P2GP Adalah Kekerasan Terhadap Perempuan: Perbedaan revisi
(←Membuat halaman berisi '''Oleh: Maria Ulfah Anshor'' Pemotongan atau Perlukaan Genitalia Perempuan, selanjutnya diperkenalkan dengan istilah P2GP, mengacu pada prosedur pemotongan alat kela...') |
|||
Baris 26: | Baris 26: | ||
Dalam pandangan Islam sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas ulama, khususnya di kalangan sunni terdiri dari 4 (empat) sumber hukum Islam, yaitu: 1) Al-Qur’an, 2) Hadis Nabi, 3) Ijma’ Ulama (kesepakatan semua ulama), dan 4) Qiyas (analogi). | Dalam pandangan Islam sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas ulama, khususnya di kalangan sunni terdiri dari 4 (empat) sumber hukum Islam, yaitu: 1) Al-Qur’an, 2) Hadis Nabi, 3) Ijma’ Ulama (kesepakatan semua ulama), dan 4) Qiyas (analogi). | ||
# Nash Al-Qur’an Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam, di dalamnya tidak ada satu ayat pun baik tersurat maupun tersirat yang menjelaskan mengenai sunat perempuan (Serour, 2017; Al Qardlawi, Muhammad, 2010). Menurutnya, sunat perempuan di kalangan masyarakat Muslim diperkirakan bersumber dari tradisi masa lalu yang sudah dilakukan sebelum Islam diturunkan, bahkan menjadi tradisi yang dilakukan hampir 2000 tahun sebelum Islam, tetapi FGM tidak dipraktikkan oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia. | |||
# Nash Hadis Di dalam hadis, ada beberapa riwayat yang menyebutkan tentang sunat atau khitan baik yang bersifat umum ditujukan kepada laki-laki dan perempuan, maupun yang bersifat khusus ditujukan kepada perempuan. | |||
(i). Hadis yang bersifat umum, di antaranya: | |||
عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ | |||
<big>عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ</big> | |||
Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: “ada lima perkara yang merupakan fitrah manusia yaitu: 1) Khitan; 2) istihdad (mencukur bulu pada sekitar kemaluan); 3) mencukur bulu ketiak; 4) menggunting kuku; 5) memendekkan kumis”. | Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: “ada lima perkara yang merupakan fitrah manusia yaitu: 1) Khitan; 2) istihdad (mencukur bulu pada sekitar kemaluan); 3) mencukur bulu ketiak; 4) menggunting kuku; 5) memendekkan kumis”. | ||
Baris 38: | Baris 39: | ||
Hadis di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmizi, al-Nsa’i, Ibn Majah, Ahmad dan lain-lain. Makna fitrah dalam hadis di atas, ada 3 (tiga) pendapat yaitu: pertama, fitrah artinya agama. Berarti lima unsur yang disebutkan dalam hadis tersebut merupakan bagian dari agama yang harus dilaksanakan, atau bisa disebut wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Implikasinya pada khitan, hukumnya menjadi wajib dilaksanakan pada laki-laki dan perempuan; kedua, fitrah artinya sunnah, kebiasaan baik. Berarti lima unsur dalam hadis tersebut merupakan kebiasaan baik, hukumnya sunnah untuk dilaksanakan pada laki-laki dan perempuan. Implikasinya pada khitan, hukumnya sunnah dilaksanakan laki-laki dan perempuan; ketiga, fitrah artinya asal mula. Berarti semua hal yang disebutkan dalam hadis tersebut tidak mengikat, tidak berimplikasi secara hukum apapun kecuali mubah, termasuk khitan pun hukumnya mubah baik pada laki-laki maupun perempuan. | Hadis di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmizi, al-Nsa’i, Ibn Majah, Ahmad dan lain-lain. Makna fitrah dalam hadis di atas, ada 3 (tiga) pendapat yaitu: pertama, fitrah artinya agama. Berarti lima unsur yang disebutkan dalam hadis tersebut merupakan bagian dari agama yang harus dilaksanakan, atau bisa disebut wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Implikasinya pada khitan, hukumnya menjadi wajib dilaksanakan pada laki-laki dan perempuan; kedua, fitrah artinya sunnah, kebiasaan baik. Berarti lima unsur dalam hadis tersebut merupakan kebiasaan baik, hukumnya sunnah untuk dilaksanakan pada laki-laki dan perempuan. Implikasinya pada khitan, hukumnya sunnah dilaksanakan laki-laki dan perempuan; ketiga, fitrah artinya asal mula. Berarti semua hal yang disebutkan dalam hadis tersebut tidak mengikat, tidak berimplikasi secara hukum apapun kecuali mubah, termasuk khitan pun hukumnya mubah baik pada laki-laki maupun perempuan. | ||
ii. Hadis yang bersifat khusus, di antaranya: | (ii). Hadis yang bersifat khusus, di antaranya: | ||
الختان سنة للرجال مكرمة للنساء | <big>الختان سنة للرجال مكرمة للنساء</big> | ||
Artinya: “Khitan perempuan sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan”. | Artinya: “Khitan perempuan sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan”. | ||
Baris 48: | Baris 51: | ||
Hadis riwayat Abu Daud: | Hadis riwayat Abu Daud: | ||
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم لَا تُنْهِكِى فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ | |||
<big>عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم لَا تُنْهِكِى فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ</big> | |||
Dari Ummu Athiyah r.a. diceritakan bahwa di Madinah terdapat seorang perempuan juru sunat, Rasulullah SAW berkata terhadap perempuan tersebut: (khitanlah) janganlah berlebihan, sesungguhnya hal itu lebih baik atau disukai bagi perempuan dan disenangi bagi laki-laki. | Dari Ummu Athiyah r.a. diceritakan bahwa di Madinah terdapat seorang perempuan juru sunat, Rasulullah SAW berkata terhadap perempuan tersebut: (khitanlah) janganlah berlebihan, sesungguhnya hal itu lebih baik atau disukai bagi perempuan dan disenangi bagi laki-laki. | ||
Baris 59: | Baris 64: | ||
Begitu juga menurut Fathullah (2010) hadis Ummu Atiyyah dengan dua versinya sebagaimana disebutkan di atas adalah dla’if (lemah) tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Hadistersebut secara tekstual isinya memberikan pesan bahwa Rasulullah SAW mempersilahkan sunat tetapi membatasi “jangan berlebihan” atau sedikit saja. Dalam proses penetapan hukum Islam, pernyataan “jangan berlebihan” atau sedikit saja tersebut merupakan bentuk pentahapan secara pelan-pelan dari kondisi yang semula sunat perempuan dilakukan oleh masyarakat sebelum Islam datang tanpa ada batasan atau aturan, kemudian di masa Rasulullah SAW dilakukan perubahan secara bertahap menjadi dibatasi, atau bersyarat hanya boleh dilakukan pemotongan sedikit saja. Hal tersebut dalam proses pembentukan hukum Islam disebut ''at-tadarruj fi at tasyri’'' atau ''lit tadrij fi at-tasyri’''. | Begitu juga menurut Fathullah (2010) hadis Ummu Atiyyah dengan dua versinya sebagaimana disebutkan di atas adalah dla’if (lemah) tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Hadistersebut secara tekstual isinya memberikan pesan bahwa Rasulullah SAW mempersilahkan sunat tetapi membatasi “jangan berlebihan” atau sedikit saja. Dalam proses penetapan hukum Islam, pernyataan “jangan berlebihan” atau sedikit saja tersebut merupakan bentuk pentahapan secara pelan-pelan dari kondisi yang semula sunat perempuan dilakukan oleh masyarakat sebelum Islam datang tanpa ada batasan atau aturan, kemudian di masa Rasulullah SAW dilakukan perubahan secara bertahap menjadi dibatasi, atau bersyarat hanya boleh dilakukan pemotongan sedikit saja. Hal tersebut dalam proses pembentukan hukum Islam disebut ''at-tadarruj fi at tasyri’'' atau ''lit tadrij fi at-tasyri’''. | ||
== Kebijakan Nasional == | == Kebijakan Nasional == | ||
Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), turut menyetujui dan menandatangani sejumlah Konvensi Internasional. Salah satu bentuk komitmen Indonesia di antaranya melakukan ratifikasi terhadap sejumlah Konvensi Internasional, di antaranya pengesahan CEDAW melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan. Sunat perempuan menurut UU Nomor 7 Tahun 1984 tersebut termasuk salah satu bentuk praktik berbahaya (harmful practices). Selain itu, kebijakan pemerintah terkait larangan praktik sunat perempuan di antaranya dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sebagai berikut: | Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), turut menyetujui dan menandatangani sejumlah Konvensi Internasional. Salah satu bentuk komitmen Indonesia di antaranya melakukan ratifikasi terhadap sejumlah Konvensi Internasional, di antaranya pengesahan CEDAW melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Penghapusan [[Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan|Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan]]. Sunat perempuan menurut UU Nomor 7 Tahun 1984 tersebut termasuk salah satu bentuk praktik berbahaya (harmful practices). Selain itu, kebijakan pemerintah terkait larangan praktik sunat perempuan di antaranya dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sebagai berikut: | ||
# Kebijakan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2006) berupa Surat Edaran nomor: HK.00.07.1.3.1047a tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan. | |||
# Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. | |||
# Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 6 Tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1636/MENKES/ PER/XII/2010 tentang Sunat Perempuan. | |||
Upaya pemerintah untuk mengimplementasikan larangan praktik sunat perempuan tersebut diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya pada tujuan 5.3 “Menghilangkan semua praktek berbahaya, seperti pernikahan anak, pernikahan dini dan paksa, serta sunat perempuan”. | |||
== Komitmen Internasional == | == Komitmen Internasional == | ||
Baris 77: | Baris 82: | ||
Komitmen internasional sebagaimana disebutkan di atas di antaranya menyadarkan pemerintah Indonesia untuk melakukan berbagai upaya penghentian praktik-praktik berbahaya sunat perempuan di Indonesia. | Komitmen internasional sebagaimana disebutkan di atas di antaranya menyadarkan pemerintah Indonesia untuk melakukan berbagai upaya penghentian praktik-praktik berbahaya sunat perempuan di Indonesia. | ||
== Rekomendasi == | == Rekomendasi == | ||
Baris 84: | Baris 90: | ||
# Melibatkan perempuan, laki-laki dan pemuda untuk mendukung penghentian praktik P2GP melalui LSM lokal dan sekolah dalam program yang sinergis antara pemerintah dan LSM yang menangani isu-isu kekerasan berbasis gender, dan kesehatan reproduksi. | # Melibatkan perempuan, laki-laki dan pemuda untuk mendukung penghentian praktik P2GP melalui LSM lokal dan sekolah dalam program yang sinergis antara pemerintah dan LSM yang menangani isu-isu kekerasan berbasis gender, dan kesehatan reproduksi. | ||
# Bekerja sama dengan [[tokoh]] agama; organisasi keagamaan lintas agama untuk menghentikan praktik P2GP dengan argumentasi agama. Para tokoh agama memiliki potensi yang kuat untuk mempengaruhi keyakinan masyarakat yang masih mempraktekan P2GP. | # Bekerja sama dengan [[tokoh]] agama; organisasi keagamaan lintas agama untuk menghentikan praktik P2GP dengan argumentasi agama. Para tokoh agama memiliki potensi yang kuat untuk mempengaruhi keyakinan masyarakat yang masih mempraktekan P2GP. | ||
== Keterangan: == | == Keterangan: == | ||
''Makalah ini disampaikan pada Pertemuan Sosialisasi Pedoman Pencegahan Praktik Sunat Perempuan bagi 1 Tenaga Kesehatan pada Kongress IBI XVI Tahun 2018, Jakarta, 2 November 2018.'' | ''Makalah ini disampaikan pada Pertemuan Sosialisasi Pedoman Pencegahan Praktik Sunat Perempuan bagi 1 Tenaga Kesehatan pada Kongress IBI XVI Tahun 2018, Jakarta, 2 November 2018.'' | ||
[[Kategori:Diskursus Hukum Islam]] | [[Kategori:Diskursus Hukum Islam]] |
Revisi per 30 Maret 2022 04.42
Oleh: Maria Ulfah Anshor
Pemotongan atau Perlukaan Genitalia Perempuan, selanjutnya diperkenalkan dengan istilah P2GP, mengacu pada prosedur pemotongan alat kelamin perempuan baik sebagian atau keseluruhan atau dalam bentuk apapun yang melukai alat kelamin perempuan, tanpa alasan non-medis (WHO, 2010). Sebuah Penelitian nasional menemukan adanya pelanggaran hak untuk hidup bebas dari kekerasan mempengaruhi 51% anak perempuan di bawah usia sebelas tahun (Riskesdas, 2013). Memotong atau merusak jaringan genital yang sehat terbukti tidak ada manfaatnya dari sisi kesehatan, tetapi sebaliknya, P2GP merupakan prosedur yang menyakitkan dan menimbulkan traumatis yang mengganggu fungsi alami tubuh. P2GP memberi konsekuensi kesehatan dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang seperti infeksi, perdarahan, depresi, komplikasi persalinan dan ketidaksuburan (WHO, 2008).
P2GP merupakan tradisi masa lalu yang turun temurun, sebelum diturunkan tiga agama samawi; Yahudi, Kristen dan Islam, bahkan jauh sejak zaman Firaun di Mesir dan di negaranegara Timur Tengah sekitar 4.000 tahun sebelum masehi. Sebagian menyebutkan praktik FGM telah dilakukan hampir 2000 tahun sebelum Islam (Serour, 2017). Menurutnya, sunat perempuan tidak dipraktikkan oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia. WHO (2008) memperkirakan sekitar 100-140 juta perempuan dan anak perempuan di dunia mengalami sunat perempuan (WHO, 2008), termasuk di dalamnya Indonesia. Riskesdas (2013), menyebutkan bahwa praktik sunat perempuan terjadi di seluruh Indonesia, di perkotaan sebesar 55,8 persen, lebih tinggi dari pada di perdesaan (46,9%) dialami pada anak perempuan umur 0-11 tahun.
Dari sisi kesehatan, P2GP tidak ada manfaatnya kecuali melukai klitoris dan merusak sejumlah syaraf septic yang ada di ujung klitoris, yang berisiko pada infeksi saluran kemih, dan perdarahan yang berbahaya bahkan hingga kematian (Fadli, 2017). Menurutnya, pemotongan klitoris arteri di mana darah mengalir pada tekanan tinggi, pemotongan labia juga merusak arteri dan vena sehingga menyebabkan terjadi pendarahan hebat (haemorrhage) sebagai salah satu komplikasi langsung yang paling umum terjadi setelah pemotongan.
Hal tersebut menunjukkan bahaya sunat perempuan adalah nyata, namun belum banyak disadari oleh masyarakat. Praktik sunat perempuan di Indonesia dilakukan karena beberapa faktor, di antaranya terbanyak karena pemahaman agama dan mengikuti tradisi keluarga yang turun temurun. Pemahaman agama merupakan faktor tertinggi yang mendorong masyarakat melakukan sunat perempuan karena diyakini sebagai simbol legalitas seseorang dianggap sah menjadi seorang muslim. Sementara mereka yang melakukannya karena adat dan budaya di antara mereka juga mengetahui bahwa sunat perempuan itu tidak ada manfaatnya bagi kesehatan namun tetap dilakukan hanya karena tradisi keluarga yang sudah turun temurun. Selebihnya mereka melakukan dengan alasan untuk kebersihan atau kesehatan bahkan mitos dan sebagainya (Uddin, 2015, 2010; Mitra Inti, 2005; Budiharsana, 2003).
P2GP dalam tradisi di Indonesia
Praktik P2GP dilakukan dengan berbagai macam cara, di antaranya; memotong sebagian atau seluruh klitoris, bahkan hingga labia minora dan labia mayora, namun ada juga yang hanya melukai sebagian kecil klitoris dan simbolik (PSKK UGM, 2017; Komnas Perempuan, 2017; Udin, 2015, 2010; Mitra Inti, 2005; Budiharsana, 2003). Petugas yang melakukan praktik sunat perempuan di Indonesia menurut mereka adalah bidan/perawat/ mantri. Sunat perempuan termasuk salah satu bentuk praktik berbahaya (harmfull practices), dapat menimbulkan komplikasi kesehatan reproduksi khususnya membahayakan rahim termasuk infertilitas, masalah urinary, seksual dan masalah psikologis, bahkan dapat menyebabkan komplikasi yang serius hingga kematian pada anak-anak perempuan (WHO, 2010). Dampak serupa, terjadi juga pada praktik sunat perempuan di Indonesia. Bahkan beresiko terjadi komplikasi jangka panjang yang berbahaya bagi kesehatan reproduksi perempuan (Puska Gender dan Seksualitas, Fisip UI, 2016; Komnas Perempuan, 2013; Uddin, 2015; Population Cornal, 2003).
Temuan sejumlah peneitian di atas menunjukkan fakta yang berbeda dengan pandangan umum yang menyatakan bahwa praktik P2GP di Indonesia kebanyakan merupakan praktek simbolik saja. Ternyata fakta yang ditemukan mengenai praktik P2GP hampir semua kasus P2GP yang terjadi menimbulkan trauma dan perlukaan pada bagian klitoris, preputium, dan bagian lain dari vulva. Ritual pembersihan dan bentuk simbolik lainnya juga ditemukan, namun dalam jumlah yang sangat sedikit, sekitar 1,2% kasus dan setidaknya sekitar 60% praktik P2GP mencakup pemotongan atau penggoresan bagian organ genitalia seperti yang dilaporkan oleh responden orang tua. Kasus selebihnya tidak diklasifikasikan oleh PSSK UGM sebagai tipe yang sesuai dengan klasifikasi WHO, 28% orang tua melaporkan jenis yang memotong bagian klitoris dan preputium dan 6% mengatakan bahwa P2GP dilakukan dengan penggoresan atau penggesekan bagian uretra (PSKK UGM, 2017). Hanya sebagian kecil dukun (7.7%) melakukan P2GP secara simbolik dan tidak membahayakan dengan cara pembersihan ritual dengan menggunakan kunyit. Namun, tidak ditemukan adanya bidan yang melakukan P2GP secara simbolik. Sebanyak 23.3% sampai 43.3% bidan dan 11.5% sampai 34.6% dukun melakukan P2GP tipe 4.
Penelitian di atas juga menegaskan bahwa praktik P2GP menimbulkan rasa sakit dan sangat membahayakan dikarenakan praktik tersebut berisiko mengakibatkan perdarahan dan infeksi. Data juga menunjukkan bahwa praktik P2GP dilakukan pada anak perempuan dengan umur yang sangat muda. Hampir setengah dari keseluruhan kasus P2GP dilakukan pada anak perempuan sebelum menginjak umur 4 bulan dan praktik P2GP ini juga dilakukan pada 24% anak perempuan sebelum mereka berusia 3 tahun. Temuan kualitatif menyebutkan bahwa sebagian besar praktik P2GP dilakukan ketika anak masih kecil, sehingga anak sebagian besar anak perempuan tersebut tidak ingat atau tidak dapatmenceritakan tentang kesakitan fisik yang dialaminya terkait dengan pengalaman P2GP. Dalam hal praktik P2GP terhadap bayi dan balita, prosedur tersebut termasuk ke dalam pelayanan “paket melahirkan”.
Dalam masyarakat yang mempraktikkan P2GP, P2GP sendiri dianggap sebagai norma social yang mendukung keyakinan bahwa proses ini menjadikan perempuan sempurna keislamannya (Komnas Perempuan, 2017; Udin, 2015; Budiharsana et al, 2003). Pemahaman agama terhadap praktik P2GP berkelindan antara budaya dan agama, ada pula yang mempercayai bahwa praktik P2GP yang dilakukan turun termurun ini mampu mengendalikan hasrat seksual, meningkatkan kesehatan reproduksi dan meningkatkan keharmonisan perkawinan (PSKK UGM, 2017; Komnas Perempuan, 2017; Udin, 2015, 2010). Praktik P2GP telah menjadi tradisi yang dipercaya sebagai aturan agama, sehingga perlawanan bidan dan orang tua terhadap praktik tersebut tertutup oleh kekuatan tradisi dan keagamaan. Msekipun sebagian besar orangtua meyakini bahwa praktik P2GP ada manfaatnya, 66% bidan tidak menganggap P2GP sebagai praktik yang diperlukan dan 55% dari bidan mengetahui bahwa praktik tersebut dilarang oleh Kementrian Kesehatan (PSKK UGM, 2017).
Kontroversi Pandangan Ulama
Sunat perempuan merupakan isu sensitif yang kontroversial khususnya di kalangan masyarakat muslim, termasuk di Indonesia. Perdebatan mengenai hukum sunat perempuan tidak akan pernah berakhir, di antaranya karena di dalam sumber hukum Islam yang utama yaitu Al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan mengenai sunat perempuan secara tersurat (lughawi) maupun tersirat (ma’nawi). Begitu juga di dalam hadis, tidak ada satupun hadis shahih yang menyebutkan mengenai hukum sunat perempuan secara tegas dan eksplisit, sehingga dari teks yang ada melahirkan berbagai pandangan ulama dengan argumentasinya masing-masing sesuai dengan pengetahuan dan perspektif yang dimilikinya.
Dalam pandangan Islam sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas ulama, khususnya di kalangan sunni terdiri dari 4 (empat) sumber hukum Islam, yaitu: 1) Al-Qur’an, 2) Hadis Nabi, 3) Ijma’ Ulama (kesepakatan semua ulama), dan 4) Qiyas (analogi).
- Nash Al-Qur’an Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam, di dalamnya tidak ada satu ayat pun baik tersurat maupun tersirat yang menjelaskan mengenai sunat perempuan (Serour, 2017; Al Qardlawi, Muhammad, 2010). Menurutnya, sunat perempuan di kalangan masyarakat Muslim diperkirakan bersumber dari tradisi masa lalu yang sudah dilakukan sebelum Islam diturunkan, bahkan menjadi tradisi yang dilakukan hampir 2000 tahun sebelum Islam, tetapi FGM tidak dipraktikkan oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia.
- Nash Hadis Di dalam hadis, ada beberapa riwayat yang menyebutkan tentang sunat atau khitan baik yang bersifat umum ditujukan kepada laki-laki dan perempuan, maupun yang bersifat khusus ditujukan kepada perempuan.
(i). Hadis yang bersifat umum, di antaranya:
عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: “ada lima perkara yang merupakan fitrah manusia yaitu: 1) Khitan; 2) istihdad (mencukur bulu pada sekitar kemaluan); 3) mencukur bulu ketiak; 4) menggunting kuku; 5) memendekkan kumis”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmizi, al-Nsa’i, Ibn Majah, Ahmad dan lain-lain. Makna fitrah dalam hadis di atas, ada 3 (tiga) pendapat yaitu: pertama, fitrah artinya agama. Berarti lima unsur yang disebutkan dalam hadis tersebut merupakan bagian dari agama yang harus dilaksanakan, atau bisa disebut wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Implikasinya pada khitan, hukumnya menjadi wajib dilaksanakan pada laki-laki dan perempuan; kedua, fitrah artinya sunnah, kebiasaan baik. Berarti lima unsur dalam hadis tersebut merupakan kebiasaan baik, hukumnya sunnah untuk dilaksanakan pada laki-laki dan perempuan. Implikasinya pada khitan, hukumnya sunnah dilaksanakan laki-laki dan perempuan; ketiga, fitrah artinya asal mula. Berarti semua hal yang disebutkan dalam hadis tersebut tidak mengikat, tidak berimplikasi secara hukum apapun kecuali mubah, termasuk khitan pun hukumnya mubah baik pada laki-laki maupun perempuan.
(ii). Hadis yang bersifat khusus, di antaranya:
الختان سنة للرجال مكرمة للنساء
Artinya: “Khitan perempuan sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan”.
Hadis tersebut menurut Fathullah (2010) memiliki dua jalur periwayatan: pertama, riwayat yang bermuara pada al-Hajjaj ibn Arta’ah, beliau dikenal sebagai perawi yang lemah sehingga riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah, diriwayatkan secara marfu’ sebagai perkataan Nabi SAW, namun sanadnya da’if; kedua, riwayatnya juga da’if, bahkan bukan sebagai perkataan Nabi SAW, namun hanya perkataan sahabat. Begitu juga menurut penilaian sebagian ulama hadis juga dla’if, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Hadis berikutnya tentang cara khitan perempuan:
Hadis riwayat Abu Daud:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم لَا تُنْهِكِى فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
Dari Ummu Athiyah r.a. diceritakan bahwa di Madinah terdapat seorang perempuan juru sunat, Rasulullah SAW berkata terhadap perempuan tersebut: (khitanlah) janganlah berlebihan, sesungguhnya hal itu lebih baik atau disukai bagi perempuan dan disenangi bagi laki-laki.
Hadis serupa riwayat Al Hakim, yang artinya:
“Dari al-Dhahak diceritakan bahwa di kota Madinah terdapat seorang perempuan tukang sunat yang bernama Ummu Atiyyah, lalu Rasulullah SAW memperingatkannya dengan bersabda: “wahai Ummu Athiyyah, potonglah sebagian kecil saja, jangan berlebih-lebihan (ketika memotong), karena sesungguhnya hal itu lebih mencerahkan wajah dan lebih disukai oleh suami”.
Terkait hadis di atas, Sayid Sabiq (1987) dalam Fiqih Sunnah menegaskan bahwa “Semua hadis yang berkaitan dengan khitan perempuan adalah dla’if, tidak ada satu pun yang sahih”. Dengan demikian, menurutnya khitan perempuan merupakan masalah ijtihadiyah. Adapun pengertian makrumah dalam hadis tersebut, menurut Menurut Muhammad (2010) dikutip dari Al Qardlawi adalah sesuatu yang dipandang terhormat bagi perempuan dalam tradisi tertentu. Tradisi yang dipandang terhormat dalam suatu masa di suatu tempat tertentu belum tentu baik pada suatu masa di tempat yang berbeda. Hal tersebut merupakan suatu ketentuan yang bisa berubah-ubah, karena tidak ada teks yang mewajibkan atau menganjurkan atau mensunnahkannya.
Begitu juga menurut Fathullah (2010) hadis Ummu Atiyyah dengan dua versinya sebagaimana disebutkan di atas adalah dla’if (lemah) tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Hadistersebut secara tekstual isinya memberikan pesan bahwa Rasulullah SAW mempersilahkan sunat tetapi membatasi “jangan berlebihan” atau sedikit saja. Dalam proses penetapan hukum Islam, pernyataan “jangan berlebihan” atau sedikit saja tersebut merupakan bentuk pentahapan secara pelan-pelan dari kondisi yang semula sunat perempuan dilakukan oleh masyarakat sebelum Islam datang tanpa ada batasan atau aturan, kemudian di masa Rasulullah SAW dilakukan perubahan secara bertahap menjadi dibatasi, atau bersyarat hanya boleh dilakukan pemotongan sedikit saja. Hal tersebut dalam proses pembentukan hukum Islam disebut at-tadarruj fi at tasyri’ atau lit tadrij fi at-tasyri’.
Kebijakan Nasional
Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), turut menyetujui dan menandatangani sejumlah Konvensi Internasional. Salah satu bentuk komitmen Indonesia di antaranya melakukan ratifikasi terhadap sejumlah Konvensi Internasional, di antaranya pengesahan CEDAW melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan. Sunat perempuan menurut UU Nomor 7 Tahun 1984 tersebut termasuk salah satu bentuk praktik berbahaya (harmful practices). Selain itu, kebijakan pemerintah terkait larangan praktik sunat perempuan di antaranya dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sebagai berikut:
- Kebijakan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2006) berupa Surat Edaran nomor: HK.00.07.1.3.1047a tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan.
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan.
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 6 Tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1636/MENKES/ PER/XII/2010 tentang Sunat Perempuan.
Upaya pemerintah untuk mengimplementasikan larangan praktik sunat perempuan tersebut diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya pada tujuan 5.3 “Menghilangkan semua praktek berbahaya, seperti pernikahan anak, pernikahan dini dan paksa, serta sunat perempuan”.
Komitmen Internasional
Komitmen internasional untuk mengakhiri praktik berbahaya terhadap perempuan dan anak perempuan, dimotori oleh lembaga PBB (UN) melalui berbagai keputusan. Salah satunya Konvensi Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) pasal 24.3 menyebutkan bahwa “Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang efektif dan tepat dengan tujuan menghapuskan kebiasaankebiasaan tradisional yang merugikan kesehatan anak”. WHO pada tahun 2008, mengesahkan resolusi (WHA 61.16) tentang penghapusan FGM, dan menekankan perlunya tindakan terpadu di semua sektor kesehatan, pendidikan, keuangan, keadilan dan urusan perempuan. Pada tahun 2010, WHO (bekerja sama dengan badan-badan PBB lainnya dan sejumlah asosiasi profesional medis) mengeluarkan strategi global untuk menghentikan penyedia layanan perawatan kesehatan dari melakukan mutilasi alat kelamin perempuan, dengan memberikan argumen menentang medikalisasi, serta panduan tentang bagaimana mendukung penyedia layanan kesehatan dimana FGM/C banyak dipraktikkan.
Strategi ini dikembangkan oleh beberapa badan dan organisasi PBB, termasuk UNFPA. Berbagai upaya internasional dilakukan oleh PBB, di antaranya pada tahun 2012, Majlis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi 67/146 menolak dan berusaha untuk menghilangkan FGM/C karena merupakan praktik tradisional yang melanggar hak asasi manusia dan hak perempuan (UNFPA, 2015). Selain itu, pada tahun 2012 PBB menetapkan tanggal 6 Februari sebagai Hari Internasional Zero Toleransi terhadap Mutilasi alat kelamin perempuan/International Day of Zero Tolerance to Female Genital Mutilation (WHO, 2012). Komitmen PBB itu dimuat juga dalam dokumen lain bahwa FGM/C termasuk critical areas yang harus diakhiri, sebagaimana dokumen Beijing+20 (UNW, 2015) dan dalam target dan indikator tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs (The Sustainable Development Goals), secara eksplisit menyepakati untuk menghilangkan semua bentuk praktik berbahaya terhadap anak, khususnya FGM/C dan pernikahan usia anak, sebagaimana dalam target 5.3.
Komitmen internasional sebagaimana disebutkan di atas di antaranya menyadarkan pemerintah Indonesia untuk melakukan berbagai upaya penghentian praktik-praktik berbahaya sunat perempuan di Indonesia.
Rekomendasi
- Mengedukasi dokter, bidan dan penyedia layanan kesehatan tentang komplikasi P2GP; Beberapa aktivitas direkomendasikan untuk menyasar sisi penyedia layanan P2GP seperti dialog inisiasi dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset Teknologi untuk mengarusutamakan pencegahan praktik P2Gp ke dalam layanan dan pendidikan kesehatan reproduksi serta lokakarya pengembangan profesi bagi para bidan yang bekerja di puskesmas, rumah sakit dan pusat layanan kesehatan lainnya.
- Reformasi kebijakan, memperkuat kerangka kerja kebijakan; Kebijakan terkait P2GP perlu dikembangkan secara konsisten dan komprehensif dengan merevisi undangundang yang ada dan langkah-langkah lain, mengintegrasikan kebijakan tentang P2GP ke dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan Kebutuhan untuk merevisi kebijakan yang terkait.
- Melibatkan perempuan, laki-laki dan pemuda untuk mendukung penghentian praktik P2GP melalui LSM lokal dan sekolah dalam program yang sinergis antara pemerintah dan LSM yang menangani isu-isu kekerasan berbasis gender, dan kesehatan reproduksi.
- Bekerja sama dengan tokoh agama; organisasi keagamaan lintas agama untuk menghentikan praktik P2GP dengan argumentasi agama. Para tokoh agama memiliki potensi yang kuat untuk mempengaruhi keyakinan masyarakat yang masih mempraktekan P2GP.
Keterangan:
Makalah ini disampaikan pada Pertemuan Sosialisasi Pedoman Pencegahan Praktik Sunat Perempuan bagi 1 Tenaga Kesehatan pada Kongress IBI XVI Tahun 2018, Jakarta, 2 November 2018.