Tho’atillah
Tho’atillah Ja’far, terlahir sebagai sulung dari enam bersaudara sekaligus cucu perempuan pertama dalam keluarga besar Pondok Pesantren KHAS Kempek, membuat Tho’atillah tumbuh menjadi perempuan yang tegas dan berdedikasi tinggi. Ia lahir pada 27 Januari 1978 di Cirebon, Jawa Barat. Ia merupakan kepala madrasah MTM Putri Kempek Cirebon dan pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek. Ibu Nyai dengan segudang pengalaman dan prestasi ini menjadi bagian Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-2 tahun 2022 yang berlangsung di Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara, Jawa Tengah sebagai peserta.
Riwayat Hidup
Tho’atillah Ja’far atau yang akrab dipanggil Ang Tho’ah merupakan kepala madrasah MTM Putri Kempek Cirebon dan pengasuh pondok pesantren putri KHAS Kempek. Ia memulai sekolahnya di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Kempek Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat dari tahun 1984 hingga 1989. Setelah lulus sekolah dasar, ia kemudian hijrah ke Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiat Lirboyo, Kediri, Jawa Timur untuk melanjutkan mencari ilmu dari tahun 1991 hingga 1998.
Puas mengenyam pendidikan di pondok pesantren, Ang Tho’ah kemudian melanjutkan pendidikan formalnya dengan menyelesaikan studi S1 di Universitas Swadaya Gunung Jati pada tahun 2013. Dalam perjalanan karirnya, Ang Tho’ah merupakan sosok yang selalu mau belajar. Ia juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik di dalam maupun di luar pondok pesantren yang diasuh. Salah satu kegiatan yang digelutinya hingga sekarang adalah menjadi pengurus di PC Fatayat NU Kabupaten Cirebon bidang dakwah.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Tumbuh dan besar dalam lingkungan pondok pesantren salaf, membuat ruang gerak Ang Tho’ah menjadi sedikit terbatas. Apalagi fakta yang menunjukkan bahwa ia merupakan cucu pertama perempuan dari keluarga pesantren yang sangat kental dengan niali-nilai agama. Dalam naungan pesantren salaf, larangan bagi perempuan untuk keluar dari area pondok merupakan aturan yang harus dilaksanakan. Para perempuan boleh menimba ilmu dengan seluas-luasnya asalkan tetap di dalam area pondok pesantren. Bahkan pada masa itu, Ang Tho’ah mengalami pergolakan batin yang cukup kuat karena tidak boleh mencari ilmu dari sekolah atau pondok pesantren formal.
Karena didikan yang cukup keras dan anjuran untuk mencari ilmu cukup di dalam pondok pesantren inilah, membuat Ang Tho’ah menjadi pribadi yang takut untuk melangkah maju. Walaupun diperbolehkan untuk mencari ilmu di luar pondok, ia menjadi was-was karena dilepas oleh sang ayah tanpa adanya bimbingan. Tak hanya sampai di situ, problematik mengenai perjodohan yang dialaminya pun menjadi salah satu hal yang membuat ia merasa tak pernah mempunyai pilihan sebagai perempuan. Ia seperti menjadi subjek yang harus menuruti setiap perkataan yang ditujuan untuknya, tanpa diberi kesempatan untuk memilih.
Dalam kegelisahan tersebut, ia mencoba menolak perjodohan yang dilakukan orang tuanya karena tidak sesuai dengan hati nurani yang dimiliki. Meski pada saat itu ia merasa berdosa karena menolak tradisi keluarga pesantren tentang perjodohan, hatinya hanya ingin merdeka dan menentukan pilihannya sendiri. Pada situasi yang penuh dilema itulah, sang paman hadir dan membawakan beberapa pilihan untuk Ang Tho’ah memilih calon suami yang dirasa pas untuk dirinya. Momentum inilah yang akhirnya membawa Ang Tho’ah bertemu dengan lelaki yang menjadi suaminya hingga saat ini. Menurutnya, memilih calon suami haruslah setara. Yang dimaksud setara adalah ia yang bisa diajak untuk bersama-sama, maju dan saling mengingatkan dalam kebaikan.
Kedudukannya sebagai perempuan yang menjadi anak sulung dan cucu pertama dalam keluarga pondok pesantren besar di Cirebon membuat ia menjadi pribadi yang dibanggakan namun di sisi lain ‘disayangkan’ pula karena kodratnya sebagai perempuan. Stereotip itu tak hanya dilayangkan oleh masyarakat biasa, namun dari kalangan keluarganya juga. Hal inilah yang membuat Ang Tho’ah kembali bertanya-tanya apa yang salah ketika menjadi perempuan. Bukankah setiap manusia memiliki kedudukan yang sama di muka bumi, namun mengapa subjek antara perempuan dan laki-laki seakan dibedakan dalam banyak aspek kehidupan. Narasi seperti itulah yang membuat Ang Tho’ah kecewa terhadap budaya patriarki yang masih melekat dalam lingkungan pondok pesantren. Ia pun tergerak untuk meluruskan pemahaman tersebut, bahwa kedudukan antara perempuan dan laki-laki adalah setara, tidak ada yang dibeda-bedakan.
Berangkat dari peristiwa tersebut, perkenalan Ang Tho’ah dengan KUPI seperti gembok bertemu dengan kunci. Pemikiran yang KUPI gaungkan sama dengan apa yang dialami oleh Ang Tho’ah dan perempuan lainnya. Mulanya, Ang Tho’ah dipertemukan dengan KUPI melalui adik iparnya, yakni Ibu Roziqoh yang pada saat itu menjabat selaku ketua Fatayat PC NU Kabupaten Cirebon. Ia pun mulai mengikuti kegiatan yang dilakukan di luar pondok, salah satunya yang diadakan oleh Fahmina dan Mubadalah.
Selama mengikuti kegiatan di Fahmina, ia merasa mendapatkan ruang untuk mengekspresikan diri dan bertemu teman-teman yang se-frekuensi dengan dirinya. Wawasan mengenai perempuan dalam Islam yang sudah dipelajarinya dulu ketika mondok tidak sepenuhnya benar. Dulu, Ang Tho’ah sering mendengar bahwa selama proses hidupnya, seorang perempuan haruslah patuh kepada suami karena ia diciptakan dari tulang rusuk lelaki, menjadi sumber fitnah, dan kesialan. Namun, melalui kajian yang dilakukan dalam kegiatan Fahmina, justru kedudukan perempuan dalam Islam sangat mulia dan tinggi. Teks-teks yang membatasi perempuan ini disikapi oleh KUPI dengan interpretasi yang lebih ramah dan adil. Alasan inilah yang membuat Ang Tho’ah semakin yakin bahwa KUPI menjadi salah satu media yang mampu mengubah pemahaman yang salah mengenai relasi perempuan dan laki-laki.
Adanya kegiatan di luar pondok pesantren ini membuat Ang Tho’ah mempunyai pemahaman dan keberanian yang tinggi dalam menyiarkan keadilan bagi perempuan, salah satunya adalah menyampaikan isu perempuan di lingkungan pesantren yang ia asuh. Ia mulai meminta foto para ibu nyai di seluruh Pondok Pesantren KHAS Kempek dipajang di depan gapura seperti foto para kiai. Menurutnya, kesuksesan KHAS Kempek tidak luput dari peran besar para bu nyai yang sangat berdedikasi tinggi. Maka dari itu, penting sekali memperkenalkan para bu nyai kepada siapa pun yang datang sebagai pengingat bahwa yang mendidik, mengasuh, dan membimbing para santri bukan hanya laki-laki, tetapi perempuan juga.
Selain memanjang foto para bu nyai di gapura, Ang Tho’ah pun mulai menyuruh seluruh pengasuh Pondok Pesantrek KHAS Kempek untuk tidak malu menyebutkan nama para bu nyai ketika menyampaikan sambutan atau ceramah di acara pondok dan memberikan tawassul. Ia menyampaikan hal tersebut karena selama ini peran bu nyai dianggap tidak penting, bahkan keberadaannya tidak dianggap. Padahal dalam realitanya, para bu nyai juga ikut membantu, mengelola, dan membimbing para santri dalam menimba ilmu. Oleh sebab itu, sebagai bentuk apresiasi, Ang Tho’ah menyarankan agar para nyai mendapatkan perlakuan yang sama dengan para kiai.
Dalam perhelatan kongres KUPI ke-2 di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara, Jawa Tengah yang dilaksanakan pada 24-26 Desember 2022, Ang Tho’ah tertarik pada isu pengelolaan sampah bagi keselamatan perempuan dan keberlanjutan lingkungan. Ia konsen pada isu ini karena relevan dengan kegiatan yang sudah diterapkan di pondok pesantren yang ia asuh. Label yang biasa disematkan pada pondok pesantren salaf yang kumuh dan kotor ditolaknya mentah-mentah. Ang Tho’ah membuktikan bahwa tidak semua pesantren salaf itu kumuh, contoh konkretnya ialah pondok yang ia asuh. Ia membina para santrinya untuk menjaga kebersihan agar lingkungan menjadi asri dan bersih.
Baginya, isu tentang pengelolaan sampah dan lingkungan merupakan masalah yang tidak ada habisnya. Oleh karena itu, ia mencoba mendedikasikan diri agar bermanfaat bagi sekitar. Ia menyetujui pendapat Bu Nur Rofiah yang menyarankan untuk melakukan apa saja selagi dalam hal kebaikan dan bermanfaat bagi orang lain. Dengan membawa manfaat, maka kita akan dianggap ada. Meski terlahir sebagai anak sulung, Ang Tho’ah tidak ambisius ketika menjadi pemimpin. Menurutnya, entah jadi apa saja, asal bermanfaat bagi orang lain, maka hal tersebut sudah menjadi nilai yang sangat berharga. Sebagai perempuan, sudah sepatutnya berjuang demi martabat diri sendiri agar tidak terjajah oleh orang lain.
KUPI memberikan jawaban terhadap pengalaman kehidupan yang selama ini Ang Tho’ah alami. Pemikiran KUPI membuka pemahaman kepadanya bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, dan sudah sepatutnya diperlakukan dengan sama pula. Narasi mengenai kesialan ketika terlahir sebagai perempuan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan kodrat sebagai manusia. Apa pun hal yang dilakukan, entah itu perempuan atau laki-laki, asal membawa manfaat bagi sekitar, maka keberadaannya akan dianggap ada. Karena sebaik-baiknya manusia ialah yang paling bermanfaat, dan sebaik-baiknya kita adalah yang paling baik akhlaknya.
Karya-Karya
Tho’atillah Ja’far bersama rekan-rekannya pernah menulis buku tentang lingkungan yang berjudul Dakwah Ekologi (Mubadalah.id, 2022)
Daftar Bacaan Lanjutan
Tho’atillah Ja’far: Menyuarakan Isu Perempuan di Pesantren (Bulletin Blakasuta, 2022)
- https://khaskempek.com/nyai-thoatillah-jafar-jelaskan-keutamaan-dan-amalan-hari-asyura/
- https://www.nu.or.id/nasional/nyai-tho-ah-khas-kempek-anjurkan-baca-doa-ini-pada-hari-asyura-lhFHA
Penulis | : | Siti Nur Azizah |
Editor | : | |
Reviewer | : |