Sri Wiyanti Eddyono
Sri Wiyanti Eddyono adalah akademisi, pengacara, peneliti, dan aktivis perempuan. Ia lahir pada tanggal 21 September 1973. Sekarang ia adalah dosen pada Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Sri Wiyanti Eddyono banyak memberikan sumbangsih dalam pengayaan bidang hukum untuk riset-riset dan kajian yang dilakukan oleh KUPI. Ia ikut hadir dalam pertemuan pra kongres untuk mendiskusikan metodologi musyawarah keagamaan KUPI. Dalam penyelenggaraan kongres, ia menjadi narasumber untuk diskusi parallel tema “Penghentian kekerasan seksual dalam perspektif ulama perempuan”.
Riwayat Hidup
Perempuan yang akrab dipanggil Iyik ini lahir dari pasangan suami istri yang berprofesi sebagai guru di Medan. Ia dan saudara-saudaranya dibesarkan dengan prinsip bisa hidup mandiri. Ayah dan ibunya tidak pernah membedakan pembagian tugas rumah tangga yang harus dikerjakan anak-anak mereka. Anak laki-laki atau perempuan memiliki peran yang sama, terutama untuk kecakapan bertahan, seperti memasak dan beberes. Saudara laki-laki Iyik terbiasa untuk berbelanja di pasar, menggiling cabai, atau memasak. Pun demikian dengan anak perempuan di keluarga Iyik. Tak ada perbedaan sama sekali.
Selain itu, Iyik beserta lima saudaranya memperoleh dukungan pendidikan yang baik dari kedua orangtua mereka. Meskipun berprofesi guru dengan penghasilan pas-pasan, orang tua Iyik tak segan untuk mengirim anak-anaknya ke perguruan tinggi. Lima orang anak, termasuk Iyik merantau ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu di UGM. Satu-satunya anak yang berkuliah di Medan adalah kakak tertua Iyik.
Iyik merasa bahwa ayah dan ibunya sangat menekankan pendidikan, khususnya untuk anak perempuannya. Sebab, di lingkungan mereka di Medan saat itu, sering dijumpai suami yang meninggalkan anak dan istrinya sehingga keadaan keluarga terguncang. Bahkan, ayah dan ibunya juga memiliki tanggung jawab mengurus saudara-saudara yang mengalami masa sulit karena kepergian salah satu orang tua.
Prinsip orang tua Iyik bahwa pendidikan itu penting juga tampak terlihat ketika Iyik akan menikah pada tahun 2004. Ayahnya meminta calon suami Iyik untuk berjanji akan mendukung dan tidak menghalangi Iyik jika ingin melanjutkan pendidikan. Dua pekan setelah menikah, Iyik terbang ke Hong Kong untuk studi master, sementara suaminya kembali ke tempat kerjanya di Timor Leste. Iyik dan suami baru bisa berkumpul saat keduanya menempuh pendidikan lagi di Australia.
Iyik menyelesaikan gelar sarjananya di Fakultas Hukum UGM (1991-1996). Gelar masternya ia peroleh dari Human’s Rights Program, Faculty of Law, University of Hong Kong (2004-2005). Sementara gelar PhD yang Iyik miliki didapat dari jurusan Politik dan Hubungan Internasional di School of Social Sciences, Faculty of Art, Monash University Australia (2012-2015).
Aktivisme Iyik dimulai sejak masih menempuh pendidikan di UGM. Pada tahun 1994, Iyik bergabung dengan Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA) Yogyakarta sampai tahun 1997. Pada tahun 1998-2001, Iyik menjadi pengacara di Urban Poor Consortium (UPC) dan menjadi pengacara di LBH APIK Jakarta pada tahun 1997-2003. Sebelum melanjutkan program master, Iyik bergabung dengan Komnas Perempuan pada tahun 2003-2004. Lalu, sekembalinya ke Indonesia, Iyik terpilih menjadi Komisioner Komnas Perempuan untuk periode 2007-2009. Pada tahun 2004-2011, Iyik menjadi peneliti dan konsultan gender, hukum, dan HAM di SCN Crest Jakarta.
Sebagai praktisi hukum, Iyik sering terlibat dalam penanganan kasus. Ia juga melakukan penanganan dan mengadakan program pelatihan penegak hukum, yaitu semacam lokalatih dengan pengacara, hakim, polisi, dan jaksa. Saat ini, Iyik menjabat sebagai ketua Pusat Kajian Hukum, Perempuan, dan Masyarakat UGM.
Saat ini, Iyik bersama suami dan kedua puteri mereka tinggal di Yogyakarta. Iyik dan keluarga memiliki hobi yang sama, yaitu berkebun, memasak, dan traveling.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Selama dua tahun pertama aktif di Komnas Perempuan sebelum melanjutkan studi ke Hong Kong, Iyik memimpin advokasi UU Penghapusan KDRT. Menurut Iyik, UU Penghapusan KDRT merupakan terobosan. Sebab, kekerasan di dalam rumah tangga masih dianggap wajar. Dan, apabila terjadi KDRT, tabu bagi korban untuk membuat laporan ke pihak kepolisian. Salah satu hal yang disoroti Iyik dalam isu KDRT adalah perkosaan dalam relasi perkawinan. Istilah ini sebelumnya tidak dikenal, tetapi setelah adanya UU Penghapusan KDRT, suami atau istri tidak bisa memaksa pasangannya untuk melakukan hubungan seksual. Jika hal itu terjadi, maka bisa dikategorikan sebagai pemerkosaan.
Saat menempuh pendidikan doktoral, Iyik tertarik untuk terjun ke dunia kampus. Bagi Iyik, pemahaman tentang hukum yang sensitif gender harus dimiliki sedini mungkin oleh para dosen dan juga mahasiswa. Pada tahun 2016, Iyik diterima sebagai dosen di Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM. Tak lama berselang, Iyik diberikan mandat untuk mengelola Magister Ilmu Hukum FH UGM. Sebelum mengajar di UGM, Iyik pernah memiliki pengalaman mengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia sebagai dosen tamu dan Collaborative Teaching pada tahun 1999 sampai 2007.
Bersama dengan dua belas dosen Fakultas Hukum UGM, Iyik mendirikan Pusat Kajian Hukum, Perempuan, dan Masyarakat di UGM. Pusat kajian tersebut memiliki visi untuk pengembangan keilmuan hukum dan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, keadilan gender, HAM, keberagaman, dan keberlanjutan lingkungan.
Ada tiga isu strategis yang dimiliki oleh Pusat Kajian Hukum, Perempuan, dan Masyarakat, yaitu penguatan wacana hukum kritis dan pengembangan keilmuan hukum, penyebarluasan gagasan toleransi, anti diskriminasi, dan nir kekerasan di kalangan civitas akademika dan masyarakat, penguatan akses perempuan dan kelompok rentan diskriminasi terhadap keadilan.
Baru-baru ini, Iyik juga masuk sebagai tim perumus Peraturan Rektor No 1 Tahun 2020 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Masyarakat UGM.
Di tengah-tengah kesibukannya, Iyik aktif dalam mendorong pembentukan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Menurut Iyik, setelah Indonesia memiliki UU Penghapusan KDRT, seharusnya juga memiliki regulasi tentang penghapusan kekerasan seksual. Menurut Iyik, dalam laporan Komnas Perempuan, data perempuan yang mengalami kekerasan seksual setiap tahunnya meningkat. Meskipun secara substansi pengaturan kekerasan seksual ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi sistem hukumnya belum melindungi korban. KUHP hanya mengatur perkosaan dan percabulan. Pelecehan seksual secara eksplisit tidak disebutkan di dalamnya. Kekerasan seksual juga secara parsial dibahas dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur penyebaran konten asusila. Juga diatur pada UU Pornografi, tetapi sayangnya dalam UU ini, perempuan lebih sering disudutkan. Sehingga, Indonesia butuh satu UU yang mengatur secara rinci kekerasan seksual. Oleh karenanya, RUU PKS perlu untuk disahkan oleh DPR dan pemerintah.
Menurut Iyik, salah satu kendala sulitnya menyelesaikan RUU PKS karena kekerasan seksual telah menjadi budaya. Selain itu, menurut Iyik, kekerasan seksual kerap dianggap sebagai hal yang biasa saja, tidak dianggap sebagai salah satu kejahatan, sehingga lebih sering ditoleransi. Lebih lanjut, menurut Iyik, Kekerasan seksual, menurut Iyik, lebih dianggap sebagai pelanggaran moral, bukan sebagai kejahatan hukum. Hal lain membuat RUU PKS ini sulit untuk dicapai adalah adanya pandangan dari kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama bahwa RUU ini merupakan produk liberal.
Selain menjadi praktisi hukum dan mengajar, Iyik aktif melakukan penelitian. Sejak tahun 2004 ia telah melakukan berbagai penelitian tentang pemberdayaan perempuan dan gerakan perempuan di Indonesia dalam konteks yang berbeda. Pada tahun 2004-2011, Iyik tercatat sebagai peneliti dan konsultan gender, hukum dan HAM di SCN Crest Jakarta.
Prestasi/Penghargaan
Iyik menerima Allison Sudradjat Award (ASA), sebuah penghargaan yang didanai oleh Pemerintah Australia. Iyik menggunakan penghargaannya untuk melakukan penelitian tentang keberlanjutan LSM untuk pemberdayaan perempuan dalam mencegah penggusuran (2015-2016).
Karya-Karya
Sebagai seorang akademisi, Iyik banyak menulis dan melakukan riset. Di antara riset yang ia kerjakan adalah Research Project Consortium on Women Empowerment in Muslim Context (WEMC), studi banding China, Indonesia, Pakistan, dan Iran, pada 2006-2010.
Pada 2013-2015, Iyik pernah mengoordinasikan penelitian di Indonesia di bawah projek penelitian “When and Why Do States Respond to Women’s Claims: Understanding Gender-Egalitarian Policy Change in Asia, a Comparative Study on India, Indonesia, and China under (UNRISD).
Pada tahun 2016, Iyik melakukan penelitian Pencegahan Konflik dan Penanggulangan Fundamentalisme Melalui Pemberdayaan Perempuan dan Mobilisasi Masyarakat Sipil di Indonesia. Penelitian ini dilakukan Iyik bersama Prof Jacqui True dan Dr. Swati Parashar dari Monash University.
Iyik juga melakukan riset bersama dengan Migran Care untuk isu perlindungan pekerja. Bersama dengan IOM, Iyik melakukan penelitian tentang perdagangan orang.
Di antara karya tulis Iyik adalah:
- Women's Empowerment in Indonesia, A Poor Community in Jakarta, (Routledge, 2019)
- The oxford handbook of women, peace, and security, (Oxford University Press, 2018)
- Preventing Violent Extremism–What Has Gender Got to Do With It? (European Psychologist, 2021)
- Kekerasan Seksual di Kampus, (Harian Kompas, November 21, 2018)
- RUU Hukum Pidana dan Perlindungan Bagi Korban kekerasan Berbasis Gender, (Jurnal Perempuan, May 1, 2018)
- Kertas Kerja: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja (https://rispub.law.ugm.ac.id, 2020)
- Women's Empowerment in Indonesia dan Womens Rule in Preventing Radicalisme, (2018)
Bahan Bacaan Lanjutan
Penulis | : | Nur Hayati Aida |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |