Prinsip Keadilan Sebagai Basis Pilihan Monogami
Seseorang ketika memutuskan untuk menikah, bisa karena didorong tujuan yang berbeda-beda; bisa tujuan sosial, ekonomi, politik, juga tidak sedikit yang menikah karena tujuan seks-biologis. Tetapi ada juga yang melakukannya karena didorong tujuan mulia; keagamaan, moralitas dan nilai kemanusiaan. Tujuan dan motivasi ini merasuk pada seseorang ketika sebelum menikah, ketika memutuskan untuk menikah, saat-saat awal kehidupan pernikahan, ketika sedang asyiknya hidup dalam pernikahan, atau ketika seseorang harus memutuskan mengakhiri kehidupan pernikahannya. Hal ini terungkap juga dalam teks hadits Nabi Muhammad Saw; “Bahwa perempuan itu dinikahi karena empat hal; bisa harta, status sosial, kecantikan atau agama, maka pilihlah yang ber-agama”.
Faktor agama adalah sesuatu yang memungkinkan kedua pasangan termotivasi untuk tetap bisa menjalankan (atau meningkatkan) nilai-nilai agama di antara mereka berdua dalam berkeluarga; baik yang ritual (ibadah mahdhah) yang berhubungan dengan Allah Swt, maupun yang sosial (ibadah ghairu mahdhah) yang berhubungan antara mereka; untuk bisa selalu saling tolong menolong, berbuat baik dan mensejahterakan, juga untuk tidak saling menyakiti, menzalimi dan berbuat kekerasan. Satu terhadap yang lain. Moralitas keagamaan yang seperti ini, yang bisa melapangkan kedua pasangan (suami istri) bisa hidup dalam bahtera yang digambarkan al-Qur’an sebagai keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, atau ketentraman dan cinta kasih.
Untuk sampai pada tujuan ini, al-Qur’an telah menggariskan beberapa prinsip dasar relasi kehidupan perkawinan, antara pasangan suami istri. Diantaranya, bahwa relasi suami istri diungkapkan sebagai sebagai ikatan pasangan (zawâj), yang satu adalah pasangan yang setara (zawj) bagi yang lain (zawj juga). Laiknya pasangan kedua sayap, kedua tangan, kedua kaki. Yang satu menjadi teman dan pelengkap terhadap yang lain. Yang satu satu tidak lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Dalam ungkapan lain, al-Qur’an menyatakannya sebagai hunna libasun lakum wa antum libasun lahunn (QS, al-Baqarah, 2: 187). Yang satu adalah pakaian bagi yang lain. Pakaian yang memberi kemuliaan, keindahan dan kehangatan juga menutup kekurangan jika terjadi pada pasangannya. Ikatan pasangan ini dinyatakan al-Qur'an sebagai suatu perjanjian yang kokoh (mîtsâqan ghalîzhan) (QS, An-Nisa, 4: 21). Karena itu, untuk menjaga nilai-nilai ikatan kokoh kedua pasangan ini, kedua belah pihak harus benar-benar memperlakukan pasangannya dengan baik [mu’âsyarah bil ma’rûf] (QS. An-Nisa, 4:19), penuh cinta kasih (QS. Ar-Rum, 30:21), mengupayakan kerelaan [tarâdlin] (QS. Al-Baqarah, 2: 232-233) dan membiasakan berembug berdua [musyâwarah] dalam mengelola rumah tangga (QS. Al-Baqarah, 2:233).
Pada konteks kehidupan sekarang, dengan melihat nilai dan prinsip keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, monogami adalah pilihan yang tepat bagi kedua pasangan untuk saling berbagi dan berbuat baik, serta untuk tidak saling menyakiti, tidak saling menzalimi, tidak saling berbuat bohong dan tentu tidak meretakkan keutuhan kehidupan dan kebersamaan sebuah keluarga. Persoalannya, tinggal bagaimana kedua belah pihak, terutama suami bisa mengendalikan diri agar tetap setia monogami demi menjaga prinsip dan tujuan keluarga sakinah waddah wa rahmah. Dalam ungkapan al-Qur’an, dzalika adna alla ta’ulu, bahwa monogami itu lebih memungkinkan seseorang untuk tidak berbuat aniaya.
Mengapa Buku “Memilih Monogami”
Materi-materi dalam buku ‘memilih monogami’ ditulis pada suasana ketika sekolompok orang dengan gegap gempita mempromosikan poligami sebagai sesuatu yang layak dibanggakan dibanding monogami. Pelaku poligami dinobatkan sebagai seseorang yang mulia, tangguh, berjiwa kuat dan penyelamat bangsa. Argumentasi keagamaanpun kemudian dilekatkan untuk memperkuat promosi ini; poligami dianggap jalan Allah, sebagai syari’at, ibadah dan mempermudah seseorang untuk masuk surga. Secara implisit promosi ini menantang; bahwa mereka yang memilih mongami; sebagai orang yang tidak mau merambah jalan Allah, menolak syari’at, tidak mau beribadah dan jauh dari pintu surga. Dengan penuh lantang, salah seorang penganjur poligami menyatakan, “Bahwa para laki-laki yang tidak mau poligami itu hanya ada tiga orang; mereka yang pasti sudah puas berzinah dengan perempuan selain istri, atau dalam ketakutan terhadap istri, atau memang benar-benar impoten”. Tantangan yang penuh fitnah, bahkan tuduhan yang berbahaya (qadzaf). Dalam pengantar buku ‘memilih monogami’ disebutkan:
“Argumentasi teologis yang mendukung monogami, akhir-akhir ini tenggelam oleh hiruk-pikuk 'perayaan poligami' yang dilakukan segelintir orang. Anehnya, perayaan ini kemudian didukung beberapa elit dengan label-label agama; yang syari'ah, yang sunnah dan yang berkah. Beberapa majalah Islampun tidak ketinggalan ikut merayakan sesuatu yang bagi perempuan paling menyakitkan. Entah mengapa, dukungan terhadap monogamipun kemudian dimunculkan ke publik sebagai sesuatu yang picik, emosional, menjerumuskan pada perzinahan, bahkan dianggap produk barat yang anti syari'at. Mereka lupa, bahwa ayat al-Qur'an saja, justru menyatakan monogami sebagai bentuk perkawinan yang paling selamat dari kemungkinan berlaku tidak adil (dzâlika adnâ alla ta'ûlû)”. (Hal. LVII).
Ini merupakan ketidak-adilan cara pandang; ketika seorang laki-laki (atau perempuan) memilih poligami, sekalipun karena alasan-alasan yang personal, seksual, material, cinta atau nafsu, akan dianggap sebagai laki-laki yang berada di jalan Allah, ikut tuntunan syari’at, muslim yang tangguh dan dijamin cepat masuk surga. Sebaliknya, jika perempuan (atau mungkin laki-laki) yang menolak dipoligami, sekalipun karena pertimbangan keluarga dan kemungkinan terjadinya kekerasan dan kenistaan, ia akan dianggap sebagai perempuan yang emosional, egois, tidak taat syari’at, tidak bisa bersabar dan penuh dengan perhitungan duniawi. Sekali lagi, ini cara pandang yang tidak adil terhadap perempuan yang memilih monogami. Buku ini, ingin membuka kembali argumentasi-argumentasi pilihan monogami yang saat ini sedang dicitrakan sebagai sesuatu yang tidak syar’i, emosional dan egois.
Buku ini ingin menegaskan bahwa pilihan monogami tidak serendah yang diasumsikan para penganjur poligami. Dalam literatur fiqh; ada banyak pembahasan yang bisa menjadi bahan argumentasi untuk menolak poligami dan memilih monogami. Misalnya ketika fiqh membicarakan hak seseorang untuk memilih menikah, ketika membicarakan hukum menikah yang bisa menistakan dan juga pembahasan mengenai seorang perempuan mensyaratkan untuk tidak dipoligami.
Pada konteks ini perlu ditegaskan, bahwa memilih monogami, bukan dalam tataran sedang menolak ‘konsep poligami yang dibenarkan al-Qur’an’, tetapi sedang menolak praktik poligami yang terjadi di masyarakat karena menjadi ajang penistaan dan ketidak-adilan, atau setidaknya pembohongan terhadap perempuan dan keluarga. Logika fiqhnya, sama dengan larangan pemanfaatan (minum, mandi atau mencuci) air sungai yang saat ini nyata sudah kotor, hitam dan penuh bakteri. Pelarangan seperti ini bukan pada konteks mengharamkan sesuatu (air sungai) yang nyata dihalalkan Allah, tetapi melarang sesuatu (air sungai yang kotor) yang akan menimbulkan kerusakan pada tubuh kita. Ini bukan keputusan yang emosional dan egois. Tetapi keputusan yang sah dan syar’i.
Beberapa Argumentasi Awal
Jika merujuk pada fiqh misalnya, pernikahan bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan. Siapapun memiliki hak yang penuh untuk tidak menikah dengan seseorang yang tidak dipilihnya. Dengan alasan yang paling personal sekalipun. Ini adalah hak yang dibenarkan syari’at Islam. Ketika seseorang, baik laki-laki maupuan perempuan merasa dipaksa diikat dalam sebuah kontrak pernikahan, maka ia memiliki hak yang penuh untuk membatalkan akad nikah tersebut. Seperti yang dituturkan Aisyah ra, bahwa ada seorang remaja perempuan yang datang menemuinya seraya berkata: “Ayahku mengawinkanku dengan anak saudaranya, agar status sosialnya terangkat olehku, padahal aku tidak suka”. “Duduklah, sebentar lagi Rasulullah datang, nanti aku tanyakan”, jawab Aisyah. Ketika Rasulullah SAW datang, langsung diungkapkan di hadapan beliau persoalan perempuan tadi. Beliau memanggil orang tua si perempuan (sambil memberi peringatan), dan mengembalikan persoalan itu kepada si perempuan untuk memberikan keputusan. Di hadapan mereka, remaja perempuan tadi menyatakan (dengan tegas): “Aku izinkan apa yang telah dilakukan ayahku, tetapi aku ingin memberikan peringatan sekaligus pernyataan untuk semua perempuan: bahwa mereka para orang tua sama sekali tidak memiliki hak atas persoalan ini”. [Riwayat an-Nasa’i, lihat Jami’ al-Ushûl, no. hadis: 8974, 12/142).
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud dan an-Nasa’i, bahwa ketika seorang perempuan yang bernama Khansa binti Khidam ra merasa dipaksa dikawinkan oleh orang tuanya, Nabi mengembalikan keputusan itu kepadanya; mau diteruskan atau dibatalkan, bukan kepada orang tuanya. Bahkan dalam riwayat Abu Salamah, Nabi Saw menyatakan kepada Khansa r.a.: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki” (Nashb ar-Rayah, 3/232).
Teks hadits ini menyiratkan bahwa perkawinan seharusnya tidak menjadi ajang pemaksaan dan penundukan perempuan untuk hidup dalam suasana yang memberatkan dan akan mencederainya. Perempuan harus diberikan pilihan sepenuhnya untuk memasuki atau tidak memasuki bahtera perkawinannya. Termasuk pilihan untuk menolak dipoligami. Sebagai sebuah pilihan yang lahir dari keinginan untuk dirinya bisa merasa lebih aman, sejahtera dan bahagia. Setiap orang menginginkan kehidupan perkawinan yang membahagiakan. Karena itu perasaan perempuan (atau laki-laki) untuk tidak dipoligami adalah sesuatu yang manusiawi, sah untuk diungkapkan dan benar secara syari’at untuk dijadikan tuntutan dalam kehidupan perkawinan. Sebuah pilihan yang lahir dari keinginan untuk memperoleh jaminan kebahagiaan, atau setidaknya keinginan untuk tidak membiarkan dirinya terjerumus dalam kenistaan perkawinan. Dalam diskursus fiqh-pun, hukum menikah dikaitkan dengan kondisi-kondisi kesiapan mempelai dan kemampuan untuk memberikan jaminan kesejahteraan. Karena itu hukum menikah; bisa sunnah, bisa wajib, bisa makruh dan bisa haram. Haram ketika nyata pernikahan menjadi ajang penistaan terhadap isteri. (lihat: Fath al-Bari, X/138-139).
Pada konteks ini, pernyataan Ibn Hajar bisa dikutip: “Inna tazwîja ma zâda ‘ala al-wâhidati halalun li ar-rijâli mâ lam yujâwiz al-arba’, wa ma’a dzâlika fa qad muni’a min dzâlika fi al-hâl, li mâ yatarattabu ‘alihi min adh-dharari fi al-ma’âl” (Menikahi dengan lebih dari satu orang perempuan adalah halal bagi laki-laki, selama tidak lebih dari empat orang. Tetapi kemudian bisa dilarang pernikahan tersebut, jika (dikhawatirkan) akan mengakibatkan kenistaan di belakang hari). (lihat: Fath al-Bari, X/412).
Lepas dari berbagai pertimbangan akan lahirnya penistaan dan kezliman, perempuan atau wali perempuan memiliki hak penuh untuk setia monogami dan menolak dipoligami. Sama halnya, ketika Fathimah ra bint Rasul Saw, menolak dipoligami Ali ra, atau Nabi Saw tidak mengizinkan putri tercintanya dipoligami Ali.
Dari al-Miswar bin Makhramah berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda di atas mimbar: “Beberapa keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, -ketahuilah-, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku (Fathimah), lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga”. (Riwayat Bukhari Muslim. Lihat: Ibn Hajar, Fath al-Bâri, juz X, hal. 409, no. hadits: 5230.).
Argumentasi yang Paling Dasar
Prinsip relasi perkawinan yang disebutkan di awal tulisan ini, sebenarnya merupakan dasar utama argumentasi memilih monogami. Yaitu prinsip berpasangan, yang satu pakaian untuk yang lain, sebagai ikatan yang kokoh, yang satu berkomitmen untuk berbaik pada yang lain dan tidak menyakiti serta menistakan yang lain. Lebih prinsip dari itu, al-Qur’an menggariskan pentingnya prinsip keadilan dalam berpoligami. Jika tidak, maka poligami sama sekali bukan merupakan pilihan syari’at Islam. Hal ini disebutkan secara jelas dan tegas dalam al-Qur’an, surat an-Nisa ayat ketiga. Tetapi promosi poligami telah menggelapkan mata para penganjurnya, sehingga mereka menempatkan poligami sebagai sesuatu yang digadang-gadang ke mana untuk tujuan dakwah, pemuliaan perempuan, penyelesaian moralitas masyarakat atau tujuan-tujuan peningkatan bisnis Islami. Prinsip keadilan yang digariskan al-Qur’an telah dilupakan sebagai syarat mutlak yang utama dan pertama.
Lebih dari itu, tidak sedikit dari mereka yang memiliki kecenderungan 'poligami harus dipekenankan', justru menafikan perlunya keadilan dalam berpoligami. Menurutnya, keadilan bukan merupakan syarat, tetapi hanya sebatas komitmen laki-laki, yang praktiknya diserahkan sepenuhnya kepada laki-laki. Dikatakan; bahwa aturan keadilan tidak seharusnya menyurutkan laki-laki dari rencana poligami. Karena keadilan fisikpun, jika maknanya adalah pembagian yang rata antar isteri, adalah sesuatu yang tidak mungkin pada saat sekarang ini. Kebutuhan antar isteri pasti berbeda, apalagi dengan tingkat pendidikan yang berbeda, kebiasaan hidup yang berbeda dan tempat yang berbeda. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan, tidak mungkin disyaratkan dalam hal berpoligami, yang nyata-nyata diperkenankan. Sekali lagi, karena prinsip dasar bagi orang-orang yang memiliki kecenderungan ini adalah bahwa poligami 'wajib' diperbolehkan. Dengan kecenderungan seperti ini, prinsip keadilan hanya menjadi pelengkap belaka. Bukan sebagai prinsip yang sesungguhnya.[1]
Kecenderungan ini tentu saja mencederai penafsiran beberapa ulama klasik tentang komitmen terhadap prinsip keadilan. Beberapa pernyataan mereka dikutip di sini:
“(Orang-orang pada saat itu) mengawini perempuan sejumlah yang mereka suka, kemudian turunlah ayat ini. Maksud ayat adalah Jika kamu takut untuk tidak bisa berbuat adil terhadap para anak yatim, kamu juga hendaknya takut untuk tidak berbuat adil terhadap isteri-isteri, jika kamu berpoligami”. (As-Samarqandi, Bahr al-Ulum, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut-Libanon, 1413H/1993M, juz I, hal. 331).
“Nikahlah sejumlah perempuan sesuai dengan kemampuan kamu, yang memungkinkan kamu bisa memenuhi kewajiban. Orang yang takut akan suatu dosa, ia semestinya menjauhi dari segala kemungkinan dosa. Ketika Allah menganggap perlakuan terhadap anak yatim sebagai sesuatu yang besar, banyak orang merasa khawatir untuk memelihara mereka. Tetapi mereka tidak pernah merasa khawatir terhadap poligami, yang sebenarnya juga berpotensi terjadinya perlakuan semena-mena. Ayat ini turun untuk memberi peringatan terhadap kemungkinan perlakuan semena-mena tesebut”. (Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiiyah, Beirut-Libanon, 1408H/1988M, juz I, hal. 200).
“Perkecillah jumlah perempuan yang kamu nikahi. Karena orang yang takut terhadap suatu dosa, atau bertobat dari suatu dosa, tetapi dia masih melakukan dosa lain yang sejenis, maka sama dengan orang yang tidak takut dosa dan tidak bertobat dari dosa. Sesungguhnya ketika seseorang diperintahkan untuk takut dan menjauhi dosa, justru karena keburukan yang ada di dalamnya. Dan keburukan itu ada dalam setiap dosa...... Maka perteguhlah dan pilihlah satu isteri saja, dan tinggalkan poligami secepatnya. Karena pokok persoalan pada ayat ini adalah soal keadilan. Di mana kamu menemukan keadilan, maka kamu harus mengikuti dan memilihnya”.(Az-Zamakhsari, al-Kasysyaf, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut-Libanon, 1415H/1995M, juz I, hal. 457).
Dari pernyataan-pernyataan ini, bisa ditegaskan bahwa al-Qur’an datang untuk mengkritik perilaku poligami yang terjadi di masyarakat dengan rujukan prinsip keadilan. Jika para penganjur poligami menegaskan bahwa pada prinsipnya poligami ‘harus’ boleh, lalu keadilan ditafsirkan sesuai dengan pemahaman mereka, maka kami (dalam buku ‘memilih monogami’) ingin menegaskan bahwa yang prinsip adalah keadilan, lalu boleh tidaknya poligami disesuaikan dengan kondisi sosial apakah perempuan benar-benar memperoleh keadilan (dan tidak dinistakan) dalam perkawinan poligami. Pada kondisi sekarang, kami yakin bahwa kebanyakan praktik poligami tidak menempatkan perempuan secara adil, tidak menganggap mereka sebagai subyek, tetapi obyek, bahkan menjadi obyek dari kebohongan suami, penistaan dan kekerasan. Sekalipun tidak menutup kemungkinan, ada beberapa perempuan yang mungkin diuntungkan dari perkawinan poligami. Atau ada laki-laki yang berperilaku seperti Nabi Saw, bisa berbagai secara adil dan merata, benar-benar merata dan tidak melakukan tindak kekerasan. Tetapi yang lumrah adalah yang sebaliknya, karena itu kami lebih memilih monogami sebagai perkawinan ideal dalam Islam ‘sekarang’, bukan perkawinan poligami. Karena perkawinan monogam lebih memungkinkan seseorang untuk tidak berbuat aniaya. Sekali lagi, dzâlika adnâ alla ta’ûlû.
Buku ‘memilih monogami’ ingin menawarkan perspektif ulama yang menegaskan bahwa ayat an-nisa turun bukan untuk melegalkan poligami, tetapi justru untuk mengkritik poligami dengan panduan keadilan. Pada konteks ini, buku ‘memilih mongami’ ingin mengajak semua orang berpikir sejenak dan introspeksi; apakah kita benar-benar menghormati dan menghargai perempuan ketika kita mempraktekkan poligami, atau ketika membenarkan praktik-praktik poligami yang marak terjadi di masyarakat kita sekarang. Apakah mereka yang berpoligami, melakukannya karena kepentingan sosial seperti yang didakwakan; untuk mengimbangi ketimpangan jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki, untuk membantu dan mengentaskan perempuan dari keterpurukan, untuk menyelesaikan persoalan peperangan dan membantu para janda dan anak yatim.
Ataukah sebenarnya mereka berpoligami untuk kepentingan-kepentingan dirinya dengan berlindung pada kepentingan-kepentingan sosial; untuk menaikkan prestise sosialnya sebagai pria macho yang sanggup menaklukkan banyak perempuan, untuk memanfaatkan tubuh perempuan sebagai pemuas nafsunya, atau memanfaatkan tenaganya dengan bayaran murah, atau sekedar memuaskan keinginanya untuk menjelajah pengalaman dengan banyak perempuan, atau mempermudah ekspansi bisnisnya dalam berbagai hal. Jika demikian adanya, sesungguhnya mereka tidak menghormati perempuan dan tidak memandang perempuan sebagaimana dia memandang dirinya. Jika demikian, sebaiknya poligami tidak menggunakan dalih-dalih agama. Karena misi agama jauh lebih mulia ketimbang sekedar membenarkan pemuasan nafsu biologis yang berakibat derita lahir batin perempuan.
Dalam pengantar buku ‘memilih monogami’ disebutkan:
“Buku ini memang tidak berpretensi menempatkan al-Qur'an maupun Hadits sebagi basis pengharaman poligami, seperti yang dilakukan beberapa pemikir kontemprorer. Karena konteks turunnya ayat sendiri tidak memungkinkan pemahaman 'pengharaman' tersebut. Al-Qur'an dan Sunnah datang untuk menegaskan semangat kritik terhadap poligami. Dengan semangat kritik ini, poligami tidak bisa dijadikan pilihan perkawinan dalam Islam. Sebaliknya, Islam –menurut bacaanku- justru telah memilih monogami sebagai perkawinan ideal, yang lebih menempatkan lak-laki dan perempuan secara adil dan setara. Persis seperti yang diungkapkan al-Qur'an; "dzâlika adnâ alla ta'ûlû". Bahwa monogami lebih menjamin keadilan dan membebaskan dari ancaman ketertindasan, tindakan zalim dan aniaya”. (hal. LXII).
Sebagai kata akhir; jika kita benar-benar merujuk pada prinsip-prinsip keluarga sakinah mawadda wa rahmah, seperti yang digambarkan al-Qur’an; yaitu keluarga yang hidup dalam ikatan yang kokoh, saling melengkapi, saling berbuat baik dan tidak saling menistakan apalagi berbuat kekerasan; siapapun pasti lebih cenderung pada monogami dibanding poligami. Karena nilai-nilai keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, hanya bisa dipraktikkan secara paripurna pada perkawinan yang memandang secara adil dan setara terhadap kedua pasangan; suami dan istri. Yang satu tidak melebihi yang lain. Yang satu tidak menempatkan yang lain, hanya sebagi pelayan segala kebutuhannya semata. Tetapi benar-benar timbal balik, termasuk untuk kebutuhan-kebutuhan psikologis, pengakuan dan harga diri. Persis seperti yang digambarkan al-Qur’an; dzâlika adnâ alla ta’ûlû. Bahwa monogami lebih memungkinkan seseorang untuk tidak berbuat aniaya. Sehingga keluarga benar-benar tetap utuh dan hidup dalam ketentraman dan cinta kasih yang setara dan adil. Wallahu a’lam wa huwa al-musta’an.
Keterangan:
Artikel ini ditulis Faqihuddin Abdul Kodir untuk kegiatan-kegiatan launching Buku "Memilih Monogami: Pembacaan al-Qur'an dan Hadits Nabi", yang diterbitkan Pustaka Pesantren Yogyakarta tahun 2005.
Footnote:
- ↑ Kecenderungan ini sangat nyata disuarakan penulis buku 'Indahnya poligami; Pengalaman Sakinah Puspo Wardoyo', Nurbowo dan Apiko JM, Penerbit Khairul Bayan, Jakarta, 2003. Secara eksplisit, keadilan dianggap sebagai sebagai sesuatu yang relatif, sehingga tidak harus menjadi momok bagi laki-laki dan seharusnya tidak menyurutkan mereka yang ingin berpoligami. Bahkan disebutkan juga, kalau kebolehan poligami itu sebagai sesuatu yang mutlak. Tepatnya, lihat pada halaman 22, 68 dan 77.
([*])