Arikhah
Arikhah lahir di Kudus pada tanggal 29 November 1969. Ia merupakan pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah, Besongo, Semarang. Selain itu, aktivitasnya saat ini adalah sebagai dosen tetap di UIN Walisongo Semarang. Sebelum terselenggaranya KUPI, Arikhah mengikuti pertemuan PSG-PSGA-PSW se-Indonesia, yang selanjutnya mendukung KUPI. Ketika mendengar akan diselenggarakan KUPI, ia tidak mau membuang kesempatan untuk bergabung. Arikhah mengajak beberapa teman untuk terlibat dalam KUPI dan terus mengkaji kitab-kitab yang ditulis oleh ulama perempuan.
Riwayat Hidup
Arikhah mengawali pendidikan formalnya di Kudus, yaitu di SDN I Jekulo Kudus, lulus pada tahun 1982. Arikhah juga mengenyam pendidikan non-formal di Madrasah Diniyyah Rohmatul Ulum selama 7 tahun, sampai pada tahun 1983. Selesai pendidikan dasar, ia kemudian menyelesaikan pendidikan Menegah Pertama di MTs Muallimat NU Kudus pada tahun 1985 dan Menengah Atas di Madrasah Aliyah Muallimat NU Kudus pada tahun 1988. Selanjutnya Arikhah menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Aqidah dan Filsafat IAIN Walisongo pada tahun 1993. Ia mendapatkan gelar Master di jurusan Pemikiran Etika Tasawuf IAIN Walisongo pada tahun 2003. Dan, gelar Doktornya ia dapatkan pada tahun 2016 dalam Studi Islam. Pendidikan dan beberapa training yang ia ikuti antara lain: International Research Management and Journal Writing Program di Queensland University Australia pada tahun 2013; Pendidikan dan Pelatihan Mediator Profesional pada tahun 2016; dan Leadership Development for Islamic Women Leaders, di Deakin University Australia pada tahun 2017.
Ia mengikuti beberapa organisasi, antara lain Komisi PPRK, MUI Provinsi Jawa Tengah; IPHI Provinsi Jawa Tengah bidang Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga; JP3M (Jamiyyah Perempuan Pengasuh Pesantren dan Muballighat); IPEMI Provinsi Jawa Tengah; FKUB Kota Semarang; dan Dharma Wanita Persatuan UIN Walisongo.
Tokoh dan Keulmaan Perempuan
Sebelum bergabung di KUPI, Arikhah sudah aktif berinteraksi dengan para bu nyai dan pak kiai di jaringan ulama perempuan. Tali yang menyambungkan antara dirinya dengan KUPI berawal ketika seorang santri menulis artikel tentang bu nyai, yaitu tentang Arikhah, dan menjadi pemenang. Cerita tersebut kemudian masuk ke dalam daftar buku yang diluncurkan oleh KUPI. Berawal dari itu, Arikhah mendapat undangan acara Kongres Ulama Perempuan Indonesia, yang kebetulan dua hari sebelumnya beriringan dengan acara PSGA se-Indonesia dari PTKIN yang diikutinya.
Adanya KUPI cukup memberi tekanan pada tafsir sosial soal eksistensi ulama yang selama ini selalu merujuk kepada laki-laki. Arikhah menegaskan bahwa secara keilmuan dan pemikiran banyak perempuan yang mumpuni. Oleh karena itu, KUPI tidak mendasarkan pada jenis kelaminnya saja, tetapi juga fokus pada kajian dan passion. Arikhah merasa mendapat energi, support, dan menyambut dengan gembira atas terselenggaranya KUPI. Ia merasa mendapat banyak teman yang bersama-sama berjuang memberdayakan perempuan, tidak hanya pada tataran wacana tapi juga turut memberi ruang dalam aktivitas nyata. Ruang-ruang itu yang nantinya digunakan oleh perempuan untuk menuntaskan tugas kekhalifahan di bumi bersama laki-laki.
Pengalaman Arikhah sejak kecil membuatnya selalu merasa janggal ketika berhubungan dengan eksistensi perempuan yang jarang mendapatkan pengakuan. Menurutnya, perempuan selalu dituntut untuk membuktikan keberadaannya yang setara dengan laki-laki. Padahal, Tuhan menciptakan manusia dengan dua jenis kelamin, dan itu bukan untuk saling mengungguli satu sama lain, melainkan hidup seimbang dan saling bekerja sama.
Salah satu pengalaman Arikhah yang masih membekas sampai sekarang adalah di tempat ia tumbuh (pesantren) hanya mengakui laki-laki. Ibunya adalah santri ndeso, meski berkecukupan tetapi ia bersama saudara perempuannya tidak mengenyam pendidikan formal sama sekali. Padahal, saudara laki-laki ibunya bisa memperoleh pendidikan formal, bahkan sampai sarjana. Adik-adik ibunya ada yang bergelar doktorandus, insinyur, dan lainnya. Namun saudaranya yang perempuan berbeda nasib, sekolah dasar pun tidak diperbolehkan oleh orang tuanya. Dalam ingatan Arikhah, ketika sekolah, di gapura, pintu masuk depan masjid, ada tulisan “tidak ada tempat untuk perempuan”. Itu adalah kenangan yang menyakitkan baginya. Ia menyadari kalau masjid itu dikelilingi oleh pondok laki-laki dan madharat-nya lebih banyak ketika ada jamaah perempuan masuk masjid. Namun, pilihan bahasanya membuat sakit hati, karena sehari-hari ia selalu melewatinya.
Atas dasar madharat itulah, para perempuan hanya diajari hukum syara’, safinah an-najah, oleh orang tuanya. Peristiwa itu, menurut Arikhah, adalah sejarah kelam yang tidak boleh berlanjut. Ibunya selalu menasihati, “Jangan sampai anak-anak mengalami kebodohan seperti saya.” Dari situ, ibunya selalu mendukung anak-anaknya untuk sekolah, dan Arikhah telah membuktikan dengan meraih gelar Doktor pada tahun 2016 di UIN Walisongo Semarang dengan predikat cumlaude.
Saat ini, meskipun pemerintah sudah memberi peluang kepada perempuan dengan skala prioritas dan pengarusutamaan gender pada zaman pemerintahan Gus Dur, dan juga peluang seperti kuota 30% di parlemen, menurut Arikhah perempuan tidak hanya terbatas di situ. Perempuan harus menunjukkan kemampuan bahwa mereka sama dengan laki-laki ketika diberi kesempatan yang sama. Arikhah sendiri menunjukkan kemampuannya di dalam keluarga, ia setara dengan saudara-saudara laki-lakinya. Ia merasa memiliki kapasitas, kualitas, dan kemampuan yang sama, tidak hanya meminta jatah peluang-peluang di parlemen atau pemerintahan.
Ada banyak tantangan yang dialami Arikhah, seperti saat dirinya menjadi Ketua Senat, yang tidak semudah mengatakan “pilih saya” dan berkampanye layaknya caleg saat ini. Arikhah tidak melakukan semua itu. Bahkan ketika dirinya dipanggil oleh Dekan dan Wakil Dekan 3, ia menangis karena sebenarnya tidak menginginkan jabatan itu. Tetapi ia menyadari tidak boleh menghindari amanah itu. Usai dilantik, ujian itu datang. Arikhah mendapat bully-an dan hujatan bahwa ia dianggap tidak paham ar-rijalu qawamuna ‘ala an-nisa’, dengan mengatakan: dirinya dianggap telah keluar dari jalur syariat. Arikhah paham bagaimana harus menghadapi itu. Ia bertekad meluruskan bahwa Islam tidak membelenggu hambanya (laki-laki atau perempuan) untuk berkiprah dan bermanfaat bagi yang lain.
Pada tahun 2017, setelah digelarnya KUPI pertama, Arikhah melihat saat ini perempuan ulama cukup dipandang. Bukan hanya secara jumlah, kualitas mereka juga diperhitungkan. Lalu bermunculan para ahli hadits, penulis, dan penafsir yang sebelumnya keilmuannya tidak kelihatan. Bahkan, tambah Arikhah, yang saat ini dilihat masyarakat sebagai bahan olok-olokan seperti penyandang disabilitas, kini sudah mulai diperhitungkan. Arikhah memiliki teman penyandang disabilitas perempuan, ia memiliki kapasitas, dan diberi amanah menjadi Dekan di salah satu perguruan tinggi. Menurutnya, semangat perlawanan perempuan dan kelompok minoritas lain harus terus dipupuk dan dirawat bahwa mereka berani berbicara, mengambil peran di ruang publik, dan berani mempublikasikan pemikiran-pemikiran mereka. Dan semua itu adalah hasil perjuangan yang cukup panjang, tidak datang tiba-tiba. Dari sana terlihat bahwa kualitas ketakwaan menjadi nilai utamanya, dan martabat kemanusiaanlah yang dinilai Allah.
Arikhah sendiri sampai saat ini aktif menulis di rubrik fiqh nisa di Harian Suara Merdeka setiap tiga Jumat sekali. Tulisan-tulisan itu berkaitan dengan persoalan-persoalan fiqh secara hablu min an-nas, hablu min allah, dan hablu min al-alam. Tema lain yang berkaitan dengan fiqh misalnya tentang keluarga, pemberdayaan perempuan, dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Ia terus memperjuangkan isu yang telah diangkat oleh KUPI. Menurutnya isu-isu tersebut relevan dan strategis.
Bersama Pondok Pesantren Darul Falah, Arikhah mengembangkan ide-ide terkait kesetaraan manusia. Misalnya, yang berkaitan dengan keterampilan, ia memasukkan segala keterampilan hidup sehari-hari ke dalam kurikulum pondok pesanatren: memasak masakan harian, masakan tradisional, kue kering, dan makanan pesta; membuat souvenir seperti manik-manik dan bros; membuat baki lamaran; menjahit; sablon; flanel; dan memproduksi produk kimia rumah tangga: sabun, sampo, pembersih grabah, dan minyak angin.
Berkaitan dengan konservasi alam, Arikhah melakukan penanaman pohon di sekitar pesantren setiap enam bulan sekali dengan pemeliharaan setiap bulan; pembibitan tanaman setiap tahun, yang bisa dibagikan ke berbagai pesantren dan bagi yang membutuhkan; memberi amanat kepada santri wisudawan (yang sudah purna dari pesantren) berupa pohon untuk ditanam di kampung halaman/rumah. Santri juga diajarkan bercocok tanam, seperti menanam tomat, terong, dan cabai; sedangkan media tanam menggunakan tanah, abu sekam, dan pupuk organik. Salah satu kegiatan di Pondok Pesantren Darul Falah tersebut bertujuan untuk mereduksi pandangan masyarakat tentang buruknya nasib menjadi petani. Meskipun kegiatan tersebut sudah berlangsung sejak lama, namun tetap bisa dikatakan sebagai bagian dari dukungan atas isu kerusakan alam yang diangkat KUPI.
Karya-Karya
Karya akademis Arikha antara lain, “Rasionalisme al-Ghazali”, Skripsi; “Pengalaman Keagamaan Pengamal Dalail al-Khairat”, Tesis; “Pemikiran Tasawuf Ibnu Qayyim al-Jauziyyah”, Disertasi; “Pengaruh Emotional Freedom Technique (EFT) dan Meditasi dalam Menurunkan Stress: Studi Eksperimental tentang Perbedaan Efektifitas Dua Jenis Metode Energy Healing”, 2014; “Konstruksi Kurikulum Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Berbasis Alumni dan Stakeholders: Evaluasi dan Pengembangan”, penelitian kelompok, 2014; “Penguatan Iman Melalui Penghayatan Agama dan Ketrampilan Ekonomi Kreatif dengan Pemanfaatan Teknologi Kimia Rumah Tangga untuk Warga Tambak Lorok Semarang Utara”, 2016; “Reaktualisasi Pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam Pengembangan Tasawuf”, 2017; “Relasi Mistical Experience dan Riyadlah an-Nafs”, 2017; dan “Survivor of Sexual Violence in Quranic Perspective: Mubadalah Analysist toward Chapter Joseph in Tafsir al-Azhar” (penulis ketiga), 2020.
Penghargaan dan Prestasi
Arikhah mendapatkan penghargaan, antara lain: Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Joko Widodo pada tahun 2017 dan Penghargaan Penulis Perempuan di Fiqh Nisa oleh Pimpinan Harian Suara Merdeka pada tahun 2019.
Daftar Bacaan Lanjutan
- Pascalib, Santri DAFA Belajar Menanam, https://be-songo.or.id/2016/02/27/pascalib-santri-dafa-belajar-menanam/
- Arikhah Aktivis Fatayat NU Raih Doktor Konsentrasi Tasawuf, https://www.nu.or.id/post/read/69862/arikhah-aktivis-fatayat-nu-raih-doktor-konsentrasi-tasawuf
- Predikat Sangat Memuaskan, Arikhah Raih Doktor Konsentrasi Tasawuf di UIN Walisongo, https://www.tribunnews.com/regional/2016/07/21/berpredikat-cum-laude-arikhah-raih-doktor-konsentrasi-tasawuf-di-uin-walisongo?page=2
Penulis | : | Miftahul Huda |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |