Alissa Wahid

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Alissa Qathrunnada Munawwarah Wahid (Alissa Wahid)
Alissa Wahid.jpg
Tempat, Tgl. Lahir25 Juni 1973
Aktivitas Utama
  • Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian
Karya Utama
  • Jaringan Gusdurian

Alissa Qathrunnada Munawwarah Wahid atau lebih dikenal dengan sebutan Alissa Wahid adalah puteri sulung mendiang Presiden Republik Indonesia, K. H. Abdurrahman Wahid dan Ibu Nyai. Hj. Shinta Nuriyah. Hari-hari kehidupan Alissa, seperti ditulis Nur Khalik Ridlwan, bisa disimpulkan sebagai pendidik, penggerak, dan seorang trainer handal.

Alissa dilahirkan di kota Jombang pada tanggal 25 Juni 1973. Alissa lahir dan menikmati masa kecilnya di kompleks pesantren Denanyar, Jombang, sebuah pesantren milik kakek dari jalur ibundanya. Dari sisi ibu, nasab Alissa bersambung dengan Kiai Bisri Syansuri, Mantan Rais Aam PBNU dan pendiri pesantren Denanyar. Sementara dari jalur ayahnya, Gus Dur, Alissa bersambung dengan Hadhratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri sekaligus Rais Akbar Nahdlatul Ulama.

Kiai Husein Muhammad, seorang kiai yang disebut dekat dengan Gus Dur dalam sebuah kesempatan pernah memberi penjelasan ihwal nama Alissa. Menurut Buya Husein, Alissa adalah nama tokoh utama dalam novel berbahasa Prancis, yang dalam Bahasa Indonesia berarti “gerbang yang tertutup”. Sementara Qathrunnada adalah sebuah nama kitab tentang ilmu gramatikal Bahasa arab yang ditulis oleh seorang sarjana Bahasa besar zaman dulu, Ibnu Hisyam. Ia menulis kitab ilmu nahwu dengan judul, “Qathrunnada Wa Ball al-Shada”, yang jika diterejmahkan ke dalam Bahasa Indonesia bermakna “tetesan embun membasahi kehausan”.

Dalam Kongges Ulama Perempuan Indonesia yang berlangsung perdana di Pesantren Kebon Jambu, Jawa Barat, Alissa banyak terlibat di berbagai hal. Ketika acara berlangsung ia menjabat sebagai Devisi Konten Kreatif dan Dokumentasi.

Riwayat Hidup

Greg Barton, salah seorang penulis Biografi Gus Dur menyebut bahwa Alissa Wahid lahir ketika Gus Dur masih tinggal di Jombang. Akan tetapi, Gus Dur sudah bolak-balik antara Jombang dan Jakarta. Kehidupan ekonomi keluarganya pada waktu itu juga belum stabil sehingga Ibu Shinta berjualan Es Lilin dan Kacang Tayamum untuk menambah pemasukan.

Alissa menyelesaikan pendidikan dasar hingga Sekolah Menengah Atas di Kota Jakarta, sebab sejak usia 14 tahun Alissa dan keluarganya diboyong Gus Dur ke Ibukota. Menempati rumah sederhana di daerah Jakarta Pusat, Alissa bersama keluarga menghabiskan masa kecilnya.

Selepas SMA Alissa melanjutkan pendidikan tingginya di Kota Gudeg, Yogyakarta tepatnya di Univesitas Gadjah Mada program Psikologi. Di perguruan tinggi ini ia menyelesaikan pendidikan sarjana dan pascasarjana. Semenjak di bangku kuliah ia akitf dalam pelbagai kegiatan kemasyarakatan. Misalnya, ia ikut mendirikan dan membina beberapa sekolah unggul di Yogyakarta.

Alissa menempuh kehidupan rumah tangga bersama Erman Royadi. Dari pernikahan itu, ia dikarunia beberapa orang anak, di antaranya Parikesit Nuril Azmi, Shabrina Aksara Ashakiran Arinka, Dimas Adjani Ismoyo Maulana Annadzief, dan Areta Zakiyah Saka Asmara.

Pada tahun 2012 untuk melanjutkan cita-cita Gus Dur, ia mendirikan Jaringan Gusdurian dan ia sendiri menjadi Koordinator Nasional. Alissa bersama Gusdurian sebagai NGO (Non-Governmental Organization) aktif dalam isu-isu kultural seperti pendidikan, kultur, dan kebudayaan.

Sebagai orang yang lahir dalam kultur dan rahim NU, ia juga terpanggil untuk aktif di dalamnya. Di organisasi yang didirikan leluhurnya, ia tercatat sebagai Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU). Bersama Mahfud MD dan beberapa tokoh lain pada 2019 ia mendirikan Gerakan Suluh Kebangsaan, yang berkeliling Indonesia untuk melakukan rekonsiliasi pasca pemilu 2019.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan  

Perjumpaan pertama kali Alissa dengan isu-isu gender adalah sejak ia menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada sekitar tahun 1995. Awalnya ia sebenarnya hanya concern pada isu-isu ramaja, tepatnya sebagai konselor rejama. Namun, dari persoalan remaja ia kemudian terekspos pada persoalan-persoalan perempuan.

Pada tahun 1997, ia sempat bekerja di Lembaga Studi Pemberdayaan dan Pengembangan Perempuan dan Anak hingga tahun 1999. Ketika Gus Dur menjadi Presiden, ia memilih mundur dari pekerjaan ini. Sejak tahun 2000 hingga 2009 bisa disebut tahun-tahun vakum puteri pertama Gus Dur itu dari gerakan sosial, salah satunya isu perempuan. Dan ia kembali aktif mengusung isu tersebut sejak tahun 2010.

Terkait motivasi yang mendorongnya untuk mengambil bagian dalam isu perempuan, ia mengatakan bahwa hal itu adalah panggilan pribadi dirinya sendiri. Gus Dur, sebagai orang tua, sebut Alissa, membebaskan anak-anaknya untuk mencari sendiri di mana mereka hendak berkiprah. Hanya saja, yang penting adalah bagaimana semua itu dijalani dengan prinsip yang benar, memberikan manfaat untuk umat, dan konsisten.

Gus Dur dan Bu Shinta dalam pandangan Alissa tidak pernah mengatur dan memerintahkan anak-anaknya untuk mengikuti mereka dalam berperan. Alissa dan beberapa saudaranya sekali lagi dibebaskan dalam berkiprah di bidang apa, yang penting semua hal dilakukan dengan prinsip yang telah digariskan oleh Gus Dur. Salah satu hal yang begitu diterapkan oleh Gus Dur tutur Alissa adalah prinsip Maqasid al-Syariah (prinsip-prinsip syariat). Termasuk dari itu adalah bagaimana anak-anak Gus Dur diberikan hak untuk berfikir dan bersikap.

Terkait kiprah ulama perempuan, Alissa melihat bahwa penyebab kenapa ulama perempuan di Indonesia tampak tidak familiar dan tidak begitu muncul ke permukaan salah satunya karena publik tidak mengekspos. Padahal, banyak sekali ibu nyai yang memiliki peran besar bahkan berkiprah di ranah publik, sebut saja Ibu Nyai Khairiyah Hasyim dan Ibu Nyai Solichah Wahid Hasyim.

Dalam pandangan Alissa, Nyai Solichah Wahid Hasyim termasuk ulama perempuan yang sangat besar pengaruhnya bagi Nahdlatul Ulama. Nyai Solichah, semenjak Kiai Wahid Hasyim wafat, tidak hanya mengurus putera-puterinya akan tetapi juga ikut terlibat dalam urusan-urusan publik, seperti menjadi Ketua Muslimat aktif di Partai NU dan Partai Persatuan Pembangunan. Karir politiknya begitu cemerlang, dihormati dan masuk kategori politisi kawakan. Bahkan, kenang Alissa, seminggu sebelum wafat, Nyai Solichah masih tampil di salah satu stasiun Televisi dalam acara dialog bersama narasumber laki-laki. Sayangnya, tidak ada narasi yang mengekspos sehingga perannya tak dikenal, dan pada akhirnya hilang ditelan zaman.

Selama ini para ibu nyai, tutur Alissa, hanya diposisikan sebagai pendamping atau konco wingking. Padahal, mereka juga berperan di ruang-ruang publik, seperti mengurus pendidikan, menjadi penceramah (daiyah), menjadi politisi, dan aktif di organisasi perempuan, seperti Muslimat NU. Itu semua jika dilihat kembali adalah bentuk keikutsertaan ulama perempuan dalam hal ini para ibu nyai dalam urusan publik bukan hanya domestik.

Secara khusus Alissa juga menyebut ada dua hal yang bisa disimpulkan terkait peran ibu nyai dalam kehidupan publik. Pertama, peran ibu nyai tidak pernah dibatasi dalam urusan domestik. Kedua, para kiai memberikan ruang jelajah yang luas kepada para nyai. Alissa mengaku sangat terkesima ketika mengikuti acara pertemuan para Nyai di Surabaya. Ketika acara masuk ke segmen doa, yang berdoa adalah ibu nyai dan beberapa kiai yang hadir ikut mengamini. Menurut Alissa, ia menemukan praktik keadilan gender di Pesantren, khususnya dilakukan oleh beberapa kiai sepuh.

Praktik-praktik keadilan gender tersebut, menurut Alissa, sangat dihargai lebih-lebih oleh tamu-tamu dari mancanegara. Misalnya, ketika ada tamu khususnya dari negara-negara Barat berkunjung ke beberapa pesantren atau ikut dalam acara Muslimat dan Fatayat NU, mereka terkaget-kaget melihat kehidupan Muslimah di Indonesia. Sehingga dari perjumpaan itu, mereka perlu merevisi pandangan mereka terhadap Islam dan perempuan di Indonesia.

Di antara kesaksian orang Barat yang disampaikan langsung kepada Alissa adalah pengalaman Mantan Dubes Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik. Dalam kenangan Alissa, Sang Dubes mengaku sangat syok ketika melihat banyak Muslimah di Indonesia mengendarai kendaraan sendiri. Ia juga semakin kaget ketika mengikuti acara Nuzulul Quran di Istana Kenegaraan dan melihat bahwa pembaca tilawahnya adalah seorang Muslimah. Sebagai diplomat yang paham kehidupan Muslim di dunia, Moazzam mengakut heran sebab tidak lumrah seorang perempuan ikut serta dalam acara inti kegiatan kenegaraan dan hadir di atas sebuah panggung. Karena dalam pandangan Moazzam, seperti dicatat Alissa, umumnya Muslimah diposisikan sebagai warga kelas dua.

Sementara terkait KUPI, Alissa memiliki pandangan bahwa keberadaan KUPI sangat penting, sebab ia adalah wadah bagi jaringan ulama perempuan. KUPI diisi oleh ulama-ulama yang memiliki concern dan cara pandang yang lebih komprehensif dalam melihat sesuatu dan tidak bias. Dan ulama yang seperti itu, faktanya sangat banyak di Indonesia, hanya saja tidak dihimpun. Jadi, keberadaan jaringan KUPI sangat penting hadir untuk menghimpun yang berrserak itu.

Menurut Alissa, dengan adanya KUPI, kerja-kerja yang selama ini dilakukan secara sendiri-sendiri kemudian mendapatkan ruang untuk kolaborasi yang menghasilkan daya jangkau yang lebih besar dan luas. Karena kolaborasi menghasilkan sinergi dan adanya peluang untuk saling belajar dan memperkuat.  Pada puncaknya, sinergi itu kemudian akan menjadi sebuah gerakan sosial. Perlu diingat, gerakan sosial itu tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri atau hanya oleh satu lembaga, tetapi dilakukan bersama-sama.

Keberadaan KUPI di sisi lain, menurut Alissa, adalah untuk menjawab sebuah persoalan. Jadi KUPI bukan hanya ajang untuk berkumpul dan saling berbagi pengalaman, tetapi lebih dari itu, para ulama perempuan memberikan respon atas tantangan dan persoalan terkini. Misalnya, respon mereka terhadap masalah perkawinan anak di Indonesia yang begitu mengkhawatirkan.

Terkait hal paling mendesak yang perlu dilakukan oleh KUPI hari ini, menurut Alissa, adalah mengonsolidasikan kembali gerakan para ibu nyai dan kiai yang mendukung isu-isu yang diusung oleh KUPI. Konsolidasi bukan hanya soal menejerial, melainkan sebagai tulang punggung dari sebuah gerakan. Setelah konsolidasi dilakukan maka selanjutnya adalah membicarakan isu-isu aktual dan strategis yang ada.

Saat ini, isu yang strategis untuk dibahas dan disikapi oleh KUPI adalah pengaruh ultrakonservatisme bagi status perempuan dan anak dalam keluarga. Dalam pengamatan Alissa gerakan di luar Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah, banyak gerakan yang sangat puritan terkait perempuan. Misalnya, mereka banyak mempromosikan poligami dengan sangat kencang tanpa memahaminya secara utuh dan kompreshensif.

Isu selanjutnya adalah praktik yang berbahaya dan merugikan anak dan perempuan, seperti masalah kekerasan dan pelecehan seksual berbasis gender dan pernikahan anak. Kekerasan seksual kepada perempuan meningkat, dalam amatan Alissa, salah satu penyebabnya adalah adanya peningkatan ultrakonservatisme di Indonesia.

Penghargaan dan Prestasi

Atas segala dedikasi dan kontribusinya, Alissa beberapa kali mendapatkan penghargaan, antara lain:

  1. Shine On Award (2015).
  2. Alumni Muda Berprestasi program Alumni Awards (2019).
  3. Marketeer’s 2016 Women Award dari International Fellow King Abdullah bin Abdulaziz International Centre For Interrelegious and Intercultural Dialogue (KICIID) pada tahun 2016.

Karya-karya

Jaringan Gusdurian

Daftar Bacaan Lanjutan

Nur Khalik Ridlwan. Ensiklopedi Khittah NU 1926. Yogyakarta: ArRuzz Media, 2017.


Penulis : Ahmad Husain Fahasbu
Editor : Nor Ismah
Reviewer : Faqihuddin Abdul Kodir