Baiti Jannati

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Rumahku surgaku adalah gambaran dari keberhasilan sebuah rumah tangga menjadikan tempat tinggalnya seperti surga yang dalam Alquran diilustrasikan dengan istana indah, di bawahnya mengalir sungai-sungai (QS. At-Taubah: 72), terdapat bantalan-banttalan hijau dan permadani indah (QS. Ar-Rahman: 76), di dalamnya tidak terasa sengat matahari atau dingin yang berlebihan (QS. Al-Insan: 13), terdapat pelayan yang siap melayani (QS. Al-Waqiah: 17-18) dan ilustrasi lain yang membuat kita membayangkan betapa indahnya suasana surga.

Rumah surga bukan sekedar tempat tinggal dengan design mewah, lengkap dengan semua fasilitas yang serba canggih. Atau sebagaimana digambarkan dalam Alquran, penuh pemandangan sejuk, aliran sungai, bantalan dan permadani, yang demikian itu hanya bisa menjadi naungan saat hujan dan panas. Ilustrasi jannah/surga dalam Alquran digambarkan dengan kenikmatan duniawi karena Tuhan menyesuaikan dengan bahasa dan jangkauan akal manusia[1]. Karena Tuhan ingin berbicara dengan manusia maka Dia menggunakan bahasanya.

Sementara rumah surga adalah tempat ternyaman untuk istirahat, tempat yang paling dirindukan saat berada di luar rumah karena kehangatan dan keharmonisan keluarga di dalamnya.

Rumahku surgaku/baitī jannatī, dalam khazanah ilmu Balaghah termasuk contoh Tasybīh Muakkad  (penyerupaan yang kuat) atau tasybīh balīgh (penyerupaan yang tepat), menyamakan rumah dengan surga tanpa kata “seperti” (ādat at-tasybīh) berfungsi untuk menegaskan bahwa musyabbah (rumah) dengan musyabbah bihi (surg) adalah sama, tidak ada perbedaan sedikitpun[2], rumah yang tenang dan nyaman sama  persis seperti surga yang seringkali digambarkan dalam Alquran.

Menurut hemat saya ada dua langkah untuk menciptakan rumah laiknya surga dunia; Pertama, menjadikan pernikahan sesuai dengan tujuannya yaitu sakinah (damai, tentram, tenang dan bahagia), tidak ada diskriminasi, intimidasi dan kedzaliman lainnya dalam rumah tangga. Untuk mencapai tujuan ini lihat kembali tulisan sebelumnya tentang “Sakinah”

Kedua, menyalurkan perdamaian, ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan kepada rumah sekitar sebab untuk menciptakan suasa Baiti Jannati tidak cukup menciptakan ketenangan dalam rumah sendiri tapi neraka di luar rumah, melainkan harus menciptakan ketenangan di dalam rumah dan rumah-rumah sekelilingnya karena jargon Baiti Jannati tidak menegasikan perdamaian di luar rumah. Nabi pernah berkata “Sebaik-baiknya orang diantara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya

Di lain waktu Nabi juga bersabda “Tidak akan masuk surga seorang yang tetangganya tidak aman dari keburukan perbuatannya[3] dalam Sahīh ibn Hibbān ada tambahan riwayat “Seorang muslim (sejati) adalah ia yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya, orang yang hijrah adalah ia yang meninggalkan keburukan dan aku bersumpah demi Zat yang jiwaku ada dalam kekuasaan-Nya, tidak akan masuk surga mukmin yang orang lain tidak selamat dari keburukannya[4] inilah makna salih dan muslih, baik untuk diri sendiri,  keluarga dan masyarakat luas.

Berbuat baiklah pada seluruh keluarga dengan ibu-bapak, kakek-nenek, anak laki-laki dan perempuan, tanpa mengabaikan kebaikan kepada sahabat dan tetangga rumah. Jika mampu menciptakan “surga” di dalam rumahnya maka ia akan mampu menciptakan surga dimanapun ia berada.

Dengan demikian, surga dengan segala dimensinya bisa hadir dengan kerja sama seluruh anggota keluarga, mulai dari yang paling tua sampai yang paling muda, lelaki dan perempuan, hingga ke pelayan rumah tangga. Jika ada satu pihak yang pasif mendukung terciptanya surga ini maka ada kemungkinan tujuan pernikahan tidak akan tercapai dan Baiti Jannati tidak akan terwujud.


Penulis            : Nur Kholilah Mannan

Editor              : Nur Kholilah Mannan

Daftar Pustaka

  • Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Quran, (Kuala Lumpur, Pustaka: 1994)
  • Hamid ‘Aini, Al—Minhaj al-Wadih li al-Balaghah, (Kairo, al-Maktabah al-Azhariyah li at-Turats: T.th).
  • Muslim an-Naisaburi, Sahih Muslim, (Beirut, Dar Ihya Turats al-‘Arabi: T.Th).
  • Muhammad bin Hibbān ad-Dārimī, Sahih ibn Hibbān, (Beirut, Muassasah ar-Risalah: 1993).

Daftar Referensi

  1. Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Quran, (Kuala Lumpur, Pustaka: 1994)
  2. Hamid ‘Aini, Al—Minhaj al-Wadih li al-Balaghah, (Kairo, al-Maktabah al-Azhariyah li at-Turats: T.th), 3/169.
  3. Muslim an-Naisaburi, Sahih Muslim, (Beirut, Dar Ihya Turats al-‘Arabi: T.Th), 1/68.
  4. Muhammad bin Hibbān ad-Dārimī, Sahih ibn Hibbān, (Beirut, Muassasah ar-Risalah: 1993), 2/246.