Jihad merupakan mashdar dari kalimat jaahada (جَاهَدَ) yang berarti berusaha keras atau berdaya upaya.[1] Secara ijma’ berjihad hukumnya fardhu kifayah. Dihukumi fardhu berdasarkan ayat:

[البقرة: 216] {كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ}

“Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Dihukumi kifayah yang artinya cukup dilakukan oleh sebagian saja dapat menggugurkan kewajiban sebagian lainnya, berdasarkan ayat:

[التوبة: 122] {وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً}

“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang).” (QS. At-Taubah: 122)

[الحديد: 10] {وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى}

“Allah menjanjikan (balasan) yang baik kepada mereka masing-masing.” (QS. Al-Hadid: 10)

Di samping itu Rasulullah ﷺ tidak pernah berangkat ke medan perang tanpa meninggalkan sebagian kaum muslim tetap di rumahnya, karena itulah para ulama sepakat bahwa hukum jihad adalah fardhu kifayah.[2]

Jihad menurut istilah syara’ adalah mengerahkan usaha dan berdaya upaya dalam memerangi kekafiran dan berlindung darinya, baik dengan perantara nyawa (perang), harta benda, maupun lisan (dakwah dan edukasi). Oleh karena itu, jihad dapat dilakukan dengan mengajarkan dan mempelajari hukum-hukum agama Islam, menyebarkannya di antara manusia, mendonasikan harta dan memberi dukungan saat sang pemimpin telah menyerukan perang.[3] Rasulullah ﷺ bersabda:

جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ

“Perangilah kaum musyrik dengan harta kalian, diri kalian, dan lisan kalian.” (HR. Abu Daud: 2.504)

Dalam pengertian jihad yang berarti peperangan secara fisik atau angkat senjata, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum memastikan jihad yang dimaksud bisa dilaksanakan. Syekh Ali Jum’ah memberikan lima syarat jihad dalam Islam; Pertama, dilandasi oleh kemurahan hati dan tujuan yang jelas. Kedua, tak boleh ada perang kecuali terhadap orang-orang yang memerangi dan tak boleh ada permusuhan terhadap warga sipil. Ketiga, jika berpihak pada perdamaian dan perang telah usai maka tak boleh ada lagi permusuhan kecuali terhadap orang-orang yang zalim. Keempat, adanya jaminan untuk para tawanan dan memperlakukan mereka secara manusiawi. Kelima, menjaga lingkungan termasuk dilarang membunuh hewan tanpa ada maslahat perang, membakar pepohonan, merusak ladang dan kebun, mencemari air dan sumur, dan menghancurkan pemukiman.

Hal berikutnya yang menjadi pertimbangan adalah dampak yang akan ditimbulkan. Jihad haruslah memberikan pengaruh positif setelahnya. Antara lain menghilangkan thaghut yang menyebabkan kerusakan di muka bumi yang telah tertata dengan baik, menyuarakan keadilan dan kebebasan bagi seluruh manusia meskipun dalam hal berakidah, serta mengutamakan kepentingan umum daripada kemaslahatan individu.[4] Dengan demikian, tidaklah dapat dibenarkan jika tindak kekerasan yang mengatsanamakan jihad ini justru merusak tatanan yang telah baik, mengekang kebebasan beragama, dan dilakukan semena-mena.

Jika dikembalikan kepada asal muasal kalimat jihad di dalam Alquran, dapat ditemukan bahwa jihad telah disinggung bahkan sejak periode Mekah. Dalam surat Al-Furqan ayat 52, Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk melakukan jihad besar dengan Alquran tanpa pedang dan kekerasan. Ayat lain yang diturunkan di Mekah adalah An-Nahl ayat 110, disebutkan bahwa orang-orang yang berhijrah menghindari kekerasan kemudian berjihad dan bersabar akan memperoleh ampunan dan kasih sayang Allah swt. Sementara ayat 69 dari surat Al-Ankabut yang juga diturunkan di Mekah menjelaskan bahwa orang-orang yang berjihad di jalan Allah akan ditunjukkan jalan oleh-Nya.[5]

Telah terjadi distorsi pemahaman bahwa perintah jihad disyariatkan setelah hijrah dari Mekah ke Madinah dan seolah-olah tak ada istilah maupun tuntutan jihad sebelum itu. Padahal faktanya tidaklah demikian. Penyebutan jihad sejak periode Mekah tentu saja tak dimaksudkan untuk pertarungan fisik karena periode itu adalah masa pengenalan dan awal pembentukan kedaulatan Islam lintas kabilah dan kalangan yang membutuhkan dialog intens. Melalui pendekatan historis ini, Syekh Ramadhan Al-Buthiy menjelaskan bahwa mereka yang memahami jihad sebagai aksi perang adalah orang-orang yang tak meletakkan spirit dasar jihad dalam hatinya. Umat muslim harus bersatu memegang makna jihad dengan dakwah lisan dan edukasi ini sebagai dasar. Bukan menganggapnya sebagai aksi memerangi tiap orang yang menolak ajakan dakwah apalagi menghukuminya wajib dengan memerangi siapapun yang tak mau mengucapkan kalimat syahadat.[6]

Jihad adalah cara, bukan tujuan. Tak sedikit dari mereka yang menjadikan jihad sebagai tujuan. Belajar agama untuk jihad, pergi berperang untuk jihad, tanpa menyadari bahwa jihad bukanlah tujuan akhir melainkan kedamaian yang merupakan ruh dari penyebaran dakwah islam itu sendiri. Maka, misi jihad adalah kemanusiaan. Jika jihad semata-mata bertujuan mengislamkan manusia, niscaya tak akan ada aturan perlindungan bagi kafir dzimmi, tak akan ada perintah menjaga kerukunan umat beragama seperti “lakum diinukum wa liya diin” dalam surat Al-Kafirun ayat 6.

Allah telah menegaskan bahwa tak ada paksaan dalam beragama di surat Al-Baqarah ayat 256. Jika lantas berjihad dilakukan dengan cara teror yang menimbulkan keresahan, menyebarkan ketakutan yang bahkan umat muslim sendiri tak bisa merasa aman darinya, maka tak adalah artinya ayat ini. Oleh karena itu, jihad hendaklah dipahami dengan makna dasarnya berupa prinsip kebijakan dan kesungguhan dalam menyampaikan kebenaran.

Selain lekat dengan makna perang, kalimat jihad pun identik dengan gerakan laki-laki. Padahal sesungguhnya konsep jihad bersifat resiprokal dan netral. Berlaku baik di ranah publik maupun domestik. Demikianlah semangat yang tersurat dalam beberapa ayat Alquran (QS. Ali Imran [3] 195; al-Anfal [8]: 72; dan al-Taubah [9]: 71). Ketiga ayat ini sebenarnya cukup menegaskan narasi jihad dalam Islam bersifat netral gender. Sehingga tak bisa ditetapkan secara mutlak bahwa jihad perempuan adalah di dalam rumah sementara laki-laki d luar rumah.[7]

Jihad di ranah publik atau medan perang kerap diidentikkan dengan kiprah kaum lelaki, padahal banyak perempuan zaman Rasulullah ﷺ yang ikut terlibat dalam perang sebagaimana yang dikisahkan oleh Rubai’ binti Mu’awwidz. Para perempuan kala itu berperan sebagai paramedis dan logistik. Mereka menyediakan minuman bagi para prajurit, mengobati yang terluka, dan mengurus prajurit yang gugur ke Madinah (HR. Al-Bukhari: 5.679).[8] Termasuk juga Nusaibah binti Ka’ab al-Anshariyah yang melindungi Rasulullah SAW saat perang Uhud, ia yang dijuluki “Perempuan yang Penuh Luka Pedang” ini sangat dekat dan memiliki posisi yang mulia bagi Nabi. Beliau sering memujinya dan keluarganya serta mendoakan mereka kelak menjadi teman-teman setia bersama beliau di surga.

Begitupun sebaliknya, jihad di ranah domestik atau rumah selalu disematkan kepada kaum perempuan. Labelisasi semacam ini telah terjadi sejak zaman Rasulullah ﷺ, tatkala Sahabat Utsman bin ‘Affan r.a. direndahkan sebab menganggap jihad domestik sebagai peran yang harus ia lakukan. Rasulullah ﷺ membela Sayyidina Utsman r.a. tatkala mengurus istrinya yang sedang sakit di saat jihad bela negara sedang diperlukan dan digalakkan (Shahih Al-Bukhari, Kitab Fadhail Ashhab al-Nabi, no. 3.745). Di samping itu, Rasulullah ﷺ sendiri pun tak segan untuk memberikan teladan tanggap dan ringan tangan melakukan pekerjaan jihad rumah tangga (Shahih al-Bukhari, no. 680, 5.417, dan 6.108; Sunan al-Tirmidzi, no. 2.677; dan Musnad Ahmad, no. 24.863, 25.588, dan 26.349).[9]

Meskipun pandangan-pandangan konservatif membatasi perjuangan kaum perempuan hanya dalam ruang sempit bernama keluarga, tetapi pandangan tauhid (paradigma kesetaraan manusia dan keadilan) memberikan peluang kepada kaum perempuan untuk berjihad dalam ruang-ruang sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Dengan demikian, jihad membangun kebersamaan tanpa diskriminasi, menegakkan keadilan dan menghapuskan segala bentuk kezaliman, serta mewujudkan kesalehan budaya dan membatasi keserahakan nafsu, harus menjadi cara-cara manusia ke depan. Inilah makna jihad akbar sekaligus merupakan misi kerahmatan semesta yang menjadi cita-cita Islam.[10]

Lebih daripada itu, sesungguhnya jihad terdahsyat baik bagi laki-laki maupun perempuan adalah jihad melawan ego dan nafsu dalam diri. Jihad melawan ketidak adilan dan segala bentuk kekerasan yang bertentangan dengan spirit Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Berusaha keras menahan untuk tidak memaksakan kehendak dan semena-mena memperlakukan sesama. Berdaya upaya untuk  berdakwah dan menegakkan syariat Islam yang maslahat dengan cara yang baik dan santun. Sebagaimana syair yang digubah oleh Abu al-‘Athiyah (w. 213 H):

أَشَدُّ الْجِهَادِ جِهَادُ الْهَوَى ***  وَمَا أَكْرَمَ الْمَرْءُ إِلَّا التُّقَى

Sebesar-besar jihad adalah jihad melawan hawa nafsu. Dan tak ada sesuatu pun yang dapat membuat seseorang mulia kecuali ketakwaannya.

وَأَخْلَاقُ ذِيْ الْفَضْلِ مَعْرُوْفَةٌ *** بِبَذْلِ الْجَمِيْلِ وَكَفِّ الْأَذَى

Akhlak orang yang memiliki keutamaan dapat diketahui dari bagaimana ia melakukan kebaikan dan menolak keburukan.


Penulis: Nurun Sariyah


  1. Larrouse, Munjid fi Al-Lughoh wa Al-A’lam, Daar El-Machreq, Beirut, 2005, hal 106.
  2. Ibnu Rusyd, Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al-Qurthubiy Al-Andalusy, Bidayatu Al-Mujtahid wa Nihayatu Al-Muqtashid, Daar Al-Fikr, 2008, juz 1, hal 305.
  3. Az-Zuhailiy, Wahbah bin Musthofa Az-Zuhailiy, Al-Fiqhu Al-Islamiy wa Adillatuhu, Daar Al-Fikr, Damaskus-Syiria, juz 8, hal 5.846.
  4. Ali Jum’ah, Al-Bayan li Ma Yusyghilu Al-Adzhan, Daar Al-Moqattham, 2014, juz 1, hal 92-95
  5. Majalah Swara Rahima, No. 04 Th. II Pebruari 2002, Saatnya Perempuan Pegang Kendali Perjuangan, hal 9-10
  6. Al-Buthiy, Al-Jihad fi Al-Islam; Kaifa Nafhamuhu wa Numarisuhu, Daar Al-Fikr, Damaskus-Syiria, 1993, hal 19-28)
  7. Faqihuddin Abdul Kodir, Perempuan Bukan Sumber Fitnah, Akfaruna.id, Bandung, 2021, hal. 151-152
  8. Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Daar Tuqi An-Najat, 2001, juz 7, hal 122.
  9. Faqihuddin Abdul Kodir, Perempuan Bukan Sumber Fitnah, Akfaruna.id, Bandung, 2021, hal. 154-155
  10. Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, IRCiSoD, Yogyakarta, 2021, hal. 188