Imam Nakha'i
Dr. Imam Nakha’i, M.Ag | |
---|---|
Tempat, Tgl. Lahir | Malang, 12 Februari 1970 |
Aktivitas Utama |
|
Karya Utama |
|
Imam Nakha’i atau yang di kalangan santri atau koleganya disebut Nahe’i adalah intelektual yang berasal dari Ma’had Aly Situbondo. Ia lahir di Kota Malang pada tanggal 12 Februari 1970. Saat ini ia menjabat sebagai Komisioner Komnas Perempuan yang berkantor di Jakarta.
Dalam Jaringan KUPI, Nakha’i hadir sebagai peserta aktif. Ia juga terlibat sebagai tim perumus metodologi fatwa KUPI dan hal-hal yang bersifal substansial di dalam KUPI, misalnya, menetapkan isu-isu yang hendak dibahas dan metode fatwa yang dipergunakan di dalam KUPI dalam merepsons isu-isu tersebut. Ada tiga isu besar yang dibahas di dalam kongres, yaitu kekerasan seksual, pernikahan anak, dan keruskan alam. Dalam perumusan metodologi fatwa KUPI, menurut Nakha’i, tim perumus membutuhkan proses panjang dengan beberapa kali pertemuan.
Dalam kenangan Nakha’i, salah satu peninggalan KUPI yang terus bisa dirasakan hingga hari ini adalah adanya Ma’had Aly Kebon Jambu; lembaga yang didirikan sebagai tempat kaderisasi ulama perempuan.
Riwayat Hidup
Makha’i menempuh pendidikan dasar di SDN Ringinsari, Sumbermanjing Wetan, Malang, kemudian di MTS Harjokuncaran, Gondang Legi Malang, dan pendidikan menengah atas di MAN III Banjarejo, Gondanglegi, Malang.
Pendidikan sarjananya ditempuh di Fakultas Syariah Universitas Ibrahimy Sukorejo, Situbondo, sementara pendidikan pascasarjananya diselesaikan di Universitas Islam Malang (UNISMA) dengan judul tesis, “Konsep Maslahah Najmuddin al-Thufi”. Ia menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Program Dirasah Islamiyah Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya pada tahun 2020 dengan tugas akhir yang bertajuk, “Relasi Muslim-Non-Muslim dalam Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama: Qiraah Muashirah”.
Nakha’i juga menempuh pendidikan di beberapa pesantren, di antaranya, Pesantren Zainul Ulum 2 Gondanglegi, Malang dan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo asuhan Kiai As’ad Syamsul Arifin, seorang pahlawan nasional dari timur pulau Jawa. Di Pesantren Sukorejo ini, ia mengenyam pendidikan intens dalam bidang fiqh dan ushul fiqh di Ma’had Aly Situbondo. Bagi Nakha’i, Ma’had Aly ini telah membentuknya menjadi diri yang “lebih dewasa” dalam kajian keislaman. (Islamic studies) khususnya dalm bidang ushul fiqh.
Ia juga pernah tercatat sebagai salah satu peserta Pendidikan Kader Ulama (PKU) yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia. Pada program ini ia belajar kepada beberapa tokoh papan atas dalam kajian keislaman, seperti Prof. Dr. Quraish Shihab, MA. dan Prof. Dr. Khuzaemah Tohido, MA.
Selepas menempuh pendidikan di Ma’had Aly pada tahun 1996, ia sebenarnya mendapatkan kesempatan untuk kuliah ke Timur Tengah. Namun, karena beberapa kendala, ia dan 20 temannya gagal berangkat. Gagal pergi ke Timur Tengah, ia kembali ke almamater tercintanya, Ma’had Aly Situbondo untuk mengajar menemani para santri hingga hari ini. Selain itu, ia juga menjadi dosen di Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo. Di kalangan santrinya, ia disegani karena kapasitas intelektualnya yang amat tinggi.
Sejak tahun 2014 hingga hari ini (tercatat dua periode) ia menjabat sebagai komisioner Komnas Perempuan. Ia juga kerap mengisi acara seminar, lokakarta dan sering menjadi fasilitator pelatihan-pelatihan yang diikuti tidak hanya oleh peserta lokal, tetapi juga regional, nasional dan internasional. Ia kerap tampil di beberapa stasiun televisi, seperti TV One, Kompas TV, dan I News TV sebagai narasumber untuk tema-tema yang berkaitan dengan isu perempuan, keluarga, dan anak.
Ia menempuh kehidupan rumah tangga bersama istrinya yang bernama Khoirul Mahfudhoh dan dikarunia beberapa putra-putri. Secara berurutan mereka adalah: Muhammad Raj Bishatil Unsi (Alm), Aghniya Akmalia Putri, Kayyisa Putri Ambawangi, Najhan Hilmy Muhammad, dan Raisa Adelina Putri.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Awal perjumpaan Nakha’i dengan isu-isu gender adalah ketika ia sering diajak dalam halaqah-halaqah yang diadakan oleh P3M Jakarta. Kiai Masdar Farid Mas’udi, selaku direktur, sebut Nakhai, sangat mempengaruhi pemikirannya ketika awal mula berkenalan dengan isu-isu gender. Dalam pandangan Nakha’i, hampir semua aktivis gender muslim, sanad keilmuannya bersambung dengan Kiai Masdar Farid Mas’udi.
Salah satu tema halaqah yang diadakan oleh P3M adalah tentang Fiqh al-Nisa. Dalam segmen itu, Nakha’i mengaku selalu diundang. Dari perjumpaan-perjumpaan itu, ia merasa perlu untuk kembali membuka dan mendalami isu-isu perempuan dalam kitab fikih. Walaupun ia mengakui bahwa bangunan keilmuan yang terbentuk semasa ia menempuh pendidkan di Ma’had Aly dengan sendirinya mudah untuk menerima berbagai perspektif, termasuk perspektif gender. Karena sesungguhnya Ma’had Aly Situbondo dari aspek keilmuan itu bersifat terbuka terhadap perspektif baru, misalnya dengan konsep mashlahah (kemaslahatan bagi manusia) dan konsep maqasid al-tasyri’ (tujuan-tujuan dalam pensyariatan hukum). Selain itu, di Ma’had Aly Situbondo juga diperkenalkan dengan pandangan-pandangan (aqwal-aqwal) ulama yang sangat kaya. Sehingga, ketika ada perjumpaan dengan perspektif-perspektif yang berpihak pada fikih yang ramah, isu-isu terbaru, Nakha’i langsung terkoneksi. Sebab, bahannya sudah sangat banyak dan melimpah.
Dalam mempelajari isu-isu gender, pengajar di Ma’had Aly Situbondo ini mengaku satu angkatan dengan Kiai Husein Muhammad, Kiai Faqih Abdul Kodir, dan Kiai Marzuki Wahid.
Terkait posisi Nakha’i di Komnas Perempuan, ia bermaksud untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan yang tujuan utamanya adalah menjadikan relasi setara dalam kehidupan. Sebab dalam amatan Nakha’i, relasi yang paling lama adalah relasi gender. Jika relasi itu tidak diposisikan secara tepat maka implikasinya juga sangat membahayakan, utamanya pada posisi kaum perempuan sebagai salah satu pihak yang sering menjadi korban.
Imam Nakh’ai dalam wawancara menyebutkan keyakinannya bahwa latar belakang seorang penafsir pasti ikut mewarnai hasil penafsirannya, termasuk penafsir-penafsir dalam fikih. Oleh karena itu, pengamalan seorang perempuan juga diperlukan dalam sebuah penafsiran. Di sinilah letak urgensi keberadaan ulama perempuan.
Ulama-ulama terdahulu, sebut Nakha’i sesungguhnya sangat luar biasa. Pertama, mereka sesungguhnya objektif dalam menggali hukum. Oleh karena itu, hampir kita tidak menemukan satu ulama yang hanya menawarkan satu pendapat, minimal dua atau bahkan lebih. Itu menunjukkan bahwa mereka sedang dalam posisi objektif.
Hanya saja, ketika diperkenankan untuk memilih, baik dalam kapasitas penafsir (mufassir), mujtahid, atau orang yang bertaklid, terutama kaitannya dengan relasi laki-laki dan perempuan, di sini ruang subjektif itu ada. Sebab dalam konteks ini, latar belakang dan psikologi mufassir, mujtahid dan muqallid sangat berpengaruh. Dalam bagian terakhir ini, apa yang disebut dengan pengalaman perempuan sangat diperlukan. Misalnya, beberapa pengalaman yang secara kodrati hanya dialami perempuan seperti masalah reproduksi.
Menurut Nakha’i, Kehadiran ulama perempuan menjadi penting karena pengalaman dalam isu-isu perempuan menjadi pertimbangan dalam mengambil pendapat ulama-ulama zaman dulu untuk kehidupan hari ini. Makanya, belakangan sering muncul tagline, “pengalaman perempuan” agar produk hukumnya lebih berpihak pada kemanusiaan perempuan. “Nah, pengalaman perempuan di atas tidak bisa ditemukan pada ulama yang tidak memiliki pengalaman perempuan atau ulama yang tak memiliki perspektif perempuan,” jelasnya. Dalam konteks ini, menurut Nakha’i keberadaan Konggres Ulama Perempuan Indonesia menemukan signifikansinya.
Gerakan perempuan di Indonesia, ungkap Nakh’ai, tidak tunggal alias beragam. Ada yang gerakannya soft, artinya bersabar dengan mengetengahkan pendapat dan cara pandang terkait keadilan dan kesetaraan perempuan. Mereka dengan sabar, pelan-pelan menjelaskan argumen mereka hingga menjadi kukuh. Namun, ada juga gerakan yang bisa disebut “tidak sabar” dalam menawarkan perspektifnya. Gerakannya cenderung menganggap laki-laki sebagai “orang lain”. Maka, menurut Nakhai, penting diketahui bahwa belajar gender itu bukan untuk menjadikan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Jika hal tersebut yang menjadi tujuan, maka menurut Nakha’i, gerakan itu adalah gerakan gender yang “sesat”.
Sesungguhnya, perjuangan aktivis gender menurut Nakha’i adalah untuk memosisikan secara setara dan adil relasi laki-laki dan perempuan. Bukan siapa di atas siapa. Memang harus diakui ada kecenderungan dari kelompok-kelompok tertentu yang menyalahkan yang lain yang tidak sama dengan pemikiran kelompoknya sendiri.
Ke depan, harap Nakha’i, gerakan-gerakan yang keras dan tidak mau membuka diri penting untuk membuka diri dan menerima diskusi dengan baik agar apa yang diinginkan bisa tercapai meski secara pelan-pelan. Sebab ada kekhawatiran, jika gerakan keadilan gender ini dikampanyekan secara keras, alih-alih orang akan simpati justru mereka akan merasa curiga dan membenci.
Keberadaan Kongres Ulama Perempuan menurut Imam Nakha’i sangat penting perannya untuk mengusung keadilan dan kesetaraan bagi perempuan, dan mendapatkan pengakuan terhadap keulamaan perempuan. Ia melihat bahwa gerakan KUPI luar biasa karena aktivis perempuan di Indonesia sering membawa nama KUPI.
Kelebihan KUPI yang lain, menurut Nakha’i, adalah KUPI mendekatkan berbagai perspektif: ada perspektif sosiologi, lingkungan, politik dan lain-lain, yang sesunguhnya menurut Nakha’i diwakili oleh yang benar-benar ahli. Jadi, yang mengisi KUPI bukan hanya ahli dalam bidang agama (islamic studies), akan tetapi juga ahli-ahli di bidang yang lain. Sebab KUPI diisi oleh berbagai ahli, maka ke depan, tambah Nakha’i, gerakan KUPI akan menjadi spirit dari pemaduan antara teks dan konteks (jadaliyatul al-Nash wa al-Waqi’).
Penghargaan atau Prestasi
Kosong
Karya-Karya
Nakha’i aktif menulis di berbagai jurnal ilmiah dan berhasil menulis beberapa buku, di antaranya adalah:
- Fiqh Anti Trafiking, ditulis bersama penulis lain, seperti Kiai Husein Muhammad, Marzuki Wahid, dan Abdul Moqsith Ghazali.
- Fiqh Perempuan.
- Fiqh Keseharian Buruh Migran.
- Mengenal Qawaid Fiqhiyah sebagai Pondasi dalam Hukum Islam.
- Revitalisasi Ushul Fiqh dalam Proses Istinbath al-Ahkam, ditulis bersama Dr. Wawan Djuandi, M. Ag.
- “Moderatisme Fatwa: Diskursus, Teori dan Praktik”, ditulis bersama beberapa intelektual muslim lain, seperti Syafiq Hasyim, Abdul Moqsith Ghazali, dan Ahmad Suaedy.
- Ia juga menulis tulisan-tulisan ringan yang kerap dimuat di beberapa jurnal ilmiah, website keislaman seperti Alif.id, Swararahima.com, dan Mubadalah.id. Kebanyakan tulisannya menyajikan argumen fiqh yang memiliki keberpihakan pada kamaslahatan kaum perempuan.
Daftar Bacaan Lanjutan
“Revitalisasi Ushul Fiqh dalam Proses Istinbath al-Ahkam”
Penulis | : | Ahmad Husain Fahasbu |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |