Mu’asyarah bil Ma’ruf
Mu’asyarah berasal dari kata عَاشَرَ (‘aasyara) yang berarti bergaul atau berteman.[1] Bil ma’ruf artinya dengan baik, patut, atau layak. Jika digabung kalimat mu’asyarah bil ma’ruf berarti bergaul dengan cara yang patut. Istilah ini diambil dari firman Allah swt:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa. Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.” (HR. An-Nisa: 19)
Dari segi bahasa, kalimat عَاشَرَ (‘aasyara) merupakan fi’il tsulatsi mazid dengan huruf alif. Penambahan huruf alif ini memiliki fungsi khusus dalam pemakaian bahasa Arab. Salah satunya adalah lil musyarakah bainal itsnain atau interaksi antara dua orang. Itu artinya, mu’asyarah mengandung arti kesalingan antara kedua belah pihak. Keduanya menjadi objek sekaligus objek interaksi dalam satu waktu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa mu’asyarah bil ma’ruf artinya bergaul dengan saling memberi perlakuan yang patut satu sama lain.
Mu’asyarah bil ma’ruf merupakan pondasi dalam membangun dan menjalankan relasi keluarga yang bahagia. Dalam perspektif Qiraah Mubadalah, terdapat lima pilar penyangga kehidupan rumahtangga yang harus dicapai bersama oleh pasangan suami istri demi mewujudkan kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Pertama, selalu mengingat bahwa pernikahan adalah mitsaqan ghalidzan (ikatan dan komitmen yang kuat) antar pasangan, antar keluarga, antara hamba dan Tuhan-Nya. Kedua, memegang teguh prinsip kesalingan dan tak boleh ada yang mendominasi. Ketiga, mu’asyarah bil ma’ruf yakni dengan saling memperlakukan pasangan dengan cara yang santun, baik, dan layak. Keempat, musyawarah yakni senantiasa bertukar dan meminta pendapat satu sama lain. Kelima, taradhin yakni saling meridhoi, saling menerima dan nyaman satu sama lain.[2]
Mengomentari landasan mu’asyarah bil ma’ruf di atas, Dr. Nur Rofi’ah menuliskan bahwa akhir ayat tersebut mengandung sebuah solusi yang revolusioner bagi perempuan yang kala itu menjadi korban kebencian kolektif akibat cara pandang yang merendahkan perempuan yang diwariskan secara turun temurun oleh sistem patriarki.[3] Ya, bersabar adalah tindakan pasif untuk menahan diri dari menyakiti perempuan yang merupakan sebuah sifat halim. Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali menegaskan bahwa belum bisa disebut berakhlak baik kepada perempuan hanya dengan mencegahnya terluka atau tersaikiti, akan tetapi barulah disebut berakhlak baik dengan meringankan beban yang menyakitinya dan bersikap halim di kala ia ceroboh dan kesal. Begitulah teladan yang diberikan oleh Rasulullah.[4]
Hal yang paling penting dari semua masalah mu’asyarah bil ma’ruf menurut Buya Husein Muhammad ialah bahwa di antara suami dan istri haruslah memiliki pandangan yang sama tentang kesetaraan manusia. yang satu tidak mensubordinasi yang lainnya. Al-Quran telah menyatakan secara tegas tentang hal ini:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Hai manusia, Aku jadikan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Aku jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya, yang paling mulia di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu...” (QS. Al-Hujuraat: 13).[5]
Penulis: Nurun Sariyah
- ↑ Larrouse, Munjid fi Al-Lughoh wa Al-A’lam, Daar El-Machreq, Beirut, 2005, hal. 507
- ↑ Faqihuddin Abdul Kodir, Qira’ah Mubadalahi, IRCiSoD, Yogyakarta, 2019, hal. 343-357
- ↑ Nur Rofi’ah, Nalar Kritis Muslimah, Afkaruna.id, Bandung, 2020, hal. 158-159
- ↑ Yusuf Al-Qardhawi, Fatawa Mu’ashirah, Maktabah Syamilah 10000 (16 GB) Ust. Ahmad Zainuddin, Lc, juz 1, hal. 396
- ↑ Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, IRCiSoD, Yogyakarta, 2020, hal.236-237