Qath'i Zhanni dan Kemaslahatan

Dari Kupipedia
Revisi per 13 Februari 2022 11.54 oleh Faqihuddin (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Refleksi atas Pikiran Masdar F. Mas’udi dalam buku “Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam”

Oleh: Husein Muhammad


Masdar F. Mas’udi, penulis buku “Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam”, boleh jadi teramat resah, bahkan mungkin sedikit geram atau sedang cemburu terhadap agamanya. Ia mungkin berpikir; “Bagaimana mungkin, ajaran-ajaran Islam yang jelas-jelas adil dan menyebarkan misi kerahmatan semesta (“rahmatan li al ‘alamin”)  itu justeru melahirkan realitas sejarah kaum muslimin yang memprihatinkan dan menyedihkan". Untuk kurun waktu yang cukup panjang, kaum muslimin masih terus terpuruk sedemikian dalam pada berbagai aspek kehidupan; sosial, ekonomi dan politik. Dalam bahasa yang agak vulgar, kaum muslimin dalam periode sejarahnya yang cukup panjang terus berada dalam keadaan dan posisi tertindas, miskin, bodoh dan terbelakang. Kenyataan ini berlangsung di seluruh dunia muslim. Perhatian mereka dalam aspek-aspek yang berdimensi ritual-individual kelihatan lebih dominan ketimbang perhatian mereka terhadap aspek-aspek social. Pada sisi lain kesenjangan muncul secara lebih riil antara kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrowi. Salah satu contohnya adalah pandangan mereka tentang zakat yang jelas-jelas merupakan salah satu dari lima  pilar Islam itu. Mayoritas masyarakat muslim masih tetap memandang zakat bukanlah pajak. Keduanya berbeda secara diametrik: zakat untuk Tuhan dan pajak untuk negara. Ini menurut Masdar benar-benar realitas masyarakat sekularistik. Masdar juga mengatakan: “Sejak zakat dipisahkan dari pajak, sekularisme de facto dalam kehidupan umat Islam praktis terjadi”.

Melalui buku ini, Masdar sedang berusaha mati-matian untuk dapat menjawab persoalan-persoalan di atas secara tuntas. Dia tidak ingin menyelesaikan persoalan tersebut secara partikularistik seperti yang umum dilakukan oleh orang. Masdar ingin melakukannya sebagai jalan bagi terwujudnya sebuah system sosial yang adil dan maslahat. Kajian dan pikiran-pikiran Masdar tentang Zakat melalui buku ini, dalam banyak pandangan dan komentar, dirasakan asing dan sangat berbeda dari kebanyakan orang.  Dalam sejumlah pertemuan dengan para kyai, pikiran Masdar dianggap kelewat batas. Masdar dianggap menerjang batas norma-norma sosial yang dipegang umat Islam, terutama masyarakat pesantren. Akan tetapi pikiran Masdar yang menurut saya sangat menarik,  menjadi tantangan kita semua. Sebaiknya kita membaca karya cendekia muda NU ini dengan jernih dan tuntas.

Saya ingin memberikan catatan pinggir atasnya. Bagi saya meskipun apa yang ditulis Masdar dalam buku ini lebih banyak menyoroti persoalan-persoalan zakat dalam hubungannya dengan pajak secara kasus per kasus, suatu pembahasan yang mendapat porsi perhatian para kritikus pemikirannya, tetapi saya kira Masdar justeru ingin lebih mendalam dari itu. Ia ingin mengungkapkan kegelisahannya yang mendalam atas wacana dan cara-cara berfikir sebagian besar masyarakat muslim. Masdar melangkah lebih jauh dari sekedar melakukan interpretasi-interpretasi baru atas kasus per kasus zakat, melainkan berusaha melakukan “rekonstruksi” (mungkin sebagian orang menyebutnya sebagai “dekonstruksi”) atas wacana paradigmatic dan metodologi yang dipedomani umat selama ini. Bagi saya landasan berfikir Masdar merupakan langkah strategis dan penting untuk dianalisis lebih jauh dan mendalam.

Untuk melakukan itu semua, Masdar pertama-tama mencoba menegaskan kembali paradigma lama yang pernah menjadi kerangka berfikir, terutama Ath-Thufi, dan metodologi klasik yang sesungguhnya juga menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan para ulama, sampai hari ini. Yaitu Paradigma: “Idza shahhat al maslahah fahiya mazhabi”: “apabila kemaslahatan (baca:tuntutan keadilan dan kesejahteraan bersama pada sesuatu) telah menjadi absah, itulah mazhabku”. Paradigma ini dihadapkannya dengan paradigma Imam Asy-Syafi’i yang dikenal luas dan terus dipertahankan oleh para ahli Islam (Ulama) mainstream. Yaitu: “Idza shahha al hadits fahuwa mazhabi”, (apabila hadits telah dipandang sahih, maka itulah mazhabku).[1] Walaupun, saya kira, Masdar tidak sengaja memperhadapkan kedua paradigma itu secara dikhotomis, akan tetapi kesan seperti itu tetap saja sangat menonjol hampir dalam seluruh kajian dalam bukunya itu. Dia tampak ingin sungguh-sungguh mengabaikan paradigma mainstream di atas dan mengembangkan paradigma kemaslahatan lebih luas sebagaimana yang dirintis oleh Najm ad-Din ath-Thufi dan diikuti oleh sejumlah pemikir Islam modern, semacam Syeikh Muhammad Thahir bin Asyur.

Dalam upayanya untuk tetap konsisten dengan paradigma kemaslahatan itu, pada bagian lain dalam buku ini atau dalam buku atau tulisan-tulisannya yang lain-lain, Masdar juga secara terang-terangan menggugat teori Qath’i-Zhanni atau Muhakamat-Mutasyabihat.[2] Dalam pikiran Masdar rumusan konvensional atas terori ini menjadi tema paling krusial bagi upaya perubahan-perubahan atau penyelesaian-penyelesaian yang dihendaki dalam kerangka kemaslahatan social secara lebih luas. Karena itu, dalam pandangan Masdar, teori tersebut perlu dikritisi secara tajam, bahkan kalau perlu diruntuhkan.

Dengan mengemukakan paradigma kemaslahatan dan teori Qath’i – Zhanni yang dirumuskannya, Masdar tidak bisa tidak, harus masuk dalam sebuah perangkap kerangka besar pemikiran Islam. Dalam hal ini dia bukan saja akan berhadapan dengan isu-isu zakat, melainkan juga dengan berbagai bidang kajian keislaman secara lebih luas bahkan menyeluruh. Sampai di sini saya sebetulnya agak khawatir bahwa Masdar bisa terperangkap dalam situasi menyelesaikan persoalan dengan tambal-sulam. Hal ini karena boleh jadi ia akan mengabaikan proses-proses ilmiyah yang seharusnya dia lakukan. Kritik banyak orang terhadap gagasan Masdar ini adalah bahwa dia hanya sekedar mengajukan gagasan semata-mata dan tidak untuk menyelesaikannya. Tuntutan mereka kepadanya adalah sebuah teori fiqh yang menyeluruh, komprehensif. Masdar dalam pandangan kaum konservatif tidak ada bedanya dengan para pemikir kontemporer liberal lainnya yang tengah populer sekarang ini yang hanya melontarkan gagasan yang dianggap tanpa pertanggungjawaban ilmiyah. Tapi bagi saya gagasan dan gugatan Masdar telah memberikan jalan bagi dirinya dan bagi yang lain untuk terus mencari dan menemukan yang diharapkan. Bandingkan saja, kita mengetahui bahwa ar-Risalah, karya metodologis komprehensif Imam al-Syafi’i juga baru terjadi sesudah dua abad wafatnya Nabi. Menurut saya, Masdar bagaimanapun telah memberikan rangsangan awal dan gairah intelektual yang segar, penting dan strategis bagi generasi muda Islam hari ini dan kemudian.

Kemaslahatan sebagai Prinsip Dasar Fiqh

Menghadapkan paradigma modernis (dalam istilah Masdar F. Mas’udi adalah oto-praksis), dengan paradigma kaum tradisionalis (ortodoks), pada tataran konseptual sesungguhnya tidak pernah terjadi atau dikenal dalam sejarah pemikiran Islam. Tidak satupun pikiran atau pandangan kaum muslimin meragukan, apalagi menolak, bahwa Syari’at Islam hadir untuk menawarkan kebaikan, kemaslahatan, keadilan dan kesejahteraan manusia di muka bumi ini. Klaim idealisme ajaran dasar seperti ini bahkan sejatinya bukan hanya milik agama Islam dan kaum muslimin, melainkan juga milik seluruh agama-agama dan para pemikir kemanusiaan. Missi kenabian Muhammad saw. dan seluruh nabi-nabi yang pernah dilahirkan juga adalah missi kerahmatan, penyelamatan dan pembebasan umat manusia dari segala bentuk penindasan dan tirani manusia. Pendeknya kemaslahatan adalah dasar filisofis bagi ajaran agama-agama dan kemanusiaan.

Para pemikir hukum Islam, sejak generasi pertama; generasi sahabat Nabi, generasi empat mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, sampai generasi para pemikir fiqh post mazhabisme, meski dalam catatan sejarah pemikiran dan kebudayaan Islam dianggap sebagai zaman stagnasi, zaman kemunduran, dengan tokoh-tokohnya semacam Abu Hamid al-Ghazali (505 H/1111 M), Fakhr ad-Din ar-Razi (w. 606 H), Izz ad-Din bin Abd as-Salam (w. 660 H), Syihab ad-Din al Qarafi (w. 685 H), Najm ad-Din ath-Thufi (w. 716 H), Ibnu Taimiyah (w. 728 H), Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H) sampai Muhammad bin al-Thahir bin Asyur (w. 1393 H/1973 M), seluruhnya menyepakati kemaslahatan sebagai basis sekaligus tujuan utama dari hukum-hukum Islam.

Ahli fiqh besar, Al-Amidy mengatakan:

أن أئمة الفقه مجمعة على ان أحكام الله لا تخلو من حكمة ومقصود" (الاحكام فى اصول الاحكام, 3/411).

Izz al Din bin Abd al Salam bergelar Sulthan al Ulama bermazhab Syafi’i juga mengikuti pandangan al Ghazali tersebut. Katanya:

"التكاليف كلها راجعة الى مصالح  العباد فى دنياهم وأخراهم. والله غني عن عبادة الكل لا تنفعه طاعة الطائعين ولا تضره معصية العاصين..."(قواعد الاحكام فى مصالح الانام,  2/73).

“Semua hukum berpulang kepada kemasalahatan hamba-hamba Allah di dunia dan di akhirat. Tuhan tidak membutuhkan pengabdian mereka. Ketaatan mereka tidak memberi-Nya manfaat, dan kedurhakaan mereka tidak merugikan-Nya”

Ia juga mengatakan:

" كل تصرف تقاعد عن تحصيل مقصوده فهو باطل".(قواعد الاحكام ج 2 ص 121).

“Setiap tindakan yang tidak menghasilkan tujuannya adalah batal”. (Qawa’id al-Ahkam, Juz II/121). Atau ungkapan lain:

“Syari’at sepenuhnya adalah kemaslahatan, baik melalui cara-cara menolak segala hal yang merusak maupun mengupayakan hal-hal yang membawa kepada kemaslahatan”.[3]

Apakah yang dimaksud dengan kemaslahatan?. Imam Al Ghazali  secara elaboratif menjelaskan tujuan ini ketika ia mengatakan:

اما المصلحة فهى عبارة فى الاصل عن جلب منفعة أو دفع مضرة, ولسنا نعنى به ذلك. فإن جلب المنفعة ودفع المضرة مقاصد الخلق وصلاح الخلق فى تحصيل مقاصدهم لكنا نعنى بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع  ومقصود الشرع من الخلق خمسة وهو ان يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم. فكل ما يتضمن حفظ هذه الاصول الخمسة فهو مصلحة وكل ما يفوت هذه الاصول فهو مفسدة ودفعها مصلحة".( المستصفى, 1 ص 286-287).

“Kemaslahatan pada dasarnya adalah upaya-upaya yang membawa kebaikan dan menolak keburukan. Tetapi dalam hal ini bukan ini yang saya maksudkan. Sebab itu adalah tujuan dan kepatutan manusia dalam kehidupannya. Yang saya maksudkan dengan kemaslahatan dalam hal ini adalah perlindungan terhadap tujuan agama (Tuhan) atas ciptaan-Nya, dan ini ada lima. Yaitu perlindungan terhadap agama/keyakinan, jiwa (hak hidup), akal, keturunan dan hartabenda. Setiap hal yang mengandung perlindungan terhadap lima hal ini adalah kemaslahatan dan setiap hal yang menegasikannya adalah kemafsadatan, kerusakan dan kekacauan. Menghindarkan kerusakan merupakan kemaslahatan”.[4]

Sementara, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, murid utama Ibnu Taimiyah yang dikenal sebagai tokoh pemikir salafi/ortodoks dan bermazhab Hanbali, secara lebih tegas dan luas menyatakan:

"الشريعة مبناها وأساسها على الحكم ومصالح العباد. وهى عدل كلها ومصالح كلها ورحمة كلها وحكمة كلها. فكل مسألة خرجت عن العدل الى الجور وعن المصلحة الى المفسدة وعن الرحمة الى ضدها وعن اللحكمة الى العبث فليست من الشريعة وإن أدخلت اليها بالتأويل. ( أعلام الموقعين عن رب العالمين , ص 3).

“Syari’at Islam dibangun di atas landasan kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia kini dan nanti. Ia sepenuhnya adil, sepenuhnya rahmat, sepenuhnya maslahat, dan sepenuhnya bijak. Setiap persoalan yang telah menyimpang dari keadilan kepada kezaliman, dari rahmat menjadi laknat, dari maslahat menjadi mafsadat (rusak) dan dari bijak menjadi kesia-siaan, maka bukanlah bagian dari syari’ah (hukum agama), walaupun dilakukan upaya-upaya intelektual”.[5]

Apa yang disampaikan di atas adalah beberapa saja dari pandangan para teoritisi fiqh mengenainya. Tetapi Ibnu Asyur, pemikir Islam kontemporer dan penulis Tafsir At-Tahrir wa at-Tanwir, dengan tetap  menyetujui perspektif di atas, mengemukakan pandangannya yang saya kira sangat menarik. Ia mengatakan:

شريعة الاسلام جاءت لما فيه صلاح البشر فى العاجل والآجل اى فى حاضر الامور وعواقبها وليس المراد بالآجل أمور الآخرة  لان الشرائع لا تحدد للناس سيرهم فى الآخرة لكن الآخرة جعلها جزآء على الاحوال التى كانوا عليها فى الدنيا. لما كانت شريعة الاسلام ضابطة للسلوك الدنيوى فان المصلحة التى جاءت لتحقيقها لا يمكن ان تكون الا دنيوية تهدف فى مقام الاول الى ضبط نظام العالم الدنيوى (إسماعيل حسنى .نظرية الشريعة عند ابن عاشور , ص 281)

“Syari’ah Islam dihadirkan untuk kemaslahatan manusia di dunia hari ini dan nanti. Yang dimaksud “nanti” adalah akibat-akibatnya. Ia tidak berarti di akhirat (kehidupan sesudah kematian). Hal ini karena Syari’at tidak mengatur perjalanan hidup mereka di akhirat, tetapi akhirat menjadi tempat pertanggungjawaban manusia atas kehidupan mereka di dunia. Manakala syari’at Islam mengatur tingkah laku manusia di dunia, maka kemaslahatan yang harus diwujudkan hanyalah berlaku di dunia”.[6]

Ibnu Asyur dalam hal ini memang berbeda dari pandangan mayoritas ulama. Pandangan pemikir muslim generasi Muhammad Abduh ini menimbulkan implikasi penting terutama dalam kaitannya dengan bidang-bidang kehidupan social kemasyarakatan (majal al-mu’amalat al-madaniyah), termasuk di dalamnya soal ekonomi, kebudayaan, politik dan ilmu pengetahuan. Rumusan tersebut tampaknya sengaja dikemukakan Ibnu Asyur, dalam rangka menegaskan perlunya kaum muslimin memberikan appresiasi dan porsi yang lebih besar terhadap persoalan-persoalan sosial, kebangsaan dan kemanusiaan daripada persoalan-persoalan individual. Ibnu Asyur merasakan bahwa selama kurun waktu yang panjang, perhatian dan intensitas kaum muslimin terhadap urusan syari’ah individual begitu dominan dan intens, sementara mereka kurang responsip terhadap urusan-urusan publik-politik. Refleksi ini juga dikemukakan oleh ahli fiqh kontemporer, Yusuf al Qardhawi. Ia mengatakan: “rumusan-rumusan para ahli ushul fiqh tentang maqashid asy-syari’ah dan kemaslahatan memperlihatkan betapa tingginya perhatian mereka terhadap soal-soal pengabdian personal, sementara terhadap soal-soal kemasyarakatan dan keumatan (al-mujtama’ wa al-ummah) perhatian mereka sungguh belum cukup memadai”.[7]

Pandangan Ibnu Asyur ini juga tampak berbeda dibandingkan dengan pandangan masyarakat pada umumnya. Kecenderungan mereka pada aspek-aspek ibadah ritual, kezuhudan dan eskatologis jauh lebih memperoleh perhatian utama. Sehingga dalam pandangan mereka seorang yang rajin shalat malam, sering puasa atau zikir dipandang lebih saleh daripada lainnya. Hal inilah yang diyakini banyak pemikir modern yang menyebabkan kaum muslimin mengalami kemunduran dalam bidang social, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Faktanya, telah cukup lama dunia muslim tidak menghasilkan produk-produk pemikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat disumbangkan kepada dunia kemanusiaan.

Lebih jauh, tujuan-tujuan Syari’at (Maqashid asy-Syari’ah) sebagaimana dirumuskan dengan singkat oleh Imam al-Ghazali di atas, pada dasarnya adalah butir-butir pokok perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Dapat dikatakan bahwa “Maqashid asy-Syari’ah” sejatinya adalah prinsip-prinsip Hak-hakAsasi Manusia dalam Islam. Pada akhir hayat Nabi, hal ini sudah disampaikan dalam pidatonya di Arafat yang terkenal itu. Ia merupakan wasiatnya kepada seluruh umat manusia. Katanya:

يا ايها الناس ان دماءكم واموالكم واعراضكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا وشهركم هذا وفى بلدكم هذا

“Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu adalah suci,sebagaimana sucinya hari ini, bulan ini dan di tempat ini”. Dalam konteks modern ia dapat disamakan dengan “hak hidup, hak property dan hak atas kehormatan diri (dignity)”. Ini adalah prinsip-prinsip utama dalam Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia.

Makna Idza Shahha al-Hadits fahuwa Madzhabi

Melalui penjelasan serba singkat di atas dapatlah disimpulkan bahwa persoalan kemaslahatan sebagai basis keputusan-keputusan hukum Islam secara konseptual sama sekali tidak memiliki signifikansi untuk diperdebatkan. Seluruh ulama dan kaum muslimin sepakat mengenai hal ini. Oleh sebab itu, ketika Imam al Syafi’i mengemukakan paradigma: “Idza Shahha al-Hadits fahuwa madzhabi” (apabila hadits telah sahih, maka itulah pendapatku) tidak harus serta merta difahami bahwa dia adalah orang yang anti kemaslahatan. Kalimat tersebut juga tidak harus dan hanya dimaknai secara tekstual, sebagaimana yang banyak dikesankan banyak orang selama ini. Saya tentu berharap Masdar tidak terbawa arus umum dalam memaknai ucapan  asy-Syafi’i itu. Dengan kata lain Masdar tidak terbawa oleh pengertian orang pada umumnya bahwa apabila kita menemukan hadits yang sahih, maka kita harus menerimanya dan menggunakannya sebagai dalil hukum begitu saja sebagaimana makna yang tersuratnya atau harfiyahnya, hanya karena semata-mata ia hadits sahih.  Hal yang sama juga berlaku ketika menanggapi ucapan Muhammad Abduh misalnya bahwa “kita harus kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah”. Dalam banyak kenyataan kata-kata ini seringkali dimaknai bahwa kita harus kembali kepada apa yang tersurat dalam al-Qur'an dan apa yang pernah dilakukan oleh nabi saw, ketika beliau hidup. Sulit sekali kita dapat membayangkan jika kita sekarang harus hidup persis seperti zaman Nabi saw. dahulu kala, 15 abad yang lampau. Kesulitan yang sama juga terjadi ketika orang dipandang bid’ah,  (menyimpang dan sesat) dan nantinya masuk neraka hanya karena dia melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh nabi saw.

Kembali kepada ucapan asy-Syafi’i di atas. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i  (150-204 H/767-820 M) sebenarnya bukanlah orang pertama yang menyatakan pandangan paradigmatik ini. Abu Hanifah al Nu’man (80-150 H/699-767 M), pendiri mazhab Hanafi, meskipun dengan bahasa (ibarah) yang sedikit berbeda, tetapi secara substantif ia juga menggunakan paradigma ini dalam keputusan-keputusan fiqhnya. Ia mengatakan: “Jika ada hadits dari Nabi saw. tidak boleh kita berpaling ke yang lain. Kita harus mengambilnya”. Atau: “Jika ada hadits nabi, kita wajib menerimanya tanpa reserve (‘ala ar-ra’s wa al-‘ain)”.8 Al-Umdah Muhammad Abidin ad-Dimasyqi dalam “Syarh Uqud Rasm al-Mufti” mengatakan: “faqad shahha ‘an Abi Hanifah annahu qaal: ‘Izda shahha al hadits fahuwa mazhabi’ (informasi yang valid dari Abu Hanifah, menyebutkan bahwa dia mengatakan: ‘jika ada hadits yang sahih, maka itulah pendapatku’.9 Imam Malik bin Anas (93-197 H/712-795 M), pendiri mazhab Maliki, juga mengatakan hal yang sama. Katanya: “Aku manusia yang bisa salah dan bisa benar. Lihatlah pandanganku. Jika sesuai dengan al-Kitab (al-Qur'an) dan as-Sunnah (hadits), maka ambillah, dan apabila tidak, tinggalkan pandanganku”.10 Ibnu Abd al Barr dan asy-Sya’rani, keduanya bermazhab Syafi’i, mengatakan bahwa hal itu juga menjadi pendirian para imam mazhab empat yang lain.11

Membaca pikiran-pikiran Imam asy-Syafi’i (dan para imam mazhab yang lain) dalam fiqhnya, akan nampak jelas bahwa ia tidak selalu mengambil hadits sahih dalam pengertiannya yang literal. Asy-Syafi’i memang menjadikan hadits sahih sebagai dasar argumen hukum (Hujjah Syar’iyyah), akan tetapi ia tidak dengan serta-merta menerimanya begitu saja sebagaimana apa adanya, skripturalis, harfiyah. Soalnya ia juga melakukan analisis secara kritis terhadap hadits sahih tersebut, karena sejumlah persoalan yang terkait di dalamnya. Dalam terminologi para ahli hadits, kesahihan sebuah hadits dipakai sebagai hujjah (argumen), karena ia memiliki kwalitas sumber yang dapat dipercaya. Walaupun demikian ia tidak selalu dapat difahami maksud dan tujuannya sebagaimana yang tersurat. Dari sisi ini, hadits betapapun memiliki kualifikasi sumber yang valid, mengandung sejumlah kemungkinan yang dapat dianalisis, seperti halnya dengan teks-teks al-Qur'an sendiri. Al-Qur’an dan Hadits Nabi kini telah menjadi sumber-sumber tertulis yang secara niscaya memerlukan interpretasi dan penjelasan-penjelasan. Beberapa kemungkinan penjelasan itu sebagaimana selalu dikemukakan dalam buku-buku ushul fiqh atau ulum al tafsir (ulum al-Qur'an), antara lain, apakah kata yang digunakannya adalah ‘am, mutlaq, musytarak, makhshus, muawwal atau mansukh dan sebagainya. Pembacaan atas teks hadits juga tidak bisa mengabaikan aspek pertimbangan tradisi atau konteks sosial yang menyertainya.

Pada sisi lain Imam Asy-Syafi’i pasti tidak dapat membiarkan sebuah hadits sahih berbicara sendiri tanpa mengkaitkannya dengan hadits-hadits yang lain atau dengan teks-teks al-Qur'an bahkan dengan visi besar (maqashid al syari’ah) kitab suci tersebut, apalagi ketika ia melihat ada kontradiksi dengan makna literal hadits sahih yang lain. Di luar itu para ahli hadits  juga menyampaikan bahwa hadits sahih dapat dilihat dari sisi jumlah perawinya. Dari aspek ini mereka membaginya menjadi mutawatir dan Ahad. Untuk yang pertama (mutawatir) mereka menempatkannya pada posisi paling autentik, valid dan kredibel. Validitas transmisi hadits mutawatir ini sama dengan transmisi al-Qur'an. Ini karena ia disampaikan oleh banyak orang generasi demi generasi dan tak terputus. Antara satu orang di antara mereka dengan yang lain menurut kebiasaan tidak mungkin melakukan konspirasi untuk mendustakannya. Keadaan seperti ini menjadikan hadits mutawattir memiliki kekuatan referensi yang sangat kuat dan bahkan pasti, tidak diragukan. Sementara untuk katagori kedua, yaitu hadits Ahad. Ini adalah hadits yang diriwayatkan dengan mata rantai tunggal atau terbatas. Hadits dengaan katagori ini oleh mayoritas para ulama ahli hadits dipandang memiliki kwalifikasi zhanni (interpretable). Mereka mengatakan: “Yajib al-'amal bihi wa yufid azh-Zhan” (wajib diterima dan mengandung makna yang dapat ditafsirkan)”.12 Dan hampir semua ahli fiqh sependapat bahwa fiqh hanya dapat bergerak pada wilayah sumber-sumber interpretatif baik diambil dari al Qur-an maupun hadits. Menurut banyak pendapat para ahli hadits,  hadits dengan kriteria “ahad” jumlahnya jauh lebih besar daripada hadits “mutawattir”. Dari kenyataan ini kita barangkali dapat mengambil sikap untuk melihat hadits bukan semata-mata pada kwalifikasi “sanad”, tetapi juga analisi kritis terhadap “matn”nya.

Kebanyakan orang yang kita lihat selama ini ketika membaca sebuah hadits, lebih banyak melihat hadits dari sisi “sanad” (mata rantai/transmisi) semata. Aspek “matan” (isi) seringkali terabaikan. Padahal “matn” amat perlu mendapatkan perhatian secara kritis. Bagaimana jika ia ternyata bertentangan, misalnya, dengan aspek rasionalitasnya (tidak masuk akal), atau ketika ia dipandang berlebih-lebihan yang juga sulit diterima nalar, atau mengemukakan makna yang sangat fantastik, atau bahkan bertentangan dengan teks al-Qur'an. Adalah menarik untuk mengemukakan pandangan Ibnu al-Jauzi seperti disebutkan Jalal ad-Din als-Suyuthi dalam bukunya yang terkenal “Tadrib ar-Rawi”. Katanya:


ما احسن قول القائل: " اذا رأيت الحديث يباين المعقول او يخالف المنقول او يناقض الاصول فاعلم انه موضوع ". قال ومعنى مناقضته للاصول: ان يكون خارجا عن دواوين الاسلام من المسانيد والكتب المشهورة .(انظر: تدريب الراوى فى شرح تقريب النووى لجلال الدين السيوطى ج 1 ص 277 ).

"Betapa bagusnya ucapan orang:’jika anda melihat hadits bertentangan dengan akal (al-ma’qul), atau berlainan dengan teks (al-manqul) atau berlawanan dengan buku-buku hadits standar (al-ushul), maka ketahuilah bahwa ia sebenarnya hadits maudhu’ (palsu).13

Kitab al-Jami’ al-Shahih karya Imam Al-Bukhari dalam pandangan seluruh ulama mazhab Sunni (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah), dipandang sebagai sumber otentik dan valid kedua sesudah al-Qur’an. Demikian juga Shahih Muslim. Mereka mengatakan kitab al-Bukhari dan Muslim tersebut sebagai “Talaqqathu al-Ummah bi al-Qabul”, diterima secara mutlak. Pembacaan atas kitab tersebut dengan cermat telah memunculkan sejumlah pertanyaan: Apakah seluruh matan hadits yang terdapat di dalamnya tidak mengandung problematika serius?. Ada sejumlah hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim yang tampaknya sesuai dengan realitas dan logika rasional, bila ia dimaknai secara apa adanya. Beberapa contoh dapat dikemukakan:


يقطع الصلاة الكلب والحمار والمرأة. رواه مسلم


وروى مسلم كذلك عن اسود عن مسروق عن عائشة , وذكر عندها ما يقطع الصلاة الكلب والحمار والمرأة. فقالت : قد شبهتمونا بالحمير والكلاب؟ والله لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلى وانى على السرير بينه وبين القبلة مضطجعة فتبدو لى الحاجة فأكره ان اجلس فأوذى رسول الله صلى الله عليه سلم فأنسل من عند رجليه.(صحيح مسلم 4/226).


الطيرة من الدار والمرأة والفرس. عن ابى هريرة


Dengan uraian singkat di atas barangkali kita sepakat untuk mengatakan bahwa ucapan Imam al Syafi’i : “Idza shahha al hadits fahuwa mazhabi”, sejatinya mencerminkan komitmen al Syafi’i yang sangat kuat terhadap hadits sahih sebagai landasan legitimasi hukum, dan sama sekali bukan menunjukkan pada pandangan al Syafi’i yang sepenuhnya scripturalistik.13 Komitmennya yang kuat terhadap hadits seperti ini pulalah yang kemudian mengukuhkan al Syafi’i sebagai pemegang predikat Nashir al Sunnah (pembela al sunnah/hadits) atau Muhyi al Sunnah (yang menghidupkan al sunnah/hadits). Predikat ini diberikan kepadanya ketika hadits-hadits Nabi saw. telah banyak ditinggalkan orang, terutama oleh kaum rasionalis, Mu’tazilah. Lebih dari itu, bahkan al Syafi’i, berbeda dengan tokoh lainnya, menambahkan fungsi al sunnah (hadits) sebagai sumber otoritas yang otonom (musyarri’ mustaqil), di luar fungsi penafsir al Qur-an. Pandangan Imam al-Syafi’i tersebut dewasa ini memperoleh kritik yang sangat tajam dari para pemikir modern dan progresif. Nasr Hamid Abu Zaid, bahkan menggugat “moderasi Syafi’I”dalam bukunya “Al-Wasithiyyah”.

Pendekatan Scripturalistik

Meski demikian tidak pula kita menutup pandangan bahwa al Syafi’i tetap menggunakan hadits sahih dengan seluruh makna tekstualnya (harfiyah). Pertanyaan yang perlu diajukan dalam hal demikian, apakah dengan pengambilan  makna harfiyah atas sebuah hadits, maka selalu berarti kita katakan sebagai  tidak maslahat?. Atau sebaliknya, apakah setiap pengambilan keputusan berdasarkan makna harfiyah hadits, maka ia selalu dapat dipastikan mengandung kemaslahatan?.


Dalam sejarah pemikiran hukum Islam pertanyaan-pertanyaan ini mengundang perdebatan yang tidak pernah selesai, bahkan sampai hari ini. Jawaban atas pertanyaan di atas melahirkan dua pandangan yang berhadap-hadapan. Pertama pandangan mereka yang menyetujui bahwa setiap hadits yang sahih harus diterima dan diikuti dengan seluruh makna tekstualnya dan ucapan nabi seperti itu dapat dipastikan dan selamanya mengandung kemaslahatan. Karena Nabi tidak mungkin mengatakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Kelompok ini dikenal dengan sebutan kaum zhahiri. Dalam terminology teologis (ilmu kalam) golongan ini dikenal dengan kaum salafi yang anti takwil. Di kalangan mazhab empat cara berfikir seperti ini diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M). Di luar mazhab empat adalah Daud al Zhahiri (202-270 H/818-884 M) dan muridnya Ibnu Hazm dari Kordova (384-456 H/994-1064 M). Sementara pandangan lain mengatakan bahwa pengambilan hadits melalui makna harfiyah tidak serta merta selamanya mengandung kemaslahatan. Ia berarti maslahat untuk suatu waktu dan pada suatu tempat, tetapi boleh jadi tidak untuk waktu dan tempat yang lain. Soalnya adalah istilah kemaslahatan atau terma-terma yang lain seperti keadilan dan kebaikan bukanlah istilah-istilah yang dapat dirumuskan secara matematis. Terma-terma tersebut memiliki rumusan yang relatif. Para pemikir muslim maupun pemikir filsafat moral memberikan rumusan sendiri-sendiri sesuai dengan perspektifnya masing-masing. Inilah sebabnya mengapa meskipun mereka sepakat menjadikan maslahat sebagai pijakan dasar, tetapi bentuk konkritnya sebagaimana terungkap dalam rumusan-rumusan fiqh seringkali berbeda-beda atau bertenangan. Bukan hanya itu, bahkan rumusan fiqh yang dipandang maslahat pada satu waktu mungkin tidak lagi maslahat untuk waktu yang lain.


Perdebatan ini mengantarkan kita pada kontroversi klasik mengenai pengetahuan kita tentang kebaikan (baca :kemaslahatan). Apakah ia dapat diketahui melalui teks agama atau melalui akal. Para ulama sunni sepakat bahwa kebaikan atau kemaslahatan hanya dapat diketahui melalui syari’ah (agama) baik yang disampaikan al Qur-an maupun hadits nabi saw. Sebuah paradigma kaum sunni menyatakan : “al Nash muqaddam ‘ala al ‘aql” (teks agama mendahului akal). Perdebatan ini muncul ketika nash (teks agama) berhadapan dengan akal atau logika. Bagi kaum sunni teks agama adalah kebenaran utama, sementara akal harus ditundukkan atau diarahkan oleh kebenaran teks tersebut. Walaupun demikian pada tahap awal, ketika mereka menemukan teks dan rasio yang berhadapan mereka sesungguhnya juga berusaha untuk mencari titiktemu (taufiq/kompromi) antara kedua dalil yang berlawanan tersebut. Beberapa diantaranya melalui apa yang disebut dengan penelitian atas ‘illat atau tujuan rasional dari teks. Abd al Qahir al Jurjani mengatakan bahwa “bahasa” mengandung dua makna. Pertama bahasa yang dapat dipahami dari makna awal yang dapat dimengerti semua orang dan yang kedua dipahami melalui makna dari makna awal. Jadi ada makna dan ada makna dari makna”.14 Makna awal adalah makna tekstual, sedangkan makna dari makna adalah makna substansial. Orang boleh mengatakan makna yang terseurat dan makna yang tersirat, ada makna jasad dan ada makna ruh.


Pembacaan kita terhadap pikiran-pikiran para ahli fiqh klasik menunjukkan bahwa mereka menggunakan pendekatan kedua-duanya, tetapi dengan intensitas dan kecenderungan dominan yang berbeda-beda. Pada umumnya para ahli fiqh membagi kecenderungan ini dalam dua katagori besar. Mereka yang memiliki kecenderungan sangat dominan pada pemahaman tekstual-harfiyah dikenal dengan sebuatan ahli al hadits, sementara mereka yang berfikir dengan kecenderungan kuat pada makna substansial disebut fuqaha ahl al ra’yi. Istilah lain yang juga sering disebut dalam kitab-kitab mazhab Syafi’i adalah muhaddits faqih) untuk golongan yang pertama, dan  faqih muhaddits. Para ahli fiqh di Hijaz pada umumnya masuk dalam golongan pertama sedangkan para ahli fiqh di Irak masuk dalam katagori yang kedua.


Dr. Faruq Abu Zaid dalam “Al Syari’ah al Islamiyah Baina al Muhafizhin wa al Mujaddidin”, secara lebih luas menggambarkan kecenderungan pikiran masing-masing pendiri mazhab empat dengan predikat yang berbeda-beda. Ahmad bin Hanbal dikatagorikan sebagai Imam mutasyaddidin atau tokoh yang sangat ketat dalam menggunakan pendekatan tekstual. Ia seorang muhaddits (ahli hadits)  besar. Imam Malik bin Anas disebut sebagai Imam al Muhafizhin atau tokoh yang kuat memegang tradisi masyarakat Madinah. Ia banyak mempertimbangkan tradisi Madinah, tempat ia menghabiskan usianya, bahkan seringkali lebih mengutamakannya daripada hadits Ahad. Al Syafi’i disebut Faruq sebagai Imam ahl al Wasath wa al I’tidal atau tokoh moderat. Ia melalui kehidupan pertamanya di Hijaz dan pernah hafal hadits-hadits Muwatha karya Imam Malik, kemudian pernah tinggal di Baghdad dan sempat belajar pada Muhammad bin Hasan al Syaibani (749-804 M) salah seorang murid utama Abu Hanifah, dan akhirnya di Mesir.  Selanjutnya adalah Imam Abu Hanifah. Ia dipandang sebagai Imam al Mujaddidin atau tokoh pembaru yang rasionalis. Abu Hanifah adalah penduduk asli Kufah, Irak, keturunan Persia, Iran. Diriwayatkan orang bahwa dia pernah berkata : “Pengetahuan yang menjadi milik kita adalah pendapat pikiran kita. Inilah yang terbaik yang dapat kita capai. Mereka yang memiliki pikiran yang berbeda adalah hak mereka sebagaimana kita berhak atas pikiran kita.15 Empat Imam besar ahli fiqh ini di samping menggunakan makna harfiyah dari teks-teks syari’ah (al Qur-an dan Hadits ), mereka juga menggunakan metode analogi atau qiyas. Penggunaan metoda ini jelas meniscayakan penelitian dan pencarian terhadap illat (kausa) hukum untuk memutuskan kasus-kasus yang berkembang. Dalam arti lain mereka juga menggunakan logika atau akal. Pemilihan mereka atas dua pendekatan di atas dengan tingkat kecenderungan yang berbeda-beda sesungguhnya lebih disebabkan oleh latarbelakang  kondisi kehidupan sosio-kultural mereka masing-masing. Akan tetapi satu hal dapat dipastikan bahwa ketika mereka memutuskan suatu kasus atau masalah, mereka telah mempertimbangkan aspek-aspek kemaslahatan yang ada di dalamnya. Pilihan-pilihan orang terhadap kemaslahatan untuk menjawab satu kasus tentu berbeda-beda, karena latarbelakang sosialnya yang berlain-lainan.


Atas dasar uraian di atas, rasanya sulit bagi kita menerima kesimpulan Masdar mengenai ucapan al Syafi’i “idza shahha al hadits fahuwa mazhabi” yang dikutip al Syaibani dalam al Hujaj tersebut, sebagai orang yang benar-benar anti kemaslahatan atau dengan bahasa yang agak sopan ; mengabaikan aspek kemaslahatan. Saya tidak tahu persis apakah Masdar belum sempat memahami secara mendalam makna ucapan al Syafi’i itu. Masdar mengutip kata-kata itu, seperti yang diakuinya dalam buku ini (Agama Keadilan) dari buku Ahmad Hasan berjudul : “Pintu Ijtihad sebelum tertutup”.


Jadi Imam al Syafi’i bukanlah seorang pengikut mazhab zhahiri (literalis) sepenuhnya. Saya kira tidak ada seorangpun ulama yang menganggap Imam al Syafi’i mempunyai pandangan demikian. Imam al syafi’I, demikian juga imam dan para ahli fiqh besar yang lain, memberikan apresiasi yang cukup kuat terhadap peran akal atau logika dan pertimbangan-pertimbangan yang lain guna memutuskan suatu masalah. Sebutan al Zhahiri lebih popular dihubungkan kepada Dawud dan pengikut utamanya Ibnu Hazm dari  Andalusia. Fiqh mereka dikenal sebagai fiqh zhahiri. Predikat ini disandangnya karena kecendrungannya yang anti analogi atau nufah al Qiyas. Dalam bukunya yang terkenal “Al Ihkam fi Ushul al Ahkam”, Ibnu Hazm mengatakan dengan lugas bahwa Tuhan menegaskan dirinya : “la yus-alu wahum yus-alun”/Dia tidak dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dikerjakan-Nya akan tetapi mereka (makhluq) lah yang akan dimintai pertanggungjawabannya (atas apa yang telah mereka kerjakan).(Q.S. Al Anbiya, 23).16 Ibnu Hazm juga mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan tidak dapat diberlakukan pertanyaan : “Mengapa”. Katanya : “Apabila kita tidak dibenarkan mempertanyakan hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan-Nya : “mengapa ini terjadi”, maka secara keseluruhan, sebab-sebab dari hukum dan perbuatan itu batal. Kausa-kausa sama sekali harus gugur. Kecuali apa yang sudah di nash (ditetapkan secara lugas/harfiyah) oleh Dia sendiri. Karena itu tidak seorangpun boleh menanyakan mengapa sebab ini untuk hukum itu, dan mengapa tidak untuk yang lain. Kita juga tidak boleh menanyakan mengapa untuk kasus ini ada sebab (kausa), mengapa untuk kasus yang lain tidak ada sebab. Orang yang bertanya demikian benar-benar durhaka kepada Allah, menentang agama dan mengingkari firman Allah : “la yus-alu ‘amma yaf’alu wahum yus-alun”. Mereka yang menanyakan perbuatan Allah adalah fasiq. Oleh karena itu, maka ‘illat (kausa) seluruhnya harus dinafikan dari Tuhan. Ini adalah keniscayaan yang tidak bisa tidak”.17 


Pandangan Ibnu Hazm di atas setidaknya menggambarkan kepada kita tentang keharusan memahami teks syari’ah secara apa adanya, sesuai dengan makna lahirnya. Meskipun dengan mengiktui apa adanya, keputusan-keputusan Tuhan bagaimanapun menurutnya pasti mengandung kebaikan dan kemaslahatan bagi manusia dan alam semesta. Baginya teks-teks syari’ah tidak perlu difahami melalui rasio. Pemahaman berdasarkan rasio, kata dia, bersifat spekulatif, tidak meyakinkan dan tidak mengandung kebenaran. Untuk meyakinkan pendapatnya,  ia mengutip firman Allah : “inna al zhann la yughni min al haqq syai-an”, sungguh, zhan (pemikiran spekulatif) sama sekali tidak berguna untuk suatu kebenaran”.18 Pandangan-pandangan filosof dan teolog besar ini sebagaimana dikemukakannya dalam buku di atas dengan gaya bahaya yang lugas mencerminkan penafian atau setidak-tidaknya mereduksi peran-peran akal pikiran, meskipun dia juga mengerti bahwa  melalui akal pikiran manusia itulah Tuhan mengamanatkan teknis pengelolaan bumi ini untuk kepentingan (kemaslahatan) mereka dan bukan untuk kepentingan Tuhan, karena Dia memang tidak membutuhkan apa-apa dari siapapun. Pada sisi lain, Ibnu Hazm, sesungguhnya menggunakan argumen-argumen rasional untuk menguatkan pikiran-pikirannya.


Terlepas dari kesulitan kita memahami pikiran Ibnu Hazm di atas, adalah menarik tawaran kompromistik dari seorang faqih Hanafi, Kamal al Din ibn al Hummam (790-861 H/1387-1456 M). Ia mengatakan bahwa pertanyaan apakah hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat rasional atau tidak (tu’allal bi ‘illah am la), sebenarnya hanya terkait dengan persoalan semantic belaka dan tidaklah substansial. Perbedaan itu terjadi karena sudut pandang yang berlainan, kepada siapakah kemaslahatan tersebut ditujukan. Mereka yang mengembalikan kemaslahatan itu kepada Allah, akan berpendapat bahwa hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan Tuhan “la tu’allal bi ‘illah”, tidak karena sesuatu alasan tertentu, yang dalam bahasa Masdar dikatakan “tan kinaya apa”, dan seyogyanya tidak perlu dimasalahkan. Akan tetapi mereka yang memulangkan kemaslahatan tersebut kepada manusia, maka akan memandang sebaliknya ; “tu’allal bi ‘illah”.19


Qath’i-Zhanni Dan Kemaslahatan


Komitment dan konsistensi Masdar terhadap gagasan perlunya kemaslahatan sebagai basis hukum Islam (fiqh) telah memaksanya untuk melancarkan kritik terhadap terminology teks-teks Qath’i-Zhanni baik dalam al Qur-an maupun hadits. Term Qath’i-Zhanni dalam fiqh sama dengan term Muhkamat-Mutasyabihat dalam ilmu Kalam. Masdar memperkenalkan atau mendefinisikan ayat-ayat Muhkamat/Qath’i sebagai “ayat-ayat yang menunjukkan pada prinsip Keesaan Tuhan, keadilan, persamaan hak dasar manusia, kesejajaran manusia di muka hukum, kebebasan beragama/berkeyakinan, musyawarah, bersedian mendengarkan pendapat, kesediaan memberi dan menerima kritik, tolong menolong dalam kebaikan, menghormati hak-hak sah orang lain dan sebagainya”.20 Melalui definisi yang dibuatnya ini, agaknya Masdar berharap akan memberikan peluang yang bebas dan luas bagi transformasi fiqh kini dan mendatang. Masdar tampaknya sadar tetapi penuh gelisah bahwa fiqh selama ini berada dalam kondisi stagnan, jumud, tidak berkembang. Salah satu sebabnya adalah karena para ahli fiqh sekarang terbelenggu pada terma-terma konvensional dan konservatif, terma-terma yang dirumuskan para pendahulunya, tanpa keberanian untuk mengkritik dan menerobosnya. Dampaknya adalah hukum Islam (fiqh) tidak mampu beradaptasi dengan modernitas dan perubahan yang terus bergulir tanpa henti. Fiqh tidak mampu memberikan jawaban yang relevan dan tidak muncul sebagai pembawa pesan kerahmatan dan keadilan bagi masyarakat sebagaimana cita-cita Islam sendiri. Fiqh hanya memberikan jawaban tetapi bukan solusi. Masdar, melalui terma baru yang ditawarkan rumusannya,  berharap akan dapat menerobos kebuntuan fiqh tersebut. Untuk ini ia mencoba mengaplikasikannya dalam kasus-kasus zakat (pajak) sebagaimana diuraikan dalam buku ini. Harapan dan semangat Masdar seperti ini memang mengagumkan dan patut mendapatkan apresiasi tersendiri. Gagasan pembaruan fiqh dalam rangka menegakkan keadilan social dan kemaslahatan umat dari siapapun seharusnya perlu mendapatkan responsi yang tinggi.


Akan tetapi terus terang rumusan Qath’i-Zhanni/Muhkamat-Mutasyabihat yang ditawarkan Masdar tidak dikenal dalam dunia pemikiran kaum muslimin dulu dan sekarang. Dia menggunakan terma tersebut untuk rumusan yang lain yang dia buat. Meskipun demikian, sebagai sebuah pikiran adalah absah saja jika Masdar mau berbuat begitu. Istilah Qath’i bukan istilah paradigmatic, melainkan istilah teknis yang berkaitan dengan pemaknaan suatu lafaz.  Para ahli fiqh Islam yang berbahasa Arab mendefinisikan Qath’i sebagai teks/lafaz yang menunjuk pada makna yang jelas-lugas, yang tidak mengandung pemaknaan ganda. Sebutan lain untuk makna yang sama dengan qath’i dikenal juga dengan istilah “nash”. Secara terminologis, Qath’i atau Nash adalah kata atau kalimat yang hanya mengandung satu arti atau kata yang tidak bisa ditafsiri. Abu Hamid al Ghazali dalam Al Mustashfa mengatakan bahwa yang dimaksud dengan nash adalah : “ma la yahtamil al ta’wil /lafaz yang tidak memungkinkan pentakwilan atau penafsiran”. Pada tempat lain ia mengatakan : ma la yatatharraqu ilaihi ihtimal ashlan la ‘an qurbin wa la ‘an bu’din”/lafaz yang tidak bisa mengandung kemungkinan sama sekali, baik kemungkinan dekat maupun  jauh.” 21 Al Ghazali memberikan contoh untuk kata-kata qath’i ini, seperti lafaz “khamsah” (lima). Ini adalah kata yang jelas, tidak mengandung arti enam atau empat. Atau seperti kata “faras”  (kuda). Kata ini bermakna kuda, bukan khimar atau unta atau lainnya.22  Dalam al Qur-an misalnya firman Allah : “al zaaniyatu wa al zaaniy fajlidu kulla wahidin minhuma mi-ata jaldah”/pezina perempuan dan pezina laki-laki, cambuklah masing-masing  seratus kali”. Kata ‘mi-ah’ (seratus) adalah kata-kata qath’i, karena tidak bermakna selain dari seratus. Demikian pula kata-kata bilangan yang lain.


Kebalikan dari Qath’i adalah Zhanni. Secara literal zhanni berarti sesuatu yang bersifat dugaan setingkat lebih kuat dari ragu-ragu (syak) dan setingkat lebih rendah dari keyakinan. Dalam terminology ahli fiqh ia berarti teks/  kata/lafaz yang mengandung makna ganda. Ia adalah teks/kata-kata yang mengandung sejumlah kemungkinan makna. Dalam bahasa lain lafaz zhanni adalah lafaz interpretable. Karena itu fiqh selalu dikatakan sebagai produk pemikiran  zhan, karena ia dieksplorasi dari dalil-dalil zhanni. Maka konsekwensi lebih lanjut dari pemikiran ini munculnya sejumlah pendapat yang berbeda diantara para ahli fiqh/mujtahid. 


Menanggapi soal lafazh qath’i ini, ada pertanyaan menarik yang dikemukakan seorang teolog sunni sekaligus  pemikir metodologi fiqh terkemuka, Fakhr al Din al Razi dalam dua bukunya yang terkenal : “Al Mahshul min ‘Ilm al Ushul” dan Al Mathalib al ‘Aliyah min al ‘Ilm al Ilahiy”. Dalam  bukunya : “Al Mahshul min ‘Ilm al Ushul”, dia mengajukan sebuah pertanyaan : “Al Istidlal al Lafzhiyyah hal tufid al yaqin ?”/Apakah penarikan kesimpulan (istidlal) dari sebuah bahasa atau teks (khithab) dapat memberikan pemaknaan yang meyakinkan? (jelas dan pasti/qath’i). Al Razi kemudian menjawab sendiri pertanyaan itu bahwa ada perbedaan pendapat ulama mengenai ini. Tetapi dia, ssesudah melakukan analisis tampak cenderung pada pendapat yang menafikannya. Yakni bahwa kesimpulan yang difahami dari semua teks tidak memberikan pemahaman pasti (la yufid al qath’), melainkan zhan, karena kesimpulan tersebut didasarkan atas premis-premis yang zhan.  Al Razi menyebutkan ada sembilan hal yang bersifat zhanni. Sementara dalam “Al Mathalib al ‘Aliyah” menyebut 10 buah. Beberapa premis yang bersifat zhan itu antara lain, pertama bahwa ia diperoleh  dari para ahli bahasa. Pemaknaan teks dihasilkan melalui sebuah rangkaian transmisi atau periwayatan dari orang ke orang.  Kedua, untuk menyatakan bahwa makna sebuah teks adalah A, diperlukan adanya jaminan bahwa makna itu bukanlah makna majazi (metaforik), atau bukan kata yang bermakna ganda (isytirak), atau bukan kata yang dihasilkan dari pengambilalihan dari pengertian lain (naql). Dapatkah dipastikan bahwa A tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan tersebut?. Kemungkinan ketiga adalah  jika sebuah teks bermakna A, apakah  bukan tidak mungkin bahwa pemaknaan demikian karena ada kata lain yang tidak dimunculkan (idhmar/hazdf)?. Atau ke empat, mungkinkah bahwa ia bukan teks yang di “takhshish” (dikhususkan/dikecualikan), atau bukan teks nasikh (yang membatalkan). Dan yang terakhir adalah apakah makna yang disimpulkan tersebut tidak bertentangan dengan logika rasional dengan status qath’i (nafyu al mu’aridh al ‘aqliy)? Bagaimana jika teks tersebut bertentangan dengan akal yang qath’i ?. Mana yang didahulukan, naql (teks) yang qath’i atau akal yang qath’i ? Semua ini merupakan hal-hal yang zhan (dugaan/spekulasi). Pada akhirnya al Razi dalam kesimpulannya mengatakan : “Anna al inshaf annahu la sabila ila istifadah al yaqin min hadzihi al dalaa-il al lafzhiyyah illa idza iqtaranat biha qaraa-in tufid al yaqin, sawaa-un kanat tilka al qaraa-in musyahadah aw manqulah ilaina bi al tawatur”/bahwa pendapat paling moderat adalah bahwa makna suatu kata atau kalimat hanya bisa berarti qath’i, jika didukung oleh bukti-bukti lain yang memberikan keyakinan, yaitu, pertama jika ada bukti-bukti empiris  dan kedua jika ada kesepakatan orang mengenainya (Al Razi menyebutnya ada informasi yang mutawatir). 23Kesimpulan yang dapat kita peroleh dari al Razi ini adalah bahwa teks/lafaz qath’i adalah teks/lafaz yang menunjuk pada satu arti tertentu dan tidak mengandung pengertian lain sepanjang dihasilkan atas dasar kesepakatan orang  dan tidak bertentangan dengan kenyataan-kenyataan empirik maupun logika rasional. Yang menarik dari al Razi adalah ketika ia berpendapat bahwa dalam hal naql qath’i bertentangan dengan akal qath’i, maka akal qath’i lah yang harus diunggulkan.

Pemaknaan lafaz Qath’i bisa berubah

Pertanyaan berikutnya adalah apakah suatu dalil qath’i tidak bisa berubah ? Atau apakah kesepakatan tidak dapat dirubah oleh kesepakatan baru ?. Pertanyaan ini mungkin bisa membantu kita memecahkan masalah yang dirisaukan oleh Masdar. Ini karena agaknya telah menjadi keyakinan umum kaum muslimin, termasuk Masdar, bahwa lafaz qath’iy al dilalah adalah suatu keputusan yang sama sekali tidak bisa dirubah selama-lamanya. Pandangan umum ini didasarkan atas sebuah kaedah fiqh yang menyatakan : “la majala li al ijtihad fi wurud al nash al qath’i”/tidak ada ijtihad ketika ada teks yang qath’i. Keyakinan seperti inilah yang selalu  menggelisahkan Masdar sehingga ia mencari jalan pintas melalui perubahan terminologi qath’iy al dilalah seperti yang sudah ditulisnya. Dengan rumusan qath’i yang ditawarkannya, Masdar meyakini bahwa jalan bagi pengembangan fiqh untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer dapat diselesaikan. Menurut hemat saya, seharusnya Masdar dapat melihat bahwa lafaz qath’i adalah satu hal, dan  perubahan adalah hal lain. Demikianlah, maka bagi saya teks-teks qath’i dapat berubah maknanya ketika ia sudah tidak lagi sesuai dengan kenyataan sosial atau tidak lagi dapat diterima secara rasional. Hal ini mengingatkan kita pada hasil-hasil penemuan ilmiyah. Ia boleh jadi dalam kurun waktu tertentu diterima dan diyakini sebagai suatu kebenaran, karena didasarkan atas penelitian-penelitian empirik yang akurat dan rasional. Akan tetapi keyakinan tersebut  bisa berubah, ketika terdapat bukti-bukti baru yang juga didasarkan atas penelitian empirik yang akurat dan rasional pula.


Bicara tentang teks qath’i-zhanni adalah bicara tentang kepastian atau kenisbian makna dari sebuah teks dalam tataran pikiran manusia. Soalnya  teks hanya bicara kepada manusia. Dan saya kira benar apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah : “al Haqiqah fi al A’yan la fi al Zhan”, hakikat kebenaran dan kepastian adalah dalam kenyataan empirik bukan dalam zhan (pikiran-pikiran spekulatif). Sementara perubahan adalah keniscayaan sejarah. Tidak ada satupun wacana yang tidak bisa berubah. Teks dan realitas sejarah saling mempengaruhi. Teks boleh tetap, tetapi tidak untuk pemaknaannya. Pemaknaan suatu bahasa selalu terkait dengan perubahan-perubahan kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan seterusnya.


Membaca pengalaman sejarah hukum Islam  dari waktu ke waktu sesungguhnya kita menjumpai sejumlah contoh kasus yang telah diputuskan dengan dasar dalil qath’i, tetapi kemudian mengalami perubahan hukum. Ini terjadi  karena beberapa alasan, antara lain yang terpenting adalah karena adanya konteks sosial yang berubah. Umar bin Khattab misalnya telah melakukan perubah hukum yang sudah dipraktekkan oleh Nabi saw. (dan tentu saja tidak seorangpun waktu itu yang bisa menentang keputusan beliau), seperti dalam kasus perceraian. Ucapan cerai tiga yang diucapkan seorang suami kepada isterinya sekaligus, oleh Nabi saw. diputuskan sebagai jatuh satu. Keputusan ini tetap berlaku sampai dua tahun masa pemerintahan Umar. Akan tetapi sesudah itu Umar memutuskannya sebagai jatuh tiga, sehingga suami tidak bisa merujuknya. Meskipun keputusan ini ditentang oleh sebagian sahabat, karena dianggap jelas-jelas berseberangan dengan keputusan nabi, tetapi Umar tetap pada pendiriannya. Umar mengemukan suatu argumen yang menarik. Ia mengatakan bahwa kehidupan sosial telah berubah. Kecenderungan umum masyarakat sekarang telah mengarah pada keinginan untuk memahami ucapan talak tiga sebagai tiga. Dengan kecenderungan ini mereka ingin menyegerakan persoalan yang seharusnya dilakukan secara gradual, dan ini sungguh menyakitkan kaum perempuan. Umar mengikuti kecenderungan umum itu. Dengan keputusan itu Umar bermaksud memberikan pelajaran agar mereka tidak main-main dengan soal itu. Menurut Umar keputusan itu tidak bertentangan dengan keputusan nabi saw. karena ada substansi yang sama, yakni demi kemaslahatan (kebaikan sosial).24  Umar juga melakukan perubahan-perubahan hukum dalam sejumlah kasus lain, seperti kasus pembagian tanah di Irak (Sawad al Iraq), membatalkan hukuman potong tangan terhadap pencuri, karena kondisi krisis ekonomi (paceklik), dan pengabaian hak zakat bagi “muallaf”, karena komunitas muslim sudah cukup kuat, dan sebagainya. Semua kasus hukum tersebut didasarkan atas teks-teks yang jelas bahkan dipraktekkan sendiri oleh Nabi saw. Satu hal paling utama dalam pandangan Umar ketika ia melakukan perubahan hukum adalah faktor kemaslahatan (baca ; kebaikan sosial). Inilah pertimbangan sentral dalam setiap pengambilan keputusan berkaitan dengan relasi-relasi manusia.  Mempertimbangkan kemaslahatan sebagai dasar keputusan hukum jelas tidak terlepas dari pertimbangan faktor rasio hukumnya. Kemaslahatan adalah perspektif sekaligus visi-legis, sementara rasio-legis, causa atau illat adalah mekanisme, cara atau metoda memahami mengapa suatu hukum harus lahir. Terlepas apakah ia berarti “memunculkan” (muzhir) atau “menetapkan” (mutsbit) hukum, namun hukum tetap lahir. Di atas rasio legis ini terletak rasio perubahan. Para ahli fiqh sepakat menggunakan rasio legis ini, sebagaimana dijelaskan dalam kaedah fiqh “al hukm yaduur ma’a illatih wujudan wa ‘adaman”. Dalam bahasa lain kaedah tersebut dikenal juga dengan istilah “tariq al talazum wa al wuqu’” (the methode of agreement) yang berarti jika causa ada maka hukum ada. Atau sebaliknya “thariq al takhaluf fi al wuqu’” (the methode of difference) yang berarti ; jika causa tidak ada, maka hukum juga tidak ada.[1]


Inilah mekanisme dalam dialektika dan perubahan hukum. Ada simbiosa antara logika dan perubahan.


Kembali pada soal qath’i-zhanni di atas, saya ingin mengatakan bahwa harus dibedakan antara dua istilah ;  antara sesuatu yang tetap di satu sisi dan sesuatu yang jelas-lugas-pasti di sisi yang lain. Kemasalahatan, keadilan dan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia atau hal-hal lain yang menjadi fitrah manusia adalah sesuatu yang tetap, tidak berubah dan menjadi prinsip utama dalam setiap pengambilan keputusan kapan dan di manapun. Sedangkan lafazh/teks yang jelas adalah istilah teknis bahasa untuk mengungkapkan sebuah keputusan yang harus dipatuhi semua orang untuk suatu waktu tertentu. Keputusan aturan ini tetap berlaku sepanjang isi atau maknanya  tidak bertentangan dengan kenyataan-kenyataan empiris dan  dapat diterima  secara rasional serta masih disepakati masyarakat, karena dipandang masih menunjukkan kemasalahatan atau keadilannya bagi mereka.


Dalam wacana Islam hal-hal yang tetap dan tidak bisa berubah tersebut dapat diringkas menjadi dua hal saja, yakni “ma’lum min al din bi al dharurah” dan “al kulliyat al khams”. Hal-hal yang terkandung dalam “ma’lum min al din bi al dharurah” antara lain adalah keimanan, shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan “al Kulliyyat al Khams” adalah lima prinsip utama sebagai basis etika universal bagi perumusan aturan-aturan yang berkaitan dengan hubungan-hubungan sosial-kemasyarakatan dan lebih luas lagi hubungan kemanusiaan. Lima prinsip utama ini meliputi perlindungan dan penghargaan atas hak-hak dasar manusia, mengenai keyakinan agama atau kepercayaan, keselamatan diri, kebebasan berfikir dan berekspresi, perlindungan kehormatan dan keturunan, maupun perlindungan atas hak milik pribadi (properti).


Sementara itu, sebagai aturan yang tentu saja berkaitan dengan relasi-relasi sosial dan kemanusiaan, sebuah teks betapapun jelas dan lugas (teks qath’i) pengertian yang dikandungnya, ia tetaplah mengandung kemungkinan untuk suatu perubahan. Artinya teks qath’i tersebut dapat diberikan interpretasi atau takwil, dapat diijtihadi kembali. Hal ini tergantung apakah ia (makna yang pasti dan disepakati itu) masih relevan dengan tuntutan perkembangan dan perubahan sosialnya atau tidak. Teks adalah huruf-huruf atau simbol-simbol yang memerlukan pemaknaan dari manusia. Tanpa pemaknaan oleh manusia ia tidak berarti apa-apa. Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan : “Al Qur-an baina daffataiy al mushaf la yanthiq wa innama yatakallamu bihi al rijal”/teks-teks al Qur-an yang terdapat di antara dua sisi mushaf adalah teks diam, tidak bicara (berfikir) apa-apa, yang bicara adalah manusia”[2]. Dan tidak dapat disanggah oleh siapapun bahwa manusia selalu berada dalam ruang dialektika sejarah. Ini berarti bahwa teks, apapun ia, tidak bisa melepaskan diri dari konteks sosiohistorisnya. Derngan begitu kita mungkin bisa mengatakan bahwa lafaz qath’i adalah lafazh yang maknanya jelas dan tetap untuk sementara waktu, sedangkan “al kulliyat” adalah kalimat yang tetap dan abadi.


Pandangan Masdar nampaknya mengadopsi pikiran-pikiran Abu Ishaq al Syathibi penulis buku “al Muwafaqat fi Ushul al Syari’ah”. Dalam buku ini al Syathibi menyebut sejumlah kaedah-kaedah fiqh atau prinsip-prinsip fiqh (al qawa’id al ushuliyah) sebagai sesuatu yang Qath’i. Sejumlah teoritisi fiqh seperti Ibnu al Hajib, al Ghazali dan mayoritas mazhab Hanafi, menyetujui pandangan ini. Tetapi lagi-lagi argumen keputusan ini berkaitan dengan akal pikiran dan hasil-hasil penelitian (istiqra).[3]  

Langkah-langkah pengembangan fiqh

Buku Agama Keadilan sekali lagi memperlihatkan dengan jelas bahwa ia ditulis oleh orang muda yang tengah melihat dengan penuh gelisah berbagai kenyataan kegagalan kaum muslimin tradisionalis/ortodoks dalam mengatasi hubungan universalitas Islam dan tuntutan-tuntutan sosial yang terus berubah. Masdar, penulis tersebut, mencoba mencari-cari dengan penuh semangat sebuah solusi menyeluruh untuk menjembatani ketegangan hubungan tersebut. Dia mencoba menggugat pikiran umat melalui paradigma dan gagasan kemaslahatannya (baca : keadilan). Ide ini sesungguhnya bukanlah hal baru. Selama berabad-abad sejumlah ahli teori hukum fiqh (ushuliyyin) terus membincangkannya dengan serius dan luas. Satu tokoh paling menonjol komitmennya dalam paradigma ini adalah Najm al Din al Thufi.  Jika wacana pardigmatik tersebut masih dirasakan stagnan, dan belum menunjukkan kemajuannya, maka hal itu boleh jadi karena ia belum mendapatkan respon yang kuat dari masyarakat muslim sendiri. Struktur berfikir masyarakat muslim masih terbelenggu pada pikiran-pikiran konservatif. Pikiran-pikiran ini dalam kurun waktu yang panjang masih menunjukkan dominasinya yang sangat kuat di kalangan umat Islam. Masdar sangat menyadari hal ini. Saya kira rekonstruksi Masdar perlu dilanjutkan dengan misalnya menyusun metodologi yang mampu menunjang gagasan besarnya itu. Saya kira kegagalan kaum muslimin modernis belakangan ini dalam menyusun agenda gerakannya adalah justeru terletak pada persoalan basis metodologi dan bukan pada soal paradigma kemaslahatan dan keadilan. Paradigma ini sudah menjadi komitmen para ahli fiqh, sebagaimana telah diuraikan di muka. Saya kira kita telah melihat munculnya sejumlah pemikir kontemporer yang tengah bergelut dengan persoalan-persoalan epistimologi dan metologi ini. Fazlur Rahman, Arkoun, Hasan Hanafi, Al Jabiri, Thaha Mahmud, Nashr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Sahrur, adalah beberapa nama pemikir muslim kontemporer paling populer dalam bidang ini. Mereka bicara soal wacana kontemporer, tentang bahasa, semiotika, hermeneutika, sejarah dan tradisi sebagai bahan-bahan bagi penyusunan epistimologi dan metodologi pemikiran Islam.

Mencari metode fiqh yang berpijak pada tradisi

Beberapa uraian di muka setidaknya telah memberikan gambaran bagaimana seharusnya upaya-upaya dan langkah-langkah pengembangan fiqh sedang dilakukan untuk menjawab berbagai persoalan kontemporer yang terus berubah. Agak disayangkan memang bahwa pikiran-pikiran kaum modernis di atas belum mendapatkan appresiasi yang memadai dari masyarakat muslim. Alih-alih mendapatkan apresiasi, pikiran-pikiran mereka justeru menimbulkan resistensi sangat kuat dan sengit dari para pemikir kontemporer konservatif. Dalam pandangan kaum konservatif, pemikiran kaum modernis yang sangat kritis itu, merupakan serangan yang sangat liberal terhadap epistimologi tradisional. Pikiran-pikiran mereka tidaklah mainstream, bahkan dianggap mengancam, sebagian menyebutnya sebagai merusak Islam dari dalam. Beberapa waktu lalu seorang pemikir muslim kontemporer, Nasr Hamid Abu Zaid, seorang profesor telah divonis “murtad” dan dengan begitu perkawinan dengan isterinya tercerai dengan sendirinya. Fatwa tersebut dikeluarkan berkaitan dengan pandangan-pandangan Abu Zaid yang mengkritisi pandangan, antara lain Imam al Syafi’i dalam bukunya : “Al Imam al Syafi’i wa Ta’sis al Aidiulugijah al Wasathiyah”     (Imam Syafi’i, Moderatisme, Eklektisisme Arabisme) dan “Naqd al Khithab al Diniy” (Kritik Wacana Agama). Sebelumnya Muhammad Thaha Mahmud, pemikir Sudan harus menghembuskan nafas terakhirnya di tiang gantungan. Ini juga gara-gara gagasan-gagasan pemikirannya yang dianggap nyleneh, atau menyimpang dari mainstream, meskipun ia sendiri tidak bermaksud menyimpangkannya, bahkan justeru ingin meluruskannya. 


Melihat realitas ini kita tampaknya harus berhati-hati ketika kita akan melangkah ke arah perumusan metodologi yang lebih relevan dengan tuntutan kekiniannya. Untuk zaman yang akan datang, ketika rasionalisme dan empirisisme memperoleh tempat dalam pemikiran masyarakat muslim, say sangat optimis bahwa pikiran-pikiran tersebut akan berkembang. Namun untuk sementara waktu, agaknya kita perlu melangkah secara evolutif, gradual, setahap demi setahap dalam upaya kita mencari cara menyelesaikan problema-problema modernitas, utamanya dalam menjawab kasus-kasus fiqh kontemporer. Jika fatwa-fatwa yang berisi vonis kematian oleh sebagian orang dilatarbelakangi oleh ketersinggungan politik ideologis, termasuk ideologis Arabisme,  seperti yang dinyatakan oleh Nasr terhadap al Syafi’i, maka upaya-upaya ke arah pembaruan dan perubahan juga mungkin lebih strategis jika dilakukan melalui cara-cara strategi kompromistis. Langkah-langkah yang diperlukan dalam kerangka ini haruslah tetap berpijak pada tradisi dan khazanah intelektual yang dimiliki kaum muslimin, sambil terus melanjutkannya ke arah yang lebih terbuka.


Saya kira Masdar perlu mempertimbangkan langkah-langkah ini, apalagi ketika dia kini telah memasuki jabatan struktural penting dalam organisasi kaum tradisionalis, NU. Sebagai wakil Katib Syuriah PBNU, posisi Masdar sangat strategis jika dia harus melakukan transformasi di dalam tradisi pemikiran kaum Nahdhyyin. Saya melihat betapa Masdar masih terus memasarkan ide-ide zakat seperti yang dituangkan dalam bukunya itu. Saya harus merasa sedih ketika dalam forum “bahtsul masail” yang digelar pada Muktamar NU di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, 1999 yang lalu, Masdar dihabisi ramai-ramai oleh para peserta forum yang nota bena adalah para kiyai/ulama dengan tradisi kitab-kitab klasiknya yang kental. Entah karena faktor apa bahwa Masdar masih beruntung karena tidak mendapatkan vonis yang mematikannya. Hal yang sama sebetulnya juga pernah dialami oleh pendahulunya, Dr. Said Aqiel Siraj, Katib ‘Am PBNU ketika itu (kini salah seorang rois ).


Ini memperlihatkan bagaimana wacana yang ditawarkan Masdar (begitu juga Said Aqil) masih menghadapi kendala besar. Saya kira kendala tersebut antara lain adalah kultur epistimologis yang selama ini dibangun dan dipegang kuat-kuat oleh mayoritas masyarakat muslim. Stagnasi pemikiran kaum muslimin yang panjang telah membuat pikiran-pikiran klasik yang dibangun oleh para tokoh pemikir muslim yang kharismatik telah menjadi darah-daging dan sangat sulit dilepaskan dan dipilah-pilah dari pikiran mereka. Tetapi lagi-lagi kita perlu bertanya apakah kita akan terus membiarkan nasib kaum muslimin di seluruh dunia Islam akan tetap terpinggirkan dan tertinggal atau bahkan dianggap menghambat modernitas?. Adalah sangat tidak realistis jika mereka harus menolak modernitas tersebut karena keseharian hidup mereka sudah terkepung dalam siklus-siklus kemodernan itu dan menjalaninya. Jalan kompromi dengan memadukan antara basis intelektual klasik dengan analisis modern berikut temuan-temuannya merupakan cara-cara strategis yang perlu ditempuh. Saya termasuk orang yang masih mempercayai bahwa metodologi yang dibuat para pemikir teori fiqh klasik masih memberikan peluang yang sangat luas bagi pengembangan fiqh. Persoalan yang dihadapi masyarakat muslim dewasa ini terletak pada kesungguhan dan keseriusan mereka untuk melakukan penelitian dan analisis kritis terhadap karya-karya klasik tersebut di bawah semangat yang ditunjukkan oleh tujuan-tujuan syari’ah (maqashid al syari’ah). Penelitian yang dimaksud adalah menyangkut teks-teks yang digunakan baik dari sumber-sumber asli syari’ah maupun produk-produk penelitian ulama dan pemikir muslim sendiri dan terhadap kenyataan-kenyataan yang dihadapi dalam konteks lokal dan sekarang.


Pengembangan fiqh oleh kaum muslimin sebenarnya  bukannya tidak ada. Akan tetapi karena perjalanannya yang amat lambat membuat pengembangan tersebut tidak kentara, seakan-akan berhenti.


Banyak cara yang bisa dipertimbangkan bagi pengembangan hukum-hukum fiqh untuk kini dan mendatang. Pertama adalah meneliti teks-teks syari’ah yang relevan. Teks-teks harfiyah tidaklah menjadi masalah untuk menjadi dasar legitimasi fiqh sepanjang masih memenuhi tuntutan kemaslahatan kontemporer dan kontekstual. “Ibarat-ibarat” dalam kitab kuning tidak seluruhnya dianggap tidak relevan. Sepanjang ia memuat keputusan yang relevan dan menjadi jalan keluar dari problem yang dihadapi saya kira bisa dikutip dan dijadikan landasan keputusan kita hari ini. Tetapi dalam hal ini kita tidak harus terjebak pada keputusan-keputusan yang membatasi pemikiran kita. Seluruh mazhab atau aliran pemikiran fiqh Islam adalah warisan besar kaum muslimin yang sah, karena semuanya bermuara pada sumber-sumber syari’ah. Pandangan ilmiyah selalu memperlihatkan inklusifitasnya terhadap setiap produk-produk pemikiran ilmiyah. Dalam sejarah kebudayaan Islam produk-produk pemikiran dan filsafat asing mendapatkan apresiasi yang tinggi dari masyarakat muslim. Popularitas Islam dan kemajuan peradabannya justeru berawal dari pergumulannya dengan warisan asing, seperi dari Yunani, Romawi dan Persia. Bahkan di antara mereka ada yang belajar dari pemeluk agama non Islam. Adalah menarik apa yang disampaikan oleh Abu Abd Allah al Hakim dalam bukunya “Manaqib al Syafi’i”, pada bab XXIV. Ketika al Syafi’i ditanya tentang kepiawaiannya dalam ilmu kedokteran, ia menjawab : ‘Aku mengerti apa yang diucapkan orang-orang Romawi, seperti Aristoteles, Mehrorius, Porporius, Galenus dan Epicorus. Aku mengerti bahasa mereka”.[4] Islam bukanlah agama yang tertutup. Ia memberikan kepada kaum muslimin kebebasan berfikir, sebagaimana yang sering disebutkan al Qur-an..  Mereka tampaknya memahami benar kata-kata bijak ini : “hikmah (ilmu pengetahuan) adalah barang yang hilang dari tangan orang beriman. Karena itu di manapun mereka menemukannya, mereka berhak memungut atau mengambilnya kembali”. Kegagalan bangsa-bangsa dalam meraih kemajuannya disebabkan antara lain oleh pandangannya yang eksklusif.

       

Zaman fanatisme mazhab telah berakhir. Ia adalah produk sejarah lama yang terbentuk oleh ideologi-ideologi politik berbaju agama. Sulit untuk dapat difahami jika agama tidak mentoleransi pluralisme. Pada masa awal Islam pluralisme dalam pemikiran hukum begitu subur dan dalam suasana yang saling menghargai. Tidak ada diktum agama yang mengharuskan orang untuk hanya terikat pada satu aliran hukum tertentu. Setiap orang berhak bertanya dan mengikuti siapa saja yang dipandang memiliki pengetahuan. Al Qur-an hanya menyarankan agar orang yang tidak mengerti bertanya atau mencari informasi kepada orang-orang yang mengerti (fas aluu ahla al dzikr in kuntum la ta’lamun).


Dari sinilah, maka kebebasan untuk memilih suatu pandangan fiqh yang paling relevan dengan semangat kemaslahatan dari manapun datangnya seharusnya  dihargai. Pendekatan metode “takhyir” atau “intiqa-iy”, meminjam istilah Yusuf Qardhawi, untuk keperluan menjawab masalah-masalah kontemporer bukanlah sesuatu yang naif. Cara ini bukan khas kaum muslimin, tetapi juga bangsa-bangsa yang lain. Saya tetap menghargai cara “taqrir” atas suatu pendapat tertentu, jika jawaban tersebut telah memenuhi unsur kemaslahatan.


Meski demikian, cara-cara seperti ini memang masih sangat eklektik. Dalam ushul fiqh cara ini bisa dibilang sebagai “tajazzu’ al ijtihad”. Ia merupakan cara yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat muslim sampai hari ini. Dilihat dari aspek bahwa ia merupakan upaya untuk memilih produk fiqh yang lebih maslahat tanpa keterikatan pada mazhab tertentu, maka boleh dibilang ini merupakan sebuah kemajuan dan sebuah ijtihad.


Kedua, apabila pemecahan dengan cara ini tidak memenuhi tuntutan kemaslahatan kontemporer, maka penelitian dilakukan terhadap teks-teks harfiyah tersebut dengan menganalisis berbagai kemungkinan yang dapat diambil. Di bawah judul “Al Istidlal bi Khithab Allah wa Rasulih”, Fakhr al Din al Razi mengatakan : “Allah menyebut al Qur-an sebagai huda (petunjuk), syifa (obat penyembuh) dan bayan (penjelasan) bagi manusia. Hal-hal ini tidak dapat dibuktikan dengan nyata tanpa kemampuan memahami maknanya. Al Razi kemudian menyebutkan berbagai kemungkinan analitik.[5]


Sementara al Ghazali menyebut cara ini dengan istilah “fahm al Murad min al Khithab”. Ia mengatakan bahwa memahami maksud teks ditempuh melalui cara menghimpun petunjuk teks-teks lain yang relevan, atau melalui akal pikiran (logika rasional) atau melalui petunjuk lain (al qara-in), yang antara lain adalah situasi-situasi real yang menyertai teks, baik sebelum maupun sesudah teks tersebut lahir.[6] Al Syathibi mengikuti pandangan ini, meski dengan sebutan lain : “muqtadhyat al ahwal” (tuntutan-tuntutan situasi). Ia mengatakan bahwa untuk memahami makna suatu bahasa diperlukan pengetahuan mengenai sejumlah situasi ; situasi (keadaan) bahasa itu sendiri (hal al khithab min jihah nafs al khithab), situasi (keadaan) orang yang menyampaikannya (hal al mukhathib), situasi audiens (hal al mukhathab). Sebuah kalimat, kata Syathibi dapat mengandung sejumlah pengertian yang berbeda, tergantung pada situasinya masing-masing, menyangkut keadaan kalimat itu sendiri dan situasi audiens/penerima (mukhathab)nya dan situasi-situasi yang lainnya. Sebuah kalimat tanya, misalnya, di samping berarti meminta penjelasan, bisa juga berarti meneguhkan, bisa juga berarti melecehkan. Atau kalimat perintah (amr), disamping berarti mengharus orang lain mengerjakan, bisa juga berarti memberikan pilihan, atau ancaman atau memperdayakan dan lain-lain. Untuk memahami maknanya yang tepat memerlukan pengetahuan mengenai situasi-situasi di luarnya.[7]  Untuk yang terakhir al Syathibi menjelaskannya dengan dua hal. Pertama pengetahuan tentang asbab al nuzul (bagi al Qur-an, dan asbab al wurud bagi hadits) dan kedua pengetahuan mengenai adat kebiasaan bangsa Arab. Pengetahuan kita tentang tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab bagi para peneliti al Qur-an adalah keniscayaan. Tanpa pengetahuan ini ia akan terjebak dalam kesalahpahaman dan kekeliruan yang fatal, serta akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang besar.[8] kita tentang konteks linguistik (al siyaq al lisani) dengan beberapa komponennya tersebut diharapkan akan mengarahkan kita pada penemuan kesimpulan yang tepat dan jelas bagi gagasan umum syari’ah.


Metode pembacaan teks seperti ini tidak hanya berlaku terhadap al Qur-an maupun hadits nabi saw, tetapi juga pada seluruh wacana bahasa, termasuk di dalamnya wacana fiqh. Dengan kata lain keputusan fiqh yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh, tidak sekedar difahami makna literalnya, melainkan juga diteliti konteks linguistik dan konteks sosial, tradisi serta kebudayaan yang menyertainya.[9]


Masdar dalam pandangan-pandangan fiqh zakatnya tampak dengan jelas telah menggunakan cara-cara pembacaan seperti tersebut. Bahkan memberikan elaborasi yang cukup panjang bagaimana konteks kebudayaan ketika zakat dicanangkan, dan lebih dari itu bagaimana sejarah perkembangan pajak dari awalnya. Analisis kesejarahan seperti ini sangat jarang mendapat perhatian para pengkaji fiqh zakat.


1 Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan, P3M, Jakarta, cet. III, 1993, hlm. 110

2 Baca, “Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Mizan, Bandung, dan “Kemaslahatan “ dalam majalah Ulum al Qur-an, edisi....

4 Izz al Din, Qawa’id al Ahkam fi Mashalih al Anam, Dar al Jiil, Beirut, vol. I, hlm. 11.

3 Al Ghazali, Al Mustashfa min ‘Ilm al Ushul, Dar Ihya al Turats al Arabi, Beirut, vol. I, hlm. 281.

5 Ibnu al Qayyim, I’lam al Muwaqqi’in ‘an Rabb al ‘Alamin, Mathabi’ al Islam, Kairo, 1980, vol. III, hal. 3.


6 Ismail al Hasani, Nazhariyat al Maqashid ‘ind al Imam Muhammad Thahair ibn ‘Asyur, al Ma’had al ‘Alami li al Fikr al Islami, Virginia, USA, cet. I, 1995, hal. 281.

7 Ibid, hal. 296

8 Muwaffiq ibn Ahmad al Makki, Manaqib al Imam al A’zham Abi Hanifah, Majlis Dairah al Ma’arif al Nizhamiyah, Heiderabad, 1321, cet. I, vol. I, hal. 77

9 Muhammad Jamal al Din al Qasimi, Qawa’id al Tahdits, Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, 1979, cet. I, hal. 91.

10 Abu Syamah al Maqdisi, Mukhtashar al Muammal fi al Radd ‘ala al Amr al Awwal, Idarah al Thiba’ah al Muniriyah, Mesir, 1343, cet. I, hal. 33

11 Jamal al Din al Qasimi, Loc. Cit.

12 Jamal al Din al Qasimi, Op. Cit, hal. 147.

13 Al Suyuthi, Tadrib al Rawi fi Syarh Taqrib al Nawawi, I, hlm. 277.

13 Lihat, Taqiy al Din al Subki dalam “Ma’na Qaul al Imam al Muthallibi Idza Shahha al Hadits fahuwa Mazhabi”, Dar al Basyair al Islamiyah, 1992, cet. I, hal.16. Untuk menjelaskan makna ucapan al Syafi’i ini, al Subki dalam buku ini memberikan sejumlah contoh hadits di mana al Syafi’i tidak selalu memahami hadits sahih dengan pandangan yang scripturalistik. Bahkan ia bisa tidak menggunakannya karena ada pertimbangan lain. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah masalah talak/cerai. Imam Muslim dalam kitab Sahih nya menyebutkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa talak (cerai) tiga pada masa Nabi saw. masa Abu Bakar dan dua tahun masa pemerintahan Umar, berarti jatuh satu. Tetapi Umar sesudah itu menganggapnya jatuh tiga. Pendapat Umar ini diikuti oleh al Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan mayoritas ulama generasi pertama (salaf) maupun generasi belakangan (khalaf). Sementara Imam Thawus dan sebagian pengikut mazhab Zhahiri menganggapnya jatuh satu.

14 Ismail al Hasani, Op. Cit. Hal. 326.

15 Faruq Abu Zaid, Al Syari’ah al Islamiyah baina al Muhafizhin wa al Mujaddidin, Dar Makmun, Kairo,

16 Muhammad Ali ibn Hazm, Al Ihkam fi Ushul al Ahkam, Maktabah Athif, Mesir, 1978, vol. VIII, hal.1451-1452.

17 Ibid, hal. 1451-1452.

18 Ibid, hal. 1351-1477.

19 Ismail al Hasani, Op. Cit. Hal. 310-311.

20 Masdar, Agama Keadilan, Op. Cit, hal. 18

21 Abu Hamid al Ghazali, Al Mustashfa min ‘Ilm al Ushul, Dar Ihya al Turats al Arabi, Beirut, vol. I hal. 384-385.

22 Ibid, hal. 385.

23 Al Razi, Al Mahshul fi ‘Ilm al Ushul, I, hal. 178, dan Al Mathalib al Aliyah,IX 

24 Ibn al Qayyim, Op. Cit. vol. III. h. 30-34.

[1] Ali Syami Nasyar, Manahij al Bahts, hal. 118-119.

[2] Nashr Abu Zaid, Al Khitab wa al Takwil, hal. 173.

[3] Lihat : Al Bazdawi : “Kasyf al Asrar, I/304, al Syathibi : “al Muwafaqat, I/10, Adib Shaleh : “Tafsir al Nushush”, II/108.

[4] Ibnu al Qayyim, Miftah Dar al Sa’adah, II, hlm. 232.

[5] Al Razi, Loc. Cit, hal. 168

[6] al Ghazali, Loc. Cit. 339-340

[7] Al Syathibi, Al Muwafaqat fi Ushul al Syari’ah, Maktabah al Tijariyah al Kubra, Kairo, III, hlm. 347.

6 Salah satu contoh betapa perlunya kita memahami konteks audien (penerima wacana) telah diberikan kepada Nabi saw. Pada sebuah hadits Nabi saw. pernah bersabda : “Ana wa Kafil al Yatim ka hatain fi al jannah” (Aku dan pengasuh anak yatim seperti dua jari-jari ini (jari telunjuk dan jari tengah) dalam surga. Ini memberikan petunjuk anjuran yang kuat kepada kita untuk mengasuh dan memelihara anak-anak yatim. Akan tetapi pada saat lain kepada Abu Dzar, sahabatnya, Nabi saw. justeru melarangnya. Katanya : “Kamu jangan mengurus anak yatim”. Nabi mengatakan ini karena beliau melihat bahwa Abu Dzar lemah dan tidak akan mampu mengurusnya. (lihat : Sahih Muslim : Kitab al Imarah). 

[8] Ibid, hlm. 347

[9] Mengenai perlunya mempertimbangkan aspek tradisi audiens, menurut Ibnu al Qayyim al Jauziyah, sebenarnya sudah difatwakan oleh para ulama dahulu : “Anda tidak boleh terpaku pada teks-teks yang dikutip atau yang terdapat dalam kitab-kitab sepanjang hidup anda. Jika seseorang dari luar daerah datang kepada anda untuk meminta fatwa hukum, maka jangan anda perlakukan dia menurut tradisi anda, tetapi anda perlu lebih dulu menanyakan kepadanya tradisi daerahnya. Sesudah itu baru anda putuskan berdasarkan (analisis terhadap) tradisinya, dan bukan berdasarkan tradisi anda sendiri, dan bukan pula berdasarkan kutipan-kutipan kitab anda. Jika anda tetap menggunakan tradisi anda dan kitab-kitab tersebut, maka anda telah sesat dan tidak mengerti tujuan dan maksud para ulama Islam dan pikiran generasi muslim awal (al salaf). (lihat : I’lam al Muwaqqi’in ‘an Rabb al ‘Alamin, III, hlm. 78).  

  1. Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan, P3M, Jakarta, cet. III, 1993, hlm. 110.
  2. Seperti artikelnya "Kemaslahatan" dalam Jurnal Ulumul Qur'an, dan Buku "“Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan" terbiatan Mizan.
  3. Izz al Din, Qawa’id al Ahkam fi Mashalih al Anam, Dar al Jiil, Beirut, vol. I, hlm. 11.
  4. Al Ghazali, Al Mustashfa min ‘Ilm al Ushul, Dar Ihya al Turats al Arabi, Beirut, vol. I, hlm. 281.
  5. Ibnu al Qayyim, I’lam al Muwaqqi’in ‘an Rabb al ‘Alamin, Mathabi’ al Islam, Kairo, 1980, vol. III, hal. 3.
  6. Ismail al Hasani, Nazhariyat al Maqashid ‘ind al Imam Muhammad Thahair ibn ‘Asyur, al Ma’had al ‘Alami li al Fikr al Islami, Virginia, USA, cet. I, 1995, hal. 281.
  7. Ibid, hal. 296.