Kegiatan-Kegiatan Pembuka: Perbedaan revisi

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
(←Membuat halaman berisi 'Sebelum Kongres digelar pada tanggal 25-27 April, berbagai kegiatan telah diadakan sebagai persiapan, penyerapan, dan penguatan awal agar Kongres bisa diterima, atau s...')
 
Baris 1: Baris 1:
Sebelum Kongres digelar pada tanggal 25-27 April, berbagai kegiatan telah diadakan sebagai persiapan, penyerapan, dan penguatan awal agar Kongres bisa diterima, atau setidaknya bisa dimengeri oleh para peserta yang hadir. Salah satu tujuan KUPI adalah mengidentifikasi dan memberi legitimasi ulama perempuan yang lahir di masyarakat. Untuk itu, sejak 1 Mei 2016, KUPI telah membukan lomba penulisan profil ulama perempuan. Sampai akhir Agusustus 2016 waktu pengiriman untuk lomba ditutup, ada 76 naskah yang masuk ke meja [[Panitia]]. Jumlah yang cukup banyak ini menandakan legitimasi sosial terhadap eksistensi ulama perempuan adalah nyata ada. Hanya karena persoalan tehnis penulisan, Panitia hanya memilih beberapa tulisan saja. Yaitu tentang Tengku Fakinah Aceh, Nyai Shholihah Wahid Hasyim Jakarta, Rahmah El Yunusiah Minangkabau, Nyai Hj. Siti Walidah Yogyakarta, Nyai Siti Maryam Sumenep, Nyai Khotimatul Husna Yogyakarta,  Nyai Hj. Masyitoh Riau, dan Nyai Hj. Mahsunah Jombang. Nama-nami ini sekaligus menandakan ragam aktivitas dari ulama perempuan, ada yang bergerak di pendidikan, ada yang di organisasi sosial, perjuangan melawan penjajah, politik, berkiprah di [[komunitas]], dan ada yang menekuni majlis ta’lim dan pendidikan usia dini.
Sebelum Kongres digelar pada tanggal 25-27 April, berbagai kegiatan telah diadakan sebagai persiapan, penyerapan, dan penguatan awal agar Kongres bisa diterima, atau setidaknya bisa dimengeri oleh para peserta yang hadir. Salah satu tujuan [[KUPI]] adalah mengidentifikasi dan memberi legitimasi ulama perempuan yang lahir di masyarakat. Untuk itu, sejak 1 Mei 2016, KUPI telah membukan lomba penulisan profil ulama perempuan. Sampai akhir Agusustus 2016 waktu pengiriman untuk lomba ditutup, ada 76 naskah yang masuk ke meja [[Panitia]]. Jumlah yang cukup banyak ini menandakan legitimasi sosial terhadap eksistensi ulama perempuan adalah nyata ada. Hanya karena persoalan tehnis penulisan, Panitia hanya memilih beberapa tulisan saja. Yaitu tentang Tengku Fakinah Aceh, Nyai Shholihah Wahid Hasyim Jakarta, Rahmah El Yunusiah Minangkabau, Nyai Hj. Siti Walidah Yogyakarta, Nyai Siti Maryam Sumenep, Nyai [[Khotimatul Husna]] Yogyakarta,  Nyai Hj. Masyitoh Riau, dan Nyai Hj. Mahsunah Jombang. Nama-nami ini sekaligus menandakan ragam aktivitas dari ulama perempuan, ada yang bergerak di pendidikan, ada yang di organisasi sosial, perjuangan melawan penjajah, politik, berkiprah di [[komunitas]], dan ada yang menekuni majlis ta’lim dan pendidikan usia dini.


Baik dari berbagai tulisan naskah ini, tulisan-tulisan lain, maupun diskusi-diskusi yang luas di kalangan ulama perempuan, salah satu problem dari upaya mengakui eksistensi ulama perempuan dan mengapresiasi mereka adalah kendala sosial psikologis masyarakat. Individu-individu atau masing-masing ulama perempuan sendiri juga seringkali tidak bersedia disebut sebagai ulama perempuan. Problem ini telah dibicarakan secara intensif oleh KUPI melalui workshop-workshop pra-Kongres mulai dari Nopember 2016 sampai Februari 2017. Ada tiga wilayah yang mewakili daearah-daerah Indonesia. Wilayah bagian Timur diadakah di Makasar, tanggal 28 Februari-2 Maret 2017, dengan mengundang para peserta dari Sulawesi, Papua, Kalimantan, NTB dan NTT. Wilayah bagian Barat di Padang, 28-30 Nopember 2016, dengan mengundang peserta di kepulauan Sumatra, mulai dari Aceh sampai Lampung. Sementara wilayah bagian Tengah diadakan di Yogyakarta, 19-21 Nopember 2017, dengan mengundang para peserta dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.  
Baik dari berbagai tulisan naskah ini, tulisan-tulisan lain, maupun diskusi-diskusi yang luas di kalangan ulama perempuan, salah satu problem dari upaya mengakui eksistensi ulama perempuan dan mengapresiasi mereka adalah kendala sosial psikologis masyarakat. Individu-individu atau masing-masing ulama perempuan sendiri juga seringkali tidak bersedia disebut sebagai ulama perempuan. Problem ini telah dibicarakan secara intensif oleh KUPI melalui workshop-workshop pra-Kongres mulai dari Nopember 2016 sampai Februari 2017. Ada tiga wilayah yang mewakili daearah-daerah Indonesia. Wilayah bagian Timur diadakah di Makasar, tanggal 28 Februari-2 Maret 2017, dengan mengundang para peserta dari Sulawesi, Papua, Kalimantan, NTB dan NTT. Wilayah bagian Barat di Padang, 28-30 Nopember 2016, dengan mengundang peserta di kepulauan Sumatra, mulai dari Aceh sampai Lampung. Sementara wilayah bagian Tengah diadakan di Yogyakarta, 19-21 Nopember 2017, dengan mengundang para peserta dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.  


Dua hal yang dibahas dalam workshop-workshop pra-Kongres ini. Pertama eksistensi, definisi, dan peran ulama perempuan. Kedua isu-isu sosial yang harus direspon ulama perempuan. Dari pertemuan-pertemuan inilah muncul konsep ulama perempuan, pentingnya perjumpaan ulama dan aktivis pemberdayaan perempuan, dan perlunya pandangan keagamaan yang diputuskan ulama perempuan terkait masalah kemanusiaan dan kebangsaan. Sembilan isu yang dibahas dalam Diskusi Paralel di Kongres sudah disebutkan sebelumnya dalam pertemuan-pertemuan pra-Kongres ini. Tiga masalah yang diputuskan Musyawarah keagamaan adalah yang paling krusial dan sudah dibahas dalam workshop pra-Kongres ini. Disamping dua hal mengenai eksistensi ulama perempuan dan isu yang harus direspon ulama perempuan, workshop ini juga sekaligus menjajagi kemungkinan para peserta dan komunitas mereka bersedia hadir ke Kongres di Cirebon dengan biaya mereka sendiri. Di luar dugaan Panitia, ternyata para peserta bersedia hadir bahkan dengan mengajak beberapa anggota komunitas mereka masing-masing.
Dua hal yang dibahas dalam workshop-workshop pra-Kongres ini. Pertama eksistensi, definisi, dan peran ulama perempuan. Kedua isu-isu sosial yang harus direspon ulama perempuan. Dari pertemuan-pertemuan inilah muncul konsep ulama perempuan, pentingnya perjumpaan ulama dan aktivis pemberdayaan perempuan, dan perlunya pandangan keagamaan yang diputuskan ulama perempuan terkait masalah kemanusiaan dan kebangsaan. Sembilan isu yang dibahas dalam Diskusi Paralel di Kongres sudah disebutkan sebelumnya dalam pertemuan-pertemuan pra-Kongres ini. Tiga masalah yang diputuskan [[Musyawarah]] keagamaan adalah yang paling krusial dan sudah dibahas dalam workshop pra-Kongres ini. Disamping dua hal mengenai eksistensi ulama perempuan dan isu yang harus direspon ulama perempuan, workshop ini juga sekaligus menjajagi kemungkinan para peserta dan komunitas mereka bersedia hadir ke Kongres di Cirebon dengan biaya mereka sendiri. Di luar dugaan Panitia, ternyata para peserta bersedia hadir bahkan dengan mengajak beberapa anggota komunitas mereka masing-masing.


Hal-hal yang menyangkut substansi Kongres, yaitu konsep, perspektif, paradigma, metodologi, dan juga analisis untuk isu-isu krusial, kemudian ditindaklanjuti dalam berbagai pertemuan. Baik dalam skala kecil oleh Tim Kecil maupun oleh kegiatan yang mengundang 50 orang peserta. Pertemuan Halaqah Metodologi diadakan di Jakarta, 4-6 April 2017, untuk memperkuat analisis sosial, argumentasi teologis, dan kejelasan konsep-konsep utama yang akan digulirkan dalam Kongres. Pertemuan ini dihadiri 49 peserta dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Aceh dan Makasar. Karena masih ada berbagai kelemahan dalam kerangka dan sistematika konsep substansial dalam Kongres, pertemuan lanjutan diadakan di Pesantren Mahasina Bekasi tanggal 19 April 2017.
Hal-hal yang menyangkut substansi Kongres, yaitu konsep, perspektif, paradigma, metodologi, dan juga analisis untuk isu-isu krusial, kemudian ditindaklanjuti dalam berbagai pertemuan. Baik dalam skala kecil oleh Tim Kecil maupun oleh kegiatan yang mengundang 50 orang peserta. Pertemuan Halaqah Metodologi diadakan di Jakarta, 4-6 April 2017, untuk memperkuat analisis sosial, argumentasi teologis, dan kejelasan konsep-konsep utama yang akan digulirkan dalam Kongres. Pertemuan ini dihadiri 49 peserta dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Aceh dan Makasar. Karena masih ada berbagai kelemahan dalam kerangka dan sistematika konsep substansial dalam Kongres, pertemuan lanjutan diadakan di Pesantren Mahasina Bekasi tanggal 19 April 2017.
Baris 9: Baris 9:
Sekalipuan secara sosial telah memperoleh dukungan, dengan pernyataan-pernyataan dari berbagai [[tokoh]] nasional, dan secara substansi juga sudah mengalami penguatan dari berbagai sisi, tetapi persoalan psikologis internal ternyata masih mengalami kendala. Untuk menyatakan diri sebagai “ulama” perempuan tidaklah mudah. Dalam pertemuan awal seluruh peserta di hari pertama Kongres, 25 April 2017, siang hari jam 13.30-16.00, masih banyak peserta merasa belum siap untuk menamakan diri mereka sebagai “ulama perempuan Indonesia”. Mereka mengusulkan nama lain selain “ulama perempuan”. Tetapi pada saat yang sama juga mereka merasa perlu dengan kehadiran ulama perempuan dan mereka menerima orang-orang lain yang hadir di Kongres sebagai “ulama perempuan”. Ini adalah problem psikologis sekaligus sosial.
Sekalipuan secara sosial telah memperoleh dukungan, dengan pernyataan-pernyataan dari berbagai [[tokoh]] nasional, dan secara substansi juga sudah mengalami penguatan dari berbagai sisi, tetapi persoalan psikologis internal ternyata masih mengalami kendala. Untuk menyatakan diri sebagai “ulama” perempuan tidaklah mudah. Dalam pertemuan awal seluruh peserta di hari pertama Kongres, 25 April 2017, siang hari jam 13.30-16.00, masih banyak peserta merasa belum siap untuk menamakan diri mereka sebagai “ulama perempuan Indonesia”. Mereka mengusulkan nama lain selain “ulama perempuan”. Tetapi pada saat yang sama juga mereka merasa perlu dengan kehadiran ulama perempuan dan mereka menerima orang-orang lain yang hadir di Kongres sebagai “ulama perempuan”. Ini adalah problem psikologis sekaligus sosial.


Problem ini masih terus bergulir di antara para peserta dan para pantia dalam pembicaraan di luar ruang kelas. Pernyataan-pernyataan yang jelas dan tegas dari Ketua Pengarah Panitia tentang keulamaan perempuan pada malam pembukaan adalah merespon kegelishaan ini. Begitupun pernyataan puitis dan spiritual yang disampaikan Pengasuh Pesantren Kebon Jambu al-Islamy, Ibu Nyai Hj. Masriyah Amva. “Bahwa saya juga bukan siapa-siapa. Saya adalah ulama jadi-jadian. Tetapi ketika saya bersandar kepada sinar Allah, maka saya jadi bersinar. Saya jadi dibutuhkan orang. Dan orang menyebut saya sebagai ulama. Sesungguhnya saya bukan siapa-siapa.”, begitu kira-kira pernyataan Ibu Nyai. Kekuatan spritual diperlukan untuk memperkokoh eksistensi dan posisi seseorang sebagai ulama perempuan. Mungkin secara individu, masing-masing, seseorang belum siap untuk disebut sebagai ulama perempuan, tetapi dalam sebuah kelompok, sebagaimana Kongres ini, secara kolektif adalah ''legitimated'' sebagai ulama yang memberikan jawaban keagamaan untuk isu-isu kemanusiaan yang krusial.  
Problem ini masih terus bergulir di antara para peserta dan para pantia dalam pembicaraan di luar ruang kelas. Pernyataan-pernyataan yang jelas dan tegas dari Ketua Pengarah Panitia tentang keulamaan perempuan pada malam pembukaan adalah merespon kegelishaan ini. Begitupun pernyataan puitis dan spiritual yang disampaikan Pengasuh Pesantren Kebon Jambu al-Islamy, Ibu Nyai Hj. [[Masriyah Amva]]. “Bahwa saya juga bukan siapa-siapa. Saya adalah ulama jadi-jadian. Tetapi ketika saya bersandar kepada sinar Allah, maka saya jadi bersinar. Saya jadi dibutuhkan orang. Dan orang menyebut saya sebagai ulama. Sesungguhnya saya bukan siapa-siapa.”, begitu kira-kira pernyataan Ibu Nyai. Kekuatan spritual diperlukan untuk memperkokoh eksistensi dan posisi seseorang sebagai ulama perempuan. Mungkin secara individu, masing-masing, seseorang belum siap untuk disebut sebagai ulama perempuan, tetapi dalam sebuah kelompok, sebagaimana Kongres ini, secara kolektif adalah ''legitimated'' sebagai ulama yang memberikan jawaban keagamaan untuk isu-isu kemanusiaan yang krusial.  


Dus, kegiatan-kegiatan sebelum Kongres, baik yang formal maupun informal, tidak hanya memperkuat gagasan-gagasan tentang keadilan sosial, tetapi juga mendialogkan pengalaman dan perasaan para peserta tentang kiprah mereka sehari-hari. Kiprah sosial yang sesungguhnya menjadi ciri khas ajaran Islam. Yaitu satu sisi dari kiprah keulamaan di samping sisi lain kiprah ritual dan intelektual. Kegiatan-kegiatan selama Kongres juga adalah bentuk dialog partisipatif antar para peserta mengenai eksistensi ulama perempuan dan kiprahnya di masyarakat untuk meneguhkan nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Dus, kegiatan-kegiatan sebelum Kongres, baik yang formal maupun informal, tidak hanya memperkuat gagasan-gagasan tentang keadilan sosial, tetapi juga mendialogkan pengalaman dan perasaan para peserta tentang kiprah mereka sehari-hari. Kiprah sosial yang sesungguhnya menjadi ciri khas ajaran Islam. Yaitu satu sisi dari kiprah keulamaan di samping sisi lain kiprah ritual dan intelektual. Kegiatan-kegiatan selama Kongres juga adalah bentuk dialog partisipatif antar para peserta mengenai eksistensi ulama perempuan dan kiprahnya di masyarakat untuk meneguhkan nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.
[[Kategori:Proses]]
[[Kategori:Proses KUPI1]]

Revisi per 8 Mei 2024 03.34

Sebelum Kongres digelar pada tanggal 25-27 April, berbagai kegiatan telah diadakan sebagai persiapan, penyerapan, dan penguatan awal agar Kongres bisa diterima, atau setidaknya bisa dimengeri oleh para peserta yang hadir. Salah satu tujuan KUPI adalah mengidentifikasi dan memberi legitimasi ulama perempuan yang lahir di masyarakat. Untuk itu, sejak 1 Mei 2016, KUPI telah membukan lomba penulisan profil ulama perempuan. Sampai akhir Agusustus 2016 waktu pengiriman untuk lomba ditutup, ada 76 naskah yang masuk ke meja Panitia. Jumlah yang cukup banyak ini menandakan legitimasi sosial terhadap eksistensi ulama perempuan adalah nyata ada. Hanya karena persoalan tehnis penulisan, Panitia hanya memilih beberapa tulisan saja. Yaitu tentang Tengku Fakinah Aceh, Nyai Shholihah Wahid Hasyim Jakarta, Rahmah El Yunusiah Minangkabau, Nyai Hj. Siti Walidah Yogyakarta, Nyai Siti Maryam Sumenep, Nyai Khotimatul Husna Yogyakarta,  Nyai Hj. Masyitoh Riau, dan Nyai Hj. Mahsunah Jombang. Nama-nami ini sekaligus menandakan ragam aktivitas dari ulama perempuan, ada yang bergerak di pendidikan, ada yang di organisasi sosial, perjuangan melawan penjajah, politik, berkiprah di komunitas, dan ada yang menekuni majlis ta’lim dan pendidikan usia dini.

Baik dari berbagai tulisan naskah ini, tulisan-tulisan lain, maupun diskusi-diskusi yang luas di kalangan ulama perempuan, salah satu problem dari upaya mengakui eksistensi ulama perempuan dan mengapresiasi mereka adalah kendala sosial psikologis masyarakat. Individu-individu atau masing-masing ulama perempuan sendiri juga seringkali tidak bersedia disebut sebagai ulama perempuan. Problem ini telah dibicarakan secara intensif oleh KUPI melalui workshop-workshop pra-Kongres mulai dari Nopember 2016 sampai Februari 2017. Ada tiga wilayah yang mewakili daearah-daerah Indonesia. Wilayah bagian Timur diadakah di Makasar, tanggal 28 Februari-2 Maret 2017, dengan mengundang para peserta dari Sulawesi, Papua, Kalimantan, NTB dan NTT. Wilayah bagian Barat di Padang, 28-30 Nopember 2016, dengan mengundang peserta di kepulauan Sumatra, mulai dari Aceh sampai Lampung. Sementara wilayah bagian Tengah diadakan di Yogyakarta, 19-21 Nopember 2017, dengan mengundang para peserta dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Dua hal yang dibahas dalam workshop-workshop pra-Kongres ini. Pertama eksistensi, definisi, dan peran ulama perempuan. Kedua isu-isu sosial yang harus direspon ulama perempuan. Dari pertemuan-pertemuan inilah muncul konsep ulama perempuan, pentingnya perjumpaan ulama dan aktivis pemberdayaan perempuan, dan perlunya pandangan keagamaan yang diputuskan ulama perempuan terkait masalah kemanusiaan dan kebangsaan. Sembilan isu yang dibahas dalam Diskusi Paralel di Kongres sudah disebutkan sebelumnya dalam pertemuan-pertemuan pra-Kongres ini. Tiga masalah yang diputuskan Musyawarah keagamaan adalah yang paling krusial dan sudah dibahas dalam workshop pra-Kongres ini. Disamping dua hal mengenai eksistensi ulama perempuan dan isu yang harus direspon ulama perempuan, workshop ini juga sekaligus menjajagi kemungkinan para peserta dan komunitas mereka bersedia hadir ke Kongres di Cirebon dengan biaya mereka sendiri. Di luar dugaan Panitia, ternyata para peserta bersedia hadir bahkan dengan mengajak beberapa anggota komunitas mereka masing-masing.

Hal-hal yang menyangkut substansi Kongres, yaitu konsep, perspektif, paradigma, metodologi, dan juga analisis untuk isu-isu krusial, kemudian ditindaklanjuti dalam berbagai pertemuan. Baik dalam skala kecil oleh Tim Kecil maupun oleh kegiatan yang mengundang 50 orang peserta. Pertemuan Halaqah Metodologi diadakan di Jakarta, 4-6 April 2017, untuk memperkuat analisis sosial, argumentasi teologis, dan kejelasan konsep-konsep utama yang akan digulirkan dalam Kongres. Pertemuan ini dihadiri 49 peserta dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Aceh dan Makasar. Karena masih ada berbagai kelemahan dalam kerangka dan sistematika konsep substansial dalam Kongres, pertemuan lanjutan diadakan di Pesantren Mahasina Bekasi tanggal 19 April 2017.

Sekalipuan secara sosial telah memperoleh dukungan, dengan pernyataan-pernyataan dari berbagai tokoh nasional, dan secara substansi juga sudah mengalami penguatan dari berbagai sisi, tetapi persoalan psikologis internal ternyata masih mengalami kendala. Untuk menyatakan diri sebagai “ulama” perempuan tidaklah mudah. Dalam pertemuan awal seluruh peserta di hari pertama Kongres, 25 April 2017, siang hari jam 13.30-16.00, masih banyak peserta merasa belum siap untuk menamakan diri mereka sebagai “ulama perempuan Indonesia”. Mereka mengusulkan nama lain selain “ulama perempuan”. Tetapi pada saat yang sama juga mereka merasa perlu dengan kehadiran ulama perempuan dan mereka menerima orang-orang lain yang hadir di Kongres sebagai “ulama perempuan”. Ini adalah problem psikologis sekaligus sosial.

Problem ini masih terus bergulir di antara para peserta dan para pantia dalam pembicaraan di luar ruang kelas. Pernyataan-pernyataan yang jelas dan tegas dari Ketua Pengarah Panitia tentang keulamaan perempuan pada malam pembukaan adalah merespon kegelishaan ini. Begitupun pernyataan puitis dan spiritual yang disampaikan Pengasuh Pesantren Kebon Jambu al-Islamy, Ibu Nyai Hj. Masriyah Amva. “Bahwa saya juga bukan siapa-siapa. Saya adalah ulama jadi-jadian. Tetapi ketika saya bersandar kepada sinar Allah, maka saya jadi bersinar. Saya jadi dibutuhkan orang. Dan orang menyebut saya sebagai ulama. Sesungguhnya saya bukan siapa-siapa.”, begitu kira-kira pernyataan Ibu Nyai. Kekuatan spritual diperlukan untuk memperkokoh eksistensi dan posisi seseorang sebagai ulama perempuan. Mungkin secara individu, masing-masing, seseorang belum siap untuk disebut sebagai ulama perempuan, tetapi dalam sebuah kelompok, sebagaimana Kongres ini, secara kolektif adalah legitimated sebagai ulama yang memberikan jawaban keagamaan untuk isu-isu kemanusiaan yang krusial.

Dus, kegiatan-kegiatan sebelum Kongres, baik yang formal maupun informal, tidak hanya memperkuat gagasan-gagasan tentang keadilan sosial, tetapi juga mendialogkan pengalaman dan perasaan para peserta tentang kiprah mereka sehari-hari. Kiprah sosial yang sesungguhnya menjadi ciri khas ajaran Islam. Yaitu satu sisi dari kiprah keulamaan di samping sisi lain kiprah ritual dan intelektual. Kegiatan-kegiatan selama Kongres juga adalah bentuk dialog partisipatif antar para peserta mengenai eksistensi ulama perempuan dan kiprahnya di masyarakat untuk meneguhkan nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.