UNICEF Sambut Rekomendasi Ulama Perempuan Untuk Menghindari Perkawinan Usia Anak

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Kongres mendesak usia minimum perkawinan anak perempuan dinaikkan dari 16 ke 18

UNICEF menyambut rekomendasi yang dikeluarkan Kongres Ulama Perempuan Indonesia untuk mengakhiri perkawinan usia anak dan menaikkan batas minimal seorang perempuan boleh menikah dari 16 ke 18 tahun.

Kongres ulama perempuan pertama di Indonesia yang bertempat di Cirebon, Jawa Barat, itu mendesak diubahnya Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, yang menyatakan perempuan boleh dinikahi jika telah berusia 16 tahun. Rekomendasi itu menyerukan agar orang tua, pendidik, masyarakat dan pemerintah berbagi tanggung jawab untuk menghentikan praktik “riskan” perkawinan usia anak, karena membatasi pendidikan, kesehatan, peluang pendapatan dan keselamatan remaja perempuan. Oleh karena itu, mencegah anak-anak perempuan menikah sebelum tumbuh dewasa harus menjadi sesuatu yang “bersifat wajib.”

Undang-Undang Perkawinan menentukan batas usia minimal pernikahan adalah 21 tahun. Namun, dengan izin orang tua, anak lelaki diperbolehkan menikah di usia 19 tahun, sedangkan anak perempuan dapat menikah di umur 16. Orang tua bahkan dapat meminta keringanan dari pengadilan agama atau pengadilan negeri agar anak perempuan mereka bisa menikah lebih awal, tanpa batas usia minimal.

“Ini adalah momen yang sangat penting bagi upaya mengakhiri perkawinan usia anak di Indonesia, dimana rata-rata lebih dari 3.500 anak perempuan dikawinkan setiap hari,” kata Kepala Perwakilan UNICEF Indonesia Gunilla Olsson. “Anak perempuan yang menikah dibawah usia 18 menghadapi berbagai risiko yang berbahaya bagi kesehatan mereka, karena kehamilan dini. Dan sebagian besar dari mereka putus sekolah. Anak perempuan yang sehat dan berpendidikan adalah dasar untuk mencapai masyarakat makmur.”

Sekitar 1 dari 4 perkawinan melibatkan pengantin anak. Menurut data termutakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS), 1.348.886 anak perempuan menikah sebelum usia 18 pada tahun 2012. Dari jumlah tersebut, 292.663 anak perempuan menikah sebelum usia 16 dan 110.198 sebelum usia 15. Undang-Undang Perkawinan 1974 bertentangan dengan Undang-Undang Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang melarang perkawinan dibawah usia 18 tahun.

Pengantin anak memiliki kecenderungan tidak menyelesaikan pendidikan menengah enam kali lebih besar dibandingkan mereka yang menikah di usia kemudian, membatasi peluang karier dan keterampilan mereka serta meningkatkan risiko terhadap kekerasan rumah tangga dan perlakuan yang salah. Memastikan anak perempuan dapat menyelesaikan pendidikan 12 tahun telah terbukti efektif untuk menunda perkawinan.

Di penghujung kongres, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan akan membawa rekomendasi para ulama untuk menaikkan batas usia perkawinan dari 16 ke 18 ke Pemerintah.

Ibu Gunilla menyambut hangat dan mengatakan reformasi legal sangat vital untuk mengakhiri praktik ini. “Ini merupakan konfirmasi bahwa Indonesia memimpin implementasi agenda 2030,” ujarnya.

Indonesia berkomitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada 2030, yang salah satu targetnya adalah SDG 5.3 untuk menghapus semua praktik yang riskan bagi anak perempuan dan perempuan dewasa, termasuk perkawinan usia anak. Indonesia akan mempresentasikan kemajuan SDGs pada Forum Tingkat Tinggi PBB 2017 di New York pada bulan Juli.

“Dukungan dari pemuka agama sangat penting untuk mencapai target-target itu. UNICEF menyambut undangan untuk membahas hal ini lebih lanjut. Ketika seorang anak perempuan diberdayakan, semua orang memperoleh manfaatnya.” ungkap Ibu Gunilla.



Unicef.org, 28 April 2017

Sumber: https://www.unicef.org/indonesia/id/media_26375.html