Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Sejarah dunia mencatat betapa perempuan seringkali diperlakukan secara nista. Pada banyak peradaban besar, perempuan dianggap sebagai “setengah manusia”, “manusia kelas dua”, “makhluk pelengkap” dan sebagainya yang hak dan kewajiban bahkan keberadaannya di dunia ditentukan oleh laki-laki.

Kalangan elite Yunani Kuno menempatkan perempuan sebagai makhluk tahanan yang “disekap” dalam istana. Kalangan bawahnya memperlakukan perempuan sebagai barang dagangan yang diperjualbelikan. Bila sudah menikah, para suami berkuasa penuh terhadap istrinya. Peradaban Romawi menempatkan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan pindah ke tangan suami. Kekuasaan ini sangat mutlak, termasuk kewenangan untuk menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh. Fakta pahit tersebut terus berlangsung sampai abad ke 6 Masehi. Masyarakat Hindu pra abad ke-7 Masehi sering menjadikan perempuan sebagai sesajen bagi para dewa. Hak hidup perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya: istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Sedang dalam masyarakat Cina terdapat petuah-petuah kuno yang tidak memanusiakan perempuan. Ajaran Yahudi menganggap perempuan sebagai sumber laknat karena ia yang menyebabkan Adam terusir dari surga. Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak memiliki anak laki-laki. Dalam tradisi Nasrani pun nasib perempuan sangat menyedihkan. Dalam sebuah konsili yang diadakan pada abad ke-5 Masehi dinyatakan bahwa perempuan tidak memiliki ruh yang suci. Pada abad ke-6 sebuah konsili menyimpulkan bahwa perempuan adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki.[1]

Tradisi Arab Jahiliyah menghalalkan dibunuhnya seorang bayi hanya kerena ia terlahir sebagai perempuan. Pada acara pernikahan, para tetamu memberi ucapan kepada mempelai bil hanaa’ wal-banin (selamat, semoga memperoleh keturunan laki-laki). Setelah menikah, perempuan menjadi hak penuh suami dan keluarganya. Ketika suaminya meninggal, ia tidak bisa menjadi pewaris melainkan benda yang diwariskan.[2]

Ilustrasi yang memilukan di atas menggambarkan kepada kita betapa perempuan selalu menjadi korban kekerasan dari masa ke masa. Dalam bentuk yang tidak persis sama, kekerasan terhadap perempuan terus terjadi sampai kini.

Fakta bahwa perempuan rentan terhadap tindak kekerasan telah mendorong masyarakat dunia untuk memberikan perhatian serius terhadap hal ini. Dalam resolusi yang disyahkan oleh Majelis Umum PBB tahun 1993 dinyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan mencakup - tapi tidak terbatas pada - kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam lingkup keluarga, masyarakat dan negara di mana negara bertindak sebagai pelakunya.

Selanjutnya, resolusi itu juga memberikan rincian tindakan yang termasuk dalam kategori kekerasan. Dalam lingkup keluarga, kekerasan mewujud dalam tindakan-tindakan seperti pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan, kekerasan di luar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi.

Dalam masyarakat luas, beberapa tindakan yang bisa disebut kekerasan adalah perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa.

Dalam lingkup negara, resolusi itu menganggap bahwa negara bisa disebut pelaku kekerasan jika ia melakukan atau membenarkan tindak kekerasan baik secara fisik, seksual, maupun psikologis.

Saat ini berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan masih kita jumpai di mana-mana: di dalam rumah tangga, di lingkungan kerja, dalam lingkungan sosial, dan dalam kehidupan bernegara.

Yang menjadi pertanyaan kita sekarang bagaimana Al-Qur’an memandang berbagai tindakan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga?

Banyak ayat al-Qur’an yang berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan. Uslub (gaya bahasa) yang digunakan pun beragam; ada yang menyuruh berbuat baik terhadap perempuan, ada yang melarang praktek-praktek yang merugikan perempuan; ada yang dikemukakan sebagai langkah preventif untuk melindungi perempuan dari tindak kekerasan, ada pula yang dinyatakan sebagai langkah kuratif terhadap praktek kekerasan yang dialami perempuan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan – yang akan diuraikan dalam tulisan ini - adalah: QS An-Nisaa’: 19, QS Al-Baqarah : 232,  QS Al -Baqarah : 228,  QS Al-Baqarah : 231, QS An-Nisaa’:  34 – 35, QS An-Nisaa’: 129, QS At-Thalaq: 6,   dan QS An-Nur: 33.

Dari ayat-ayat tersebut, dapat kita ketahui ada banyak persoalan kekerasan terhadap perempuan yang disinggung oleh Al-Qur’an. Menyangkut persoalan kekerasan fisik dan seksual, Al-Qur’an berbicara mengenai pemukulan terhadap istri yang nusyuz, ishlah (rekonsiliasi) sebagai solusi, larangan mengeksploitasi perempuan untuk menjadi pekerja seks, dan larangan melakukan pelecehan seksual. Menyangkut persoalan kekerasan psikis, Al-Qur’an berbicara tentang larangan melakukan adhal dan memperlakukan perempuan sebagai benda warisan, larangan menyia-nyiakan istri dan mantan istri. Sementara menyangkut masalah kekerasan ekonomi, Al-Qur’an dengan tegas memberikan perempuan hak pemilikan dan pengaturan harta.

Apa yang dikemukakan Al-Qur’an memang tidak mengcover seluruh persoalan kekerasan terhdap perempuan. Namun demikian, sebagai sebuah kitab suci, banyaknya ayat yang berbicara mengenai kekerasan terhadap perempuan sudah cukup menjadi bukti bahwa Islam sangat memberikan perhatian terhadap upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih rinci tentang pandangan Al-Qur’an terhadap berbagai bentuk kekerasan ada baiknya kita mengemukakan terlebih dulu prinsip Islam dalam pergaulan laki-laki dan perempuan, khususnya suami istri, karena dalam kenyataanya pada level rumah tangga inilah kekerasan terhadap perempuan paling sering terjadi.


Pola Relasi Suami-Istri

Pola relasi suami istri yang ideal menurut Al-Qur’an adalah pola relasi yang didasarkan pada mu’asyarah bi al-ma’ruf (pergaulan suami istri yang baik) / QS. An-Nisaa’:19, sakinah, mawaddah wa rahmah (ketenteraman, cinta dan kasih sayang)/ QS. Ar-Rum: 21, serta keseimbangan hak dan kewajiban/QS.Al-Baqarah: 228.

Ayat-ayat ini memberikan pengertian bahwa Tuhan menghendaki perkawinan dan relasi suami-isteri berjalan dalam pola interaksi yang harmonis, suasana hati yang damai, serta keseimbangan hak dan kewajiban. Dengan kata lain dapatlah dikatakan bahwa mu’asyarah bil-ma’ruf, sakinah mawaddah wa rahmah dan keseimbangan hak dan kewajiban merupakan landasan moral yang harus dijadikan acuan dalam semua hal yang menyangkut hubungan suami isteri.

Pada tataran implementasi perintah Al-Qur’an ini telah diperaktekkan tanpa basa-basi oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadis Aisyah ra. menjelaskan perilaku simpatik Nabi ketika sedang bersama istrinya di rumah. Aisyah menuturkan:


عن الأسود قال: سألت عائشة ما كان النبي صلى الله عليه وسلم يصنع في بيته؟، قالت: كان يكون في مهنة أهله –تعني خدمة أهله- فإذا حضرت الصلاة خرج إلى الصلاة. (رواه البخاري)

Artinya: Dari Al-Aswad berkata: Saya bertanya kepada Aisyah r.a., “Apa yang dilakukan Nabi SAW di rumahnya?”, Aisyah menjawab, “Beliau berada dalam tugas keluarganya (istrinya) –yakni membantu pekerjaan istrinya-, sampai ketika tiba waktu shalat beliau keluar untuk shalat.” (HR Bukhari).[3]

Dalam riwayat Imam Ahmad, Aisyah merinci pekerjaan Nabi ketika di rumah. Beliau menjahit baju dan sandal, memerah susu kambing, melayani dirinya sendiri, serta melakukan pekerjaan rumah yang umumnya dilakukan oleh pria. Riwayat-riwayat ini menjadi bukti bahwa sebagai pemimpin besar Nabi tidak ragu mengerjakan tugas-tugas domestik yang sering distereotipekan sebagai pekerjaan perempuan. Ibnu Hajar al-Asqallani menggarisbawahi hadis ini mengandung motivasi kepada para suami untuk bersikap rendah hati (tawadhu’), tidak arogan, dan mau membantu pekerjaan-pekerjaan istri/keluarga.[4]

Perhatian terhadap keluarga menurut ajaran Nabi adalah suatu hal yang memiliki nilai tinggi. Ibadah kepada Tuhan tidak boleh membuat orang lalai kepada keluarganya. Sebaliknya, berbuat baik kepada keluarga akan memperbesar pahala orang yang taat beribadah. Dalam sebuah hadis riwayat al-Hakim:


عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا قضى أحدكم حجه فليعجل الرجوع إلى أهله، فإنه أعظم لأجره

Artinya: Dari Aisyah ra berkata: Bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Jika salah seorang diantara kalian telah menyelesaikan hajinya, hendaklah segera kembali kepada keluarganya, karena hal itu akan memperbesar pahala.”[5]

Nabi juga pernah menyuruh Usman bin Affan, menantunya, untuk tidak mengikuti perang Badar karena istri Usman yang tidak lain adalah putri Nabi sedang sakit. Kepada Usman Nabi berkata, “Bagimu pahala orang yang menyaksikan dan ikut ambil bagian dalam perang Badar.”[6]

Begitu pentingnya arti istri dan keluarga keluarga, sampai-sampai Rasulullah saw. memberikan kriteria bahwa suami ideal adalah yang bersikap paling baik kepada istri dan keluarganya, seperti tertera dalam hadis berikut ini:


عن ابن عباس رضي الله عنها: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: خيركم خيركم لأهله، وأنا خيركم لأهلي

Artinya: Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah sebaik-baik kalian terhadap keluargaku.” (HR Ibnu Majah).[7]

Demikianlah sedikit ilustrasi tentang relasi suami istri yang dilakukan Nabi. Dengan setting budaya Arab yang sangat patriarkhis apa yang dilakukan dan disarankan Nabi adalah sesuatu yang cukup aneh pada masa itu.

Dengan bertindak di atas prinsip mu’asyarah bil ma’ruf dan sakinah, mawaddah wa rahmah Rasulullah telah membuktikan bahwa hanya dengan hubungan yang baik dan cara pandang yang positiflah sebuah keluarga akan mendapatkan kehidupan yang dicita-citakan. Ini berarti bahwa semua bentuk kekerasan baik fisik, seksual, psikis maupun ekonomi sama sekali tidak dibenarkan karena hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.


Kekerasan Fisik dan Seksual

a. Soal Pemukulan Terhadap Istri Yang Nusyuz

Banyak literatur Islam menyatakan bahwa memukul istri diperbolehkan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa memukul istri adalah cara yang dianjurkan Al-Qur’an untuk memberi pelajaran istri yang nusyuz. Ayat yang dijadikan dasar pemikiran itu adalah QS. An-Nisaa’: 34 yang berbunyi:


وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (النساء، 34)

Artinya: “Para istri yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” QS. An-Nisa, 4:34.

Secara sepintas ayat ini tampak membolehkan pemukulan terhadap istri. Pandangan ini bisa saja muncul bila kita hanya melihat apa yang tersurat dalam zahir ayat. Pertanyaan yang perlu diajukan kemudian adalah apakah memang pemukulan itu merupakan anjuran Al-Qur’an, ataukah sebagai pintu darurat kecil yang semestinya tidak dilakukan? Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan mengingat Al-Qur’an diturunkan pada masyarakat yang demikian tidak memanusiakan perempuan. Jangankan “hanya” dipukul, perempuan pada masa pra Islam bahkan “berhak” dibunuh, dijadikan benda warisan, dan sebagainya tanpa boleh membela diri. Dengan kata lain pemukulan terhadap istri yang nusyuz (meninggalkan rumah tanpa izin atau berbuat “melawan” suami) pada saat itu merupakan bentuk kekerasan yang termasuk “ringan” dibanding perilaku yang biasa dilakukan masyarakat pra Islam.

Kalau demikian halnya, pernyataan Al-Qur’an yang menjadikan pemukulan sebagai alternatif terakhir bagi suami yang istrinya nusyuz tidak boleh dipahami sebagai anjuran untuk berbuat kekerasan terhadap perempuan. Sebab dalam ayat yang sama dikemukakan cara yang lebih utama dan efektif ketimbang pemukulan itu sendiri yakni mauidhah dan pisah ranjang.

Mauidhah (memberikan nasihat yang baik) dan pisah ranjang (bukan pisah rumah dan bukan saling mendiamkan) sungguh merupakan metode jitu yang diperkenalkan Al-Qur’an untuk meminimalisir tindak kekerasan berupa pemukulan. Dalam konteks sosial budaya yang begitu permisif terhadap kekerasan, kedua metode yang dikemukakan ayat ini benar-benar menawarkan sesuatu yang melawan arus sekaligus mengakomodir kepentingan perempuan. Sayyid Qutb bahkan menyatakan ayat ini merupakan satu di antara banyak ayat Al-Qur’an yang menginformasikan adanya pergulatan antara tradisi masyarakat versus ajaran Islam di mana Islam dalam posisi perombak tradisi.[8]

Dengan setting sosial budaya yang demikian, menurut hemat penulis, pemukulan terhadap istri yang nusyuz bukanlah tujuan atau cara yang direkomendasikan melainkan justru merupakan tradisi yang secara bijaksana dikehendaki oleh al-Qur’an untuk ditinggalkan.

Semangat menghindari pemukulan semakin jelas ketika kita menelaah hadis Nabi. Dalam literatur hadis, sangat sedikit hadis yang berfungsi sebagai taqyid (pembatasan) atas cara pertama (mauidhah) dan kedua (pisah ranjang). Ini berarti bahwa kedua cara itu dianggap aman dan tidak banyak resiko. Untuk menghindari pemukulan, Rasulullah secara terus terang menganjurkan pisah ranjang saja kepada suami yang melihat tanda-tanda nusyuz pada istrinya. Dalam sebuah hadis dinyatakan:


عن  أبي حرة الرقاشي عن عمه: أن النبي فإن خفتم نشوزهن فاهجروهن في المضاجع. (رواه أبو داود)

Artinya: Dari Abu Hurrah ar-Raqqasyi dari pamannya, Nabi saw. bersabda, “Jika kalian khawatir istri kalian nusyuz, pisah ranjanglah dengan mereka.” HR. Abu Dawud.[9]

Sebaliknya, cara ketiga, yakni pemukulan, banyak hadis yang memberikan batasan-batasan sehingga bisa dikatakan hampir tidak ada celah untuk membenarkan pemukulan istri oleh suami.

Dalam sebuah hadis dinyatakan Nabi melarang para suami memukul istrinya dan menilai mereka yang melakukan hal itu bukanlah suami yang baik. Selengkapnya hadis itu berbunyi:


عن إياس بن عيد الله بن أبي ذباب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تضربوا إماء الله. فجاء عمر رضي الله عنه إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال: ذئرن النساء على أزواجهن، فرخص في ضربهن. فأطاف بآل محمد صلى الله عليه وسلم نساء كثير يشكون أزواجهن، فقال رسول الله عليه وسلم: لقد أطاف بآل محم نساء كثير يشكون أزواجهن، ليس أولئك بخياركم. (رواه أبو داود)

Artinya: Dari Iyas bin Abdillah bin Abi Dzubab berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian memukul hamba Allah!”, lalu datang Umar r.a. kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Para istri itu berani (melawan) kepada suami mereka, “maka Rasulullah SAW memberi dispensasi untuk memukul mereka. Selanjutnya banyak istri mendatangi keluarga Rasulullah SAW sembari mengadukan suami mereka. Maka Rasulullah SAW pun bersabda, “Sesungguhnya banyak perempuan mendatangi keluarga Muhammad sambil mengadukan suami mereka. Mereka (para suami) itu bukanlah sebaik-baik kalian.” (HR Abu Daud).[10]

Dalam hadis riwayat Abu Dawud yang lain Nabi bahkan menolak orang yang ingin bertanya tentang pemukulan istri. Melalui Umar bin Khattab, Rasulullah saw. bersabda:

" لا يسأل الرجل فيما ضرب امرأته "

“Janganlah seorang suami bertanya dalam hal apa ia (boleh) memukul istrinya.” (HR. Abu Dawud).[11]

Ketidaksetujuan Nabi terhadap pemukulan istri juga diungkapkan dalam bentuk protes terhadap perilaku yang sering dilakukan orang Arab pada waktu itu. Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:

لا يجلد أحدكم امرأته جلد الأمة ولعله أن يضاجعها من آخر يومه. (رواه ابن ماجه)

Artinya: “Janganlah salah seorang diantara kalian memecut istrinya seperti budak, lalu malam harinya ia ia tiduri.”[12]

Sebagai bukti konkret penolakan Rasulullah terhadap pemukulan istri, beliau dalam seluruh hidupnya tidak pernah mempergunakan tangannya untuk memukul istri-istrinya, bahkan pembantunya. Ummul Mukminin Aisyah ra. memberikan kesaksian:


"ما ضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم خادما له ولا امرأة ولا ضرب بيده شيئا". (رواه ابن ماجه)

Artinya: “Rasulullah saw. tidak pernah memukul pembantunya, istrinya, dan tidak pernah memukul apapun dengan tangannya.” (HR. Ibnu Majah)[13]

Berbagai kesaksian yang terekam dalam hadis-hadis di atas menjadi dalil yang kuat bahwa pada hakekatnya Islam tidak menghendaki terjadinya pemukulan istri oleh suami. Dalam ucapan, nasihat dan perilaku hidupnya Rasulullah sebagai panutan umat tidak pernah menganjurkan apalagi melakukan pemukulan terhadap istri. Oleh karena itu, jika kita sepakat bahwa hadis memiliki fungsi penjelas terhadap al-Qur’an, maka kita pun bisa mengatakan bahwa sekalipun ada redaksi “wadhribuhunna” dalam al-Qur’an namun itu bukan untuk dilakukan melainkan untuk dihindari dan ditinggalkan sebagaimana yang dicontohkan Nabi.


b. Ishlah (Rekonsiliasi) Sebagai Solusi

Pertentangan dan percekcokan adalah hal yang sering terjadi dalam perkawinan. Dalam kasus di mana pertentangan itu tidak bisa dicarikan titik temu, maka perceraian adalah jalan keluar yang terakhir. Namun, jika masih ada celah untuk mencari titik temu, Al-Qur’an memberikan solusi terbaik yakni ishlah atau rekonsiliasi. Baik perceraian ataupun ishlah sesungguhnya menyiratkan cara-cara damai dalam menyelesaikan perseteruan suami-isteri. Perceraian yang sah dan diputuskan di depan hakim yang adil adalah solusi damai bagi perkawinan yang ternyata membuat pasangan suami-isteri atau salah satu pasangan menderita seumur hidup akibat kekerasan, tekanan dan tindakan menyakitkan yang dilakukan pasangannya. Meskipun demikian, Islam sesungguhnya tidak menghendaki perceraian terjadi. Oleh karena itu, Al-Qur’an menawarkan ishlah sebagai solusi damai yang utama bagi suami-isteri yang terlibat perseteruan atau pertentangan. Allah SWT berfirman:


وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (النساء،35)

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS An-Nisaa: 35)

Ada yang menarik untuk digarisbawahi dalam konsep ishlah (rekonsiliasi) yang ditawarkan Al-Qur’an yakni bahwa ishlah ditempuh dengan melibatkan pihak ketiga yakni dua orang hakam yang mewakili suami dan istri agar keduanya bisa membantu menyelesaikan persoalan suami istri itu dengan adil, tenang, tidak emosional, dan tidak main hakim sendiri. Ayat ini mengisyarakatkan bahwa konflik suami-istri bukanlah persoalan yang tabu untuk diselesaikan di luar rumah. Ayat ini sepertinya juga menepis anggapan yang berkembang bahwa isteri harus menutup rapat-rapat penderitaannya dalam perkawinan. Sebaliknya ayat ini menghendaki perkawinan berlangsung tanpa ada pihak yang dirugikan.

Berdasarkan ayat ini, sudah selayaknya isteri atau suami yang sedang berseteru memanfaatkan lembaga konsultasi, lembaga bantuan hukum atau crisis center yang membantu menyelesaikan masalah secara damai, adil, dan tanpa kekerasan.


c. Larangan Mengeksploitasi Perempuan Untuk Menjadi Pekerja Seks

Trafficking atau perdagangan perempuan adalah suatu fakta yang banyak terjadi saat ini, terutama di kota-kota besar. Banyak cara yang dilakukan untuk memaksa perempuan terseret masuk ke sana. Namun, dari berbagai cara dan dalih ada satu tujuan utama dari praktek ini yakni mengeruk keuntungan material dengan menjadikan tubuh perempuan sebagai umpan. Jelas tindakan ini sangat sadis, karena perempuan tidak saja terampas haknya atas tubuhnya sendiri, melainkan juga tercabik-cabik kehormatan dan harga dirinya sebagai manusia. Trafficking telah membuat perempuan menderita jiwa dan raga, lahir dan batin.

Jika kita melihat ke masa lalu, fenomena yang terjadi saat ini bukan sesuatu yang baru. Empat belas abad yang lalu, praktek serupa juga pernah terjadi. Kisah sedih itu menimpa seorang perempuan budak bernama Mu’adzah yang dijual oleh majikannya, Abdullah bin Ubayy bin Salul gembong kaum munafik, kepada seorang lelaki Quraisy yang menjadi tawanan Ubayy. Motif Abdullah hanya satu, yakni jika Mu’adzah hamil dan melahirkan anak, lelaki Quraisy itu akan menebusnya dengan jumlah tertentu. Menyikapi hal itu, Mu’adzah yang mukminah itu menolak dan membawa persoalannya kepada Rasulullah Muhammad. Pengaduan ini serta-merta mendapat tanggapan dari langit dan menjadi sebab turunnya (asbabun nuzul) ayat 33 Surat an-Nur:[14]


وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ (النور، 33)

Artinya: “… Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuan kamu untuk melakukan pelacuran sementara mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi …” (QS An-Nur, 24:33).

Dari asbabun nuzul di atas, jelas sekali al-Qur’an berpihak pada “pemberontakan perempuan” yang berani menentang atasannya yang ingin mengeksploitasi dirinya. Al-Qur’an turun dengan membela perempuan sekalipun ia berstatus budak. Dengan membenarkan sikap perempuan tanpa memandang status itu al-Qur’an telah menjamin hak semua perempuan untuk melakukan kontrol atas tubuh dan dirinya sendiri.

Jika terhadap budak saja Islam demikian melindungi, bagaimana halnya dengan perempuan merdeka? Sudah pasti hukum itu juga berlaku, bahkan dengan derajat yang lebih kuat. Saat ini perbudakan sudah tidak ada di dunia dan itu berarti semua perempuan berstatus merdeka. Ini berarti bahwa eksploitasi seks kepada perempuan –siapapun orangnya dan apapun agamanya- adalah hal yang sangat dikutuk Tuhan.

Dewasa ini kita disentakkan dengan fenomena yang mengiris perasaan. Eksploitasi seks tidak saja terjadi pada perempuan dewasa yang memiliki persoalan ekonomi, keluarga maupun problem sosial lainnya, melainkan juga pada anak-anak di bawah umur yang sama sekali tidak sadar bahwa dirinya sedang menjadi sasaran eksploitasi. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung atau Medan, banyak anak-anak perempuan yang dilacurkan. Kian hari jumlah mereka kian meningkat.

Bagaimana masyarakat kita seharusnya bersikap? Sudah saatnya masyarakat memberikan empati terhadap para korban dengan menerapkan sikap yang dinyatakan Allah dalam ayat di atas yakni:

Pertama, bersikap tegas terhadap pelaku eksploitasi seks dengan cara mencegah, menolak dan menghentikan eksploitasi sesuai dengan kemampuan dan wewenang yang dimiliki. Mengingat eksploitasi seks dan perdagangan perempuan sudah menjadi semacam mafia, maka diperlukan lembaga-lembaga yang kuat yang bekerja secara terkoordinir dan sistematis untuk menghentikan praktek pemaksaan tersebut. Isyarat inilah yang bisa kita fahami dari teks ayat:


وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ (النور، 33)

Artinya: “Dan janganlah paksa budak perempuan kalian untuk melakukan pelacuran jika mereka ingin kesucian.” QS. An-Nur, 33.

Kedua, bersikap lapang dada, luas ampunan, menunjukkan empati dan kasih sayang terhadap mereka yang dilacurkan atau dijebak dalam eksploitasi seks. Sikap inilah yang seyogyanya menjadi sikap kolektif masyarakat dan bukan sebaliknya masyarakat malah ikut memberikan cap negatif yang kian memperparah penderitaan korban. Sikap seperti itu sama sekali tidak mengikuti tantunan Allah SWT yang jelas menyatakan bahwa Ia Maha Pengampun dan Maha Pengasih pada korban yang dipaksa itu. Inilah yang bisa kita fahami dari firmanNya:


وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ (النور، 33)

Artinya: “Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah setelah keterpaksaan mereka itu, Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.”

Sikap-sikap Qur’ani ini sungguh perlu dimasyarakatkan. Sebab jelas-jelas korban pemaksaan itu memperoleh perlakuan bijak dari Tuhan dan sekaligus memperoleh jaminan bebas dari dosa sebagaimana tertera dalam hadis berikut ini:


رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه.


Artinya: “Ummatku terbebas dari dosa kekhilafan, kealpaan, dan keterpaksaan yang ditimpakan kepadanya.”[15]

Jika demikian petunjuk Al-Qur’an dan hadits, adakah alasan bagi kita untuk bersikap seperti hakim suci yang memberi vonis tanpa ampun kepada korban perkosaan? Jawabannya tentu, tidak!


d. Larangan Melakukan Pelecehan Seksual dan Zina

Dalam Al-Qur’an, pelecehan seksual tidak semata-mata berarti menggoda, berkata jorok, berbuat tidak senonoh, atau melakukan perkosaan terhadap perempuan. Lebih dari itu pelecehan seksual juga berarti pelanggaran terhadap nilai-nilai seksualitas yang luhur. Adanya unsur keji dan buruk dalam suatu perbuatan telah menjadi alasan mengapa perzinaan dan perselingkuhan termasuk pelecehan seksual.  Karena cara pandang Al-Qur’an terhadap seksualitas memasukkan unsur moral dan tidak semata-mata bertumpu pada perasaan individu yang bersangkutan, maka zina dan perselingkuhan yang dilakukan atas dasar suka sama suka pun termasuk dalam kategori pelecehan seksual. Dengan kata lain, kalaulah perempuan atau laki-laki yang melakukan zina atau berselingkuh tidak merasa dilecehkan atau melecehkan, maka Tuhan justru memandang hal itu merupakan pelecehan terhadap anugerahNya yang indah pada manusia, yakni kesucian seks dan kesucian perkawinan. Karena sakralitas seks itulah, segala perbuatan yang mengarah kepada zina –apalagi zina itu sendiri- dilarang. Dalam surat al-Isra’ Allah berfirman:


وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا (الإسراء، 32)

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS 17:32)

Sebagaimana telah disinggung, ayat ini berisi larangan terhadap zina dan apa saja yang mengarah pada zina, sehingga pengertian yang dicakup oleh ayat tidaklah sebatas coitus saja. Ungkapan yang berbunyi “ولا تقربوا الزنى“ (janganlah kamu mendekati zina) mempunyai arti tidak boleh melakukan apa saja yang biasanya menjadi pendahuluan atau bisa mengarah kepada zina seperti memandang lawan jenis dengan penuh syahwat, berduaan di tempat sepi, meraba, mengelus, menggerayangi, mencium,  kencan dengan pasangan selingkuh, dan sebagainya. Banyak hadits Nabi yang menjelaskan haramnya “pendahuluan” zina tersebut.

Diantara tujuan syari’at Islam (maqashid as-syari’ah) adalah memelihara kehormatan dan harga diri manusia (hifdz al-‘irdh) dan memelihara kesucian keturunan dan hak reproduksi (hifdz al-nasl). Haramnya zina dan semua perilaku yang dalam terminologi modern kita sebut sebagai pelecehan seksual tidak terlepas dari kedua tujuan ini. Untuk menjamin terwujudnya tujuan syari’at Islam itu, perlu keterlibatan laki-laki dan perempuan sekaligus. Oleh karena itu, sangat logis dan adil bahwa larangan berzina dan mendekati zina ditujukan kepada laki-laki dan perempuan sekaligus. Hal ini sangat berbeda dengan kecenderungan sebagian orang yang membatasi perempuan secara berlebihan dan memberikan kebebasan kepada laki-laki secara berlebihan pula dan kecenderungan untuk lebih menekankan sanksi sosial terhadap perempuan.

Berbeda dengan kecenderungan itu, Al-Qur’an memberlakukan hal yang sama untuk laki-laki dan perempuan. Tidak ada indikasi apa pun yang menyiratkan bahwa larangan ini lebih ditujukan kepada perempuan atau menyiratkan perempuan sebagai penyebab terjadinya zina. Zina, dan pelecehan seksual lainnya, dipandang sebagai perbuatan yang melibatkan laki-laki dan perempuan sekaligus sehingga ayat ini ditujukan kepada keduanya. Ini berarti bahwa stereotype “perempuan makhluk penggoda” dan “penyebab laki-laki melakukan pelecehan seksual” tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Sebaliknya, banyak kejadian menunjukkan bahwa terjadinya pelecehan seksual, khususnya perkosaan, lebih disebabkan oleh niat buruk yang sudah tersimpan dalam benak laki-laki. Dalam kasus perkosaan, pemerkosa pada umumnya telah merencanakan perbuatannya dengan matang. Dalam banyak kasus, perkosaan juga tidak memandang usia. Ada balita yang diperkosa dan ada pula manula. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dalam kebanyakan kasus pelecehan seksual, perempuan menjadi korban, dan bukan seperti anggapan kebanyakan orang bahwa perempuan adalah penyebab terjadinya pelecehan seksual. Oleh karena itu tindakan mempersalahkan perempuan korban pelecehan dan kejahatan seksual sama sekali tidak dapat dibenarkan.

Bahkan bila kita menyimak hadits riwayat Imam Ahmad dari Abu Umamah berikut ini tampak jelas bahwa zina dan pelecehan seksual lainnya lebih disebabkan oleh agresifitas laki-laki:

Seorang pemuda mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, “Ya Rasulullah izinkan aku untuk berzina. “Lalu menengoklah sekelompok orang kepada pemuda itu dan mereka melarangnya sambil berkata: “Jangan… Jangan…! Maka Rasul pun berkata, “Dekatkanlah pemuda itu (kepadaku)!” Maka mendekatlah pemuda itu dan Rasul berkata, “Duduklah!” Pemuda itu duduk dan Rasul pun bertanya, “Apakah kau menyukai hal itu terjadi pada ibumu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak! Demi Allah, Allah menjadikanku sebagai tebusanmu. Dan semua orang juga tidak menyukai hal itu terjadi pada ibu mereka.” Rasul kembali bertanya apakah ia suka jika itu terjadi pada anak perempuannya, saudara perempuannya, dan bibinya. Setiap pertanyaan dijawab “tidak” oleh si pemuda. Rasul pun meletakkan tangannya pada pemuda itu dan berkata, “Ya Allah ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya dan peliharalah kemaluannya.” Setelah kejadian itu pemuda tadi tidak pernah berpaling kepada sesuatu (yang haram).[16]


Demikianlah agresifitas pemuda yang menggebu itu bisa dicegah oleh Nabi dengan dialog penyadaran tentang perbuatan zina dan dampaknya bagi perempuan dan seluruh keluarganya.

Metode penyadaran kepada laki-laki sebagaimana dilakukan oleh Nabi sudah saatnya kita terapkan sebagai salah satu metode pencegahan zina dan tindak kekerasan seksual lainnya.


Kekerasan Psikis

a. Larangan Melakukan Adhal Dan Memperlakukan Perempuan Sebagai Benda Warisan

Adhal secara harfiah berarti menekan, mempersempit, mencegah, dan menghalang-halangi kehendak orang lain.[17] Dalam Al-Qur’an secara jelas dinyatakan keharaman berbuat adhal kepada perempuan. Allah SWT berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (النساء،19)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata….” (QS. An-Nisa’, 4:19).


وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ (البقرة، 232)

Artinya: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan suaminya apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah/2:232)

Ibnu Abbas r.a. menjelaskan beberapa bentuk adhal terhadap perempuan yang berlaku dalam tradisi Arab Jahiliyah pra Islam. Adhal terhadap perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya bisa berupa; perempuan dijadikan benda warisan di kalangan keluarga mendiang suami atau dikawini (secara paksa) oleh ahli waris mendiang suami dengan maksud mewarisi harta si perempuan jika ia meninggal; atau si perempuan dibiarkan menjanda sampai meninggal dan kemudian hartanya diwarisi; atau si perempuan dikawinkan dengan seseorang dan maharnya diambil oleh ahli waris mendiang suami; atau si perempuan boleh kawin dengan pilihannya dengan syarat harus membayar sejumlah harta kepada keluarga mendiang suami sebagai tebusan atas dirinya. Tradisi seperti inilah yang secara tegas dilarang dalam surat An-Nisa’ ayat 19.

Sedangkan terhadap perempuan yang cerai hidup dengan suaminya, salah satu bentuk adhal yang paling jelas adalah pelarangan yang dilakukan oleh wali perempuan agar ia tidak rujuk dengan mantan suami meskipun mereka berdua telah sepakat untuk kembali sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Baqarah ayat 232 di atas.

Adhal juga bisa menimpa perempuan yang bersuami, dan ini justru yang paling banyak terjadi. Adhal dalam rumah tangga secara singkat didefinisikan oleh Ibnu Katsir sebagai tindakan menyakiti dan menyia-nyiakan perempuan (istri) dalam pergaulan suami-istri yang menyebabkan si istri melepaskan kembali apa yang sudah diberikan oleh suami sehingga ia kehilangan hak-haknya secara paksa.[18]

Bentuk-bentuk adhal yang telah disebutkan di atas adalah praktek adhal yang sebagian terjadi pada masa Jahiliyah dan sebagian lagi terus berlangsung sampai pada masa Islam. Abdullah Ibnu al-Mubarak menyatakan bahwa ayat 19 surat An-Nisa’ ini mengandung dua larangan yang ditujukan untuk masyarakat yang berbeda. Pertama, larangan mewarisi perempuan secara paksa ditujukan kepada masyarakat Jahiliyah. Kedua, larangan berbuat adhal oleh suami terhadap istri ditujukan kepada masyarakat Islam di segala zaman.[19]

Pernyataan Ibnu al-Mubarak ini kita rasakan kebenarannya hingga saat ini. Meski adhal dalam bentuk tradisional sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat Jahiliyah hampir-hampir tidak kita jumpai, namun adhal dalam rumah tangga masih terus dan terus terjadi.

Saat ini bentuk-bentuk “mutakhir” dari adhal dalam rumah tangga –sesuai dengan definisi Ibnu Katsir- masih banyak kita jumpai, misalnya; membuat istri tidak memiliki akses ekonomi ke luar sehingga sepenuhnya tergantung pada suami dan dengan demikian suami menguasai seluruh aspek ekonomi keluarga; menciptakan kondisi yang penuh ancaman, ketakutan dan kekalutan sehingga si istri tidak berani mengungkapkan kekerasan, kezaliman, dan berbagai tindakan yang menimpanya; menciptakan kondisi yang sedemikian rupa sehingga si istri tidak berdaya menuntut hak-haknya seperti perlakuan yang baik dan tercukupinya kebutuhan hidup yang layak sesuai dengan kemampuan suami, dan sebagainya.

Sebagaimana praktek adhal ala Jahiliayah, praktek mengawini perempuan secara paksa oleh keluarga mendiang suami sebagaimana disebutkan di atas barangkali sudah tidak ada lagi dewasa ini. Namun praktek pemaksaan perempuan dalam memilih jodohnya masih banyak terjadi. Hak perempuan untuk menentukan nasib dirinya sendiri apakah ia akan melajang atau menikah masih sering terpasung. Dalam sebuah survei yang dilakukan Program Kajian Wanita Universitas Indonesia pada tahun 1994 terhadap 94 perempuan di 4 desa yang berada dalam lingkup budaya Betawi dan Sunda, ditemukan bahwa 20 di antara 94 perempuan menikah dengan cara dijodohkan oleh pihak lain. Data yang ada menunjukkan beberapa alasan terjadinya penjodohan seperti rasa malu pada si perempuan atau orang tua mendengar cap-cap yang dilontarkan oleh lingkungan sekitar seperti perawan tua, janda genit, janda kesepian dan sebagainya. Pemaksaan perkawinan juga dilakukan demi memenuhi kebutuhan dan ambisi ekonomi orang tua dan keluarga serta kepentingan sosial dan kultural.[20]

Pemasungan hak perempuan untuk memilih calon suaminya sendiri merupakan salah satu bentuk kekerasan psikis yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Dalam Islam perempuan dipandang sebagai individu yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan bukan komoditas yang ditentukan oleh orang atau masyarakat di luar dirinya.

Seorang ayah pun sesungguhnya tidak berhak menjodohkan anak perempuannya tanpa persetujuan si anak. Dalam sebuah hadits shahih Bukhari-Muslim Nabi menyatakan bahwa anak gadis tidak boleh dinikahkan tanpa diminta persetujuannya. Demikian pula janda. Adapun tanda persetujuan anak gadis adalah diam.[21]

Rasulullah sendiri selalu meminta persetujuan putrinya ketika ada orang yang hendak melamar. Dalam Musnad Ahmad ibn Hanbal dijelaskan bahwa ketika ada seseorang hendak melamar putri Nabi, Nabi menyebut nama laki-laki itu di hadapan putri beliau, lalu beliau melihat reaksi putrinya. Jika mereka diam, itu berarti bahwa mereka setuju. Namun, jika mereka menutup tirai kamarnya, itu pertanda mereka tidak suka dan Rasulullah pun tidak memaksakan kehendaknya pada mereka.[22]

Kenyataannya, apa yang dilakukan Rasulullah itu tidak sepenuhnya diikuti oleh umatnya. Dengan dalih bahwa wali mempunyai hak atas anaknya, maka ijbar (memaksa anak perempuan untuk menikah dengan seseorang) diperbolehkan. Ini adalah sebuah penarikan kesimpulan yang tidak berdasar.

Menanggapi hal itu Ibnu al-Qayyim memberikan penjelasan yang logis mengenai ketidakbolehan perjodohan paksa sekaligus menyangkal mereka yang memberi hak orang tua untuk mengawinkan anak perempuannya secara paksa. Ia berkata:

“Seorang ayah tidak boleh men-tasharruf-kan harta milik anak gadisnya yang sudah baligh dan berakal sehat, sekecil apapun harta itu, kecuali atas kerelaan si anak gadis. Maka jika (terhadap harta saja) demikian, mana mungkin seorang ayah boleh memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan seseorang yang tidak diinginkan si anak tanpa kerelaan darinya? Adalah hal yang dapat dimengerti bahwa menggunakan seluruh harta si gadis tanpa izinnya lebih mudah untuk diterima si gadis daripada menikahkannya dengan orang yang tidak ia sukai. Ini berarti bahwa seorang gadis yang telah baligh dan berakal tidak boleh dipaksa menikah dan dinikahkan kecuali atas dasar kerelaannya.”[23]

Pendapat Ibnu al-Qayyim ini merupakan pendapat mayoritas ulama salaf termasuk di dalamnya mazhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Demikianlah Islam mengharamkan secara tegas praktek-praktek mewarisi perempuan (mengawini janda yang ditinggal mati suaminya secara paksa), menikahkan perempuan dengan paksa, dan memeras perempuan sebagaimana disebutkan di atas, sekaligus menempatkan perempuan pada derajat kemanusiaannya sebagai Bani Adam yang setara dengan laki-laki. Islam, dengan demikian, mengakui hak perempuan untuk menentukan nasibnya sendiri sekaligus melindungi perempuan dari tindak pemaksaan dari orang lain. Kesamaan derajat laki-laki dan perempuan ini –menurut tinjauan Sayyid Qutb- merupakan salah satu pandangan orisinil al-Qur’an tentang manusia dan kemanusiaan yang sebelumnya belum dikenal oleh peradaban manusia.[24]


b. Larangan Menyia-nyiakan Istri dan Mantan Istri

Menyia-nyiakan istri adalah hal yang jelas dilarang oleh al-Qur’an. Perilaku ini sangat mungkin dialami perempuan, baik dalam perkawinan monogami maupun –terlebih-lebih- dalam perkawinan poligami. Mengingat kecenderungan manusia –khususnya yang poligam - untuk berbuat demikian sangat besar, maka secara tegas pula pelaku poligami diingatkan bahwa kemungkinan berbuat tidak adil yang berujung pada penyia-nyiaan istri dalam perkawinan poligami sangat besar. Allah SWT berfirman:


وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ (النساء، 129)

Artinya: “Dan kamu sekali-sekali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung …” (QS. An-Nisa/4:129)

Penyerupaan nasib perempuan yang disia-siakan dengan kata "المعلقة" yang secara harfiah berarti barang yang digantung mengisyaratkan sebuah penderitaan yang berat bagi perempuan yang menjadi korban ketidakadilan suami. Ibnu Abbas, Mujahid, adh-Dahhak dan lain-lain menafsirkan makna mu’allaqah dalam ayat ini sebagai “bukan istri dan bukan pula orang yang diceraikan”.[25] Artinya, secara hitam di atas putih berstatus istri namun dalam kenyataannya tidak diberi nafkah lahir dan batin. Perbuatan seperti itu jelas merupakan siksaan yang berat bagi perempuan, apalagi jika perempuan itu tidak memiliki kekuatan - baik ekonomi maupun mental - untuk melepaskan diri dari jeratan derita yang dialaminya. Jangankan melepaskan diri, membuka suara pun mungkin tidak bisa. Ini adalah kenyataan yang dialami banyak perempuan. Oleh karena itu dengan kemahatahuanNya, Allah turun langsung melarang tindak penyia-nyiaan seperti itu.

Salah satu hal yang menarik mengenai hak-hak perempuan dalam al-Qur’an adalah adanya hak bagi mantan istri. Suami, dalam pandangan Islam, tidak bisa semena-mena menceraikan istrinya dan membiarkannya begitu saja setelah diceraikan. Mantan istri masih berhak atas nafkah, tempat tinggal dan perlakuan yang baik. Bahkan jika mantan istri dalam keadaan hamil, mantan suami harus menanggung keperluan hidup mantan istrinya dan anak yang dilahirkannya. Ketika si bayi sudah lahir, mantan suami masih pula berkewajiban memberikan upah atau kompensasi untuk si ibu yang menyusui. Allah SWT berfirman:


أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (6) لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (لطلاق،7-6)

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan jika istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya. Dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik. Dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq/65:6-7).

Kedua ayat di atas secara tegas menjelaskan hak-hak mantan istri. Mantan suami tidak boleh setengah-setengah memberikan hak itu karena itu adalah ketetapan Allah. Dalam memberikan hak tempat tinggal, misalnya, mantan suami sama sekali tidak boleh melakukan atau menyuruh orang untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan mantan istri meninggalkan tempat tinggalnya. Demikian juga mantan suami tidak boleh menyediakan tempat tinggal yang sudah bisa diduga membuat mantan istri tidak betah.[26] Demikian pula dengan hak-hak lainnya.

Sebagaimana perceraian tidak boleh membawa kemudharatan bagi isteri, ruju’ pun demikian. Adanya kesempatan ruju’ sampai dua kali sama sekali tidak dimaksudkan untuk mempermainkan perempuan. Sebaliknya, ayat mengenai ruju’ maksimal dua kali (QS. Al-Baqarah/2:229) justru melakukan pembatasan secara drastis peluang kawin cerai. Ketika ayat ini turun, tradisi kawin cerai dan ruju’ kembali pada saat perempuan masih dalam masa iddah sangat biasa. Suami bebas ruju’ kepada istrinya sekalipun ia telah menceraikannya sampai seratus kali asalkan si istri masih dalam masa iddah.[27] Dengan konteks seperti itu, maka pembatasan talak dan ruju’ maksimal dua kali adalah sesuatu yang revolusioner.

Tidak cukup hanya dibatasi jumlahnya, kawin-cerai dan rujuk kembali juga tidak diperbolehkan jika tujuannya untuk menimbulkan petaka dan kemudharatan bagi perempuan dan membuat hidupnya terkatung-katung. Suami yang sudah menceraikan istrinya hanya diberi dua pilihan yakni melepaskan istri dengan baik atau mengawini kembali dengan baik. Tidak ada tempat bagi suami yang ingin ruju’ kepada istrinya jika ruju’ itu justru membawa kemudharatan bagi istri. Allah SWT berfirman:


وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ (البقرة، 231)

Artinya: “………Dan janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri”. (QS al-Baqarah/ 2:231).

Ayat ini merupakan kritik tajam al-Qur’an kepada kebiasaan para suami pada saat itu yang dengan gampang menceraikan istrinya, lalu setelah masa iddahnya hampir selesai mantan istri dikawini kembali agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Setelah dikawini, ia diceraikan lagi, dan ketika masa iddahnya hampir selesai, ia diruju’ kembali. Demikian seterusnya.[28]

Pada saat yang sama, ayat ini juga mengecam tradisi ruju’ kepada mantan istri dengan motif ekonomi, yakni mengawini kembali mantan istri agar ia tidak tahan dan minta cerai. Jika istri telah mengajukan tuntutan cerai (khulu’), maka suami bebas menentukan jumlah tertentu sebagai syarat dikabulkannya khulu’.

Semua perilaku tersebut sangat merendahkan dan menyakitkan perempuan. Oleh karena itu sangat beralasan jika Allah SWT mengecam orang yang berbuat seperti itu telah melakukan kezaliman kepada dirinya sendiri.


Kekerasan Ekonomi: Hak Perempuan atas Harta yang Dimiliki

Pernikahan bukan merupakan pintu yang menutup hak perempuan untuk memiliki harta dan kekayaan sendiri. Dalam pandangan Islam, perempuan diakui punya hak milik pribadi baik yang didapat dari usahanya sendiri, pemberian orang lain, atau bahkan pemberian suami. Suami tidak berhak mengutak-atik hak milik pribadi istrinya itu, kecuali atas seizin istri. Bahkan ketika si istri dalam status diceraikan pun, suami sama sekali tidak berhak meminta kembali apa yang telah diberikan kepada istrinya. Allah SWT berfirman:


وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ (البقرة، 229)

Artinya: “… Dan tidak halal bagimu mengambil kembali sesuatu dari yang kamu berikan kepada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah …” (QS. Al-Baqarah/2:229).


وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (النساء، 20)

Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata” (QS. An-Nisa/4:20).

Persoalan pemilikan harta pribadi bagi perempuan pernah mencuat pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah berusaha membatasi hak perempuan dalam memperoleh mahar. Dalam suatu khutbahnya, Khalifah menginstruksikan agar mahar –yang nantinya menjadi milik pribadi perempuan- dibatasi maksimal empat ratus dirham. Alasannya, Nabi dan para sahabat biasa memberikan mahar sejumlah itu atau lebih kecil. Begitu Khalifah turun, seorang perempuan Quraisy bangkit dan mempertanyakan alasan pembatasan itu. Perempuan itu mengatakan bahwa jika Allah saja tidak pernah membatasi jumlah yang diberikan kepada seorang perempuan seperti yang tertera dalam surat an-Nisa’ ayat 20, maka mengapa Khalifah membatasi. Mendengar protes tersebut, Khalifah segera beristighfar dan mencabut kembali pernyataannya sambil mengakui bahwa perempuan itu benar.[29] Setelah itu, tidak ada lagi pembatasan hak perempuan memperoleh mahar.

Statemen Al-Qur’an tentang hak milik istri seperti tersirat dalam ayat di atas memang tampak sederhana. Tapi sesungguhnya dengan adanya pengakuan ini Al-Qur’an telah membuka peluang kepada para istri untuk memiliki akses ekonomi. Dengan harta yang dimilikinya istri boleh mentasharrufkan (mempergunakan dengan baik) harta itu sesuai dengan keinginannya apakah untuk modal usaha, untuk bersedekah atau aktivitas sosial. Dengan demikian ketergantungan secara ekonomi kepada suami yang seringkali menjadi biang keladi terjadinya kekerasan, marginalisasi, dan subordinasi terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat diminimalisir.

Meskipun hak milik pribadi perempuan dijamin, bukan berarti bahwa Islam membuat garis pemisah yang tajam antara hak milik suami dan istri. Dalam kerangka mu’asyarah bil ma’ruf dan ta’awun ala al-birri wa at-taqwa (tolong menolong kebaikan dan ketaqwaan) istri yang memiliki kekayaan dan kemampuan ekonomi yang lebih dianjurkan membantu suaminya seperti apa yang dilakukan Siti Khadijah kepada Nabi Muhammad SAW dan Zainab kepada suaminya, Ibnu Mas’ud. Demikianlah hak milik pribadi itu diakui tanpa mengorbankan prinsip tolong-menolong antara suami istri.


Penutup

Membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang yang berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan, dapat disimpulkan bahwa sejak awal Islam memberikan perhatian yang besar pada pembebasan perempuan dari tindak kekerasan yang menimpanya. Hampir semua ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang kekerasan merupakan reaksi penolakan terhadap praktek yang menistakan perempuan yang dianggap “wajar” oleh budaya Arab pada waktu itu, seperti praktek adhal dengan segala macam bentuknya, menjadikan perempuan seperti benda yang tidak punya kontrol atas dirinya sendiri, pembunuhan anak perempuan, dan sebagainya.

Di antara berbagai jenis kekerasan terhadap perempuan, Al-Qur’an tampak lebih memberikan perhatian pada persoalan kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Al-Qur’an, kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya dilakukan oleh suami terhadap istri seperti dipahami oleh banyak orang, melainkan juga oleh bapak terhadap anak perempuan, oleh majikan terhadap budak, oleh saudara laki-laki terhadap saudara perempuan, oleh keluarga suami terhadap istri, dan oleh mantan suami kepada mantan istri.  Luasnya cakupan kekerasan ini di samping mengungkapkan persoalan yang sesungguhnya, juga membukakan mata betapa perempuan dalam berbagai statusnya sangat rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarganya.

Dalam seluruh kasus kekerasan yang diungkapkan, tidak hanya kekerasan dalam rumah tangga, sikap Al-Qur’an sangat jelas yakni memihak kaum yang terlemahkan, dalam hal ini perempuan. Sikap ini sangat konsisten dengan sikap umum Al-Qur’an yang selalu membela kaum mustadh’afin, yaitu mereka yang terlemahkan oleh individu, institusi, sistem dan keadaan yang dominan. Karena itulah segala hal yang bisa membawa kemudharatan bagi perempuan dilarang, meskipun dibungkus dalam perilaku yang seolah-olah “melindungi” perempuan, seperti ruju’ dengan motif-motif negatif yang tersembunyi.

Sebagai sebuah kitab suci yang membawa misi menunjukkan manusia ke jalan yang benar dan mulia, nilai moral selalu menjadi acuan Al-Qur’an dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan.  Keadilan menjadi ruh dari semua sikap Al-Qur’an terhadap perempuan. Hal ini tampak dalam, misalnya, hak perempuan atas dirinya dan harta pribadinya, hak perempuan untuk menerima perlakuan yang baik, hak perempuan untuk menentukan pilihannya, dan sebagainya. Bersamaan dengan keadilan, nilai-nilai moral yang lain seperti kebaikan, kesucian, dan kehormatan juga menjadi acuan Al-Qur’an dalam menyelesaikan persoalan kekerasan terhadap perempuan. Dengan adanya pertimbangan- pertimbangan moral ini, Al-Qur’an tidak menjadikan kepentingan perempuan sebagai satu-satunya ukuran keadilan, melainkan ada ukuran-ukuran lain yang digunakan seperti ukuran moralitas masyarakat. Dengan menjadikan moralitas masyarakat sebagai ukuran, menjadi bisa dimengerti mengapa zina yang dilakukan atas dasar suka sama suka diharamkan.

Demikianlah, semangat Al-Qur’an dalam soal kekerasan terhadap perempuan ini merupakan paduan dari  semangat pembebasan (dari kekerasan yang secara riil dialami perempuan), perlindungan (dari berbagai bentuk kekerasan dan dari berbagai pelaku kekerasan), pemberdayaan (dari kumparan kekerasan yang selama ini membuat perempuan tak berdaya), dan sekaligus pemuliaan (dari keberadaan perempuan yang dinistakan menjadi individu yang merdeka, terhormat, dan bermartabat baik di mata manusia maupun Tuhan). Sebuah semangat yang menjalin keseimbangan antara nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keilahiahan!

Wallahu A’lam.


*Tulisan ini sudah pernah diterbitkan Rahima dalam buku bunga rampai berjudul "Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan" tahun 2002.


Penulis : Badriyah Fayumi
Editor : Faqihuddin Abdul Kodir


Referensi

  1. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996, cet. II, h.296-297
  2. H. Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah, Bandung: Mizan, 1996, cet.ke V, h.73
  3. al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987,(ed.Dr.Musthafa Dayb) kitab an-Nafaqat bab Khidmah ar-Rajul fi Ahlihi, hadis ke-5048, juz V, h.143, juga kitab as-Shalah bab Man Kana fi Hajati Ahlihi fa Uqimat as-Shalah fa Kharaja, hadis ke-644, juz I, h.239
  4. Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi Ashr ar-Risalah, Kuwait: Dar el-Qalam, 1991, bab VI, fasal 5, h.130
  5. Hadis ini diriwayatkan al-Hakim dari Aisyah ra. Lihat as-Suyuthi, Shahih al-Jami’ as-Shaghir, hadis ke-745
  6. Abu Syuqqah, Op.Cit., h.154
  7. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar el-Fikr, tth., (ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi), kitab at-Thalaq bab Husnu Mu’asyarah an-Nisa’, hadis ke-1997, juz I, h.636.
  8. Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an, Cairo, Dar el-Syuruq, 1985, juz I, h. 605-606
  9. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar el-Fikr, tth., kitab an-Nikah bab fi Dharb al-Mar’ah, hadis ke-2145, juz II, h.244.
  10. Ibid., hadis ke-2146. Lihat juga Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar el-Fikr, tth., (ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi), kitab an-Nikah bab Dharb al-Mar’ah, hadis ke-1985, juz I, h.638.
  11. Ibid., hadis ke-2147, h.246
  12. Ibnu Majah, Op.Cit., hadis ke-1983
  13. Ibid., hadis ke-1984
  14. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Cairo: Maktabah Dar al-turats, tth., juz I h. 289
  15. Ibid.
  16. Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Mesir: Muassasah Qurtubah, tth., hadis ke-22.265, juz V, h. 256
  17. A. Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Ponpes Al-Munawwir, 1984, h.1011.
  18. Ibnu Katsir, Loc. Cit.
  19. Ibid. h.466
  20. Adrina dkk., Op.Cit., h.15-23
  21. Muslim, Sahih Muslim, Beirut: Dar el-Fikr, 1992, bab Isti’dzan al-Tsayyib fi an-Nikah…, hadis ke-1419, juz I, h.649.
  22. Taufik Abu ‘Alam al-Mishri, Fatimah Az-Zahra’, Pustaka Pelita, Bandung, 1999, h.144
  23. Ibnu Hajar al-Asqallani, Bulugh al-Maram, Semarang: Pustaka Alawiyah, tth., h.205
  24. Sayyid Qutb, Op.Cit., h.605-606
  25. Ibnu Katsir, Op.Cit., h.563
  26. Mahjah Ghalib Ibrahim, al-Tafsir al-Tahlili Surat al-Thalaq, Cairo: Al-Azhar, tth., h.31
  27. Ibnu Katsir, Op.Cit., juz I h. 271
  28. Ibid., h.281
  29. Ibid., h.467