Jauharotul Farida

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Jauharotul Farida
Jauharotul Farida.jpg
Tempat, Tgl. LahirSemarang, 4 Maret 1964
Aktivitas Utama
  • Lektor Kepala dan Dosen Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, UIN Walisongo Semarang (-2019)
Karya Utama
  • Tradisi Khitan Perempuan pada Masyarakat Jawa (Studi Kasus di Kota Semarang), 2007

Jauharotul Farida lahir di Semarang, pada tanggal 4 Maret 1964 dan wafat pada tanggal 30 Mei 2019 (25 Ramadan 1440 H). Ia memiliki jabatan fungsional akademik sebagai Lektor Kepala dan dosen Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, UIN Walisongo Semarang.

Farida menjadi peserta aktif dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Cirebon. Dalam persiapan KUPI, ia terlibat sebagai penggerak aktif yang memobilisasi para akademisi Perguruan Tinggi Islam, terutama dari lembaga Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA). Ia juga aktif terlibat di dalam kegiata paska KUPI, salah satunya sebagai bagian dari penyelenggara Halaqoh Ulama Perempuan Tingkat Nasional di UIN Walisongo, Semarang, pada tahun 2018.

Riwayat Hidup

Farida menyelesaikan pendidikan S1 Jurusan Dakwah, Program Studi Penerangan dan Penyiaran Agama Islam, IAIN Walisongo pada 1990. Kemudian jenjang S2 Jurusan Etika Islam, Program Studi Tasawuf, IAIN Walisongo pada 2004. Dan, menempuh S3 Jurusan Islamic Studies di IAIN Walisongo.

Ada beberapa jabatan yang ia duduki, antara lain Sekretaris Laboratorium Dakwah di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo (1998-2003); Sekretaris Pusat Studi Gender IAIN Walisongo (2003-2005); Sekretaris Senat Fakultas Dakwah IAIN Walingongo (1998-2002); Ketua Pusat Studi Gender IAIN Walisongo (2005-2007, 2008-2010, 2011-2019); Anggota Senat IAIN Walisongo Semarang (2002-2003); Ketua Jurusan BPI Fakultas Dakwah IAIN Walisongo (2002-2006); Ketua Forum PSW/PSG PTN/PTAIN/PTS se-Jawa Tengah (2006-2010).

Faridah juga mengikuti beberapa Konferensi/Seminar/Lokakarya/Simposium, seperti The International Workshop on “Breaking Through the Mainstream: Gender, Religion, Science, and Technology (UIN Sunan Kalijaga, 2007); Seminar dan Lokakarya Nasional “Praktek Penanganan Kesurupan” (Jurusan BPI Fak. Dakah IAIN Walisongo, 2008); Asia Level Workshop “Gender Normative and Non-Normative Sexualities, Sexual Rights and Women’s Empowerment” (Kartini Asia & SANGAT South Asia India, 2008); Second Conference Kartini Asia Network: The Futures of Asian Femninism Confronting Fundamentalism, Conflict, and Neoloberalism (Kartini Asia & SANGAT South Asia India, 2008); International Policy Dialogue “Bridging the Gap Between Sexuality Research and Advocacy for Sexual Rights” (Sephis, Kartini Asia Network, and UGM, 2010); Seminar Penelitian Berperspektif Gender (Diktis Depag RI, 2011); Workshop Metodologi Analisis Gender dan Mmetode Evaluasi Program (Diktis Depag RI, 2011).

Dalam bidang pengabdian masyarakat dan kegiatan profesional yang dilakukan Farida, antara lain Pendamping Ponpes Roudlotul Muttaqin Polaman, Mijen, Semarang (2006-2019); Pengurus IPH Kota Semarang (2008-2011); Pendampiing Madrasah di Kota Semarang dan Kab. Kendal (2008-2010); Tim Reviewer Dana Stimulan PP KPA Deputi I Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI (2006-2019); Anggota Gender Vocal Point Dinas Pendidikan Prov. Jateng (2006-2008); Dewan Pembina LBH-APIK Semarang (2009-2012); Pengasuh Majelis Dzikir dan Taklim Thoriqoh Semarang (1993-2019); Pengasuh Majelis Taklim al-Hikmah Semarang (2004-2019); Penceramah agama di beberapa lembaha/instansi/masjid/mushala/majelis taklim (1991-2009); Panitia Peringatan 1 Muharram 1430 H Masjid Agung Jawa Tengah (2008); Narasumber pada Program Dialog Ramadhan di TVRI Semarang (2007); Bendahara MUI Kota Semarang (2006-2010); Konsultan Rubrik Konsultasi Sakinah di Harian Semarang (2011-2019); Ketua MUI Kota Semarang (2010-2015); Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) Jawa Tengah (2017-2019); dan, Ketua Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia UIN Walisongo (2015-2019).

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Dari aktivitasnya, Farida merupakan sosok yang aktif di dalam kampus maupun di luar kampus. Ia selalu konsisten memperjuangkan isu-isu perempuan, seperti kekerasan dan pelecehan seksual. Teman-teman dekatnya mengenal Farida sebagai sosok yang keras dan tidak kompromi terhadap kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Kesetaraan gender, khususnya di bidang akademik, adalah hal yang selalu ia junjung di dunia kampus. Jika ada ketidakadilan terjadi, ia tidak segan melawannya. Misalnya, mengenai jabatan Dekan di kampus yang tidak memberi kesempatan yang setara kepada perempuan atau bahkan menghalanginya, Farida selalu tampil paling depan dan membuktikan bahwa perempuan layak menduduki posisi tersebut.

Farida beberapa kali terlibat dalam mediasi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Kota Semarang. Ia dan beberapa teman menyiapkan shelter, tempat aman sementara bagi para korban KDRT. Menurut kesaksian teman-temannya, Farida adalah inisiator utama dalam mewujudkan aksi sosial tersebut, tanpa ada kaitan program dari salah satu organisasi, LSM, atau kampus. Salah satu penelitiannya juga membuktikan keresahan Farida terhadap praktik-praktik “keagamaan” yang berujung kekerasan terhadap perempuan, yaitu sunat perempuan. Melalui penelitian bersama teman-temannya, ia mengungkap praktik penundukan seksualitas perempuan melalui praktik “agama”. Menurutnya, itu adalah praktik yang male-oriented dan menganggap perempuan hanya dipenuhi hawa nafsu; dengan alasan itu, sunat perempuan bertujuan agar perempuan tidak ngintil kakung (hyper-sex). Praktik tersebut merupakan satu bentuk stereotip terhadap perempuan, bahwa mereka tidak berhak mendapatkan kepuasan seksual, hanya pelengkap kepuasan seksual laki-laki. Jelas, Farida menentang keras praktik seperti itu karena madharat-nya lebih besar, yaitu berpotensi merusak sistem reproduksi perempuan bahkan menimbulkan kematian.

Begitu juga ketika di dalam kampus, ia selalu mengurus kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan seksual. Perannya yang vokal itu membuatnya dikenal luas di dalam kampus. Ia sempat menulis di Tribun Jateng yang berjudul “Jangan Takut Laporkan Pelaku Kekerasan Seksual” pada 26 Februari 2015. Sedangkan dalam aktivitas organisasi, yaitu organisasi NU seperti PWNU, Farida sebagai perempuan selalu hadir untuk berkontribusi terhadap organisasi dan masyarakat, bukan sebagai pelengkap atau “pembantu”. Itu tercermin ketika dirinya menolak atau membantah untuk dijadikan seksi konsumsi dalam sebuah kepanitiaan. Menurutnya, perempuan juga bisa bertugas sebagai ketua panitia, bukan selalu diletakkan di bagian yang identik dengan dapur.

Farida menyebarkan gagasannya tentang kesetaraan dan keadilan gender selain melalui tulisan dan penelitian, juga melalui dakwah di TV yang sekaligus membuktikan bahwa ulama bukan melulu merujuk kepada laki-laki. Ia sempat mengkritik komposisi MUI Jawa Tengah pada 2010, yang didominasi oleh laki-laki; adapun perempuan, mereka berada di dalam anggota komisi Pemberdayaan Perempuan dan Pemuda, tidak ada di bagian lain. Bahkan, kritiknya terhadap MUI, dalam penyelenggaraan Rakorda MUI Provinsi dan Kabupaten/Kota minim kehadiran perempuan, hanya ada 3 orang, itu pun perempuan dari lokasi penyelenggaraan. Selain itu, struktur kepanitiaan tidak ditemukan sama sekali perempuan. Farida menyesalkan kondisi tersebut bukan hanya terjadi di dalam organisasi, tapi juga di masyarakat, dan organisasi keagamaan menormalisasi itu.

Gambaran diskriminasi gender semakin jelas, sedangkan di lain sisi ada perempuan yang berkompeten dalam bidang ilmu agama tidak dilibatkan. Farida mengatakan, jika ingin mengetahui kualitas diri perempuan sebagai ulama, maka tengoklah pesantren. Di sana ada banyak perempuan yang berilmu dan cakap dalam menyampaikan ilmu agama. Sayangnya, dalam hal ini peran bu nyai tertutup oleh sosok kiai yang dianggap masyarakat sebagai ulama dan bu nyai adalah gelar sebagai istri kiai (ikutan).

Farida pun memberikan ketegasan mengenai makna ulama, bahwa kata ulama adalah netral gender. Ulama tanpa menambah embel-embel “laki-laki” dan “perempuan” di belakangnya, pada dasarnya, bisa merujuk ke kedua jenis tersebut. Penggunaan embel-embel tersebut malah yang menjadikan bias gender. Namun karena alasan sosiologis, Farida tetap menggunakannya dan merinci kategoriasasi ulama perempuan, antara lain ulama kampus seperti Rahma el-Yunusiyah, Zakiiah Darajat, dan Tuti Alawiyah; ulama pesantren seperti Sholihah A. Wahid Hasyim, Hajah Chamnah, dan Hajah Nonoh Hasanah; ulama organisasi sosial-keagamaan seperti Nyai Ahmad Dahlan, Hadiyah Salim, dan Suryani Thahir; ulama aktivis sosial-politik seperti Hajah Rangkayo Rasuna Said dan Aisah Amini; dan terakhir, ulama tabligh seperti Lutfiah Sungkar dan Rofiqah Darto Wahhab.

Farida terus menjalin hubungan dengan jaringan ulama perempuan di berbagai daerah untuk mengawal isu-isu krusial. Karena sebagai ketua PSGA se-Jawa Tengah, ia memanfaatkan posisi tersebut untuk terus berkomitmen memperjuangkan keulamaan perempuan. Ia berkomunikasi secara intens dengan Arikhah, misalnya pada 2011, ia turut aksi bersama Arikhah di Simpang Lima Semarang untuk mengawal tuntutan Undang-Undang yang berkaitan dengan anak.

Apa yang Farida suarakan di masyarakat juga ia terapkan di dalam keluarga. Ia menyampaikan kepada anak-anak perempuannya bahwa mereka setara dengan laki-laki, tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Sejak kecil, Farida memberi pendidikan soft skill kepada anak-anaknya, seperti renang, vokal, dan musik. Di saat yang bersamaan ia juga mendukung pendidikan anak-anak perempuannya, seperti dukungannya kepada anak-anak perempuannya yang mengambil S2 jurusan Kedokteran di Thailand dan S2 di UIN Walisongo. Selain bekal keterampilan, ia juga tidak ketinggalan membekali mereka dengan ilmu agama.

Farida mengajari anak-anaknya bahwa perempuan bisa memimpin, ia telah membuktikan sendiri. Menurutnya, kepemimpinan seseorang itu tidak terlahir, melainkan dibentuk. Jadi, setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin ketika mereka mendapat kesempatan belajar. Mereka dimatangkan oleh lingkungan dan melalui proses trial and error. Menurut Farida, proses mengajar dan mendidik seseorang untuk menjadi pemimpin disebut pengkaderan atau kaderisasi. Dan pesantren, menurutnya, adalah tempat yang efektif sebagai ruang kaderisasi ulama perempuan. Oleh karena itu, ia menempatkan anak-anaknya di pesantren kilat dan madrasah diniyah sejak kecil.

Meski pesantren adalah corong kaderisasi ulama perempuan, ia tetap menyadari bahwa pesantren masih menjadi lembaga yang didominasi laki-laki. Perempuan memiliki batasan-batasan di dalamnya, seperti preferensi anak laki-laki sebagai pengganti kepemimpinan pesantren. Jika seorang kiai tidak memiliki anak perempuan, kepemimpinan itu akan turun kepada menantu laki-laki. Selain itu, dalam transmisi keilmuan di pesantren, perempuan tidak diperbolehkan mengajar santri laki-laki, hanya mengajar santriwati. Farida menguraikan bahwa pemisahan laki-laki dan perempuan secara ketat di pesantren adalah salah satu penyebabny, untuk menjaga moral, sekalipun dalam mengajarkan ilmu agama.

Meski ketatnya pesantren dengan dominasi laki-laki, Farida tidak menutup mata bahwa banyak juga nyai yang berdakwah di masyarakat. Nyai memainkan peran aktif dalam mereformasi pesantren, misalnya memperkenalkan ide-ide inovatif tentang posisi perempuan. Mereka banyak berdakwah melalui majelis taklim atau masjid. Di dalam pesantren, nyai menjadi manajer pesantren: bertanggung jawab mengatur santriwati, memimpin santriwati dalam berdoa, dan menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan pesantren. Ia berharap, di masa depan pesantren menjadi ruang yang efektif untuk pengkaderan ulama perempuan.

Karya-Karya

Karya-karya Farida berupa penelitian, baik individu atau tim, dengan pembiayaan dari lembaga, antara lain Persepsi Perempuan terhadap Pendidikan Anak Perempuan Pasca SD (anggota, DIP IAIN Walisongo, 1997); Persepsi Mubalig terhadap Konsep Gender (individu, DIP IAIN Walisongo, 1998); Profil Majelis Taklim Wanita di Kota Semarang (individu, DIP IAIN Walisongo, 2000); Peran Perempuan dalam Penyelesaian Konflik Sosial (Stuudi Kasus di Kabupaten Jepara) (anggota, DIPA IAIN Walisongo, 2002); Dakwah Pemberdayaan pada Masyarakat Pedesaan dengan Metode Prticipatory Rural Appraisal (Studi Kasus Dakwah di Dukuh Ngonto Lor Desa Candi, Kec. Sumowono, Kab. Semarang) (individu, DIPA IAIN Walisongo, 2002); Isu-Isu Keagamaan pada Kampanye Pemilu 2004 (Analisis terhadap Materi Kampanye pada Pemilu tahun 2004 di Kota Semarang) (individu, DIPA IAIN Walisongo); Peningkatan Kepemimpinan Santriwati di Ponpes Darul Falah, Jekulo, Kudus, dengan Metode PAR (anggota, Dirjen Diktis Depag RI Th. 2004, 2005); Peningkatan Kualitas Santri melalui Pengembangan life skill di Ponpes Roudlotul Muttaqin Polamanh Mijen Semarang dengan Metode PAR (Ketua, Dirjen Diktis Depag RI Th. 2005, 2006); Peningkatan Khidmah Pesantren dalam meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat dengan Metode PAR Studi Kasus di Ponpes Roudlotul Muttaqin Polaman Mijen Semarang (ketua, Dirjen Diktis Depag RI Th. 2006, 2007); Tradisi Khitan Perempuan pada Masyarakat Jawa (Studi Kasus di Kota Semarang) (Individu, DIPPA IAIN Walisongo, 2007); Analisis Gender Bidang Ekonomi di Jateng (anggota, APBD Prov. Jateng Th. 2008, 2008); Gender dan Lingkungan Hidup Studi pada 4 Kabupaten-Kota di Jateng (anggota, APBD Prov. Jateng Th. 2009, 2009); Analisis Gender Bidang Agama Studi pada Lembaga Keagamaan di Jateng (ketua, APBD Jateng Th. 2010, 2010); dan, Perempuan dan Kesehatan Reproduksi Analisa di Majlis Taklim Wanita YPPKPI Masjid Raya Baiturrahman Semarang (individu, DIPA IAIN Walisongo, 2010).

            

Daftar Bacaan Lanjutan

  1. Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah (tulisan Jauharotul Farida).
  2. Sunat pada Anak Perempuan (Khifadz) dan Perlindungan Anak Perempuan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Demak, Jurnal Sawwa vol. 12 no. 3, 2017.
  3. Kaderisasi Ulama Perempuan (tulisan Jauharotul Farida).
  4. Jangan Takut Laporkan Pelaku Kekerasan Seksual, Tribun Jateng, 2015.


Penulis : Miftahul Huda
Editor : Nor Ismah
Reviewer : Faqihuddin Abdul Kodir