Sakinah

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Sakinah, salah satu doa yang tak pernah absen diucapkan saat ada teman atau kolega menikah. Biasanya diucapkan dengan “sa-ma-wa” alias sakinah mawaddah warahmah, “semoga pernikahanmu sejahtera diliputi rasa cinta dan kasih”. Jamak diketahui tujuan menikah adalah 3 hal tersebut, bukan kesalahan namun perlu sedikit diluruskan. Tulisan ini sekedar untuk mengingatkan bahwa tujuan pernikahan hanya satu; Tentram. No one else.

Sebelum menikah seseorang dianggap cenderung bebas dalam memandang lawan jenis yang bukan mahram, hal ini –diantaranya- dalam rangka mencari pasangan yang menjadi janji Tuhan bagi setiap makhluknya. Karenanya, dengan menikah diharapkan mengubah keadaan sebelumnya, dari gusar menjadi tenang, dari resah menjadi tentram.


وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan saying. Seusungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Rum:21)

Menikah adalah satu dari tanda kekuasan Allah. Tujuannya untuk memberi rasa tenang dan tentram (litaskunū ilaihā) dengan bekal cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Pernikahan merupakan tanda kuasa Tuhan Sang Pengatur, menakdirkan dua orang yang awalnya tidak saling kenal, tidak memiliki hubungan darah kekerabatan diberi rasa kasih dan sayang sedemikian rupa setelah mengucapkan ijab-qabul.

Bagaimana keadaan sakinah yang dimaksud dalam ayat tersebut? Keadaan tentram/sakīnah oleh ahli bahasa dan mufassir digambarkan dengan berbagai hal. Sakinah berasal dari bahasa Arab yang berarti tenang, tentram dan sejahtera. Kata ini juga sudah diadopsi dalam bahasa Indonesia dengan makna yang sama.

Sakana (سكن) bermakna tenang, tentram dan damai. Dalam Mu’jam al-Mu’aṣirah sakana ilāhi memiliki arti berlindung kepadanya/menenangkan diri kepadanya. Redaksi yang sama juga terulang dalam beberapa ayat; rumah menjadi tempat tinggal yang nyaman (QS. An-Nahl: 80), salat menjadi obat penenang bagi yang melakukannya (QS. Ar-Rum:21), Allah menjadikan malam sebagai waktu istirahat (QS. Yunus: 67) dan keadaan yang tenang/sakinah menjadi motivasi bertambahnya iman disamping iman yang telah ada (QS. Al-Fath:4).

Sakinah dalam pernikahan sama halnya dengan rumah sebagai tempat tinggal yang nyaman melindungi dari panas dan hujan, sama dengan salat yang memberikan ketenangan dan mencegah dari kemungkaran, sama dengan malam sebagai tempat istirahat setelah bekerja seharian. Dengan demikian sungguh telah keluar dari tujuan jika pernikahan justru menjadi ladang kedzaliman dan ketidaknyamanan, menjadikan yang lain sebagai pelayan, berbuat otoriter tanpa rembuk laiknya kawan dan semacamnya yang mengadung unsur penindasan. Na’udzubillahi min dzālik.

Keadaan sebagaimana digambarkan dalam berbagai tamsil di atas akan terwujud jika ada kesalingan yang positif di antara anggota keluarga. Imam al-Kalbī menjelaskan bahwa inilah makna dari mawaddah dan rahmah, saling menyayangi (tarāhum baynahum)[1] dan saling mencintai (tawāddu).

Yang menarik dari pemilihan makna 2 kata ini adalah kesalingan yang sempurna. Tarāhum bermakna saling mencintai karena kebutuhan diri sendiri sedangkan tawāddu bermakna saling mencintai karena kebutuhan pasangan pada diri kita[2]. Artinya predikat sakinah tercipta dengan adanya kesalingan, saling membutuhkan, aku butuh kamu dan kamu butuh aku maka kamu adalah aku yang lain.

Dua rasa ini (cinta dan kasih sayang) datangnya dari Allah[3]. Namun manusia bisa mengasahnya dengan kebiasaan bersikap dengan 5 pilar pernikahan;

  1. Mīṡāqan ghalīdzan/komitmen yang kuat untuk menikah mewujudkan ketentraman,
  2. Mu’āsyarah bi al-ma’rūf/bersikap satu sama lain dengan bermartabat,
  3. Zawaj/berpasangan, tidak ada yang mendominasi atas yang lain,
  4. Tarāḍin/saling menerima dan rela atas kekurangan dan kelebihan yang ada,
  5. Musawarah/saling bertukar pendapat dalam segala hal untuk mencapai mufakat yang maslahat.

Konsep keluarga sakinah seperti di atas memang idealis, mematok batas maksimum tujuan pernikahan, sebab masalah pasti ada namun apakah kita akan tetap melanjutkan perilaku yang biasa dilakoni masyarakat meskipun keliru dan mendzalimi? Setidaknya pemahaman ini menjadi acuan bagi diri kita -syukur untuk orang lain- untuk bersikap selayaknya manusia yang terhormat dan menghormati.


Penulis            : Nur Kholilah Mannan

Editor              : Nur Kholilah Mannan

Daftar Referensi

  1. Abū al-Hasan al-Mawardi, Tafsir al-Mawardi, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah: T.t), 4/305.
  2. Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut, Dar Ihya Turats al-‘Arabi: 1420), 25/92.
  3. Al-Zamakhsyarī, Tafsir al-Zamakhsyari, (Beirut, Dar al-Kutub al-‘Arabi: 1407), 3/473.