Alissa Wahid Sebut Potensi Perempuan dalam Melawan Ekstremisme di Sesi KUPI TALKS 2

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Info Artikel

Sumber Original : Gusdurian.net
Penulis : -
Tanggal Terbit : November 19, 2022
Artikel Lengkap : Alissa Wahid Sebut Potensi Perempuan dalam Melawan Ekstremisme di Sesi KUPI TALKS 2

Kongres Ulama Perempuan Indonesia 2 (KUPI 2) menyelenggarakan Sesi Panel KUPI TALKS dengan tajuk “Ulama Perempuan dan Peradaban: Mengenal Isu-Isu dalam KUPI 2” pada Rabu (16/11/2022) lalu. KUPI TALKS 2 berlangsung secara daring melalui Zoom Meeting dan disiarkan langsung di akun Facebook Mubadalah.id.

Acara yang digelar untuk menyambut KUPI 2 di Jepara tersebut membincangkan isu-isu aktual, mulai persoalan kebangsaan, lingkungan, hingga perlindungan jiwa perempuan akibat perkosaan. Beberapa panelis turut hadir dalam KUPI TALKS 2 ini, yaitu Faqihuddin Abdul Kodir (Majelis Musyawarah KUPI), Alissa Wahid (Direktur Jaringan GUSDURian), Wahyudi Anggoro (Lurah Desa Panggungharjo), dan Alimatul Qibtiyah (Komnas Perempuan).

Keempat panelis membawakan empat materi yang berbeda. Faqihuddin Abdul Kodir membahas tentang Metode Fatwa KUPI, Alissa Wahid menyampaikan topik Kontribusi Perempuan dalam Mencegah Ekstremisme, Wahyudi Anggoro membincang soal Mengolah Sampah menjadi Berkah, dan Alimatul Qibtiyah membahas tentang Hak-Hak Korban Kekerasan Seksual.

Di kesempatan pertama, Alissa Wahid menyampaikan bahwa pada dasarnya perempuan bisa berkontribusi dalam hal apa pun, tidak hanya dalam pencegahan ekstremisme beragama saja. Namun, lanjut Alissa, kita sering kali meninggalkan perempuan dalam berbagai pembahasan.

“Kita harus mengakui sampai saat ini, ketika kita membicarakan berbagai persoalan di ruang publik, perspektif perempuan itu ditinggalkan. Sementara perempuan memiliki potensi yang sama besar dengan laki-laki,” ungkap Alissa.

Berkaitan dengan persoalan perempuan dan ekstremisme keagamaan, Alissa membagi ekstremisme menjadi beberapa tingkatan. Pertama, ekstremisme dengan kekerasan atau aksi terorisme. Kedua, ekstremisme tanpa kekerasaan. Ketiga, eksklusivisme beragama yang membawa semangat us vs. them.

“Masing-masing zona ini sebetulnya menciptakan persoalan yang berbeda-beda. Jadi kita jangan berpikir tentang ekstremisme saja, karena ada yang lebih ‘ringan’ tapi itu sering dilupakan, padahal ia bibit. Nah, tantangannya sekarang ini perempuan juga terlibat dalam menyebarkan pemahaman keagamaan yang seperti itu,” sambungnya.

Di sisi lain, menurut Alissa, perempuan juga punya potensi yang cukup besar untuk menjadi agen atau penggerak untuk melawan ekstremisme atau eksklusivisme beragama. Hal ini dikarenakan aspek nurturing (pengasuhan) dan building relationship (membangun hubungan) perempuan lebih terasah dibandingkan laki-laki.

“Ketika menjembatani kelompok yang berbeda, kita membutuhkan kemampuan untuk membangun hubungan, untuk membuat titik temu. Nah ini perempuan lebih terasah daripada laki-laki. Selain itu, menurut riset, resiliensi perempuan itu tinggi. Dalam konteks pergerakan, ini jangan dianggap sepele. Inilah yang menurut saya menjadi kekuatan para perempuan untuk ikut menyebarluaskan nilai-nilai yang baik,” ujar putri sulung Gus Dur tersebut.

Dalam pembahasan yang lain, Alimatul Qibtiyah menyampaikan sebuah topik yang sensitif dan serius, yaitu tentang isu kekerasan seksual. Isu ini sebenarnya sudah diangkat pada KUPI 1 di Cirebon, namun di KUPI 2 ini pembahasan lebih ditajamkan lagi pada kaitannya dengan kehamilan akibat perkosaan. Menurut Alimatul, selama ini banyak kasus perkosaan diselesaikan dengan jalan restorative justice atau damai, yaitu korban perkosaan dinikahkan dengan pelakunya.

“Jelas itu sangat bertentangan dengan semangat menikah. Tujuan dari pernikahan adalah untuk mencapai kesakinahan. Jadi nggak mungkin, orang yang menikah dengan orang yang memperkosa dia, dia akan bahagia. Itu nggak mungkin,” ungkap perempuan yang akrab disapa Prof. Alim tersebut.

Menurutnya, perkosaan adalah suatu paksaan yang membuat seseorang menjadi trauma, ketakutan, benci terhadap dirinya sendiri, dan putus asa. Jika korban dinikahkan dengan pelaku perkosaan, maka hal tersebut akan menjadi mimpi buruk dalam hidup korban.

Di kesempatan selanjutnya, Wahyudi Anggoro menjelaskan tentang pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah dan warga Desa Panggungharjo, Bantul. Ia menuturkan bahwa sampah merupakan persoalan yang dihadapi oleh semua masyarakat di Indonesia hari ini. Desa Panggungharjo yang terkenal mempunyai model pengelolaan sampah yang sangat baik tersebut memiliki proses yang panjang menuju ke sana.

“Awalnya, pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah Desa Panggungharjo itu kita letakkan dalam konteks reformasi birokrasi. Itu dalam rangka untuk membangun pola relasi yang baru antara pemerintah desa dan warga. Barulah pada Maret 2013, kita menginisiasi satu badan usaha milik desa yang bergerak pada jasa pengelolaan lingkungan,” ujar Lurah Wahyudi.

Terakhir, Kang Faqih, sapaan akrab Faqihuddin Abdul Kodir, menyampaikan tentang musyawarah keagamaan KUPI yang menghasilkan fatwa keagamaan ala KUPI.

“Karena ini musyawarah, maka dari itu bukan satu pihak saja yang menentukan, misalnya tokoh agama. Tetapi melibatkan berbagai pihak, bahkan sejak di komunitas. Jadi musyawarah keagamaan KUPI secara kelembagaan hanya dilakukan satu kali,” tutur Kang Faqih.

Kongres Ulama Perempuan Indonesia kedua (KUPI 2) sendiri akan diselenggarakan di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah. Kongres ini akan menghadirkan lebih dari 1.000 peserta dan diisi oleh berbagai acara selama tiga hari berturut-turut, yaitu pada 24-26 November 2022.