Sinta Nuriyah

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Nyai. Hj. Dr. (Hc). Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M.Hum
Sinta Nuriyah.jpg
Tempat, Tgl. LahirJombang, 8 Maret 1948
Aktivitas Utama
  • Pendiri Yayasan Puan Amal Hayati & Dewan Penasehat KOMNAS HAM Indonesia
Karya Utama
  • Perempuan dan Pluralisme & Wajah Baru Relasi Suami-Istri

Dr. (HC) Drs. Sinta Nuriyah Wahid, M. Si. lahir di Jombang pada tanggal 8 Maret 1948. Bu Sinta menjadi rujukan publik terutama mengenai isu-isu kesetaraan gender, toleransi, dan hak asasi manusia. Ia tampil seperti hari ini bukan hanya karena ia istri Gus Dur, melainkan karena ia memang tipikal perempuan pejuang. Kesetaraan, toleransi, dan hak asasi perempuan ia perjuangkan semenjak remaja. Ia dikenal sebagai perempuan kritis. Ia selalu merasa was-was ketika peminggiran dan subordinasi terus menimpa kepada perempuan.

Dalam Jaringan KUPI, Bu Sinta aktif sebagai Dewan Penasihat. Lebih dari itu, ia sudah seperti guru ideologis bagi banyak aktivis KUPI, sebut saja Kiai Faqih Abdul Kodir. Perumus konsep Mubadalah itu menuturkan bahwa dari Bu Sinta ia belajar pemaknaan hadits dengan kerangka, yang hari ini ia rumuskan sebagai konsep Mubadalah. Ide dan inspirasi pemaknaan itu ia terima ketika ia aktif sebagai anggota FK3 yang dipimpin Bu Sinta di Ciganjur, Jakarta. Diskusi bulanan itu mengkaji secara intens hadits-hadits dalam kitab Uqud al-Lujain.

Riwayat Hidup  

Mula-mula Bu Sinta belajar di pesantren milik keluarganya di daerah Tambak Beras, Jombang. Ia belajar di Sekolah Rakyat kemudian Madrasah Muallimat Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang. Setelah menamatkan pendidikan menengah, ia kemudian menimba ilmu di kota gudeg, Yogyakarta, tepatnya di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, di Fakultas Syariah.

Ketika sudah merasa cukup secara usia, ia menikah dengan Gus Dur yang dulu masih bernama Abdurrahman Ad-Dakhil. Ketika pertama kali mengarungi rumah tangga, ia masih tinggal di Jombang, yakni di Manbaul Maarif, Denanyar Jombang. Di sela-sela sebagai istri ia juga mengajar di Pesantren Denanyar, Tebuireng, dan Rejoso.

Kira-kira pada tahun 1980 kedua pasangan itu kemudian hijrah ke Jakarta. Di Ibu Kota keduanya memulai karir masing-masing. Gus Dur mulai aktif di Nahdlatul Ulama, organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan oleh kakeknya. Ia mulai sering bertemu dengan beberapa kiai-kiai pesantren. Hingga 4 tahun setelahnya secara resmi pertama kali Gus Dur naik menjadi Ketua Umum PBNU di Muktamar ke 27 di Sukorejo Situbondo.

Sementara Bu Sinta memulai karir sebagai wartawan di beberapa media, seperti Majalah Zaman dan Majalah Mantra. Ia juga aktif di beberapa organisasi perempuan, seperti KNKWI (Komisi Nasional kedudukan Wanita di Indonesia), Konawi (Kongres Wanita Indonesia), dan menjadi rohaniawan di rumah tahanan.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Padatnya aktivitas ketika awal mula di Jakarta, tak membuat Bu Sinta berhenti untuk menambah cakrawala pengetahuannya. Ia kemudian mendaftar di Pascasarjana Universitas Indonesia tepatnya pada departemen Kajian Perempuan dan Gender. Sayangnya ketika awal kuliah, Sinta mengalami kecelakaan hingga menyebabkan dirinya cedera dan mengganggu mobilitas pergerakannya. Namun, ia tetap memaksa kuliah. Kira-kira selama satu semester ia harus ditandu dari lantai 1 ke lantai 4 Universitas Indonesia.

Di tengah perkuliahan itu, ia mulai merasakan banyak kegelisahan. Ia merasakan bahwa betapa tidak enak menjadi perempuan. Banyak kendala baik budaya, sosial, bahkan penafsiran agama yang menghambat kehidupan perempuan. Kegelisahan itu terus menghantuinya hingga akhirnya Bu Sinta menginisiasi pendirian forum Kajian Kitab Kuning. Forum ini secara khusus mengkaji dan membedah pemikiran-pemikiran yang dianggap bias gender.

Bersama Kiai Husein Muhammad dan beberapa tokoh lain mula-mula membedah kitab yang amat kesohor di pesantren, Uqud al-Lujain karya Kiai Nawawi al-Bantani, seorang ulama nusantara yang membangun karir keilmuan di Mekkah. Dari hasil kajian itu kemudian dirilislah buku “Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah kitab uqud al-Lujain” dan “Kembang Setaman Perkawinan”. Rilis buku ini benar-benar membuat heboh kajian Islam di Indonesia, khususnya kaum tradisionalis. Berbagai penolakan mengemuka tetapi Bu Sinta terus berjalan sesuai dengan pendiriannya memperjuangkan kesetaraan bagi kaum perempuan.

Tidak berhenti di situ, pada tahun 2021 atas beberapa pertimbangan ia mendirikan organisasi Puan Amal Hayati. Tujuan utamanya adalah agar gerakan dan perjuangan membela kaum perempuan lebih efektif dan terurus. Agenda membebaskan perempuan dari belenggu ketertindasan dan keterbelakangan diharapkan bisa segera terwujud dengan lembaga swadaya ini.

Secara filosofis, kata Puan yang diambil Bu Sinta untuk nama depan organisasi ini merupakan kepanjangan dari “Pesantren Untuk Pemberdayaan Perempuan dan Anak”. Ada beberapa program utama untuk merealisasikan visi misi Puan Amal Hayati. Misalnya, Devisi Pendampingan Korban, Devisi Kajian Kitab Kuning, Devisi Sosial Kemanusiaan, Devisi Pengembangan Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama, dan Devisi Publikasi.

Melalui Puan Amal Hayati ini, Bu Sinta bergerak berkeliling memberikan advokasi khususnya kepada beberapa korban kekerasan dan pelecehan seksual. Memang awalnya, program dari Puan Amal Hayati tidak hanya menyentuh kaum perempuan akan tetapi kaum laki-laki juga. Hanya saja karena berdasarkan data bahwa korban kekerasan seksual lebih banyak didominasi perempuan maka Puan Amal Hayati bergerak dengan fokus kepada perempuan.

Program pendampingan kepada korban yang dilakukan Puan Amal Hayati meliputi: pendampingan sikologis, pendampingan hukum, dan pendampingan media. Program itu terus dijalankan hingga hari ini. Tak terhitung berapa korban yang mendapat kelembutan dan uluran tangan dari organisasi ini.

Secara sederhana, beberapa aktivitas Bu Sinta dapat dibagi ke dalam beberapa kategori. Pertama, kegiatan kajian dan diskus, yaitu Bu Sinta membahas bagaimana perspektif dan pandangan akademik terhadap isu yang akan dibahas. Perspektif yang digunakan bermacam-macam, misalnya keagamaan, hukum, dan kesehatan. Biasanya untuk pengayaan wacana, Bu Sinta berdiskusi dengan pemikir lintas batas generasi. Forum Kajian Kitab Kuning yang ia bentuk adalah bentuk wujud konkretnya.

Kedua, mendirikan organisasi dan aktif memberikan pendampingan. Agar gerakan yang diusung berjalan efektif ia perlu mendirikan organisasi yang mewadahi. Bukan hanya itu, ia juga memberi pendampingan intens, khususnya bagi perempuan yang sudah menjadi korban. Sebab sampai saat ini, Indonesia masih belum menjadi negara yang ramah bagi perempuan. Sehingga korban-korban pelecehan dan kekarasan seksual masih banyak di Indonesia.

Ketiga, Dari Diskusi ke Aksi. Hal itu dintadai dengan kemauannya berkeliling ke seluruh Indonesia, khususnya selama Ramadan untuk memberikan pencerahan. Sejak tahun 2000 ia mengadakan roadshow program sahur ke hampir banyak titik di Indonesia. Dari forum ini, diharapkan hasil-hasil diskusi bisa diterapkan. Bukan hanya itu, kegiatan ini menjadi wadah untuk memperat persaudaraan antara pemeluk agama-agama.

Alissa Wahid, salah seorang puterinya mengaku bangga dan kagum atas jejak dan kiprah ibunda tercintanya. Sebab komitmennya terhadap isu-isu perempuan mengakar kuat dari luar dan dalam diri sang ibu. Bu Sinta, dalam amatan Alissa adalah tipikal perempuan berani. Ia berani maju mengusung sebuah isu, yang bahkan dalam dunia pesantren tempat ia dilahirkan masih sangat asing.

Dalam hal relasi sedari awal posisi Bu Sinta setara dengan Gus Dur. Alissa mencotohkan, dulu ketika ia masih kecil tepatnya saat staf libur lebaran, pekerjaan-pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, dan mencuci baju justru dilakukan oleh Gus Dur. Bahkan urusan memandikan anak, mengganti popok mereka juga dibantu oleh Gus Dur. “Jadi Ibu tidak sendirian mengurusi urusan domestik di rumah,” ujar Alissa.

Tidak melulu soal domestik, Bu Sinta juga ikut terlibat membantu Gus Dur dalam urusan mencari uang untuk keluarga. Gus Dur, seperti dikenang Alissa adalah orang yang hidupnya melarat. Jika ada yang memberinya banyak uang maka akan diberikan kembali kepada orang lain. dalam keadaan seperti itu, Bu Sinta juga ikut membantu keuangan keluarga dengan menjadi wartawan, menerjemahkan buku, atau berjualan makanan.

Sebenarnya jika yang menjadi ukuran adalah materi, posisi Bu Sinta sebagai istri Presiden harusnya membuatnya tak perlu terlibat dalam isu-isu perempuan, advokasi mereka yang terpinggirkan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, Bu Sinta tidak bertujuan mengejar materi. Ia aktif mengusung isu yang diperjuangkan murni karena panggilan jiwa dan juga inspirasi dari Gus Dur, suaminya.

Secara lengkap isu yang disasar Bu Sinta bukan hanya soal ketidakadilan gender. Ia juga berjuang di isu minoritas baik agama, suku dan ras, kelompok yang termarginalkan, kaum yang dimiskinkan, dan kaum distabilitas.

Ide-ide dan pemikiran Bu Sinta dituangkan di banyak bidang gerakan dan organisasi. Misalnya, ia aktif menjadi wartawan Majalah Gatra, Dewan Penasihat Komnas HAM, Ketua Pelopor Khusus Kebebasan Beragama Komnas Perempuan, Anggota Konggres Wanita Indonesia (Kowani) Komisi nasional berkedudukan di Indonesia, pendiri yayasan al-Munawwarah (bergerak pada pemberian bantuan dana atau beasiswa kepada anak sekolah, keluarga tidak mampu, para penyandang catat, dan korban bencana) dan banyak lagi tempat dimana ia berjuang.

Lain dari gerakan yang ia perjuangankan secara mandiri, baik melalui Puan Amal Hayati dan organisasi lain, Sinta Nuriyah adalah istri dari seorang pemikir, politisi, kiai, negarawan, budayawan, cendikiawan muslim Indonesia, yaitu K. H. Abdurrahman Wahid. Ia yang menemani jejak langkah dan perjuangan Gus Dur. Ia yang mendorong ketika Gus Dur butuh motivasi.

Ibu Sinta adalah tipikal perempuan tangguh yang rela jatuh bangun memperjuangan nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan kemanusiaan. Bersama empat putri hasil pernikahannya dengan K. H, Abdurrahman Wahid, yaitu Alissa Wahid, Yenny Wahid, Anita Wahid dan Inaya Wahid, ia terus gelisah jika menjumpai ketidakadilan, peminggiran, dan intoleransi di Indonesia. Hingga usia senjanya ia tetap menjadi perempuan petarung. Memperjuangkan apa yang menjadi pemikiran dan cita-citanya selama ini.

Penghargaan dan Prestasi

Atas semua dedikasi dan perjuangannya ia mendapatkan banyak perghargaan, seperti termasuk dalam daftar 100 tokoh berpengaruh dunia versi Majalah Times kategori tokoh pejuang perempuan tahun 2018; 11 tokoh perempuan paling berpengaruh versi harian New York Times 2017; Soka Women’s College Comendation of Friendship dari Soka Women’s College Universitas Soka sebagai pejuang Perempuan, Doktor Kehormatan Honoris Causa; (Dr. HC) dari UIN Sunan KaliJaga Yogyakarta pada tahun 2019.

Karya-karya

Di antara karya-karyanya adalah:

  1. Perempuan dan Pluralisme.
  2. Pesantren Tradisi dan Kebudayaan.
  3. Romantika Kehidupan: Kumpulan Kasus Kekerasan Pada Perempuan.
  4. Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab Uquq al-Lujain.
  5. Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujain.

Daftar Bacaan Lanjutan

Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujain.


Penulis : Ahmad Husain Fahasbu
Editor : Nor Ismah
Reviewer : Faqihuddin Abdul Kodir