Aborsi Dalam Perpektif Hukum Islam
Oleh : Husein Muhammad
Sejak zaman awal Islam, Aborsi atau pengguguran kandungan sudah menjadi problem yang mendapat perhatian dari semua ahli hukum Islam. Kitab-kitab hukum Islam, menyebutnya al Ijhadh atau Isqath al Haml). Secara singkat dapat dikemukakan bahwa para ahli hukum Islam (fuqaha) sepakat bahwa pengguguran kandungan setelah lewat bulan keempat kehamilan adalah haram. Mereka berpendapat bahwa sesudah usia 120 hari kehamilan janin dalam kandungan ibu adalah seorang anak manusia dengan seluruh kelengkapannya, karena ruh telah ditiupkan kepadanya. Nabi SAW mengatakan : “penciptaan kamu dalam perut ibu selama 40 hari berupa nuthfah, lalu ‘alaqah’ (gumpalan darah) dalam waktu yang sama, kemudian ‘mudghah’ (gumpalan daging) juga dalam waktu yang sama. Sesudah itu Malaikat diutus untuk meniupkan ruh ke dalamnya …”(HR. Bukhari-Muslim). Maka menggugurkannya sama dengan membunuh manusia.
Akan tetapi pada kandungan berusia kurang dari 120 hari, para ulama Islam mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Kontroversi tidak hanya terjadi antar mazhab, tetapi juga pada internal mazhab.
Pendirian paling longgar disampaikan oleh al Hashkafi dari mazhab Hanafi. Dia berpendapat bahwa pengguguran kandungan yang dilakukan sebelum janin genap berusia empat bulan (120 hari) adalah boleh. Ketika Haskafi ditanya : “Apakah pengguguran kandungan dibolehkan ?”, ia menjawab : “ya, sepanjang belum terjadinya penciptaan, dan itu (penciptaan) hanya terjadi sesudah 120 hari kehamilan”. (Al Radd al Mukhtar, II/411). Sementara penulis buku al Khaniyah tidak membenarkannya, kecuali dengan suatu alasan. Ia menganalogikan kasus itu dengan larangan memecahkan telur burung oleh orang yang sedang ihram. Satu alasan yang sering dikemukakan adalah ketiadaan air susu bagi bayi yang masih menyusui ibunya yang sedang hamil itu. Dia dan suaminya juga tidak mampu membayar orang lain guna menyusuinya.
Berbeda dengan pandangan di atas, Abu Bakar bin Abi Sa’id al Furati, menurut Al Karabisi dari mazhab al Syafi’i berpendapat bahwa aborsi adalah boleh sepanjang kandungan masih berupa nuthfah (air mani yang bercampur telur/ovum) atau berupa alaqah (gumpalan darah). Demikian al Ramli dalam Nihayah al Muhtaj,VIII/416. Sementara Ibnu Hajar al Haitami memberikan keputusan bahwa aborsi dibolehkan sebelum usia kandungan 42 hari. Lebih dari itu dilarang. Ibnu Hajar mendasarkan pendapatnya pada hadits Nabi SAW : “Jika nuthfah melewati 42 malam, maka Tuhan mengutus Malaikat untuk membentuk rupa, pendengaran, penglihatan, kulit, daging dan tulangnya…”.(H.R. Muslim). Penciptaan menurut pendapat ini terjadi sesudah 40 hari.
Sayed Sabiq seorang ulama kontemporer sepakat dengan pandangan ini. Dalam bukunya Fiqh al Sunnah dia menyatakan :
بعد استقرار النطفة فى الرحم لا يحل إسقاط الجنين بعد مضي مائة وعشرين يوما. فإنه حينئذ يكون إعتداء على نفس يستوجب العقوبة فى الدنيا والاخرة. أما إسقاط الجنين أو إفساد اللقاح قبل مضي هذه المدة فإنه يباح إذا وجد ما يستدعى ذلك. فإن لم يكن ثمة سبب حقيقي فأنه يكره.
"Sesudah nuthfah menetap di rahim dan melewati usia seratus dua puluh hari, pengguguran kandungan adalah haram. Menggugurkannya sama dengan membunuh jiwa manusia dan ini harus dikenaik sanki di dunia dan akhirat. Tetapi menggugurkannya sebelum usia kandugan 120 hari, maka dibolehkan sepanjang ada alasan. Dan jika tidak ada alasan apapun, maka tindakan tersebut makruh". (Fiqh al Sunnah, Juz II/177-178).
Ulama mazhab Syafi'i yang lain ; Imam al Ghazali mempunyai pandangan yang lebih ketat dari ulama mazhab Syafi'i di atas. Dia mengharamkan Aborsi sejak terjadi pembuahan (Nuthfah). Pengeluaran air mani di dalam rahim dan penyatuannya dengan telur (ovum), menurutnya, merupakan tahap pertama kehidupan manusia. Karena itu melenyapkannya merupakan satu pelanggaran pidana (jinayah). Dosa atas upaya pelenyapan kandungan akan menjadi semakin berat pada masa-masa sesudahnya. Dengan kata lain semakin dekat dengan saat pemberian nyawa, semakin besar dosa pengguguran kandungan itu. Al Ghazali beralasan bahwa pelenyapan air mani yang telah bertemu telur (ovum), dianalogikan oleh al Ghazali dengan sebuah akad atau perjanjian yang sudah disepakati kedua pihak yang bertransaksi. Transaksi ini tidak boleh dibatalkan. Kasus ini, menurutnya, tidak dapat disamakan dengan ‘azl, coitus interuptus. (Ihya Ulum al Din, II/51).
Pandangan ini sejalan dengan pendapat mayoritas mazhab Maliki. (Bidayah al Mujtahid, II/348), Ibnu Hazm (w. 456/1064) dari mazhab Zhahiri (Al Muhalla,XI/35-40) dan sejumlah ahli fiqh Syi’ah Imamiyah dan Abadhiyah sependapat dengan pandangan ini.(Ahkam al Syari’ah al Islamiyah fi Masail Thibbiyah, 139).
Dewan Fatwa Fiqh pada Majma’ al Buhuts al Islamiyah, sebuah lembaga penelitian di Universitas Al Azhar, Kairo, mengambil pandangan yang terakhir ini. Dalam keputusannya yang ditetapkan pada 13 Januari 1994, disebutkan : “Pengguguran kandungan mutlak dilarang, kecuali karena alasan medis guna menyelamatkan hidup ibu. Ibu adalah asal dan ia telah eksis secara pasti. Karena itu ia memiliki hak dan keewajiban dalam hidupnya. Maka ia tidak boleh dikorbankan demi janin yang belum tentu eksis. Janin dipandang sebaggai bagian dari anggota tubuhnya. Keputusan ini diambil dari pendapat yang terkuat dari mazhab Imam Malik yang melarang pengguguran kandungan secara mutlak, sejak terjadi kehamilan meskipun baru beberapa saat. Kandungan harus dihormati pada seluruh fase perkembangannya, yakni sejak terjadinya pembuahan”. (Ahkam al Syari’ah, h. 154).
Pandangan tersebut juga sejalan dengan keputusan MUNAS MUI tahun 1983. Fatwa MUI menyatakan bahwa kehidupan dalam konsep Islam merupakan suatu proses yang sudah dimulai sejak terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, pengguguran kandungan sejak adanya pembuahan adalah haram hukumnya.
Perlu dikemukakan bahwa larangan aborsi di atas tidak hanya berlaku pada kehamilan yang diakibatkan oleh pernikahan yang sah, tetapi juga untuk kehamilan di luar nikah. Sejumlah dalil dapat dikemukakan untuk menegaskan larangan aborsi meskipun pada kehamilan yang diakibat oleh hubungan seksual di luar nikah. Antara lain ayat al Qur-an yang menegaskan bahwa suatu dosa tidak bisa ditimpakan kepada orang lain, tetapi menjadi tanggungjawab individu pelaku. (Q.S. 17:16). Argumen lain adalah hadits nabi tentang kasus perempuan Ghamidiyah yang hamil di luar nikah. Ia meminta nabi menghukumnya. Tetapi beliau menolaknya sampai bayi yang dikandungnya lahir, bahkan sampai lepas menyusui. Imam Nawawi mengomentari hadits ini bahwa perempuan yang hamil di luar nikah tidak boleh dihukum baik rajam maupun cambuk sampai dia melahirkan bayinya. Ini konsensus para ahli fiqh. (Syarh Muslim XI/201).
Sumber Kontroversi
Perdebatan mengenai boleh tidaknya menggugurkan kandungan pada intinya terletak pada perdebatan mengenai batasan kapan kehidupan manusia dimulai. Apakah kehidupan manusia dimulai sejak ditiupkannya ruh, yakni sesudah empat puluh hari yang ketiga sebagaimana secara eksplisit disebutkan hadits Bukhari-Muslim, atau sesudah 40 hari sebagaimana disebutkan oleh hadits Muslim, atau sejak pembuahan atau bahkan ketika masih berupa air mani.
Meskipun secara jelas disebutkan dalam hadits bahwa peniupan ruh yang menandai awal kehidupan dinyatakan setelah 120 hari, tetapi sulit disangkal suatu kenyataan bahwa sejak saat air mani bertemu dengan telur (pembuahan) ia akan terus berkembang menuju bentuk-bentuk yang lain. Ini menandakan adanya proses kehidupan yang terus berjalan ke arah bentuk-bentuk yang semakin sempurna. Dengan berpegang pada hadits Bukhari Muslim di atas, mayoritas ahli hukum muslim mengakui bahwa dalam tiga tahap perkembangan kandungan itu, janin memang tidak memiliki jiwa manusia tetapi hanya menunjukkan kehidupan tanaman dan binatang. Sesudah itu janin dinyatakan sebagai memiliki “al harakah al iradiyah”, gerakan yang berkemauan atau berkehendak.(Catatan Al Buthi dalam “Masalah Tahdid al Nasl”, hal. 71).
Dengan demikian kesimpulan yang mungkin dapat diberikan adalah bahwa kehidupan sesungguhnya telah ada sejak hari-hari pertama kehamilan baik dinyatakan sebagai kehidupan binatang atau kehidupan tanaman (al hayah al jurtsumiyah aw al nabatiyah).
Meskipun demikian, penghormatan terhadap kehidupan ini, menurut mereka, tetap harus diberikan, karena ia adalah entitas yang potensial untuk membentuk menjadi manusia. Dalam arti lain pelenyapan kehidupan tersebut dapat dipandang sebagai pelanggaran terhadap awal kehidupan manusia, yang karena itu berdosa dan patut dikenakan hukuman yang sesuai.
Peniupan ruh pada janin berusia di atas 120 hari tidak disebutkan oleh al Qur'an. Kitab suci ini hanya menyatakan : “ Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dari intisari tanah. Kemudian Kami jadikan nuthfah yang tersimpan di tempat yang aman dan kokoh. Dalam perkembangan selanjutnya, nuthfah itu Kami olah menjadi segumpal darah, dan segumpal darah itu Kami olah menjadi segumpal daging. Lalu segumpal daging itu Kami olah menjadi tulang. Selanjutnya tulang itu kami bungkus dengan daging. Selanjutnya Kami jadikan makhluk yang berlainan dari yang sebelumnya. Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik”.(Q.S.23:12-14).
Dengan tidak disebutkannya masalah peniupan ruh dalam al Qur-an, memaksa kita untuk memahami makna ruh yang disebutkan hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim di atas.
Sebagian penafsir memaknai ruh dengan ilham sebagaimana makna ruh dalam salah satu ayat al Qur-an. Dengan mengutip Zamakhsyari, Mohammad Asad, pemikir Islam kontemporer mengatakan : “Istilah ruh sering digunakan dalam al Qur-an dalam pengertian “ilham” dan secara lebih khusus, “ilham Ilahi”. (lihat, Munawar Ahmad Anis, “Islam dan Biologis Umat Manusia”, hal. 184).
Sementara Al Zamakhsyari sendiri, ketika menafsirkan kalimat “bi al ruh min amrih”, menyatakan “dengan wahyu yang menghidupkan hati yang mati karena kebodohan”. (Al Kasysyaf, III/400).
Pandangan Zamakhsyari tersebut kemudian dijelaskan oleh Al Razi dalam al Tafsir al Kabir. Dia menguraikan persoalan ruh secara panjang lebar. Pada salah satu uraiannya dia mengatakan bahwa manusia harus merupakan makhluk berpengetahuan, dan pengetahuan hanya ada dalam ‘al qalb’, karena manusia adalah pelaku (subyek) yang berkehendak bebas. Jadi, katanya, manusia adalah sesuatu (makhluk) yang ada di dalam ‘qalb’ atau sesuatu yang mempunyai kaitan dengan ‘qalb’. (al Tafsir al Kabir, XI/43).
Ada istilah lain yang seringkali digunakan untuk arti yang sama dengan ruh, yaitu nafs dan qalb. Al Ghazali memandang ruh sebagai entitas moral yang mempunyai pengetahuan dan pandangan. ( Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia, hal. 185).
Dengan mengemukakan itu semua barangkali kita dapat menyimpulkan bahwa peniupan ruh yang berlangsung setelah hari ke 120 dari kehamilan sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari-Muslim dapat dimaknai sebagai pemberian kesadaran fitrah dan potensi-potensi pengetahuan atau ilmu atau akal. Dan inilah yang bisa disebut sebagai manusia dalam arti yang sesungguhnya. Ilmu pengetahuan yang bersumber dari akal-intelektual adalah sesuatu yang membedakan manusia dari binatang.
Alasan-alasan aborsi
Pengguguran kandungan hanya dapat dibolehkan karena sejumlah alasan. Beberapa di antaranya adalah keringnya air susu ibu yang sedang hamil dan menyusui. Untuk menggantinya dengan air susu lain dia juga tidak mampu, karena miskin. Alasan lain adalah ketidakmampuan ibu menanggung beban kehamilannya, karena tubuhnya yang kurus dan rapuh. Alasan-alasan ini memperlihatkan bahwa aborsi bisa dilakukan karena alasan kesehatan ibu (indikasi medis). Dalam kedua kasus ini aborsi dapat dilakukan sepanjang menurut penelitian medis yang dapat dipercaya, kelahirannya dipastikan akan membahayakan jiwa/nyawa ibu. Tegasnya aborsi hanya dibolehkan sejauh pembiaran janin di dalam perut ibu sampai dengan kelahirannya dipastikan akan membahayakan kehidupan ibu. Kepastian ini harus didasarkan atas pertimbangan medis oleh dokter spesialis. Ini adalah kondisi yang memang dilematis. Menggugurkan kandungan adalah sesuatu yang sesungguhnya secara moral bukanlah hal yang baik, karena ia juga berarti merusak atau melenyapkan entitas yang hidup. Akan tetapi membiarkannya tetap hidup boleh jadi menjadi ancaman atau bahkan menimbulkan kematian bagi sang Ibu. Ini bisa menjadi dua pilihan yang sulit.
Dalam konteks di mana meneruskan kehamilan sampai melahirkannya dipastikan menimbulkan kematian si ibu, maka siapa yang harus dikorbankan?. Ini memang bagaikan buah simalakama. Dilemma kematian antara ibu dan janin atau bayi dalam kandungan dalam pandangan para ahli fiqh dapat dipecahkan melalui pengorbanan janin/bayi. Sebuah kaedah fiqh menyatakan : “Idza ta’aradh al mafsadatan ru’iya a’zhamuhuma dhararan bi irtikab akhaff al dhararain/Jika terjadi pertentangan antara dua hal yang sama-sama merugikan atau membahayakan, maka yang harus dipertahankan/dimenangkan adalah pihak yang paling berat resikonya dengan mengorbankan/mengalahkan pihak yang lebih ringan resikonya”.
Dalam pandangan para ahli fiqh kematian bayi memiliki resiko yang lebih ringan daripada resiko kematian ibunya, karena ibu adalah induk dari mana bayi berasal. Eksistensinya telah pasti. Ia juga sudah mempunyai sejumlah resiko berupa kewajiban-kewajiban dan hak-hak. Karena itu ia tidak boleh dikorbankan demi menyelamatkan bayi yang eksistensinya belum pasti dan belum memiliki kewajiban-kewajiban.
Demikianlah kesimpulan dari pandangan dari para ahli hukum Islam. Pada usia janin belum 120 hari terdapat ikhtilaf (berbeda pendapat). Mengenai hal ini para ulama mengatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan para Imam adalah rahmat (Ikhtilaf al Aimmah Rahmah al Ummah atau Ikhtilaf ummati Rahmah). Hal ini tentu saja ketika pandangan-pandangan tersebut belum menjadi hukum positif, melainkan masih menjadi tataran fatwa individu. Jika kasus tersebut telah dirumuskan ke dalam hukum positif, maka kaedah fiqh menyatakan :: Hukm al Qadhi Ilzam wa Yarfa'al Khilaf (keputusan hukum adalah memaksa dan menghilangkan perbedaan). Tetapi harus segera dikemukakan bahwa pilihan hukum yang dibuat pemerintah dan DPR, haruslah dalam kerangka kepentingan rakyat dalam arti yang luas. Kaedah hukum Islam menyatakan Tasharrauf al Imam 'ala al Rai'iyyah Manuthun bi al Mashlahah (tindakah pemerintah bagi rakyatnya terkait dengan pilihan bagi kepentingan yang baik bagi mereka). Di sinilah, maka aborsi aman mungkin bisa menjadi pilihan, jika dibandingkan dengan aborsi yang dilakukan secara sporadis dan banyak mengakibatkan kematian ibu secara sia-sia. Ini memang bukan pilihan yang dikehendaki oleh nurani semua orang.
Jakarta, 29 November 2006
Makalah disampaikan dalam Bedah Buku FIQH ABORSI, karya Dra. Maria Ulfah, di Wisma Syahida, UIN, Jakarta, 29 Nopember 2006