Fikih Aborsi Alternatif Untuk Penguatan Hak Kesehatan Reproduksi

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Oleh: Maria Ulfah Anshor[1]

Disampaikan dalam Seminar “Kompleksitas Masalah Kematian Ibu di Indonesia”, diselenggarakan oleh UNFPA, 22 April 2006.

A. Fakta Aborsi dan Masalah

Rani, bukan nama sebenarnya, adalah seorang gadis siswi kelas 3 di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Jakarta Timur, berusia 14 tahun. Ia sejak kelas 1 di SMP tersebut selalu masuk 10 besar sehingga mendapat beasiswa dari sekolahnya. Suatu hari ia datang ke kantor Fatayat NU di Kramat Raya bersama ibu dan pamannya, karena diminta oleh seorang konselor pada salah satu crisis center yang membantu menangani kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang mereka alami. Ibunya bercerita bahwa anak gadisnya telah diperkosa oleh ayah tirinya, sambil menangis ibunya menyerahkan amplop berisi hasil tes urine dari sebuah klinik yang menjadi rujukan crisis center tersebut.

Setelah saya buka, ternyata positif hamil, dengan usia kandungan diperkirakan sekitar 8 minggu. Ketika saya tanya, ibunya tidak lagi mampu bicara hanya menangis dan menangis. Adik laki-lakinya yang kemudian lebih banyak memberi informasi mengenai kronologi perkosaan yang menimpa keponakannya itu maupun tindak kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini dialami oleh keluarga tersebut. Mereka (paman korban) menghawatirkan: “...kalau sekolah tau pasti dia tidak boleh ikut ujian bu... dan dikeluarkan dari sekolahnya, saya kasihan dia sebentar lagi mau ujian”. Tanya Konselor: Apakah selama ini Rini tetap masuk sekolah? Jawab pamannya: “sudah sebulan dia tidak masuk sekolah dan kami katakan kepada guru dan teman-temannya bahwa dia sakit di rumah neneknya di Jawa...”. Setelah kami mengetahui bahwa Rini hamil, ayah tirinya makin sering menganiaya ibunya dan jarang pulang”. Ibunya kemudian menyahut dengan suara parau menahan tangis: “sejak kejadian perkosaan tersebut saya sudah bertekad mau bunuh suami saya...(tangisannya meledak kelihatan emosional), tapi... saudara saya selalu mendampingi kemana pun saya pergi...”. Akhir cerita, kata pamannya: “atas saran teman saya kemudian kami mendatangi alamat crisis center yang dia berikan, untuk mendampingi kasus KDRT dan gugatan hukum terhadap suami/ipar saya”.

Dari dialog kasus di atas ada 3 hal penting yang sangat mendasar; pertama, sikap sekolah yang akan mengeluarkan siswi korban perkosaan; kedua, tidak dapat mengikuti ujian; ketiga, dianggap sebagai aib keluarga sehingga keluarga menyembunyikan korban dengan alasan sakit di tempat neneknya di Jawa. Bagaimana sikap anda terhadap kasus tersebut? Seandainya terjadi pada keluarga anda (Na’udzubillah min dzalik) apa yang akan anda lakukan menghadapi kasus tersebut?

Dampak dari perkosaan pada kasus di atas, selain korban mengalami trauma yang panjang bahkan seumur hidup, dia tidak dapat melanjutkan pendidikan dan tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. Begitu juga jika anaknya lahir, masyarakat di lingkungannya secara sosial dipastikan tidak siap menerima kehadirannya, bahkan bayi tidak berdoa yang dilahirkan korban itu mendapat stigma sebagai anak haram, tidak boleh bergaul dengan anak-anak lain di lingkungannya serta menerima stigma dan perlakuan negatif lainnya. Sementara jika digugurkan, selain tidak ada tempat pelayanan yang aman dan secara hukum dianggap sebagai tindakan kriminal. Begitu juga pandangan agama (fikih) yang berkembang di masyarakat pun cenderung tunggal yaitu melarang aborsi. Padahal dalam hal tersebut, pemikiran fikih yang berkembang di masa kejayaan para imam madzhab tempo dulu cukup beragam dan dapat memberikan solusi secara syar’iy.

Gambaran di atas hanya satu dari jutaan kasus Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD) yang berakhir dengan aborsi tidak aman yang terjadi di Indonesia. Pusat  Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia menemukan, pertahun rata-rata terjadi sekitar 2 juta kasus aborsi tidak aman.[2] Sementara WHO memperkirakan 10-50% dari kasus aborsi tidak aman berakhir dengan kematian ibu.[3] Angka aborsi tak aman (unsafe abortion) memang tergolong tinggi, diperkirakan setiap tahun di dunia terjadi sekitar 20 juta aborsi tak aman, 26% dari jumlah tersebut tergolong legal dan lebih 70.000 aborsi tak aman di negara berkembang berakhir dengan kematian ibu.[4]



B. Pandangan Ulama Fikih Tentang Aborsi

Pendapat para ulama berkaitan dengan kasus kehamilan tidak diinginkan yang berakhir dengan aborsi sangat beragam. Ulama dari madzhab Hanafi membolehkan pengguguran kandungan sebelum kehamilan berusia 120 hari dengan alasan belum terjadi penciptaan[5]. Pandangan sebagian ulama lain dari madzhab ini hanya membolehkan sebelum kehamilan berusia 80 hari dengan alasan penciptaan terjadi setelah memasuki tahap mudghah atau janin memasuki usia 40 hari kedua.[6] Mayoritas ulama Hanabilah membolehkan pengguguran kandungan selama janin masih dalam bentuk segumpal darah (‘alaqah) karena belum berbentuk manusia.[7] Syafi’iyah melarang aborsi dengan alasan kehidupan dimulai sejak konsepsi, di antaranya dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, tetapi sebagian lain dari mereka yaitu Abi Sad dan Al-Qurthubi membolehkan. Namun Al-Ghazali dalam Al-Wajiz pendapatnya berbeda dengan tulisannya dalam Al-Ihya, beliau mengakui kebenaran pendapat bahwa aborsi dalam bentuk segumpal darah (‘alaqah) atau segumpal daging (mudghah) tidak apa-apa karena belum terjadi penyawaan.[8] Kecuali mayoritas ulama  Malikiyah melarang aborsi.

Landasan hukum yang digunakan sebagai argumentasi bagi ulama-ulama tersebut adalah dua hadis Nabi berikut:

عن أبى عبدالرحمن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال حدثنا رسول الله صلىالله عليه وسلم وهو الصادق المصدوق ان أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه اربعين يو ما نطفة ثم يكون علقة مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك ثم يرسل اليه الملك فينفخ فيه الروح ويؤمر بأربع كلمات يكتب رزقه وأجله وعمله وسقي وسعيد –رواه مسلم-

“Dari Abi Abd Rahman Abdillah bin Mas’ud RA berkata: Rasulullah menceritakan kepada kami sesungguhnya seseorang dari kamu kejadiannya dikumpulkan dalam perut ibumu selama 40 hari berupa nuthfah, kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqah) dalam waktu yang sama, kemudian menjadi segumpal daging (mudghah) juga dalam waktu yang sama. Sesudah itu malaikat diutus untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diutus untuk melakukan pencatatan empat perkara, yaitu mencatat rizkinya, usianya, amal perbuatannya dan celaka atau bahagia” (HR. Muslim)”.[9]              

       

سمعت رسو ل ا لله صلي ا لله عليه و سلم يقو ل : ا ذا مر ن با لنطفة ثنتا و ا ر بعون ليلةبعث ا لله ا ليهاملكا فصو رها و خلق سمعها و بصرها و لحمها و عظا مها ثم قا ل: يا ر ب ا ذ كر ام ا نثي فيقض ربك ما شا ء و يكتب الملك –ر و ا ه مسلم-    


“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda bahwa apabila nutfah telah melewati empat puluh dua hari, Allah mengutus malaikat untuk membentuk rupanya, menjadikan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya, kemudian malaikat bertanya: Wahai Tuhanku, apakah dijadikan laki-laki atau perempuan? Lalu Allah menentukan apa yang dikehendaki, lalu malaikat itu pun menulisnya”.(HR. Muslim)[10]


Perdebatan di antara ahli fikih dalam hal aborsi tersebut, jika kita amati, akar perdebatannya adalah pada batas kehidupan. Sejak kapan sesungguhnya kehidupan itu dimulai? Bahasa yang digunakan teks sulit sekali diklarifikasi, hanya menyatakan “sebelum tercipta” atau “sebelum menjadi manusia” (qabla takhalluq). Al-Qur’an menyebutkan proses pentahapan penciptaan manusia terdiri dari nutfah, ‘alaqah dan mudghah, kemudian Allah menjadikan makhluk dalam bentuk lain, sebagaimana diinformasikan Q.S. Al-Mukminun/23:12-14) berikut:


وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ(12)ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ(13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا ءَاخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ(14)   

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dari saripati tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu menjadi air mani yang tersimpan di tempat yang aman dan kokoh. Dalam perkembangan selanjutnya, air mani itu Kami olah menjadi segumpal darah, dan segumpal darah itu Kami olah menjadi segumpal daging. Lalu segumpal daging itu Kami olah menjadi tulang belulang. Selanjutnya tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Selanjutnya Kami jadikan makhluk yang berbentuk lain dari yang sebelumnya. Maha Suci Allah Pencipta yang Paling Baik”.

Dalam ayat tersebut tidak menjelaskan secara tegas kapan sesungguhnya memasuki kehidupan sebagai manusia, apakah sejak tersimpan dalam rahim atau istilah kedokteran sejak zigot melekat dalam endometrium yang disebut dengan nidasi (implantasi) atau apakah sejak Tuhan menjadikannya sebagai makhluk yang berbentuk lain dari yang sebelumnya (khalqan aakhar).

Kata khalqan berasal dari khalaqa artinya penciptaan. Di dalam Al-Qur’an ditemukan makna yang sama antara khalaqa dan ja’ala, seperti khalaqa minha zaujaha (An-Nisa/4:1) dan ja’ala minha zaujaha (Al-A’raf/7:189), keduanya memiliki arti yang sama. Tetapi dalam hal penciptaan ini, kata khalaqa menunjukkan kemahakuasaan dan kehebatan Allah yang tiada tara, sedangkan kata ja’ala hanya menunjukkan bahwa penciptaan itu dari materi yang sudah ada, yakni nafs waahidah (satu jenis dari bahan baku yang sama). Al-Qur’an juga menunjukkan bahwa penciptaan dengan kata khalq bersifa gradual, seperti manusia berasal dari percampuran antara sperma laki-laki dan ovum perempuan, kemudian menjadi zigot, embrio dan seterusnya.[11] Sedangkan kata khalqan aakhar, artinya binafkhi al-ruh fiih, dengan meniupkan ruh ke dalam penciptaan-Nya.[12]

Mengenai batas awal kehidupan manusia kapan persisnya ruh ditiupkan, di dalam hadis pun tidak dijelaskan, hanya disebutkan bahwa proses sperma (nutfah) berlangsung selama 40 hari pertama, 40 hari kedua berupa segumpal darah (‘alaqah) dan 40 hari ketiga berupa segumpal daging (mudghah), setelah itu baru ditiupkan ruh. Tetapi ruh itu apa? Di dalam Al Quran tidak ada penjelasan secara rinci, hanya disebut bahwa ruh adalah urusan Tuhan. Tidak ada yang bisa mengetahuinya,  misterius hingga sekarang, karena hanya Sang Pencipta yang mengetahuinya, sebagaimana disebutkan Al-Qur’an surat Al-Israa’/ 17:85 tadi.

Teks tersebut adalah sumber pengetahuan yang menginformasikan bahwa ruh adalah otoritas Tuhan, kapan ditiupkan ke dalam jiwa manusia menjadi kehidupan dan kapan dilepaskan dari dalam jiwa manusia menjadi sebuah kematian tidak ada seorang pun yang mengetahui. Meskipun proses kehidupan dan kematian tersebut seluruhnya merupakan hukum alam (sunnatullah), tetapi tidak seluruhnya transparan bisa diketahui oleh manusia karena ada rahasia alam yang menjadi domain Tuhan yang disebut metafisik (gha’ib), hanya bisa dirasakan tetapi tidak dapat diinderakan.

Secara eksplist dari hadis di atas tertangkap informasi bahwa ruh ditiupkan ke dalam janin setelah 40 hari ketiga atau setelah kehamilan berusia 120 hari. Sementara dalam Al-Qur’an, dengan kata khalqan aakhar yang memiliki arti ditiupkan ruh ke dalam janin (binafkhi al-ruuh fiih) menunjukan bahwa proses pembentukan embrio atau janin manusia sudah berakhir saat ruh ditiupkan kedalamnya. Setelah itu, janin disebut menjadi makhluk yang lain yang secara substansial telah memiliki akal dan raga. Berbeda dengan sebelumnya yang secara substansi hanya memiliki raga tetapi belum berakal. Mengenai waktunya, saat kehamilan usia berapa hari peniupan ruh tersebut terjadi, menjadi rahasia Tuhan sejak ayat tersebut turun hingga sekarang. Hal tersebut diakui oleh Prof. Dr. Gulardi Wignjosastro, pakar kebidanan dan kandungan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bahwa tidak ada satu alat pun yang dapat mendeteksi kapan kehidupan manusia itu dimulai.[13]


C. Argumentasi Methodologis (Ushul fiqh)

Fikih sebagai sebuah ilmu yang berisi seperangkat hukum Islam yang bersifat praktis (amaliyah) harus mampu menjembatani antara substansi hukum yang dikehendaki Tuhan (Syari’) dengan realitas kehidupan yang dialami manusia sebagai subjek hukum. Seluruh tindakan manusia baik berupa transaksi antar sesama manusia (mu’amalah) maupun yang bersifat transendental hanya berhubungan dengan Tuhan (ibadah) di dalam syari’at Islam telah diatur ketentuan hukumnya. Ketentuan normatif tersebut secara umum (universal) telah diatur di dalam Al-Qur’an berupa teks (nash) sebagai sumber utama pembentukan hukum Islam yang dijadikan pedoman hidup bagi umat Islam. Namun tidak seluruh teks Al-Qur’an menjelaskan secara tegas dan mudah ditangkap maksudnya tetapi membutuhkan penjelasan untuk memahami isinya, yang sebagian dijelaskan di dalam hadis dan sebagian lain membutuhkan penafsiran karena hadis tidak menjelaskannya.

Nash di dalam Al-Qur’an maupun hadis ada dua macam: pertama, bersifat  pasti (qath’iy) yaitu dikemukakan dengan bahasa yang tegas, memiliki arti yang jelas, tidak ada makna lain yang terkandung di dalamnya kecuali yang tersurat dan tidak membutuhkan penafsiran, atau disebut dengan ayat-ayat muhkamat. Teks-teks tersebut mengandung prinsip-prinsip universal, bersifat mutlak, tidak terbatas pada ruang dan waktu. Kedua, bersifat menduga-duga (dzanny) yaitu dikemukakan dengan bahasa yang tidak tegas, memiliki banyak arti yang memungkinkan untuk ditafsirkan dengan makna lain (interpretable), atau disebut dengan ayat-ayat mutasyabihat. Teks-teks tersebut terbatas pada ruang dan waktu tertentu, bersifat khusus.[14] Teks-teks yang tidak tegas inilah yang menjadi lahan penggalian hukum dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan manusia yang tidak ditemukan jawabannya di dalam Al-Qur’an maupun hadis.

Untuk mengeluarkan hukum dari teks-teks yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadis baik secara tekstual (dzahir nash) maupun yang tersirat dari jiwa dan semangat teks (kontekstual) di masa Rasulullah masih hidup tidak ada persoalan, karena beliau langsung memandunya dan apabila menemukan ketidak jelasan hukum para sahabat dapat menanyakan langsung kepada beliau. Tradisi penggalian hukum terhadap persoalan-persoalan kehidupan yang tidak ditemukan hukumnya di dalam teks Al-Qur’an maupun hadis sudah dilakukan oleh para sahabat Nabi. Bahkan Rasulullah memotivasi keberanian para sahabat dan umatnya yang memiliki kemampuan untuk menggali hukum (ijtihad) supaya diperoleh ketetapan hukum yang dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi zamannya, sebagaimana sabda beliau: “Apabila seorang hakim hendak menetapkan sesuatu hukum dengan berijtihad kemudian ijtihadnya tepat, maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia hendak menetapkan suatu hukum dengan berijtihad kemudian ijtihadnya salah, maka baginya mendapat satu pahala”[15]

Selain itu, Nabi juga mengajarkan dan melatih kepada para sahabatnya mengenai bagaimana cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya yang bersifat universal tersebut supaya dapat diterjemahkan ke dalam realitas kehidupan nyata. Sikap tersebut dapat dilihat dalam dialog antara Rasulullah saw dengan Mu’adz bin Jabal ketika hendak diutus  beliau ke Yaman, beliau bersabda:

“Bagaimana anda memutuskan suatu hukum ketika anda diminta untuk menentukan suatu keputusan?” Jawab Mu’adz: “Aku akan memutuskan dengan kitab Allah”. Rasulullah bertanya lagi; “jika anda tidak menemukan di dalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab: “dengan sunnah Rasulullah”. Rasul bertanya lagi; ”jika anda tidak menemukan di dalam sunnah Rasul-Nya?” Jawab Mu’adz; “aku akan melakukan ijtihad dengan pendapatku, dan aku tidak akan menyempitkan ijtihadku”. Mu’adz lalu berkata; Rasulullah kemudian menepuk-nepuk dadaku dengan tangan beliau sambil mengucapkan; “segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk terhadap utusan Rasul dengan jalan yang direstui oleh Rasulullah”.[16]

Begitu juga dengan kondisi sekarang di mana banyak kejadian yang ditimbulkan oleh tuntutan zaman yang terus berubah seringkali membutuhkan kepastian hukum, bahkan sama sekali tidak pernah terjadi dalam kehidupan di masa Rasulullah dan para sahabatnya. Di sinilah peran fikih untuk menentukan ketetapan dan penjelasan terhadap masalah-masalah aktual tersebut berdasarkan pada dalil-dalil agama (syar’iyyah).

Dalil-dalil agama secara umum bersumber pada empat landasan pokok, yaitu : 1) Al-Qur’an, 2) Hadis (As sunnah), 3) Kesepakatan para ulama (Ijma’) dan 4) Analogi hukum (Qiyas). Menurut mayoritas ulama (jumhur al-ulama), keempat landasan tersebut disepakati sebagai dalil. Selain itu, mereka sepakat bahwa cara penggunaan dalil tersebut secara kronologi sebagaimana urutan yang tersebut di atas.[17] Dengan kata lain, jika terjadi suatu permasalahan yang membutuhkan pemecahan hukum Islam maka upaya yang dilakukan adalah mencari dalil atau hukum di dalam Al-Qur’an. Jika di dalam Al-Qur’an itu ditemukan hukumnya maka hukum tersebut yang dilaksanakan. Tetapi jika di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, maka mencarinya di dalam hadis. Bila ditemukan hukumnya di dalam hadis maka hukum itu yang harus dilaksanakan. Bila di dalam hadis ternyata tidak ditemukan hukumnya maka harus melihat pada hasil kesepakatan para penggali hukum  (mujtahid), apabila ketentuan hukum tersebut ditemukan maka hukum itu harus dilaksanakan. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan penggalian hukum (ijtihad)[18] sendiri dengan cara menganalogikan terhadap persoalan yang sudah ada hukumnya (qiyas).[19]

Berdasarkan pada penjelasan di atas, karakter fikih pada prinsipnya adalah dapat diterapkan (applicable), menawarkan solusi terhadap persoalan-persoalan kehidupan yang dialami manusia dan mengantarkan pada kesejahteraan atau kemaslahatan umum (al-mashalih al-‘ammah). Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam kaidah pembentukan hukum Islam bahwa tujuan utama pembentukan hukum Islam (maqashid al-syari’ah) adalah merealisir kemaslahatan bagi kehidupan manusia dengan mendatangkan kesejahteraan dan menjauhkan bahaya dalam kehidupan mereka. Kemaslahatan manusia itu dapat terwujud apabila terjamin kebutuhan pokok (dharuriyah), kebutuhan sekunder (hajiyah) maupun kebutuhan pelengkapnya (tahsiniyah).[20]


D. Mencari Solusi dengan Fikih Alternatif

Mengacu pada pendapat-pendapat para ulama mengenai aborsi sebagaimana dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa karakter fikih adalah dinamis dan realistis, berkembang secara terus menerus sesuai dengan perkembangan masyarakat, termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran modern. Hal tersebut sejalan dengan tujuan pembentukan hukum Islam (maqaashid al-ahkam al-syar’iyyah). Selain itu, sebagaimana dikatakan Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa mandat fikih adalah mencegah terjadinya kerusakan dalam kehidupan manusia dan mendatangkan kemaslahatan kepada mereka, mengendalikan dunia dengan kebenaran, keadilan dan kebajikan serta menerangkan cara yang harus dilaluinya dengan menggunakan akal manusia.[21] Dalam hal ini, kuncinya adalah fikih itu harus bisa mencegah terjadinya kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan secara proporsional terhadap kehidupan manusia.

Sementara prinsip-prinsip di dalam kaidah pembentukan hukum Islam dalam praktiknya sejalan dengan prinsip-prinsip dasar moral dalam ilmu filsafat, yang harus berpegang pada tiga prinsip dasar yaitu; pertama, prinsip sikap baik yaitu bersikap positif dan baik. Sikap ini menjadi kesadaran inti utilitarianisme bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari tindakan kita dengan tanpa merugikan pihak lain; kedua, prinsip keadilan yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan haknya masing-masing. Prinsip ini menuntut kita agar tidak mencapai tujuan-tujuan, termasuk yang baik, dengan melanggar hak orang lain.; ketiga, prinsip hormat terhadap diri sendiri, yaitu selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri.[22]

Dalam konteks aborsi tak aman yang menyebabkan pada kematian ibu di Indonesia, sejumlah penelitian menyebutkan jutaan aborsi tidak aman telah berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu, ini bukan persoalan sederhana. Bisa dikatakan sebagai problem nasional dengan dimensi sosial yang kompleks baik secara fisik, psikis bagi yang bersangkutan maupun beban sosial bagi lingkungannya. Fikih dalam konteks ini harus berorientasi pada etika sosial yang produk hukumnya tidak sekedar halal atau haram, boleh atau tidak boleh, tetapi harus memberikan jawaban berupa solusi hukum terhadap persoalan-persoalan sosial yang dihadapi bangsa khususnya perempuan. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh K.H. Sahal Mahfudz (2003): “Fikih sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam”.[23]

Dalam konteks menetapkan kepastian hukum mengenai tingginya angka kematian ibu akibat aborsi tak aman, merupakan dua kondisi yang sama-sama membahayakan, jika kehamilannya dilanjutkan akan menimbulkan madlarat pada ibunya, dan jika diaborsi dipastikan janinnya mati. Apalagi dilakukan dengan cara aborsi yang tidak aman, bisa berpotensi pada kematian ibunya sekaligus janinnya.  Hal tersebut dapat dianalisa dengan menggunakan beberapa kaidah fikih, antara lain: pertama, “Bahaya itu menurut agama harus dihilangkan (al-dlarar yuzaalu syar’an)”; kedua, “Bahaya yang lebih berat dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan (al-dharar al-asyadd yuzaalu bi al-dharar al-akhaff)” atau “Jika dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya yang lebih kecil risikonya (Idza ta’aaradlat al-mafsadataani ruu’iya a’dhamuhuma dlararan)”; ketiga, “Keterpaksaan dapat memperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang (al-dlaruraatu tubiihul mahdzuraat)”; keempat, perubahan hukum Islam dapat dilakukan dengan adanya perubahan zaman, perubahan tempat, perubahan kondisi, perubahan niat dan kultur atau adat (taghayyir al-ahkam bitaghayyur al-azminah wal-amkinah wal-ahwal wan-niyaat wal-‘awaaid)”.[24]

Ada argumentasi klasik di kalangan ulama bahwa pencegahan atau mendahulukan prevensi (syaddu al-dzari’ah) lebih baik. Dalam hal hukum aborsi,  melarang aborsi dianggap lebih aman, karena ada kehawatiran kalau aborsi dibolehkan akan dijadikan sebagai peluang bagi pelaku seks di luar nikah mencari jalan keluar. Bila aborsi dibolehkan dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan seolah memberikan kesempatan untuk melakukan seks bebas. Pertanyaannya adalah bagaimana fikih menjawab realitas yang sudah terjadi berupa tingginya angka aborsi tak aman yang jelas-jelas mengancam kematian ibu, apakah tepat jawabannya hanya menggunakan pendekatan preventif. Sementara dalam konteks ini membutuhkan bisa memberikan solusi pada masalah tingginya AKI untuk menyelamatkan jutaan perempuan yang ‘mati sia-sia’ karena aborsi tidak aman. Kondisi yang mengancam kematian perempuan tersebut perlu dijembatani supaya aborsi tak aman tidak terjadi lagi. Di sinilah letak kesenjangannya antara teks fikih dan kenyataan di lapangan.

Argumentasi dengan pendekatan pencegahan (syaddu al-dzari’ah) tersebut terpatahkan dengan ditemukannya fakta bahwa dari jumlah rata-rata 2 juta kasus aborsi pertahun, 76.6% dilakukan oleh perempuan berstatus menikah[25]. Penelitian terakhir oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (2003), 87% klien aborsi berstatus menikah.[26] Mereka memutuskan aborsi ternyata ada sejumlah persoalan kemanusiaan yang mempengaruhinya. Beberapa faktor penentu di antaranya perkosaan dan incest, kegagalan alat kontrasepsi, kemiskinan, kesehatan fisik maupun mental dan sebagainya. Dari jumlah aborsi tidak aman tersebut diperkirakan 10-50% nya berakhir dengan kematian ibu.[27]

Dari sudut pandang apapun fakta tersebut adalah merupakan problem sosial yang sangat memprihatinkan, harus dicarikan solusinya, tidak cukup hanya dengan wacana, etis atau tidak etis apalagi dengan stigma negatif pada perempuan korban incest atau sejenisnya. Kita dihadapkan pada fakta yang sudah ada di depan mata, menuntut siapapun yang berkompeten untuk segera bersikap dan bertindak. Terlepas dari takdir, kesakitan dan kematian akibat aborsi tak aman tersebut sesungguhnya dapat cegah setidaknya dihindari dengan rumusan fikih yang memberikan solusi untuk kemaslahatan yang lebih besar bagi kehidupan manusia.

Mengingat fikih adalah dimaksudkan untuk mengatur seluruh prilaku kehidupan manusia supaya dapat hidup lebih bermanfaat dan maslahat, begitu juga hukum positif dibuat untuk mengatur seluruh prilaku warga negara agar bisa mewujudkan hukum yang adil yang bisa memberikan solusi pada kebuntuan hukum yang berdampak pada kematian ibu di Indonesia. Dengan demikian, kesenjangan antara hukum Islam (fikih) yang memilik karakter lentur dan dinamis dengan hukum positif yang kaku dan melarang tindakan aborsi sebagaimana dalam Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan khususnya pasal 15[28] dapat dijembatani. Dengan perubahan hukum positif tersebut harapannya upaya pencegahan melalui penguatan terhadap hak-hak reproduksi perempuan dan aborsi aman bagi perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dapat dilakukan secara legal, khususnya pada kasus incest sebagaimana dalam pendahulauan dapat dilakukan.  


E. Fikih Aborsi dan Argumentasinya.

Upaya pencegahan terhadap KTD adalah paling ideal, jauh lebih baik secara normatif maupun dari sisi hukum apapun dan agama manapun dibanding dengan aborsi. Namun jika alat kontrasepsi yang digunakan ternyata gagal tidak berhasil menghalangi bertemunya sperma dan ovum hingga terjadi KTD, maka harus dicarikan jalan keluar yang proporsional, rasional dan tidak bertentangan dengan agama. Perdebatan antara Pro dan kontra mengenai aborsi tidak memberikan solusi apapun dalam mengatasi masalah kematian ibu  akibat aborsi tak aman.

Untuk merumuskan aborsi alternatif yang aman baik dari sisi agama, kesehatan maupun psikologi perlu dilakukan secara bersama antara pembuat hukum (legislatif dan eksekutif) dengan para pakar dan praktisi di bidangnya masing-masing mengenai batasan-batasan aman dari segi kesehatan, aman dari segi kejiwaan (psikologis), aman dari sosio-ekonomis dan aman menurut agama (syara’). Begitu juga dalam mengukur batasan-batasan dlarurat dan maslahat yang sesuai dengan kaidah agama harus mengacu pada situasi dan kondisi fisik maupun psikis yang dialami perempuan bersangkutan, ketika berhadapan dengan konteks sulitnya akses layanan dan keadilan bagi dirinya. Melalui proses tersebut, diharapkan ada ketentuan hukum positif mengenai aborsi aman yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan berorientasi pada solusi untuk penguatan hak reproduksi perempuan serta upaya pencegahan terhadap kematian ibu.

Persoalan lain yang terus menerus menyertai perdebatan berkaitan dengan aborsi adalah mengenai batasan dlarurat, meskipun secara agama (syar’i) sangat jelas yaitu apapun yang dapat mengancam kebinasaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (ad-dlaruuriyyat al-Khamsah) disebut dlarurat. Artinya, segala situasi dan kondisi apapun yang dapat mengantarkan atau mengakibatkan pada rusaknya lima perkara tersebut dapat dilakukan meskipun harus bertentangan dengan hal-hal yang dalam situasi normal dilarang, misalnya memakan sesuatu yang diharamkan untuk obat diperbolehkan.

Dalam hal tersebut, ketika dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama membahayakan, maka dapat memilih salah satu kondisi yang tingkat bahayanya paling ringan, sebagaimana kaidah fikih mengatakan: “yang lebih ringan di antara dua bahaya bisa dilakukan demi menjaga yang lebih membahayakan (yartakibu akhaff al-dhararaiin li ittiqaa’i asyaddahuma)”.[29] Kaidah lain menyebutnya: “Jika dihadapkan pada sebuah dilema yang sama-sama membahayakan, maka ambillah risiko yang paling kecil dengan menghindari sesuatu risiko yang lebih besar (idzaa t’aaradhat al-mafsadataani ruu’iya a’dzamuhuma dhararan”.[30]

Namun pemahaman-pemahaman mengenai batasan bahaya (dlarurat) tersebut dalam hal aborsi seringkali terjebak pada ukuran-ukuran fisik, padahal dalam konteks kehidupan manusia antara fisik dan psikis itu tidak dapat dipisahkan. Seseorang yang kondisi fisiknya sehat belum tentu secara psikis sehat, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, faktor fisik dan psikis tidak dapat dipisahkan, keduanya harus menjadi ukuran dalam mempertimbangkan bahaya atau tidaknya seseorang. Termasuk di dalamnya seluruh situasi dan kondisi yang menjadi latar belakang, menjadi perantara atau penyebab yang mengantarkan terjadinya kondisi dlarurat menjadi bagian yang juga penting dianalisa dalam menetapkan hukum.

Pertimbangan-pertimbangan tersebut dalam pembentukan hukum mengenai aborsi menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mewujudkan kemaslahatan[31] terhadap ibunya, karena ibu merupakan induk (al-ashl) dari janin sehingga harus dipertahankan dan harus dilindungi. Ibu telah memiliki tanggung jawab kemanusiaan terhadap keluarganya maupun masyarakatnya. Sementara janin belum memiliki tanggung jawab apapun. Pertimbangan lainnya, kondisi yang dianggap dlarurat dan maslahat bagi seseorang belum tentu sama dengan kondisi dlarurat dan maslahat bagi orang lain. Tetapi di situlah letak keunikan fikih, bersifat relatif, memiliki fleksibilitas, sangat tergantung pada situasi dan kondisi bahkan motivasi (niat) yang melatar belakanginya, sebagaimana kaidah yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah di atas. Kaidah lain menyebutkan bahwa hukum sangat tergantung pada adanya ‘illat dan tidak adanya ‘illat (al-hukm yaduuru ma’a al-‘illah wujuudan wa-‘adaman)[32]

Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut dengan mempertimbangkan aspek-aspek kerusakan atau kemadlaratan dan kemanfaatan atau kemashlahatan baik secara fisik maupun psikis dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi KTD, maka fikih aborsi alternatif dapat dirumuskan. Hal tersebut sebagai salah satu upaya penguatan hak-hak reproduksi perempuan untuk menghindari terjadinya kematian ibu akibat aborsi tak aman. Pengertian alternatif di sini adalah sebagai pilihan terakhir bagi perempuan yang situasi dan kondisi fisik maupun psikisnya memang tidak memungkinkan kalau kehamilannya dilanjutkan. Dalam proses pengambilan keputusan tersebut harus berdasarkan pada ukuran-ukuran yang dialami oleh perempuan yang bersangkutan, bukan oleh pihak lain termasuk suami atau keluarganya bahkan tokoh agama, karena dalam KTD dia adalah pihak yang paling mengetahui tentang tubuhnya dan memiliki otonomi untuk memutuskan apakah kehamilannya dilanjutkan atau diaborsi.

Adapun fikih aborsi alternatif yang dimaksudkan sebagai solusi di sini adalah dilakukan segera setelah diketahui terjadi kehamilan, jika memungkinkan sebelum usia kehamilan melewati 8 minggu atau janin berusia 6 minggu (42 hari). Berdasarkan pertumbuhan embrio, pada kehamilan usia 0-8 minggu, proses pertumbuhannya masih berupa sel yang belum sempurna dan diduga kuat peniupan ruh belum terjadi. Kondisi embrio pada usia tersebut nyaris sama dengan yang diinformasikan hadis Nabi bahwa Allah mengutus malaikat untuk menyempurnakan proses pembentukan manusia adalah setelah embrio melewati usia 42 hari. Secara lengkap hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:


سمعت رسو ل ا لله صلي ا لله عليه و سلم يقو ل : ا ذا مر ن با لنطفة ثنتا و ا ر بعون ليلةبعث ا لله ا ليهاملكا فصو رها و خلق سمعها و بصرها و لحمها و عظا مها ثم قا ل: يا ر ب ا ذ كر ام ا نثي فيقض ربك ما شا ء و يكتب الملك –ر و ا ه مسلم-

“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda bahwa apabila nuthfah telah melewati empat puluh dua hari, Allah mengutus malaikat untuk membentuk rupanya, menjadikan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya, kemudian malaikat bertanya: Wahai Tuhanku, apakah dijadikan laki-laki atau perempuan? Lalu Allah menentukan apa yang dikehendaki, dan malaikat itupun menulisnya.” (Hadis Riwayat. Muslim).[33]


F. Kesimpulan

Berdasarkan pada hadis di atas didukung dengan kaidah-kaidah fikih, dengan mempertimbangkan pertumbuhan embrio dan hak-hak reproduksi, maka aborsi alternatif dapat dilakukan sebagai pilihan terakhir dalam kondisi dlarurat setelah upaya lain berupa pencegahan KTD tidak berhasil dilakukan. Dengan syarat, dilakukan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) profesi kesehatan serta melalui proses konseling sebelum maupun sesudah aborsi dilakukan (pre abortion and post abortion). Dengan demikian, fikih aborsi alternatif dapat mendukung upaya penguatan hak reproduksi perempuan dalam menghindari KTD maupun mencegah terjadinya kematian ibu. 


Daftar Pustaka

  • ‘Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Abi Muhammad, Al-Mughni. Cairo: Hajar, 1992, jilid 12.
  • Aiken, Lisa, To be Jewish Woman, Northhvale, New Jersey, London: Janson Aronson INC, 1992
  • Al-‘Ashimi, Abd Rahman bin Muhammad bin Qasim, Hasyiah Al-Raudhul Mufi’ Syarkh Zadil Mustaqni’. Tt., Jilid 7
  • Al-Albani. Muhammad Nashr Al-Din, Al-Mu’tamad fi fikih Al-Imam Ahmad. Daar Al-Khair, 1992. jilid 2
  • Alaudin, Imam, Al-Insyaf fi Ma’rifat al-Rajih Min al Khilaf ala Madzhab al Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut: Daar al Kukut Al-Ilmiyah. Tt
  • Al-Bahuti. Mansur bin Yunus bin Idris, Kasysyaaf al-Qinaa’ ‘an Matn al-Iqnaa’. Beirut: Alam al-Kutub, Tt.
  • Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadan, Tahdid Al-Nasl. Damaskus: Maktabah Al-Farabi, 1976.
  • Al-Dasuki. Asy-Syarkh Al-Kabir Ma’a Al-Dasuki. Jilid 2
  • Al-Ghazali,  Al-Wajiz. Beirut: Daar Al-Ma’rifah, Tt.
  • Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin dalam Al-Qashby Mahmud Zalath, Al-Islam wa Al-Thafulah. Cairo: Al-Azhar University, International Islamic Center, for Population Studies and Research, 1991.
  • Al-Hanafi, Ahmad Al-Thahthawi, Hasyiyah Al-Thahthawi’Ala ad-Dural-Mukhtaar. Beirut: Daar Al- Ma’rifah, Tt. jilid 4
  • Al-Hanafi, Muhammad bin Mahmud bin Al-Husain Ibnu Ahmad Al-Asrusyani, Jaami’Ahkaam Al-Shighaar. Daar Al-Fadhilah, Tt, jilid 1
  • Al-Hanbali. Abu Ishaq Burhanuddin Ibrahim, Al-Mubdi’ fi Syarkh Al-Muqni’. Al-Maktab Al-Islamy, Tt., jilid 8
  • Al-Hanbali. Zainuddin Muhammad bin Abdullah Al-Zaraksyi Al-Misri, Syarh Al-Zaraksyi ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi fi al-fikihii ‘Ala al-Madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal. T.t., Jilid 6.
  • Al-Juzairy, Abd. Rahman, Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Beirut: Daar Al-Fikr, Tt.
  • Al-Lusi, Abu Fadl Shihab Al-Din Sayyid Mahmud, Tt. Ruh Al-Ma’ani. Beirut: Ihya Al-Turath Al-Arabi, jilid 27.
  • Al-Maliki, Muhammad bin Alawi, Adabul Islam fi Ndzami Usrah, Jeddam Sahar, 1401 H.
  • Al-Naisabury, Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairy, Sahih Muslim. Libanon, Beirut: Daar Al-Fikr, 1992
  • Al-Nawawi,Raudlatut Thalibin. Daar l-Kutub Al-Ilmiyah,  Tt. jilid 7
  • Al-Qardawi, Yusuf, Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam. Qatar: Al-Maktab Al-Islamy, 1980
  • Al-Qurtubi. Ahmad bin Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid.  Beirut: Daar Al-Ma’rifah, 1405H.
  • Al-Ramli. Syamsuddin Muhammad bin Abi Al-‘Abbas Ahmad bin Hamzah Ibn Syihab Ad-Din, Nihayah Al-Mukhtaj ila Syarh Al-Minhaj, Maktabah Al-Islamy, Tt., jilid 7
  • Al-Suyuthi,  Al-Asybah Wa Al-Nadza’ir, Tt
  • Al-Suyuthy, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahally dan Jalaluddin Abd Rahman bin Abi Bakr, Tafsir Al-Jalalain, Surabaya: Al-Hidayah, Tt.
  • Al-Zaraksyi dalam ‘Alauddin Abi Al-Hasan Ali bin Sulaiman bin Ahmad Al-Mardaawi Al-Sa’idy Al-Hanbali, Al-Inshaaf fi Ma’rifati Al-Raajih min Al-Khilaaf ala Madzhab Al-Imaam Ahmad bin Hanbal. Beirut: Daar Al-Kutub Al-Alamiyah, 1997, jilid 10
  • Aripurnami. Sita, Hak Reproduktif Antara Kontrol dan Perlawanan: Wacana Tentang Kebijakan Kependudukan di Indonesia. Jakarta: Kalyana Mitra, 1999.
  • Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975
  • Bakr, Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi, A’laam al-Muwaqqi’iin ‘an Rabb al-‘Aalamiin. Cairo: Maktabah Al-Kulliyaat Al-Azhar, 1980, jilid 1
  • Bere. M, Making abortion safe: a Matter of Good Public Health Policy and Practice, Bulettin of the World Health Organization, 2000.
  • Bintu Syati, Aisyah, Dr. Manusia Dalam Perspektif Al-Qur’an, Terj.Ali Zawawi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999
  • Biro Pusat Statistik. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2002/2003.
  • British Journal of Obstetric and Gynaecology
  • Curtis, Glade B., Kehamilan: Apa yang Anda Hadapi Minggu Perminggu. Terj. Gianti Widianto dan Surya Satyanegara dari “Your Pregnancy Week By Week”, Jakarta: Arca, 1997
  • Darwin, Agus Dwijanto dan Muhajir (ed) Seksualitas, Kesehatan Reproduksi dan Ketimpangan Gender. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996
  • De Leon, Benjamin D., Overview of Reproductive Health in Asia and Pacific, Paper presentation of Semi-Worshop on the Follow Up of Beijing Plus Five, Jakarta 28-30 May, 2001.
  • Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Terj, Forum Ormas/LSM untuk Perempuan, Jakarta ,1994
  • Departemen Kesehatan RI, Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995, Pusdakes, 1998
  • Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, Edisi ke-2
  • Dewi, MHU, Aborsi: Pro dan Kontra di Kalangan Petugas Kesehatan, 1997, dalam Budi Utomo dan Siti Rokhmawati Darwis, “Perempuan dan Kesehatan”, Jakarta, 2001  
  • Djaya, dkk, Profil Kesehatan Perempuan Indonesia. Fact Sheet. Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan dan Yayasan Mitra Inti, 2001.
  • Djohan, Eniarti, et al., Sikap Tenaga Kesehatan terhadap Aborsi di Indonesia. Jakarta: CV Jasa Usaha Mulia, 1996.
  • Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, 2004.  
  • Draft Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU KDRT). 2004
  • Ebrahim. Abu Fadl Mohsin, Aborsi, Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan. Bandung: Mizan, 1998, cetakan ke 2
  • Ensiklopedi Indonesia I, Aborsi, Jakarta: Ikhtisar Baru Van Hoeve, 1980
  • Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakara: Pustaka Pelajar, 1997
  • Fifth Asian and Pacific Population Conference Country Report: Indonesia, 2002.
  • Gilligan, Carol, In A Different Voice: PsychologicalTheory and Women’s Development, 1882. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh A. Sonny Keraf, Dalam Suara Yang Lain. Jakarta: Pustaka Tangga, 1997.
  • Glorier Incorporated Danbury, Connectitut. Tt.
  • Hak Asasi Perempuan, Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Jakarta, 2004.
  • Harb, Ali, At-Ta’wil wa al-Haqiiqah: Qira’at Ta’wiliyyah fi ats-Tsaqaafah al-‘Arabiyah. Terj. Sunarwoto Dema, Hermeneutika Kebenaran, Yogyakarta: LKIS, 2003
  • Hardon, Anita, A Review of National Family Planning Policies: Reproduktive Rights in Practice A Feminist Report on The Quality of Care. London: Zed Books Ltd,
  • Hasan, M. Ali, Masa’il Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah kontemporer Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1998
  • Hasyim, Syafiq, Menakar Harga Perempuan, Bandung: Mizan, 1999
  • Herdayati, Mila, Karakteristik Klien Aborsi di Klinik Pemerintah dan Swasta di Jakarta tahun 1997-1997, Jakarta:Population Council, Oktober 1998.
  • Hoesen, Ibrahim, Fikih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Thalaq, Rujuk dan Hukum Kewarisan. Jakarta: Balai Penerbitan dan Perpustakaan Islam Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, 1971
  • Humm, Maggie, Ensiklopedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.
  • Ibnu Abidin. Tt. Hasyiyah Rad al-Mukhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar. Beirut: Daar al-Fikr, jilid 2
  • Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Beirut: Dar al Afaq Al-Jadilah, tth, Juz XI
  • Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz VII, Riyadh: Maktabah Al-Riyadh Al-Haditsah.
  • IPPF Charter on Sexual and Reproductive Rights, dalam “The State of World Populatio”, Box 8 Reproductive Health and Human Rights, 1997
  • Ismail. Martha S., Promosi Kesehatan Reproduksi: Pencegahan Kehamilan yang Tidak Diinginkan/ Kehamilan yang Tidak Direncanakan.
  • Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Rencana Pembangunan Lima Tahun keenam 1994/1995-1998-1999
  • Kelompok Kerja Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, Hak Azasi Perempuan: Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004
  • Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP), RAN-PKTP Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: KPP dan UNFPA, 2003
  • Khallaf. Abdul Wahab, Kaidah-kaidah hukum Islam (Ushul Fiqh). Bandung: Penerbit Risalah, 1985.
  • Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
  • Komnas Perempuan. Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia. Jakarta: Komnas Perempaun, 2002.
  • Landasan Aksi dan Deklarasi Beijing, Forum Komunikasi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Perempuan dan Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK). 1997
  • Lembar Info, Aborsi dan Hak Atas Pelayanan Kesehatan, Jakarta: LBH APIK, Seri 32
  • Luce Irigaray. Thinking the Difference: For a Peaceful Revolution. Diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh Karin Montin. London: The Athlone Press, 1989.
  • Mahfudz, Sahal, KH. Fikih Sosial: Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji. Pidato Promovendus untuk memperoleh Gelar Doktor Honoris Causa di UIN Sayrif Hidayatullah. Jakarta, 12 Juni 2003
  • Majlis Tarjih, Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, pada Muktamar Tarjih XXII di Malang, 1989.
  • Majlis Ulama Indonesia, Keputusan MUNAS VI MUI, 2000.
  • Merriam Webster, Webster’s Ninht New Collegiate Dictionary
  • Muhsin. Amina Wadud, Wanita Dalam Al-Qur’an. (terj.) Yaziar Radianti. Bandung: Pustaka, 1994.
  • Munas Ulama Nahdlatul Ulama, Keputusan dan Rekomendasi Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama. Jakarta, 25-28 Juli 2002.
  • Murata, Sachiko, The Tao of Islam. terj. Rahmani Astuti dan Nasrullah, Bandung:Mizan, 1996, cet. II
  • Muslim, Imam, Shahih Muslim. Beirut: Daar Al-Fikr, 1992, jilid 2
  • Neil, Wendy Rose, (ed), Panduan Lengkap Perawatan Kehamilan, terj. Harmiel M. Soekardjo, Jakarta: Dian Rakyat, 1995
  • Newlan, Erik Eckholm dan Kathleen, Wanita, Kesehatan dan Keluarga Berencana, Terj. Masri Maris dan Ny. Sukarto, Jakarta: Sinar Harapan, 1984
  • Puan Amal Hayati. Laporan Internal Divisi Pendampingan Puan Amal Hayati tahun 2002.
  • Raggers, Pinar Senlet, Sian L. Curtis, Jill Mathis, and Han, The Role of Changes in Contraceptive Use in The Decline of Induced Abortion in Turkey. Jurnal Studies In Family Planning, 2001, volume 32, number 1, March.
  • Rajan. Rieny H. Hardjono dan Rashmi Pachauri, Adolescent Reproductive Health for Parent. Jakarta: Population Council, 1998.
  • Ramali, Med Ahmad, Dr. K. St Pamentjak, Kamus Kedokteran, Jakarta: Djambatan,1995, edisi revisi.
  • Rawwas. Muhammad, Mausu’ah fikih Ibrahim Al-Nakha’i , Tt.
  • Republika, 24 Oktober 2000
  • Roth, Emilie Buchwald, Pamela Fletcher, dan Martha, (eds.), “Transforming a Rape Culture” dalam Gadis Arivia. Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Indonesia.
  • Sadli. Saparinah, RUU Kependudukan Tidak Sejalan dengan Hasil ICPD. Kompas, Senin 1 Maret 2004
  • Saleh, Qamaruddin, K.H. Asbabun Nuzul. Bandung: CV Diponegoro, Tt.cetakan ke 3
  • Sarwono. 1997, Biran Afandi dan Sarsanto, Keluarga Berencana dan Aborsi dalam Keluarga Berencana dari Perspektif Perempuan. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan The Ford Foundation
  • Schneider, Susan Weidman, Jewish and Female, Choice and Changes, New York, Simon and Scuster, 1984
  • Serour, Gamal L, Population Science, Kairo: Al Azhar University, International Islamic Center for Population Studies and Research, 1996. vol 16/Juli
  • Shadily, Jhon M Echols dan Hasan, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1987
  • Shihab, M. Quraish, Ensiklopedi Al-Qur’an Kajian Kosakata dan Tafsirnya. Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997
  • Silawati. Hartian, Menggagas Women’s Crisis Center di Indonesia. Yogyakarta: Rifka Al- Nisa, 2001.
  • Smith, Tony, (penyunting), Pertolongan Pertama: Dokter di rumah Anda, terj. Harmiel M. Soekardjo   Jakarta: Dian Rakyat
  • STD, Rev. Gennaro P. Aveento, Sexuality a Christian View, Toward Formation of Mature Values, 1982
  • Sugandhi, Mien, Sambutan dalam buku The Life Saver: The Mother Friendly Movement in Indonesia, 1997  
  • Sulaiman, Jaml Fath Al-Wahab ,Cairo: Daar Al-Ihya, tt, jilid 4
  • Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1987
  • Susilo, Zumrotin, K., Hak-hak Konsumen KB dalam Keluarga Berencana dari Perspektif Perempuan. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan The Ford Foundation, 1995.
  • Syaltut, Mahmud, Al-Fatawa, Kairo: Daar Al-Qalam, tt, Cet.ke-3
  • Taher. Mursyidah, Aborsi dalam Tinjauan Fikih dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta: IIQ, 2002.
  • The Alan Guttmacher Institute (AGI), “Sharing Responsibility: Women, Society and Abortion Worldwide”, New York: AGI
  • The Detroit News, How Some Religious View Abortion, 19 Januari 1998
  • Tong. Rosemarie Putnam, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Colorado, USA: Westview Press, 1998.
  • TW, Sadler, Ph.D, Medical Embryology. Baltimore, USA: William and Wilkins, 1995, edisi ke 7
  • Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
  • Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
  • Undang-Undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita serta Penjelasannya. Jakarta: 1993.
  • UNFPA, Rencana Kerja ICPD, 1994  
  • UNFPA, Ringkasan Program Aksi Konperensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan, Jakarta; UNFPA, 1994.
  • UNFPA, State of The World Population Report, dalam Benjamin D. De Leon. Overview of Reproductive Health in Asia and Pacific. Paper on the Semi-Worshop on The Follow up of Beijing Plus Five, Jakarta, 28-30 May 2003.
  • Utomo, Budi, et al, Insiden Dan Aspek Psiko-Sosial Aborsi di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK-UI) dan UNFPA, 2001.
  • Utomo, Budi, et.al, Angka Aborsi dan Aspek Psiko-sosial di Indonesia: Studi di 10 Kota Besar dan 6 Kabupaten. Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, 2002
  • Wanita dan Kesehatan. Jakarta: Kelompok Kerja Convention Watch Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia, 1998.
  • WHO, Revised 1990 Estimates of Maternal Mortality: A New Approach by WHO and UNICEF. Geneva: WHO 1997 dalam Keselamatan Ibu : Keberhasilan dan Tantangan. Jurnal Out Loock, Volume 16/ Januari 1999
  • Wibowo, Adik, Prof. Dr., MPH, Medika - Edisi 10/XXIV - Oktober 1998
  • Widyantoro, Ninuk, Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan yang Aman Berbasis Konseling. Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan, 2003.
  • Wigoder, Geoffy, The Encyclopedioa of Judaisme, The Jerusalem Publihing House, 1989
  • Wollstonecraft. Mary, “A Vindication of the Right of Women” dalam Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought A More Comprehensive Introduction. Colorado: Westview Press
  • Yasin. M. Nu’aim, Fikih Kedokteran. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001.
  • Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan Yayasan Mitra Inti. Fact Sheet Fakta Mengenai Aborsi Tak Aman, 2001.
  • Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Laporan Penelitian Penghentian Kehamilan Tidak Diinginkan yang Aman Berbasis Konseling di 9 kota Besar, 2003
  • Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Notulasi pertemuan antara YKP dan sejumlah LSM peduli kesehatan reproduksi dengan MUI, di kantor MUI, tanggal 20 Januari 2004.
  • Yayasan Kesehatan Perempuan dan Yayasan Mitra Inti. 2001
  • Zalath, Al-Qashby Mahmud, Dr., Al-Islam wa Al-Thafulah dalam Al-‘Ulum Al-Sukkaniyah. Cairo: Jami’ah Al-Azhar, 1991. Vol. 10.
  • Zoja,  Eva Pattis, Abortion: Loss and Renewal in The Search For Identity. London: Routladge, 1995
  • Zuhdi, Masyfuk, Masa’il Fiqhiyah, Jakarta: Haji Masagung


Makalah dan Artikel

  • Fayumi, Badriyah, Aborsi dalam Perspektif Islam, makalah tahun 2001
  • Forum Kesehatan Perempuan, Lembar Informasi, tt.
  • Wignjosastro. Gulardi H., Masalah Kehidupan dan Perkembangan Janin. Makalah Semiloka Aborsi dari Perspektif Fikih Kontemporer. Jakarta 27-28 April 2001. PP Fatayat NU kerjasama dengan The Ford Foundation.
  • Wignjosastro. Gulardi H., Prof. Dr., Masalah Kesehatan Perempuan Akibat Reproduksi, Makalah seminar Penguatan Hak-Hak Reproduksi, Jakarta: Fatayat Num 01 September 2001  
  • Jamil, H. Hamdani, Aborsi dalam Perspektif Islam, Makalah, tahun 1999
  • Harkrisnowo, Harkristuti, Pengguguran Kandungan dalam Perspektif Hukum, Seminar dan Lokakarya Aborsi dari Perspektif Fikih, Jakarta: Fatayat NU, 27 April 2001  
  • Muhammad, Husein, Aborsi dalam Perspektif Fikih Kontemporer. Seminar dan Lokakarya Aborsi oleh PP Fatayat NU. Jakarta, 27 April 2001.
  • Yanggo, Huzaimah Tahido, Prof. Dr. Aborsi Ditinjau dari perspektif Agama, makalah seminar dan lokakarya Aborsi dari Perspektif Fiqh Kontemporer, Jakarta: Fatayat NU, 27 April 2001    
  • IPPF Charter on Sexual and Reproductive Rights, dalam The State of World Population. 1997. Box 8 Reproductive Health and Human Rights.
  • Natsir, Lies Marcoes, Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan Seksual Dalam Perspektif Perempuan, Seminar Nasional: Islam, Seksualitas dan Kekerasan terhadap Perempuan, Yogyakarta, 29 Juli
  • Budiharsana. Meiwita, Tinjauan Umum Kesehatan Reproduksi. Makalah disajikan pada Pelatihan Pemberdayaan Hak-Hak kesehatan Reproduksi Perempuan. PP. Fatayat NU. Jakarta, 20 Juli 1998.
  • Umar, Nasaruddin, Prof. Dr. Aborsi Dalam Perspektif Islam, Makalah tahun 2001
  • Umar, Nasaruddin, Prof. Dr. Aborsi Dalam Pandangan Agama-Agama Samawi. Lokakarya “Aborsi Ditinjau dari Perspektif Fikih Kontemporer, PP Fatayat NU, Jakarta, 27 April 2001  
  • Widyantoro, Ninuk, Konstruk Seksualitas dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Kajian Negara tentang Program Keluarga Berencana, Seminar: Islam, Seksualitas dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga,26-29Juli 2000
  • Puspitawati. Rina Oktaviani dan Eka, Analisis Biaya Pada Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan. Makalah Diskusi Kelompok Terfokus Urgensi Anggaran untuk Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Komnas Perempuan dan Forum Parlemen Indonesia 31 Januari 2003.
  • Widyantoro. Sarsanto W. Sarwono dan Ninuk, Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan Berbasis Konseling, Aspek Medik dan Psikologi. Diskusi Aborsi yang Aman dan Kehamilan yang Tidak Diinginkan PP. Fatayat NU, Jakarta, 18 Juni 2003.
  • Aslim, Setiawan, Dr. Aborsi Ditinjau Dari Sudut Medik, Majalah KAIROS: HUMAS UKRIDA, 17 Januari 1998
  • Sumapraja, Sudraji, Prof. Dr. dr. Fakta Tentang Keamanan Pengakhiran Kehamilan, Lokakarya Aborsi dari Perspektif Fikih Kontemporer, Jakarta : Hotel Indonesia, 27 April 2001
  • United Nations Population Fund (UNFPA). Ringkasan Program Aksi ICPD,1994.


Internet

  • Aslim, Setiawan, Dr., Aborsi Ditinjau Dari Sudut Medik, 17 Januari 1998, Majalah KAIROS HUMAS UKRIDA
  • Darmaputera, Eka, Pendeta GKI Bekasi Timur ini. BPK Penabur KPS Jakarta. Copyright © 1996
  • Chabalewski. Jacqueline Sullivan, Debbie L. Seem, and Franki, Determining Brain Death. (www.aacn.org, 5/25/2004)
  • Budiman, Leila Ch., Trauma Perkosaan.Artikel, 2004  
  • Wawancara JIl dengan Penulis, Reproduksi Perempuan, 13 Desember 2004
  • www. British Journal of Obstetric and Gynaecology.org
  • www. We affirm.html.


Wawancara

  • Muhammad, Husein, Wawancara di kediamannya, komplek Pesantren Daar Al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon, pada tanggal 22 Mei 2004.
  • Prof. Dr. Gulardi H. Wignjosastro. Wawancara pada tanggal 26 Mei 2004, bertempat di ruang kerjanya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
  • Ninuk Widyantoro, Wawancara pada tanggal 24 Juni 2004 bertempat di Kantor Yayasan Kesehatan Perempuan, Jakarta.
  • Ibu Asih (samaran) dalam Laporan Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan (LKP 2) Fatayat NU Tangerang. 2000.
  • Ibu Rumi (samaran) pasien di salah satu klinik swasta di Jakarta, Wawancara dilakukan pada tanggal 21 Mei 2004.
  • Ibu Tira (samaran) salah satu pasien aborsi di klinik swasta di Jakarta, usia 34 tahun, karyawati, memiliki 2 anak, tinggal di Citayam, Depok. Wawancara pada tanggal 21 Mei 2004.
  • Ibu Wida (samaran), pasien aborsi di klinik swasta di Jakarta, usia 23 tahun, belum bekerja, tinggal di Perumahan LIPPO Cikarang. Wawancara dilakukan pada tanggal 21 Mei 2004, di klinik tersebut.

Footnote

  1. Ketua Umum Pucuk Pimpinan Fatayat NU.
  2. Budi utomo dkk. 2002. Angka Aborsi dan Aspek Psiko-sosial di Indonesia: Studi di 10 kota Besar dan 6 kabupaten. Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, hal. 7.
  3. WHO dalam Gulardi Wignyosastro. Masalah Kesehatan Perempuan Akibat Reproduksi. Makalah Seminar Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, diselenggarakan PP Fatayat NU, pada 1 September 2001.
  4. The Alan Guttmacher Institute (AGI), “Sharing Responsibility: Women, Society and Abortion Worldwide”, New York: AGI, p. 35, dalam Martha S. Ismail. Promosi Kesehatan Reproduksi: Pencegahan Kehamilan yang Tidak Diinginkan/ Kehamilan yang Tidak Direncanakan.
  5. Raad al-Mukhtar. Jilid 2 hal. 411.
  6. Ibnu Abidin. Tt. Hasyiyah Rad al-Mukhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar. Beirut: Daar al-Fikr, jilid 2 hal. 302.
  7. Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah. Tt. Al-Mughni. Cairo: Hajar, jilid 12, hal. 210.
  8. Al-Ghazali. Tt.  Al-Wajiz. Beirut: Daar Al-Ma’rifah, hal. 158.
  9. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairy Al-Naisabury. 1992. Sahih Muslim. Libanon, Beirut: Daar Al-Fikr, hadis nomor 2643, jilid 2, hal. 549.
  10. Ibid, hadis nomor 2645, hal. 550.
  11. Quraish Shihab. 1997. Ensiklopedi Al-Qur’an Kajian Kosakata an Tafsirnya. Jakarta: Yayasan Bimantara, hal. 210.
  12. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahally dan Jalaluddin Abd Rahman bin Abi Bakr Al-Suyuuthy. Tt. Tafsir Al-Jalalain. Surabaya: Al-Hidayah, hal. 1617.
  13. Gulardi H. Wignjosastro. Wawancara pada tanggal 26 Mei 2004, bertempat di ruang kerjanya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
  14. Abdul Wahab Khallaf. Kaidah-kaidah hukum Islam (Ushul Fiqh). Bandung: Penerbit Risalah, 1985, hal. 44.
  15. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairy Al-Naisabury. 261 H. Shahih Muslim. Beirut: Daar Al-Fikr, 1992, jilid 2, hal. 123, hadis nomor 15.
  16. Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakr. 1980. A’laam al-Muwaqqi’iin ‘an Rabb al-‘Aalamiin. Cairo: Maktabah Al-Kulliyaat Al-Azhar, jilid 1, hal. 202. Lihat juga Ibrahim Hoesen, Fikih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Thalaq, Rujuk dan Hukum Kewarisan. Jakarta: Balai Penerbitan dan Perpustakaan Islam Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, 1971, hal. 4.
  17. Abdul Wahab Khallaf. Op cit, hal. 17.
  18. Ijtihad secara bahasa berarti kesungguhan, menurut istilah ulama ushul dalam Abdul Wahab Khallaf adalah mencurahkan daya kemampuan secara sungguh-sungguh untuk mengeluarkan hukum Islam (syari’ah) dari dalil-dalil agama (syara’) secar rinci.
  19. Abdul Wahab hallaf. Op cit, hal. 18.
  20. Ibid, bagian kedua, hal. 137.
  21. Ash Shiddieqy, Hasbi. Op cit, hal. 177.
  22. Franz Magnis-Suseno. 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, hal. 130-134.
  23. Sahal Mahfudh, M.A. 2003. Fikih Sosial: Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Madzhab Manhaji. Pidato Promovendus pada Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Fikih Sosial di UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta, 18 juni. Jakarta: Universitas Islam Negeri, hal. 18.
  24. Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakr (terkenal dengan panggilan Ibnu Qayyim Al-Juuziyyah). 1980. ‘Alaam al-Muwaqqi’iin ’an Rabbi al-‘Alamiin. Cairo: Mathabi’ Al-Islam, jilid 3, hal. 3.
  25. Budi Utomo. Op cit,  hal. 30.
  26. Ninuk Widyantoro. 2003. Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan yang Aman Berbasis Konseling. Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan.
  27. WHO dalam Gulardi Wignyosastro. Masalah Kesehatan Perempuan Akbat Reproduksi, Makalah Seminar Penguatan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, PP Fatayat NU dan Ford Foundation, Jakarta, 1 September 2001.
  28. Pasal 15, ayat 1: Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Ayat2: Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan: a) berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut. b) Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli. c) Dengan pesetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarga. d) Pada sarana kesehatan tertentu. Ayat 3: Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
  29. Abdul Wahab Khallaf. Op cit, hal. 151.
  30. Al-Suyuthi. Tt.  Al-Asybah Wa Al-Nadza’ir, hal. 62.
  31. Pengertian maslahat adalah mengambil kemanfaatan dan menolak bahaya (jalbul manfa’ah wa daf’ul madlaarah).
  32. Sulaiman, Jaml Fath Al-Wahab (Cairo: Daar Al-Ihya, tt), jilid 4, hal. 183.
  33. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairy Al-Naisabury. 1992. Shahih Muslim. Beirut: Daar Al-Fikr, hadis 2645, jilid 2, hal. 550.