islam, maka teladan Nabi Saw di atas teladan para Sahabat dan kedua Sahih Bukhari dan Sahih Muslim jauh lebih otoritatif daripada Musannaf Abdurrazzaq dan Musannaf Ibn Abi Syaibah.
Penutup
Sekalipun kompilasi ini belum mencakup seluruh teks-teks terkait pemukulan istri, tetapi tujuh teks dari narasi positif dan dua teks narasi negatif bisa memberi gambaran besar dari kompleksitas isu tersebut pada masa Nabi Saw. Ditambah dua teks narasi negatif dari praktek beberapa Sahabat. Teks-teks ini, sedikit banyak memotret konstalasi sosial pada masa turun ayat (4: 34) dimana ada sekelompok Sahabat yang mendukung dan masih membiasakan pemukulan dan kelompok lain beberapa sahabat yang sudah sadar untuk menolak praktek kekerasan ini. Mereka yang menolak datang menuntut pada Nabi Saw. Begitupun mereka yang masih memandang pemukulan sebagai kebutuhan untuk mendidik. Nabi Saw sendiri memihak kelompok yang menolak.
Spirit anti kekerasan, atau anti pemukulan bisa sangat mudah disandarkan pada teks-teks tersebut. Sekalipun tidak menutup kemungkinan juga masih bisa dijadikan sandaran untuk tetap ‘membolehkan’ pemukulan istri. Dengan istilah ‘pemukulan yang terbatas dan tidak mencederaikan’, banyak ulama di kemudian hari masih merekomendasikan wewenang suami untuk memukul istri yang dianggap membangkang atau menyimpang dari kewajibannya sebagai istri. Dalam diskusi-diskusi tafsir, wewenang ini sangat jelas disuarakan berbagai ulama, baik yang klasik maupun kontemporer. Pada praktiknya, kultur patriarkhi yang justru akan mendeterminasi interpretasi hak memukul yang dimiliki suami. Karena itu, teks-teks Hadits dan catatan-catatan sejarahnya, terutama mengenai isu pemukulan istri, tidak bisa dinafikan begitu saja dengan alasan otentisitas maupun legitimasi sebagaimana dilakukan sebagaian feminis Muslim.
Sebagaimana digambarkan, teks Hadits dan catatan sejarah telah memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai dinamika negoisasi pemaknaan dan penerapan prinsip-prinsip Islam pada masa Nabi Saw. Suara perempuan pada saat itu berbeda dari suara sebagian laki-laki dalam menegaskan prinsip anti kekerasan terhadap perempuan. Kebijakan Nabi Saw tentang prinsip ini, dengan melarang pemukulan istri, pada awalnya ditaati masyarakat, tetapi kemudian terjadi protes dari sebagian laki-laki yang dipimpin Umar bin Khattab ra. Dalam suasana protes ini ayat an-Nisa 4: 34 turun di Madinah. Tetapi Nabi Saw dengan sangat tegas mengembalikan kesadaran masyarakat untuk kembali pada prinsip anti kekerasan. Prinsip inilah yang kemudian perlu ditegaskan kembali dalam konstruksi pengetahuan kita sekarang.
Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir
Keterangan: Artikel ini merupakan ringkasan penelitian dana hibah Kementrian Agama RI Tahun 2010
Daftar Pustaka
- Abdurrazzâq, Abu Bakr ‘Abdurrazzaq bin Hammam bin Nafi’ ash-Shan’aniy, 2000, al-Mushannaf, Ayman Nashruddin al-Azhari (ed.), (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
- Al-Baihaqiy, Abu Bakr Ahmad bin al-Husayn bin ‘Aliy, 2003, as-Sunan al-Kubrā, Muhammad ‘Abd al-Qadir ‘Atha (ed.), (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilimiyyah).
- Al-Bukhârî, Muhammad bin Isma’îl, 2004, Shahîh al-Bukhâriy: al-Jâmi’ al-Musnad ash-Shahīh al-Mukhtashar min ‘Umūr Rasūlillāhi Shallallāhu ‘Alaihi wa Sallam wa Sunanihī wa Ayyāmihī, (Cairo: Dar Ibn Haitsam).
- al-Qurthubiy, Muhammad bin Ahmad, (tt), al-Jāmi’ li-‘Ahkām al-Qur’ān, (Beirut-Libanon: Dar Ihya at-Turats al-'Araby).
- An-Nawawi, Yahyâ bin Syaraf, Shahîh Muslim (bi Syarh an-Nawawiy), (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
- At-Turmudzi, Abu ‘Isa Muhammad bin Isa bi Saurah, 2000, al-Jāmi’ ash-Shahīh wa Huwa Sunan at-Turmudzi, Mahmud Muhammad Mahmud Hasan Nashshar (ed.), (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah)
- Az-Zamakhsyari, Abû al-Qâsim bin Umar, 1989, Tafsīr al-Kasysyāf, (Beirut-Libanon: Dâr al-Fikr).
- Ibn Abi Syaibah, Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi al-‘Abasy, 1995, al-Kitāb al-Mushannaf fî al-Ahādīts wa al-Atsār, Muhammad ‘Abd as-Salam Syahan (ed.), (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyyah).
- Ibn al-‘Arabi, Muhammad bin Abdullâh, 2003, Ahkām al-Qur’ān, Muhammad ‘Abd al-Qadir ‘Atha (ed.), (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
- Ibn Katsîr, Abu al-Fida Isma’il bin ‘Umar, 1999, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, (Beirut: Dar Thaybah).
- Ibn Majah, Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Yazid al-Qazwiniy, 1998, Sunan Ibn Mājah, Mahmud Muhammad Mahmud Hasan Nashshar (ed.), (Beirut: Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyah).
- Ibn Sa’d, Muhammad bin Sa’d bin Mani‘ al-Hasyimiy al-Bashriy, 1997, ath-Thabaqāt al-Kubrā, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
- Muslim, Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjâj al-Qusayiry an-Naisabury, 2003, Shahīh Muslim (bi Syarh an-Nawawiy), Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqiy (ed.), (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
- Nawawi, Muhammad Umar, (tt), at-Tafsīr al-Munīr. (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah).
- Hassan, Riffat, 1991. “Muslim Women and Post-Patriarchal Islam,” in After Patriarchy: Feminist Transformation of the World Religions, ed. Paula M. Cooey, William R. Eakin, and Jay B. McDaniel (New York: Orbis Book).
- Engineer, Ali Asghar, 2001. “Islam, Women, and Gender Justice,” in What Men Owe to Women, ed. John C. Raines and Daniel C. Maguire (New York: State University of New York Press).
- Ali, Syed Mohammed, 2004. The Position of Women in Islam : A Progressive View (Albany: State University of New York Press).
Footnote
- ↑ Ibn al-‘Arabi, Muhammad bin Abdullâh, 2003, Ahkām al-Qur’ān, Muhammad ‘Abd al-Qadir ‘Atha (ed.),. (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah), Juz 1, hlm. 536.Ibn al-‘Arabi, Muhammad bin Abdullâh, 2003, Ahkām al-Qur’ān, Muhammad ‘Abd al-Qadir ‘Atha (ed.),. (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah), Juz 1, hlm. 536.
- ↑ Lihat misalnya: Nawawi, Muhammad Umar, (tt), at-Tafsīr al-Munīr. (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah), juz 1, hlm. 149 dan Shihab, M. Quraish. 2005. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. (Jakarta: Lentera Hati). Vol. 2, p. 431.
- ↑ Riffat Hassan, 1991, “Muslim Women and Post-Patriarchal Islam,” in After Patriarchy: Feminist Transformation of the World Religions, ed. Paula M. Cooey, William R. Eakin, and Jay B. McDaniel (New York: Orbis Book).
- ↑ Ali Asghar Engineer, 2001, “Islam, Women, and Gender Justice,” in What Men Owe to Women, ed. John C. Raines and Daniel C. Maguire (New York: State University of New York Press).
- ↑ Syed Mohammed Ali, The Position of Women in Islam : A Progressive View (Albany: State University of New York Press, 2004).
- ↑ Al-Bukhārī, Muhammad bin Isma‘īl, 2004, Shahīh al-Bukhāriy: al-Jāmi’ al-Musnad ash-Shahīh al-Mukhtashar min Umūr Rasūlillāhi Shallallāhu ‘Alaihi wa Sallam wa Sunanihī wa Ayyāmihī, (Cairo: Dar Ibn Haitsam), kitab 65, bab 91, no. 4942, hlm. 600.
- ↑ ‘Abdurrazzaq, Abu Bakr ‘Abdurrazzâq bin Hammâm bin Nafi’ ash-Shan’aniy, 2000, al-Mushannaf, Ayman Nashruddin al-Azhari (ed.), (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), no. 18263, juz 9, hlm. 314.
- ↑ Ibid, Kitāb ath-Thalāq, bāb al-Muthallaqah Tsalātsan lā Nafaqah lahā, juz 10, hlm. 89.
- ↑ Muslim, Shahīh Muslim (bi Syarh an-Nawawiy), Kitāb al-Fadhā‘il, bāb Mubā’adatuhū li al-Atsām wa ikhtiyāruhū min al-Mubāh wa intiqāmuhū lillāhi ‘inda Intihāk Hurumātihī, no. 2328, juz 15, hlm. 68.
- ↑ Al-Baihaqiy, Abu Bakr Ahmad bin al-Husayn bin ‘Aliy, 2003, as-Sunan al-Kubrā, Muhammad ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ (ed.), (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilimiyyah), Kitâb an-Nikâh, bâb 10, no. 13302, juz 7, hlm. 72.
- ↑ Teks hadits bisa dilihat di: Azhim Abadi, Muhammad Syam al-Haqq al-Azhim Abadi, 1998, ‘Aun al-Ma’būd fî Syarh Sunan Abī Dāwud, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), juz 13, hlm. 234.
- ↑ Ibid, juz 6, hlm. 129-130.
- ↑ Ibid, juz 6, hlm. 127.
- ↑ Ibid, juz 1, hlm. 164-165.
- ↑ At-Turmudzi, Abu ‘Isa Muhammad bin Isa bi Saurah, 2000, al-Jāmi’ ash-Shahīh wa Huwa Sunan at-Turmudzi, Mahmud Muhammad Mahmud Hasan Nashshar (ed.), (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), kitāb tafsīr al-qur’ān, bāb wa min sūrat at-taubah, juz 2, hlm 124.
- ↑ Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, kitâb an-nikâh, bâb dharb an-nisâ, no. 1986, juz 2, hlm. 485.
- ↑ Ibn Abi Syaibah, Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi al-‘Abasy, 1995, al-Kitâb al-Mushannaf fî al-Ahâdîts wa al-Atsâr, Muhammad ‘Abd as-Salâm Syâhîn (ed.), (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyyah), Kitab 19, bab 15, juz 5, hlm. 224-225.
- ↑ Ibid, juz 9, hlm. 315.
- ↑ Ibn Abi Syaibah, Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi al-‘Abasy, 1995, al-Kitāb al-Mushannaf fī al-Ahādīts wa al-Atsār, Muhammad ‘Abd as-Salam Syahin (ed.), (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyyah), Kitab 19, bab 15, juz 5, hlm. 224-225.
- ↑ ‘Abdurrazzaq, al-Mushannaf, juz 9, hlm. 313.
- ↑ Ibid, juz 9, hlm. 314.
- ↑ Ibid, juz 9, hlm. 315.
- ↑ Ibn Sa’d, Muhammad bin Sa’d bin Mani‘ al-Hasyimiy al-Bashriy, 1997, ath-Thabaqāt al-Kubrā, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah), juz 8, hlm. 197.
- ↑ Lihat: Az-Zamakhsyari, Abu al-Qasim bin Umar, 1989, Tafsīr al-Kasysyāf, (Beirut-Libanon: Dâr al-Fikr), juz 1, hlm. 406; dan al-Qurthubiy, Muhammad bin Ahmad, (tt), al-Jāmi’ li-‘Ahkām al-Qur’ān, (Beirut-Libanon: Dar Ihya at-Turats al-'Araby), juz 5, hlm. 172.