Hasil Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia Ke-2

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

TASHAWWUR (Deskripsi)

Perempuan merupakan kelompok yang paling dirugikan dan mengalami kerentanan berlapis dalam praktik kekerasan atas nama agama yang secara nyata mengancam ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pandangan keagamaan yang ekstrem merusak dan membahayakan NKRI, di antaranya karena cenderung melegitimasi posisi perempuan sebagai jenis kelamin kedua yang inferior atau subordinat, dan marginal. Kemanusiaan perempuan tidak diperhitungkan karena tubuh dan ketubuhan perempuan dilihat sebagai sumber fitnah.

Sementara itu, struktur sosial yang masih melemahkan perempuan mengakibatkannya berada dalam kerentanan berlapis melalui empat posisi yang berbeda: kelompok rentan, terpapar, pelaku, dan terdampak. Padahal, secara nyata, perempuan memiliki pengalaman khasnya yang berbeda dari laki-laki, sekaligus memiliki kekuatan, yang telah dan bisa menjadi komponen penting dalam upaya menjaga dan merawat NKRI. Peminggiran perempuan dalam kerja-kerja kebangsaan ini, tidak hanya menambah kerentanan dan dampak buruk bagi mereka, melainkan juga secara lebih luas mengancam ketahanan bangsa itu sendiri.

Pada sisi lain, NKRI dengan falsafah Pancasila telah diterima umat Islam Indonesia sebagai bagian kesepakatan bangsa yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi dari segala ancaman. NKRI adalah rumah besar bagi semua warga, termasuk umat Islam, yang memungkinkan mereka bisa hidup aman, damai, terlindungi, bisa beribadah secara merdeka, bekerja dan bersosialisasi, baik dalam ranah keluarga maupun masyarakat. Segala yang mengancam keutuhan NKRI juga akan mengancam seluruh warganya, termasuk umat Islam. Saat ini, banyak sekali provokasi kekerasan yang mengatasnamakan agama, yang tidak hanya akan meruntuhkan NKRI, tetapi juga berdampak bahaya bagi segenap warganya. Tak terkecuali para perempuan, yang bisa rentan, terpapar, bahkan menjadi pelaku kekerasan itu sendiri.

Dalam gerakan dan tindakan kekerasan berbasis agama, posisi perempuan sebagai kelompok rentan terjadi karena sistem sosial yang ada menyulitkan perempuan terhindar dari jerat pemahaman agama yang ekstrem. Kerentanan ini didasarkan pada jenis kelamin dan peran gender yang melekat pada perempuan. Konsep kepatuhan perempuan pada ayah, misalnya, telah digunakan untuk memaksa anak perempuan menjadi bagian dalam kegiatan-kegiatan ekstremisme dan kekerasan berbasis agama. Begitu pun kepatuhan total istri pada suami bisa dimanfaatkan secara leluasa bagi laki-laki untuk menuntut istri melahirkan anak dalam jumlah banyak untuk dipersiapkan, dan atau dia sendiri yang bersedia, untuk melakukan amaliyah kekerasan berbasis agama (Azca & Putri, 2021).

Situasi ini diperburuk dengan ketergantungan ekonomi perempuan pada laki-laki. Selain itu, konstruksi gender membatasi akses literasi perempuan dan menguatkan praktik marginalisasi pengetahuan perempuan. Akibatnya, perdebatan isu-isu agama melemahkan posisi perempuan yang berpandangan berbeda, terutama saat dialog keagamaan terjadi dalam relasi kuasa yang timpang; seperti relasi guru-murid, ulama-santri, dan aktivis senior-junior, pengurus-anggota, dan lainnya. Meski ingin menolak, perempuan tidak mudah melakukan resistensi. Ia malah perlahan terlibat dan terindoktrinasi. Kesadaran tentang kerentanan perempuan dalam relasi gender ini telah menjadi salah satu strategi kelompok ekstremis melalui cara-cara perkawinan dan citra istri jihadis (Azca & Putri, 2021).

Dalam konteks yang berbeda, kelompok yang rentan terjerat ekstremisme juga penting dilihat pada penduduk muslim muda Indonesia Gen Z. Mereka yang lahir pada kisaran tahun 1995 sampai 2000an ini memiliki kecenderungan untuk mempelajari Agama Islam di luar pendidikan formal (Nisa, 2018). Survei PPIM tahun 2017 menunjukkan bahwa pada level opini, siswa Gen Z Indonesia cenderung memiliki pandangan keagamaan yang intoleran, terhadap internal (51,1%), eksternal (34,3%), bahkan memiliki opini radikal (58,5%). Secara aksi, yang memilih aksi radikal (7%), intoleran pada eksternal (17,3%), dan intoleran pada internal (34,1%) yang cukup tinggi (Nisa, et. all., 2018).

Di samping itu, interpretasi agama yang berbeda dari pandangan mayoritas dipandang sesat, menodai agama, dan dilekatkan dengan stigma buruk sehingga menjadi pembenaran atas perilaku intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas (Setara Institute, 2022). Di ranah digital, terjadi tren peningkatan ujaran kebencian berdasar isu SARA dan politik identitas yang cukup tinggi (62%), dibanding status sebagai penyandang disabilitas (23%) dan terkait gender (15%) (Simanjuntak, 2022).

Realitas ini bisa mengantar banyak orang menjadi kelompok terpapar ekstremisme agama yang menggunakan cara-cara kekerasan. Pada konteks ini, perempuan sebagai kelompok terpapar akan menjadi pintu masuk yang dengan mudah mengantarkan perempuan dalam peran-peran strategis melawan keutuhan NKRI. Pada kelompok terpapar, pemikiran, pemahaman, dan cara pandang keagamaan yang ekstrem telah terinternalisasi dalam diri perempuan dan menjadi etika hidup yang terefleksi dalam sikap dan perilaku. Dogma yang telah terbangun dalam nilai-nilai keagamaan yang diimani perempuan mengakibatkan perempuan kehilangan otonomi atas tubuh dan kehidupannya. Perempuan lebih mudah diatur, disembunyikan, atau ditampilkan dalam kerangka kepentingan gerakan ekstremisme dan semakin mudah mengarah pada praktik perlawanan pada dan penghancuran NKRI.

Ketika pandangan keagamaan yang terdogma menempatkan suami sebagai sumber kebenaran, maka perempuan yang terpapar akan semakin mudah ditarik sebagai pelaku tindakan ekstrem berkekerasan. Perkembangan peran perempuan terlihat pada posisi perempuan sebagai pelaku.

Dalam 20 tahun terakhir, perempuan terlibat aktif sebagai bagian dari pelaku tindakan ekstrem dan teror atas nama agama dengan tren jumlah yang meningkat dari tahun ke tahun. Data Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menunjukkan di tahun 2000-2005, terdapat seorang ekstremis agama perempuan, dan bertambah menjadi 3 di tahun 2006-2010. Lima tahun berikutnya, 2011-2015, terdata 4 ekstremis agama perempuan dan meningkat tajam di rentang 2015- 2020 menjadi 34 perempuan (Pusparia, 2021).

Sejumlah nama seperti Puji Kuswati, Tri Ernawati dan Sari Puspitasari di Jawa Timur yang membawa serta anak-anaknya (IPAC, 2018), Marnita alias Solimah dan R di Sibolga (Hantoro, 2019), Umi Hamid yang dua kali tertangkap dan dipenjara di Sentul (IPAC, 2020), Zakiyah Aini di Mabes Polri (Arbi, 2021) merupakan realitas nyata perempuan bertindak sebagai aktor utama. Selain sebagai pelaku kekerasan atas nama agama, perempuan juga menjalani peran-peran strategis lain, seperti sebagai fasilitator, perekrut, perawat, penggalang dana dan kurir. Mereka mengembangkan narasi tentang perempuan sebagai pembangun umat, wakil Islam, dan penjaga kekhalifahan (Termeer & Duyvesteyn, 2022).

Selain posisi perempuan sebagai kelompok rentan, terpapar, dan pelaku; mereka juga bisa masuk dalam kelompok terdampak yang tidak memperoleh perhatian cukup dari para pihak. Sebagai terdampak, perempuan akan mengalami kerugian akibat tindakan kekerasan atas nama agama yang dilakukan orang lain, baik orang-orang terdekat yang memiliki hubungan darah dan perkawinan, maupun kelompok masyarakatnya. Sebagai contoh, seorang istri teroris yang tidak mengetahui tindakan kekerasan yang dilakukan suaminya akan serta merta mengalami stigma buruk saat suaminya tertangkap, bahkan ditolak, dipersekusi, dan diusir dari lingkungan tempat tinggalnya. Perempuan kehilangan akses dan sumber penghidupannya untuk tindakan yang tidak pernah dilakukan. Perempuan sebagai kelompok terdampak ini merupakan refleksi atas relasi kuasa yang timpang dan posisi inferioritas perempuan sehingga “istri tidak boleh tahu urusan suami” atau sebaliknya, “segala urusan istri harus mendapat izin dan kendali suami” (Azca dan Putri, 2021).

Di samping gambaran di atas, penting melihat sisi lain pada perempuan yang justru berada dalam posisi sebaliknya. Yaitu sebagai pelaku aktif perdamaian dan kohesi sosial akibat konflik. Kekuatan, kepedulian, dan solidaritas antar perempuan menjadi landasan yang menguatkan kerja-kerja kemanusiaan dan perdamaian, terutama pada berbagai tindak kekerasan atas nama agama dan budaya di Indonesia. Perempuan mampu menjadi navigator sosial dalam memutus mata rantai ekstremisme dan upaya pencegahan ekstremisme di lingkungannya (Azca, et. all., 2021). Realitas bahwa banyak perempuan telah mengambil peran penting dalam menjaga kesatuan Negara Republik Indonesia, baik sebagai mediator, fasilitator, konselor, atau bahkan sebagai lokomotif penggerak resolusi konflik tidak terbantahkan. Perempuan atas insiatif diri atau kelompoknya telah terjun langsung demi mencegah disintegrasi bangsa, dengan ragam pendekatan, baik melalui pendidikan, ekonomi, keagamaan, dan budaya.

Di bidang pendidikan, nama-nama seperti Lian Gogali dan Roswin Wuri di Poso, Lutfiah dari Jember, Suraiya Kamaruzzaman dari Aceh, Wiwik Wulandari dari Yogyakarta, Umi Khulsum di Jakarta, Istiqomah dari Wonosobo, adalah sedikit dari banyak nama yang mengembangkan sekolah perempuan untuk perdamaian. Sekolah perempuan diciptakan sebagai ruang yang menguatkan peran-peran perempuan sebagai aktor-aktor yang secara sengaja melakukan intervensi untuk menemukan solusi atas konflik, terutama konflik antar umat beragama. Pengetahuan tentang bina damai dan keterampilan untuk menjadi mediator perdamaian diberikan kepada perempuan, baik pada perempuan muslim dan non muslim.

Melalui isu ekonomi dan budaya, dapur dan pasar sebagai ranah yang sangat dekat dengan aktivitas perempuan menjadi strategi yang digunakan perempuan dalam kerangka menjaga NKRI. Di Ambon, misalnya, mama-mama Papalele yang secara budaya dilakukan perempuan untuk menopang ekonomi keluarga telah menjadi ruang perjumpaan bagi perempuan. Realitas ini menjadi sumber daya perdamaian yang potensial dalam menekan konflik dan menjaga kesatuan bangsa dari risiko perpecahan yang berkepanjangan, sebagaimana pada saat konflik terjadi di Haria-Porto (Latupeirissa, 2021) dan konflik Ambon (Talakua, 2017). Ruang sosial khas perempuan yang dijadikan sebagai ruang perjumpaan antar perempuan untuk kepentingan resolusi konflik terbukti mampu mengurai ketegangan antar umat beragama yang telah terjadi sekian lama dan meretakkan rasa kebangsaan dan kesatuan. Secara khusus, Novi Malinda Jampuri telah menguatkan istri-istri narapidana teroris untuk mendukung proses disengagement suaminya dan reintegrasi sosial melalui dapur perempuan, bertanam jahe, dan pasar di Poso (https://shebuildspeace.id/).

Dalam konteks budaya, sejumlah tokoh agama menempatkan nilai ajaran agama untuk perdamaian dan kesatuan bangsa. Nyai Sinta Nuriyah Wahid, misalnya, adalah tokoh muslim perempuan yang telah menerima lebih dari 10 penghargaan ini berhasil membumikan nilai ajaran Islam dengan nilai-nilai empati pada kelompok miskin dan rentan melalui kegiatan Sahur Keliling untuk membangun nilai perdamaian dan kecintaan pada NKRI (Lestari, 2017). Selain itu, tokoh perdamaian, Gedong Bagoes Oka, adalah perempuan Hindu Bali penerima penghargaan Jamnalal Bajaj Award for Promoting Gandhian Values Outside India tahun 1994 yang sengaja membangun Ashram Gandhi Candidasa sebagai ruang perjumpaan antar umat beragama untuk perdamaian (Ningtyas, 2021, www. jamnalalbajajaward.org., 1994). Pengakuan atas peran perempuan pada isu kebangsaan, toleransi, dan perdamaian di akar rumput juga diperoleh Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, tokoh perempuan muda Indonesia yang memperoleh penghargaan internasional dari Jepang berupa The Niwano Peace Prize Visionary Award (NPPVA) tahun 2021 (Hatta, 2022).

Jika ditelisik jauh sebelum Indonesia merdeka, nama-nama pahlawan perempuan juga menjadi kekuatan yang tidak terpisahkan dalam merebut kemerdekaan RI, seperti Cut Meutia dan Cut Nyak Dien dari Aceh, Martha Christina Tiahahu dari Maluku, Nyi Ageng Serang dari Serang Banten, Andi Depu Maraddia Balanipa dari Poliwali Mandar Sulawesi Barat, Keumalahayati dari Aceh, Opu Daeng Risadju dari Tanah Luwu Sulawesi Selatan, Siti Manggopo dari Minangkabau, Ruhana Kuddus dari Agam Sumatera Barat, dan masih banyak nama perempuan lain. Para pahlawan perempuan pra kemerdekaan juga turut gigih melawan penjajah melalui pendidikan perempuan, seperti Rangkayo Rasuna Said dari Padang, Dewi Sartika di Bandung, RA. Kartini di Jepara, Maria Josephine Catherine Maramis atau Maria Walanda Maramis dari Minahasa.

Pada saat proklamasi kemerdekaan, peran Fatmawati Soekarno Putri sebagai tokoh perempuan yang menjahit Bendera Merah Putih pertama adalah bukti nyata bahwa perempuan juga hadir dalam proses proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya, perjuangan untuk memperkuat potensi dan kapasitas perempuan demi otonomi politik perempuan dilakukan secara organisatoris oleh banyak tokoh perempuan, seperti Nyai Siti Walidah Ahmad Dahlan dan Nyai Siti Badilah Zubair dari Yogyakarta melalui pendirian organisasi perempuan Aisyiyah Muhammadiyah dan Nyai Djuaesih dari Sukabumi, perempuan pertama yang mampu menyuarakan hak perempuan dan menyampaikan langsung di mimbar Muktamar NU ke-13 tahun 1938 adalah tokoh perintis terbentuknya organisasi perempuan Muslimat NU (Nursalikah, 2020; Triono, 2022).

Gambaran di atas menunjukkan dua aspek penting, terkait peran perempuan, dalam melihat upaya menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama. Di satu sisi, kerentanan perempuan harus menjadi landasan penting dalam melihat isu ketahanan Negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kelompok perempuan yang berisiko sebagai kelompok rentan, terpapar, terdampak, dan pelaku; namun di sisi lain, kerja-kerja kemanusiaan dan perdamaian perempuan telah menjadi bukti kongkret bahwa pengetahuan, kekuatan, pengalaman, keterampilan, dan pendekatan perempuan merupakan sumber daya yang sangat penting bagi upaya menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama. Melalui pendidikan, budaya, ekonomi, dan ruang sosial, terbukti perempuan berkontribusi sangat besar dalam menjaga NKRI dari berbagai konflik yang berbahaya bagi keutuhan bangsa. Namun, secara struktural dan kultural, perempuan masih kerap mengalami marginalisasi atau peminggiran.

Perspektif perempuan masih cukup sulit ditemukan dalam sejumlah dokumen negara yang menjadi payung hukum pencegahan dan penanggulangan kekerasan atas nama agama. UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) Tahun 2020-2024 masih diuraikan secara netral gender.

Tiga pilar utama dalam RAN PE yang terdiri dari pilar pencegahan, yang mencakup kesiapsiagaan, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi; pilar penegakan hukum, perlindungan saksi dan korban, dan penguatan kerangka legislasi nasional; serta pilar kemitraan dan kerja sama internasional masih belum merepresentasikan isu perempuan. Meskipun RAN PE menyatakan telah memperhatikan prinsip- prinsip hak asasi manusia/HAM; supremasi hukum dan keadilan; pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak; keamanan dan keselamatan; tata kelola pemerintahan yang baik (good governance); partisipasi dan pemangku kepentingan yang majemuk; serta kebinekaan dan kearifan lokal (Kementerian Hukum dan HAM, 2021), namun implementasi pengarusutamaan gender dalam program-program pencegahan kekerasan atas nama agama masih belum signifikan.

Di tahun 2014, telah ada Resolusi DK PBB 1325 melalui Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (P3AKS). Dalam implementasinya, Peraturan Presiden ini diturunkan dalam Permenko Kesra Nomor 8 Tahun 2014 tentang RAN P3AKS 2014-2019. Kemudian dilanjutkan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2021 Tentang RAN P3AKS (Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial) Tahun 2020-2025. Selanjutnya RAN P3AKS ini menjadi acuan bersama, terutama di daerah rawan konflik dan pasca konflik dan sebagai komitmen implementasi di level wilayah, kepala daerah di wilayah tersebut telah menurunkannya dalam bentuk Peraturan Gubernur tentang Kelompok Kerja (Pokja) P3AKS untuk pelaksanaan Rencana Aksi Daerah (RAD) P3AKS. Melihat sejumlah regulasi ini, tampak sebagian kebijakan yang ada sudah menunjukkan pengakuan atas pentingnya perempuan hadir.

Namun di tingkat implementasi, kerja-kerja perdamaian perempuan dalam berbagai pengalaman lebih menunjukkan sebagai praktik yang tumbuh dan mengakar dari diri perempuan itu sendiri; berangkat dari feminitas perempuan, rasa empati, dan peduli. Sementara itu, implementasi sejumlah regulasi yang ada terkait hal ini belum betul-betul terlihat, bahkan cenderung memarginalisasi perempuan. Pelibatan dan penyediaan ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam siklus program dan kebijakan, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi, masih cukup sulit dijumpai. Kebijakan-kebijakan yang melibatkan tokoh agama lebih merepresentasikan laki-laki ketimbang perempuan, termasuk pada kelompok muda atau pemuda.

Pendekatan deradikalisasi pada ekstremis perempuan juga masih menggunakan pendekatan dan perspektif laki-laki sehingga melahirkan stigma perempuan lebih sulit dideradikalisasi.

Secara kultural, perempuan masih dipandang dalam tiga stigma destruktif bagi perempuan dan NKRI. Pertama, sifat-sifat feminin yang dilekatkan pada perempuan menjadikan perempuan dimarginalisasi dan ditempatkan sebagai aktor pada level kelas dua atau pendukung saja. Sementara itu, asumsi sebaliknya terjadi dengan meyakini bahwa pencegahan dan penanganan kekerasan membutuhkan karakter maskulin laki-laki. Kedua, perempuan dilihat sebagai kelompok yang lemah dan hanya berpotensi sebagai korban berakibat pada peminggiran perempuan dari upaya pencegahan dan penanganan ekstremisme atas nama agama. Ketiga, pandangan perempuan sebagai kelompok yang bergantung secara ekonomi menempatkan perempuan dinilai tidak mampu mendukung gerakan pencegahan dan penanganan ekstremisme secara ekonomi.

Sejumlah asumsi yang ada ini telah secara nyata memarginalisasi kekuatan dan kemampuan perempuan sebagai agen perubahan dan perdamaian, pihak yang mampu menjaga NKRI dari disintegrasi, sebagaimana sejumlah bukti contoh yang ada. Asumsi-asumsi kultural yang juga berimbas pada kebijakan negara ini berdampak buruk bagi negara, segenap bangsa, dan terutama para perempuan sehingga terus rentan dalam bahaya tindakan kekerasan berbasis agama. Setidaknya, terdapat tiga kerugian besar yang dapat dialami Negara.

Pertama, kebijakan dan program pencegahan dan penanganan ekstremisme dan kekerasan atas nama agama lebih sulit berhasil karena hanya menggunakan perspektif dan pengalaman laki-laki sebagai tolok ukur. Lensa dan pengalaman perempuan diabaikan. Akibatnya, strategi dan pendekatan yang digunakan lebih sulit diterapkan pada kelompok rentan dan terpapar dari kalangan perempuan. Karena itulah, muncul stigma baru dan tuduhan bahwa perempuan lebih sulit dideradikalisasi; proses disengagement untuk memutus rantai ekstremisme sulit dilakukan pada kelompok ekstremis perempuan; sekaligus proses deradikalisasi pada perempuan berpotensi mengalami kegagalan.

Kedua, desain yang tidak mempertimbangkan perempuan berkonsekuensi pada penempatan perempuan hanya sebagai objek dan bukan kelompok prioritas. Situasi ini dibelenggu stigma perempuan lemah dan tidak berbahaya sehingga tidak melibatkan perempuan dalam berbagai sosialisasi dan penyuluhan. Penerima manfaat dari program-program pencegahan ekstremisme mayoritas laki-laki sehingga kerentanan perempuan semakin meningkat dan memburuk. Akhirnya, potensi perempuan yang terjerat dalam lingkaran ekstremis semakin meningkat, upaya pencegahan cenderung tidak maksimal dan negara/ masyarakat terkejut saat perempuan tampil sebagai pelaku tindakan ekstrem beragama.

Ketiga, ketidakhadiran perempuan sebagai aktor dalam upaya pencegahan dan penanganan ekstremisme melemahkan advokasi dari bahaya ekstremisme di seluruh jenjang, mulai tingkat akar rumput hingga kebijakan. Pada konteks ini, cara-cara khas perempuan, ruang sosial kelompok perempuan, dan ruang privat komunitas perempuan tidak tersentuh, padahal di sanalah potensi propaganda ekstremisme sedang berlangsung, sekaligus menjadi ranah pencegahan dan pemulihan yang telah terbukti efektif digunakan. Kesinambungan upaya melalui ranah dan ruang sosial perempuan tidak hanya berguna bagi perempuan, namun juga akan bermanfaat bagi anak-anak, keluarga, dan masyarakat luas karena peran kultural perempuan memiliki peluang untuk menyentuh semua pihak tersebut.

Dari konteks inilah, penting mengajukan tiga pertanyaan (as’ilah) dalam Musyawarah Keagamaan KUPI ke-2, yaitu:

  1. Apa hukum menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama?
  2. Apa hukum peminggiran perempuan yang berdampak pada tidak terjaganya NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama?
  3. Siapakah pihak-pihak yang bertanggung gjawab untuk melindungi perempuan dari bahaya kekerasan atas nama agama?

ADILLAH (DALIL-DALIL)

Nash Al-Qur’an

1) Kemuliaan Anak-anak Adam

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ آدَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“Sungguh Kami telah muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan lautan. Kami beri rezeki dari yang baik-baik pada mereka. Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. al-Isrâ’ (17): 70)


2) Dukungan bagi keamanan Tanah Air

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَىٰ عَذَابِ النَّارِ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa; ‘Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Mekah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian’. Dia (Allah) berfirman, ‘Dan kepada orang yang kafir akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian akan Aku paksa dia ke dalam azab neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali’”. (QS. al-Baqarah (2): 126).


3) Perintah untuk bersatu dan larangan bercerai-berai

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpegang teguhlah kalian pada tali (agama) Allah seraya berjamaah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Âli ‘Imrân (3): 103).

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Âli ‘Imrân (3): 104).

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang berceraiberai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang sangat berat.” (QS. Âli ‘Imrân (3): 105).


4) Pentingnya sistem sosial politik yang berfungsi memfasilitasi keimanan dan amal-amal shalih dalam segala aspek kehidupan

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (yang memfasilitasi) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, pemintaminta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah (2): 177).


5) Pentingnya menghormati kontrak dan memenuhi kesepakatan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah kontrak (dan janjijanji).” (QS. al-Mâ’idah (5): 1).


6) Pentingnya keadilan sistem untuk memenuhi hak, menghilangkan kezaliman, dan menghapus kerusakan di bumi

7) Larangan menyakiti

8) Keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam kerja pertahanan dan perlindungan

9) Larangan memerangi orang yang berdamai dan memberi perdamaian

10) Perdamaian sebagai kebaikan yang dituju

11) Larangan menghina agama lain

12) Perintah untuk menjadi umat terbaik dengan berbagai amal baik

13) Larangan berbuat kerusakan di muka bumi

14) Larangan segala bentuk kekerasan, baik verbal maupun fisik

15) Tanggung jawab laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan kemaslahatan

16) Pengakuan terhadap kerja-kerja perempuan dan laki-laki untuk kebaikan

17) Perlindungan bagi yang lemah, terutama perempuan dan anak-anak