Isu Poligini di Kongres Ulama Perempuan Indonesia
Jika tidak ada aral melintang, ratusan perempuan Islam akan memadati Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin, Cirebon, 25-27 April, ini. Mereka berencana menggelar acara dengan mengusung label yang menurut saya heroik: Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)
Jika dilihat dalam agendanya, secara spesifik, mereka akan mendiskusikan setidaknya 9 sub-tema: perkawinan anak, kekerasan seksual, kerusakan lingkungan, pendidikan keulamaan, pesantren dan keulamaan perempuan, buruh migran, penguatan desa, radikalisme agama, dan konflik kemanusiaan.
Kongres ini menjadi sangat krusial mengingat terpaan konservatisme Islam di Indonesia sudah sedemikian akutnya. Kita tentu tahu, dalam sejarah Islam, saat konservatisme mengganyang sebuah peradaban, maka perempuan selalu menjadi obyek utama yang akan direpresi—dari tubuh hingga pikirannya.
Lihat saja bagaimana perempuam Islam diperlakukan dalam konstelasi patriarki-religius. Mereka acapkali dibuat bahan guyonan-garing dalam grup WA maupun sosial media. Ledekan seksis model stand-up comedy—misalnya ketika mauidloh al-nikah (nasihat perkawinan)—masih sering kita dengar. Tawaan dan siulan biasanya sering membuat santriwati makin terpojok saat ngaji bandongan kitab uqud al-lujayn atau Qurrat al-‘uyun, apalagi jika disampaikan dengan nada peyoratif-seksis.
Saya tambah pesimistis. Perempuan Islam akan semakin teringkus konfidensinya oleh kuasa hegemonik kitab Ahkam al-Nisa‘, karya Abu al-Faraj ‘Abd al-Rahman ibn ‘Ali ibn al-Jawzi— andai kitab ini dijadikan benchmark kualitas keberislaman mereka. Bagi yang belum tahu, kitab ini memang luar biasa “peduli” terhadap perempuan— dari aturan berpakaian hingga seberapa panjang klitoris perlu digores agar sah dianggap sebagai perempuan “baik-baik”.
Nalar patriarkal memang sungguh nakal. Sekali ia diinjeksikan ke dalam memori—baik kolektif maupun individual, maka ia bersifat epidemis laksana rantai gigitan vampir. Situasinya makin memburuk dan memilukan tatkala kita menyaksikan tidak sedikit perempuan yang justru ikut-ikutan menjadi agensi penundukan perempuan (lain) ke dalam dunia misoginis.
Utang Sejarah Poligini
Tidak ada isu paling polemis menyangkut perempuan Islam Indonesia dalam ranah perkawinan, kecuali poligini. Rekaman sejarah mencatat semua organisasi Islam (laki-laki) mendukung berbagai aturan perkawinan model ini saat Orde Lama, termasuk organisasi perempuan yang berafiliasi ke mereka.
Sukarno pernah mengeluarkan Keputusan No. 19 Tahun 1952 yang isinya memberi tunjangan dobel bagi PNS berpoligini, termasuk tunjangan pensiunan. Kebijakan yang disokong Masyumi, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Muslimat NU ini mendapat reaksi keras dari Perwari bersama 18 organisasi perempuan.
Mereka adalah Partai Wanita Rakyat, Perkiwa, Wanita Demokrat, Ikatan Bidan Indonesia, Pemuda Putri Indonesia, Budi Istri, Persatuan Istri Polisi (Bhayangkari), Gerwis, Pembangunan Putri Indonesia, Persatuan Kaum Ibu Cicendo, Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT), Wanita Katolik, Persatuan Istri Tentara (Persit), Persatuan Wanita Kristen Indonesia, Putri Budi Sejati, Rukun Istri PKK, Yayasan Perguruan Sejati, dan Rukun Wanita Bandung.
Kesembilanbelasnya tidak terima permaduan dilanggengkan dengan dukungan uang rakyat, dan meminta Sukarno mencabut keputusan itu. Jika kita perhatikan, tidak ada satu pun organisasi perempuan berafiliasi Islam ikut serta dalam gerakan tersebut. “Dalam hal permaduan perempuan muslim selalu dalam posisi yang sulit. Sebagai organisasi mereka harus menyokongnya, tetapi secara perseorangan, mereka menderita akibat permaduan itu lari ke kantor-kantor konsultasi kami, minta bantuan dan nasihat,” kata Chairunnisa Jafizham, Ketua Perwari, sebagaimana terekam dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (Saskia E Wieringa 1999)
Ketika Ny. Sumari, anggota parlemen perempuan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), mengajukan rancangan regulasi perkawinan monogami, reaksi keras datang dari Sidi Mardjohan, wakil Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Di atas mimbar resmi, politisi ini mengatakan secara lantang:
“Di antara berbagai macam pertimbangan [haruslah dipertimbangkan bahwa] wanita cepat menjadi lebih tua daripada laki-laki, meskipun kadang-kadang bahkan masih berumur sama ketika mereka kawin. Tetapi wanita, jika mereka sudah beranak dua atau tiga, wajahnya sudah berkurang seratus sampai tiga ratus persen dari wajahnya yang semula. Sangat jarang ada wanita yang seperti kain tua Bugis. Semakin banyak dipakai, semakin berseri-seri. Sebagian besar wanita umumnya cepat loyo sedangkan laki-laki masih gagah dan nafsunya masih kuat serta masih mempunyai hasrat seksuil yang meluap-luap…” (Suwondo 1981 dalam Saskia 1999).
Pidato Sidi sontak menyulut amarah 10 organisasi perempuan—Perwari, Bhayangkari, Persit, Pemuda Putri Indonesia, Persatuan Wanita Kristen Indonesia, Gerwani, Gerakan Wanita Sosialis, Pertiwi, Wanita Demokrat Indonesia, dan Persatuan Istri Kaum Teknik. Mereka ramai-ramai memprotesnya.
Yang menarik, tidak ada satu pun organisasi Muslim yang ikut memprotes pidato tersebut. Organisasi perempuan Islam, sekali lagi, benar-benar dibuat rikuh dengan isu poligini. Ingin menolak tapi tercekat keberaniannya. Situasi psikologis yang relatif sama, sesungguhnya, juga membelenggu Gerwani saat menghadapi kasus permaduan Presiden Sukarno dengan Hartini—sebagai catatan, saat itu Fatmawati adalah ibu negara.
Namun, berbeda dengan Gerwani yang anggotanya sempat geram dan memecahkan kaca rumah Hartini sebagai bentuk protesnya, organisasi perempuan Islam secara keseluruhan bersikap “minder” terkait permaduan. Mereka diam seribu bahasa.
Sikap diam ini terasa seperti kutukan sejarah, bahkan hingga kini. Suara organisasi perempuan Islam, khususnya ulama perempuan, nyaris absen, meski kekerasan terus menghujani perempuan dari tahun ke tahun. Catatan Komnas Perempuan pada Maret 2016 menunjukkan terjadi 321.752 kasus kekerasan, baik di ranah personal, komunitas maupun negara.
Suara ulama perempuan maupun organisasi perempuan Islam makin tak terdengar manakala kekerasan seksual anak merangsek ke jantung institusi pengajaran Islam paling sakral: pesantren (baca: Hari Santri: Pelecehan Seksual dan Wajah Layu Santri). Korban dibiarkan menjalani nasibnya sendirian, dan pesantren milik pelaku tak tersentuh audit moral organisasional.
Sinta Nuriyah: Sting Like a Bee
Sungguh pun demikian, tepat sekali KUPI tahun ini memanfaatkan seoptimal mungkin ketokohan para ulama perempuan yang ada. Salah satu di antaranya adalah Ibu Sinta Nuriyah, istri KH Abdurrahman Wahid. Ia adalah sedikit sosok yang sangat disegani dan lantang menyuarakan pembelaan terhadap perempuan.
Jangan tanya sikapnya terkait permaduan karena ia pasti tidak ragu menolaknya. “Who can be fair to multiple wives?” tanyanya argumentatif sebagaimana ditulis The New York Times (7/4) lalu.
Ia, sebagaimana saya dengar, pernah keberatan dengan salah satu ritual perkawinan adat yang akan dilakoni salah satu putrinya. Dalam pandangan ibunya, ritual “injak telor dan basuh kaki laki-laki” dianggap tidak mencerminkan penghormatan isteri terhadap suami. “Saya tidak melahirkan anak-anak saya untuk diperlakukan seperti itu!” protes Sinta Nuriyah kala itu sebagaimana saya dengar dari seorang sumber.
Barangkali, perlawanan paling heroik yang pernah ia lakukan terhadap poligini terjadi pada Muktamar Nahdlatul Ulama di Boyolali tiga belas tahun silam. Dengan garang, Sinta Nuriyah mengkritik panitia muktamar yang menggunakan katering RM Ayam Bakar Wong Solo milik Puspo Wardoyo, peraih Poligami Award.
“Kami sesalkan tindakan panitia yang menghidangkan makanan dari Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo, apa maksud panitia tersebut? Bagi kami, ini pelecehan dan menginjak-injak harkat dan martabat perempuan, karena pemilik ayam bakar Wong Solo itu pelaku poligami,” seperti dikutip detik.com (28/11) saat disampaikan di rumah Mahfud MD di kawasan Maguwoharjo Sleman.
Ibu empat putri ini bahkan menyerukan boikot katering. Dan sebagai gantinya, Sinta Nuriyah membuka Dapur Antipoligami di seberang Asrama Haji Donohudan, tempat muktamar berlangsung. “Bagi peserta muktamar yang dananya terbatas, para aktivis perempuan NU telah menyajikan makanan halal dan sehat yang di dalamnya tidak ada unsur eksploitasi kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan,” ujarnya.
Rencana KUPI mengundangnya hadir dalam pembukaan kongres sangat tepat. Saya belum tahu apakah ia akan mendapat waktu menyampaikan gagasannya seputar urgensi kebangkitan perempuan Islam di Indonesia. Sayang sekali jika tidak. Sosoknya hingga kini masih menjadi ikon “provokatif’ yang bisa menjadi acuan sekaligus bemper dalam menghadapi baluran nalar patriarkal yang kian meranggas.
Aisyah dan Kartini
Saya meyakini tidak akan ada pembahasan khusus mengenai poligini di KUPI—setidaknya isu tersebut absen dalam manual acara. Padahal, dampak praktik ini telah membuat banyak perempuan menderita.
Jika isu ini nekat dibahas, saya membayangkan akan ada fragmentasi serius di antara peserta kongres. Sebagian peserta akan antipoligini, mendukung dan bersikap abstain—sembari mencoba memoderasi pihak yang pro dan kontra.
Bagi yang pro poligini, sangat mungkin ia terpaksa bersikap demikian karena—diam-diam—tidak bisa lepas dari jerat perkawinan model ini—baik yang dilakukan oleh pasangannya atau nenek moyangnya. Jika demikian halnya, ada baiknya mereka menapaktilasi jejak Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar atau Kartini.
Keduanya adalah sosok yang tidak pernah takut mengekspresikan perasaannya terkait kehidupan poligini yang mereka jalani, sebagaimana tulisan Mentese & Sahin (2016) maupun JG Taylor (1989).
Penulis: Aan Anshori
(Koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian)
(Sumber: Geotime, Senin 24 April 2017)