Taradin

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Sikap ini berkelindan dengan 4 prinsip pernikahan yang lain, zawāj, mu’āsyarah bil ma’rūf, mīṡāqan ghalīdzan, musyawarah dan tarādin. Kelimanya harus senantiasa diusahakan untuk mencapai tujuan pernikahan.

Tarādin berasal dari akar kata radiya (رضي) rela. Kemudian dibentuk dengan wazn tafā’ala yang berfungsi lil musyārakah bayna al-isnaini faaksara/persekutuan timbal balik antara dua orang atau lebih. Kerelaan ini sarangnya dalam hati, tidak bisa diindra dan ditangkap oleh orang lain, karenanya, untuk menunjukkan rasa rela diperlukan sikap dan ucap yang mewakili, maka muncullah ijab qabul dalam pernikahan dan serah terima dalam jual beli sebagai simbol semua pihak telah saling rela.

Dalam pernikahan, tāradin ditunjukkan secara lisan pertama kali oleh suami istri saat prosesi ijab qabul. Selanjutnya saling rela ditunjukkan dengan perkataan atau sikap sepanjang  pernikahan. Secara mubadalah pilar ini tertuju pada kedua pihak, suami dan istri sekaligus. Perempuan berusaha memperoleh kerelaan suami dan sebaliknya, suami berusaha memperoleh kerelaan istri.

Sebagaimana tertera dalam Alquran surat Al-Baqarah:233, tentang keputusan menyapih anak;


فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِير [البقرة: 233]

Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawwaratan antara keduanya maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Baqarah [2]: 233)

Al-Quran menggunakan redaksi tarādin min humā/kerelaan dari keduanya, anak dan rumah tangga secara keseluruhan adalah milik suami istri, bukan salah satunya. Dengan demikian setiap pihak harus selalu berusaha memperoleh kerelaan dari yang lain sekaligus menumbuhkan rela dari diri sendiri untuk menerima kekurangan pasangan.

Hal yang Merusak Rida

Pernikahan dengan jual beli dalam hal keharusan menunjukkan sikap rela yaitu butuh serah terima (ijab-qabul) yang benar. Dalam jual beli sifat rela bisa dirusak dengan beberapa hal, diantaranya; paksaan, bercanda, pura-pura dan tipuan.  Sama halnya dengan pernikahan, kerelaan bisa sirna jika terjadi satu dari empat hal tersebut.

Pertama, al-Ikrāh atau Paksaan. Menurut Al-Bazdawī memaksa adalah keadaan menggiring orang lain untuk berbuat hal yang enggan dilakukan dengan mengancam/mengintimidasinya berdasar wewenang yang dimiliki[1]. Hal ini juga mungkin terjadi dalam pernikahan, tatkala satu pihak memaksakan kehendak pada anggota keluarga lainnya untuk melakukan sesuatu yang enggan orang itu lakukan. Alasannya klise, karena si pelaku/pemaksa merasa memiliki wewenang lebih tinggi dati pada orang lain.

Kedua, al-hazl atau main-main[2]. Al-hazl adalah berbicara/bersikap yang bukan makna aslinya dengan maksud untuk mempermainkan. Berbeda dengan al-mazh/bercanda yang konteksnya positif untuk membahagiakan.

Ketiga, al-Muwāḍa’ah/al-taljiah atau terpaksa melakukan sesuatu karena adanya intimidasi dari pihak yang lalim[3].

Keempat, at-taghrīr atau tipuan/tidak berkata jujur. Ibn Qudāmah menegaskan jika terjadi penipuan atau ketidakjujuran maka pembeli boleh memilih ingin melanjutkan akad atau membatalkannya[4]. Dalam hal pernikah juga begitu, jika sebelum menikah tidak terbuka/menutupi aib yang seharusnya diketahui oleh calon pasangan maka calon mempelai, baik lelaki atau wali perempuan dan anaknya boleh mengajukan pembatalan pernikahan (fasakh nikah) atau melanjutkannya.

Keempat sifat di atas sangat mungkin terjadi dalam relasi rumah tangga dan itulah yang dapat merusak kerelaan, minimal mengurangi kualitas kepercayaan. Maka jangan sampai ada paksaan, mempermainkan, intimidasi dan dusta dalam pernikahan jika tidak ingin muncul keretakan dan kesenjangan hingga jauh dari keluarga Sakinah, na’udzubillah.

Di sisi lain, memaksa, bermain-main, mengintimidasi dan menipu serta berdusta tidak sesuai dengan karakter pernikahan sebagai komitmen yang kokoh (mīṡāqan ghalīdzan).

Sekali lagi pernikahan sama dengan jual beli hanya untuk menunjukkan seorang perempuan dan keluarganya rela pada lelaki calon suaminya. Bukan sama secara keseluruhan, suami sebagai pembeli dan wali sebagai penjual, sementara perempuan adalah komoditasnya. Bukan, jelas itu tidak dikehendaki dalam Agama Islam. Lelaki dan perempuan adalah manusia merdeka secara utuh maka tidak bisa ditukar atau diperjualbelikan.


Penulis            : Nur Kholilah Mannan

Editor              : Nur Kholilah Mannan

Daftar Pustaka

Alauddīn al-Bukhārī, Kasyfu al-Asrār Syarhu Uṣūli al-Bazdawī, (T.t, Dar al-Kutub al-Islami: T.th)

Ibn ‘Ābidīn, ad-Durru al-Mukhtār, (Beirut, Dar al-kutub: 1992)

Ibn Qudāmah, al-Mughnī, (Kairo, Maktabah al-Qahirah: 1968)

Daftar Referensi

  1. ‘Alauddīn al-Bukhārī, Kasyfu al-Asrār Syarhu Uṣūli al-Bazdawī, (T.t, Dar al-Kutub al-Islami: T.th), 4/383.
  2. Ibn ‘Ābidīn, ad-Durru al-Mukhtār, (Beirut, Dar al-kutub: 1992), 6/131
  3. Ibn ‘Ābidīn, ad-Durru al-Mukhtār, (Beirut, Dar al-kutub: 1992), 5/275
  4. Ibn Qudāmah, al-Mughnī, (Kairo, Maktabah al-Qahirah: 1968), 4/160