Energi Nur Rofiah Mendakwahkan Keadilan Gender Islam
Info Artikel
Sumber Original | : | NU Online, Alif.id, Gusdurian.net |
Penulis | : | Suci Amaliyah (Kontributor), Hasna Azmi Fadhilah |
Tanggal Terbit | : | Rabu, 22 November 2023 | 21:00 WIB |
Artikel Lengkap | : | Keterwakilan Perempuan Masih Harus Ditingkatkan dalam Ruang Politik |
Jakarta, NU Online
Peran perempuan dalam politik pasca-reformasi politik tahun 1998 telah menghadirkan perubahan signifikan. Kebijakan afirmasi, termasuk kuota minimal 30 persen bagi perempuan dalam kepengurusan partai politik, lembaga penyelenggara pemilu, dan pencalonan anggota legislatif, telah diimplementasikan di Indonesia.
Namun, target keterwakilan perempuan dalam lembaga politik masih belum tercapai sepenuhnya. Pada Pemilu 2019, keterwakilan politik perempuan baru mencapai 20,52% di DPR-RI. Setelah 25 tahun reformasi, terjadi kemunduran dalam kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan, seperti penghapusan syarat kuota dalam kepengurusan partai politik dan tahapan seleksi KPU.
Terbaru, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Pasal 8 Ayat 2 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dianggap sebagai kemunduran demokrasi karena membuka peluang berkurangnya pemenuhan 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota DPR dan DPRD seperti diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Menyikapi situasi itu, sejumlah ulama perempuan yang tergabung dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengeluarkan lima maklumat politik ulama perempuan. Salah satu poin yakni menyerukan keterwakilan perempuan di politik.
Bahwa perempuan sebagai warga negara yang mencakup separuh penduduk Indonesia merupakan subjek penuh dalam membangun kehidupan bangsa dan negara. Perempuan selalu hadir pada saat-saat genting untuk ikut menjaga dan merawat tanah air, warga dan anak bangsa.
Oleh karena itu, perspektif, kepentingan, kemaslahatan, dan keterwakilan perempuan merupakan keniscayaan yang tidak dapat diabaikan dalam seluruh aspek penyelenggaraan pemilu, agar bermartabat dan berintegritas, sehingga dapat mewujudkan peradaban yang berkeadilan.
Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah mengungkapkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan belum terpenuhi dengan baik di berbagai level. Hal ini menjadi satu dari sembilan isu krusial yang penting disampaikan kepada pemimpin bangsa ke depan.
"Siapa pun yang nanti terpilih kita serukan tentang advokasi isu kepemimpinan perempuan. Pasalnya ada PR bersama terkait isu perempuan mulai dari isu ruang budaya dan penghapusan kekerasan seksual pada perempuan, perempuan dan persoalan kelembagaan, hingga perempuan yang berkonflik dengan hukum," bebernya.
Anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Nur Rofiah berharap ke depan perempuan maju sebagai caleg adalah aktor perempuan yang membawa perubahan. Dengan demikian, perspektif ulama perempuan terpenuhi secara biologis. Namun, faktanya daftar calon tetap (DCT) caleg 2024 sudah ditetapkan KPU.
Strategi yang akan diambil KUPI adalah melakukan pengaderan, pembibitan bagi calon anggota legislatif perempuan untuk pemilu berikutnya. Pengaderan tidak lagi akan digembleng secara alami, KUPI berinisiatif melakukan gerakan sistemik agar bisa mempersiapkan perempuan berkhidmat di legislatif.
"Tugas kita sekarang juga memastikan bahwa siapa pun yang terpilih nanti harus memiliki perspektif perempuan yang kuat. Calon anggota legislatif yang laki-laki juga harus memiliki perspektif yang berpihak terhadap aspirasi perempuan," tegasnya.
Sejalan dengan itu, Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Musyawarah KUPI, Alissa Wahid mengatakan harus diakui jika hari ini kualitas caleg perempuan dianggap menjadi satu titik lemah. Sebab itu, Alissa mengajak perempuan untuk memilih caleg perempuan dalam kontestasi Pemilu 2024.
"Kalau kualitasnya kurang bagaimana? Kita selesaikan PR ini jika sudah masuk ke dalam parlemen (terpilih). Kita membuat program khusus pembekalan bagi para anggota legislatif perempuan di parlemen," tutur Alissa.
Ketua PBNU itu juga mendorong calon pemimpin memastikan setiap agenda pembangunan membawa perspektif yang adil, termasuk adil jender, dan afirmasi untuk perempuan. Adapun sejumlah persoalan perempuan yang perlu menjadi agenda prioritas pemimpin terpilih dalam pemilu 2024 mendatang yakni;
Pertama, pendidikan dan akses bagi perempuan. Akses Pendidikan berkualitas bagi perempuan belum merata terutama di kota-kota yang lebih kecil atau desa.
Kedua, kesehatan perempuan dan anak perempuan. Karena yang perlu perawatan kesehatan secara khusus adalah perempuan, dengan sekian pengalaman biologisnya.
Ketiga, praktik yang membahayakan perempuan. Akhir-akhir ini banyak sekali kasus kekerasan seksual, dan kekerasan domestik yang intensitasnya semakin mengerikan. Jumlahnya juga semakin banyak. Seperti perkawinan anak, pernikahan yang tidak tercatatkan, pemaksaan perkawinan, atau pemaksaan penerimaan terhadap perkawinan oleh suaminya. Ini adalah praktik yang membahayakan perempuan, dan anak perempuan.
Keempat, akses terhadap pengembangan potensi perempuan, dunia kerja, dan peningkatan keterampilan perempuan. Memastikan dunia kerja yang berkeadilan dan lebih ramah terhadap pengalaman perempuan.
Kelima, program kepemimpinan perempuan untuk membibit secara sengaja membuka ruang-ruang politik bagi perempuan. Yakni untuk membangun ekosistem yang akan melahirkan pemimpin perempuan.