Halaqah Paralel tentang Peran Ulama Perempuan dalam Perlindungan Buruh Migran akibat Pandemi

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Kegiatan pararel ini dihadiri oleh peserta KUPI 2 dengan berbagai latar belakang, yakni aktivis, akademisi, organisasi masyarakat, dan lain-lain. Narasumber dalam kegiatan ini adalah Yuniyanti Chuzaifah (Pegiat HAM Perempuan), Anis Hidayah (Komisioner Komnas HAM RI), Siti Badriyah (Migrant Care), dan Rina Komariah (Direktorat Perlindungan WNI, Kemenlu RI). Moderator kegiatan ini adalah Santi Andriyani.

Narasumber pertama, Yuniyanti Chuzaifah membahas Ulama Perempuan Dalam Perlindungan Migrant Terdampak Pandemi dan Integrasi GEDSI. Hal ini dibahas untuk melihat hubungan keagamaan dalam isu migrasi. Menurut Yuni, isu migrasi hanya dilihat sebagai aspek ekonomi dan demografis. Di sisi lain, isu migrasi tidak menjadi core yang penting dan dilepaskan dari konteks agama. Padahal menurut Yuni, agama sangat kental dengan isu migrasi, jadi KUPI adalah rumah baru bagi para migran karena ada ulama yang tidak hanya menghadirkan fatwa dari langit namun dari pengalaman langsung. Yuni kemudian memaparkan permasalahan pekerja migran dalam konteks agama, misalnya kasus marital sex orang dihukum mati karena  dianggap perzinahan. Selanjutnya konsep kepemimpinan perempuan dari pengalaman buruh migran yang menjadi polemik karena perempuan dianggap tidak bisa menjadi kepala keluarga. Jadi, menurut Yuni, agama dan buruh migran akan selalu berdampingan.

Yuni kemudian memaparkan tentang Gedsi (gender equality disability and social inclusion), bagaimana perempuan mengalami gangguan kejiwaan karena akses mobilitas korban KS dan rumitnya perlindungan karena pandemi, kecelakaan kerja yang membuat kerusakan fisik dan sakit gradual (penggunaan kimia untuk pembersihan, sakit fisik, dan terlambat).  Kemudian, Yuni menjelaskan inisiatif yang pernah dilakukan oleh lembaga keagamaan, salah satunya ada lembaga yang berusaha menyelamatkan buruh migran dari lilitan rentenir dengan menggunakan fikih anti riba.

Terakhir, Yuni menjelaskan rekomendasi peran ulama perempuan dalam isu buruh migran, diantaranya:

- Anak-anak dari ibu yang menjadi buruh migran dibina di pesantren dan tetap menghormati dn respect kepada ibunya.

- Anak-anak migran mendapatkan scholarship sebagai penyelamatan dari pemiskinan multi generasi.

- Membuat inisiatif berimbang/selaras antara filantropik dan langkah sistemik

- Memperkuat tafsir /teologi GEDSI disabilitas yang masih sangat minim

Selanjutnya Anis Hidayah menyampaikan Peran Negara dalam Pemenuhan HAM pekerja migran  perempuan dan anggota keluarganya pasca pandemi. Anis mengawali pembicaraan dengan mengatakan bahwa isu buruh migran itu kerap dijadikan objek dan stigma. Anis mencontohkan posisi buruh migran menjadi objek adalah menjadi sasaran para penyanyi melakukan konser di luar negeri, atau pada pendakwah yang melakukan dakwah di luar negeri. Namun posisi buruh migran adalah objek bukan subjek. Padahal mereka  yang menggerakan ekonomi kreatif, ekonomi wisata, bahkan diplomasi agama. Selain itu, stigma yang masih melekat salah satunya dalam banyak tafsir islam dan agama lain, peran perempuan dalam keluarga itu marjinal. Perempuan buruh migran adalah tulang punggung ekonomi keluarga. Tetapi hingga kini tidak pernah dikatakan perempuan sebagai kepala keluarga.

Anis kemudian mengatakan pentingnya KUPI  membangun narasi-narasi yang berpihak pada  perempuan pekerja migran, mencegah dan mendorong lembaga-lembaga agama termasuk pesantren memiliki  satu ruang untuk memiliki pengasuhan pada anak migran yang terlantar.  Selain itu, pendidikan migrasi itu juga harus memuat pendidikan gender tentang kesehatan reproduksi. Karena sampai hari ini pekerja migran  perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tidak memiliki solusi. Sehingga penting dipastikan ulama  perempuan memiliki kepentingan untuk memastikan agar hak asasi pekerja migran perempuan  termasuk akses justice itu tersedia.

Terakhir Anis menjelaskan bahwa bekerja ke luar negeri adalah bagian dari hak asasi  manusia. Termasuk bagi pekerja perempuan dan masuk dalam salah satu yang sudah jelas  ‘sesungguhnya tanah dan bumi Allah itu luas’, maka manusia bisa berhijrah untuk bekerja,  bersekolah, bersenang-senang, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing tetapi bagaimana  dalam konsep pekerja migran, negara harus menjamin perlindungan hak asasi manusia.

Pembicara ketiga, Siti Badriah menyampaikan ‘Peran  dan Inisiasi Masyarakat Sipil dalam inisiatif dan integrasi Gedsi dan upaya Perlindungan Pekerja  Migrant perempuan dan anggota keluarganya pasca pandemi. Siti mengawali pembicaraan dengan menceritakan masa lalunya sebagai TKI korban kekerasan, kemudian tahun 2012 dikuliahkan Migrant Care dan sejak tahun 2019 resmi menjadi advokat.  Kemudian Siti menjelaskan tentang Undang-undang perlindungan pekerja migran Indonesia No 18 tahun 2017. UU tersebut sudah menjamin adanya peran masyarakat sipil dalam Pasal 32 ayat 2.

Adapun peran masyarakat yang bisa dilakukan adalah penanganan kasus, monitoring, penyediaan dan distribusi informasi migrasi aman,  mendorong penegakan hukum/ access to justice, pengorganisasian, informasi budaya, dan informasi  hukum. Siti kemudian memberikan masukan kepada ulama perempuan untuk memberikan informasi dan pelatihan, pemberdayaan,  dan pendataan terkait isu migran.

Terakhir, Rina Komariah membahas peran dan upaya pemerintah dalam upaya  perlindungan dan pemenuhan hak buruh migran dan anggota keluarganya pasca pandemi. Rina menyampaikan data-data terkait situasi buruh migran di luar negeri, kemudian menyajikan data dari aplikasi peduli WNi, dalam aplikasi tersebut banyak TKI yang mengadukan adalah laki-laki padahal kasus lebih banyak dialami oleh perempuan. Rina kemudian Rina menyampaikan capaian dari Kemenlu yakni 7 WNI dibebaskan  mati, ABK yang sudah ditangani kasusnya, pemulangan WNI dari Wuhan ketika awal pandemi, dan lain-lain.

Lalu Rina menyampaikan upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan, di antaranya: Pertama  upaya perlindungan itu harus berlanjut. Kedua, pemenuhan  hak pada PMI. Ketiga pencegahan  migrasi yang tidak aman atau migrasi yang beresiko. Keempat Policy Coherence itu harmonisasi kebijakan. Terakhir, Rina memberi informasi kepada peserta yang akan ke luar negeri untuk  Kalau teman install  safe travel. Aplikasi tersebut digunakan untuk melihat perwakilan WNI di negara setempat atau  negara terdekat yang tidak ada  perwakilannya. Kemudian install Portal layanan  dan perlindungan WNI. Portal tersebut adalah sistem yang dibangun untuk mencatat WNI  di luar negeri untuk mempermudah akses perlindungan. [] (ZA)

Selengkapnya untuk mendapatkan informasi tentang dokumen-dokumen pendukung kegiatan ini bisa lihat di Dokumen Kegiatan Halaqah Paralel tentang Peran Ulama Perempuan dalam Perlindungan Buruh Migran akibat Pandemi.