Sitti Sagirah

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Sitti Sagirah
SittiSagirah.jpg
Tempat, Tgl. LahirSulawesi Selatan, 31 Desember 1967
Aktivitas Utama
  • Pimpinan Pondok Pesantren Muslimin Indonesia Center (MIC) Samarinda, Kalimantan Timur.
  • Dosen Tafsir dan Ulumul Hadis STIT Ibnu Rusyd, Paser.
  • Dosen Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah UINSI.
  • Dosen pascasarjana UINSI Samarinda, Kalimantan Timur.
  • Ketua Majlis Ta’lim Baitul Muttaqin Islamic Center Samarinda, Kalimantan Timur.
Karya Utama
  • Penulis artikel jurnal berjudul Sumber Kelemahan Umat Islam (Fikruna: Jurnal Ilmiah Kependidikan dan Kemasyarakatan, 2021).

Sitti Sagirah lahir di Tancung Wajo, Sulawesi Selatan pada 31 Desember 1967. Ia  adalah pimpinan di Pondok Pesantren Muslimin Indonesia Center (MIC) Samarinda, Kalimantan Timur. Ia juga merupakan dosen prodi tafsir dan ulumul hadis di beberapa perguruan tinggi seperti Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ibnu Rusyd Grogot Kabupaten Paser, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah UINSI, serta pascasarjana UINSI Samarinda, Kalimantan Timur.

Dosen dengan segudang pengalaman ini menjadi bagian dari International Conference di Semarang dan juga Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-2 tahun 2022 yang berlangsung di Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara, Jawa Tengah sebagai peserta. (Bagaimana ia mengenal KUPI dan bagaimana ia terlibat atau bagaimana pandangannya mengenai KUPI)

Riwayat Hidup

Sitti Sagirah menetap bersama suami dan anak-anaknya di Bukit Pinang, Samarinda Ulu, Samarinda, Kalimantan Timur. Pada tahun 1976, ia memulai sekolahnya di Madrasah Ibtidaiyah (MI) As’adiyah Tae Tempe dan lulus pada tahun 1981. Ia melanjutkan ke jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Madrasah Tsanawiyah As’adiyah Putri II Pondok Pesantren As’adiyah Pusat Sengkang dari tahun 1981 hingga tahun 1984. Sedangkan jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) ia tamatkan di pondok pesantren yang sama ketika ia SLTP, yakni Madrasah Aliyah Putri As’adiyah Pondok Pesantren As’adiyah Pusat Sengkang dan lulus pada tahun 1987. Setelah lulus SLTA, ia mengajar di Madrasah Tsanawiyah As’adiyah sembari melanjutkan pendidikan S1.

Sagirah melanjutkan studi S1 Fakultas Ushuluddin dengan program studi Aqidah Filsafat di Institut Agama Islam As’adiyah Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang dari tahun 1987 hingga 1994. Setelah itu, pada tahun 1999 ia mengambil magister (S2) Dirasah Islamiyah (Studi Islam) konsentrasi Tasfir Hadis di IAIN Alauddin Makassar dan menyelesaikan tesisnya pada tahun 2001. Selagi melanjutkan tesis, Sagirah dipanggil oleh orang tua untuk dinikahkan dengan sepupunya sendiri (Bagaimana ia merespon?). Ketika rampung S2 pada tahun 2002, ia memutuskan untuk pindah dari Sulawesi ke Samarinda, Kalimantan Timur (WHY). Ia melanjutkan program doktor (S3) dengan mengambil prodi Studi Islam konsentrasi Hadis pada tahun 2015 di UIN Alauddin Makassar dan merampungkan disertasi pada 2019.

Selain mengajar,  Sitti Sagirah juga aktif dalam melakukan kegiatan organisasi. Pada tahun 1994-1996 ia terlibat dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Selatan dalam mengembangkan pendidikan kader ulama dengan berkonsentrasi pada kajian kitab kuning dan studi Islam. Semasa muda, Sagirah pernah menjadi pimpinan cabang Ikatan Putra-Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) cabang Kabupaten Wajo era 1987-1991. Ia juga aktif mengikuti kegiatan di Fatayat NU cabang Kabupaten Wajo, RMI NU wilayah Kalimantan Timur, Muslimat NU Kalimantan Timur, dan menjadi ketua  di Majlis Ta’lim Baitul Muttaqin Islamic Center Samarinda, Kalimantan Timur.

Tokoh dan Keulamaan

Semasa kuliah, Sagirah telah akrab dengan isu-isu perempuan dan gender. Terlahir dari keluarga pesantren, membuat ia aktif dalam berbagai kegiatan keperempuanan seperti IPPNU, Fatayat, dan juga Muslimat NU. Relasi dengan berbagai masyarakat dan pengalaman mengajar sejak remaja membuat Sagirah mengetahui banyak problematik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, khususnya gender dan perempuan. Dengan kemampuannya di bidang ilmu hadis, ia mulai mempelajari hadis yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan dalam Islam. Ia juga rutin memberikan kajian kepada para jamaahnya di Majlis Ta’lim Baitul Muttaqin Islamic Center Samarinda, Kalimantan Timur.

Menurutnya, teks-teks mengenai larangan perempuan untuk memimpin tak boleh dijadikan acuan. Harus ada pendekatan-pendekatan yang dipakai agar hadis tersebut tidak mudah dikonsumsi mentah-mentah oleh masyarakat awam. Dengan keahliannya dalam bidang hadis inilah, Sagirah memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya menelaah ulang mengenai hadis yang ada. Ia menambahkan bahwa mungkin era dulu perempuan dianggap tidak pintar sehingga mustahil untuk menjadi pemimpin. Namun realita sekarang menjawab sebaliknya. Banyak perempuan-perempuan pintar yang lahir dan mampu memimpin umat untuk menuju kemaslahatan sama seperti pemimpin laki-laki.

Awal perkenalan pertama dengan KUPI terjadi ketika Sagirah ditelepon oleh temannya yang berasal dari Banjarmasin. Pada perhelatan KUPI 1 di Cirebon, ia tidak mengetahui gerakan tersebut. Ketika Mariatul Asyad dan ketua MUI setempat merekomendasikannya untuk mengikuti KUPI, ia pun merasa tertarik dan sangat antusias. Menurutnya, dengan mengikuti kegiatan KUPI ini menjadi ladang silaturahmi dan berbagi ilmu. Ia juga menambahkan bahwa alasan untuk menolak paham-paham yang bias gender masih terbatas, namun dengan mengikuti kongres, maka akan bertambah pula wawasan mengenai pengetahuan tersebut.

Sebagai perempuan yang bergerak di bidang pendidikan dan dakwah, Sagirah menyadari bahwa perlu mengikuti KUPI untuk memperjuangkan dan mendampingi umat, khususnya perempuan dalam melaksanakan kewajiban dan mendapatkan haknya. Isu yang diperdalamnya ketika mengikuti KUPI adalah mengenai perlindungan perempuan dari bahaya pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP). Isu ini sangat relevan dengan kultur masyarakat di mana Sagirah tinggal sehingga menjadi acuan untuknya melakukan jihad dan meluruskan pemahaman atau tradisi yang merugikan bagi kaum perempuan.

Berangkat dari pengalaman pribadi dan perempuan-perempuan di sekitar tempat tinggalnya yang mengalami P2GP, Sagirah mencoba meluruskan tradisi tersebut melalui bidang yang ia geluti, yakni beberapa pendekatan hadis yang relevan dengan P2GP. Khitan perempuan merupakan hal yang lumrah terjadi di daerahnya bermukim, yakni Kalimantan Timur. Bahkan rata-rata perempuan di sana mengalami khitan. Padahal, jika ditilik dari sudut pandang yang berbeda, khitan perempuan ini bisa membahayakan bagi kesehatan perempuan itu sendiri.

Sagirah konsisten menyiarkan perihal pengkajian ulang mengenai teks-teks hadis yang menyuruh untuk khitan bagi perempuan. Karena jauh dari masa sekarang, khitan memang sudah ada bahkan sebelum zaman Rosulullah saw. Namun narasi tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan hukum dari khitan, apakah haram, sunah, atau wajib. Oleh sebab itu, Sagirah mencoba memberikan pemahaman mengenai khitan ini tidak hanya dilihat dari satu sisi saja, namun lihat pula sisi lain seperti dalam bidang kesehatan yang bisa membahayakan perempuan. Karena menurutnya menolak mudhorat lebih diutamakan dari apa pun.

Dakwahnya dalam meluruskan pemahaman mengenai khitan perempuan ini tidaklah berjalan dengan mulus. Banyak masyarakat yang menolak gagasan tersebut. Kentalnya adat istiadat dan budaya di masyarakat Kalimantan dan Sulawesi membuat dakwahnya susah diterima oleh masyarakat. Namun ia tetap mencoba untuk memberikan pemahaman mengenai khitan perempuan. Ia menjelaskan bahwa khitan perempuan ini merupakan bentuk tradisi. Tradisi ini tidak hanya bertentangan dengan kesehatan karena membahayakan perempuan, namun juga dengan agama. Karena agama menolak semua bentuk keburukan yang ada di bumi.

Tak hanya penolakan dari masyarakat awam, kalangan akademisi dan penceramah  yang tidak sepikiran dengannya pun melakukan penolakan yang sama kerasnya. Bahkan banyak dari mereka yang melakukan kampanye gratis mengenai khitan perempuan ini agar masyarakat meneruskan tradisi yang sudah ada. Namun semua hal tersebut bukanlah penghalang bagi Sagirah untuk terus berjihad. Baginya, memutus semua pemahaman dan mindset mengenai khitan perempuan ini harus dilakukan dengan pendekatan-pendekatan yang halus agar masyarakat bisa berubah.

Ia juga menyiarkan pemahaman mengenai khitan perempuan ini dalam kegiatan ceramah dan pembelajaran di kampus. Ia menugaskan para mahasiswanya untuk mengkaji mengenai hadis-hadis yang relevan dengan isu yang berkaitan dengan bias gender. Hal tersebut dilakukan agar para mahasiswa yang diampunya memahami tentang problematik bias gender yang masih menjadi topik sensitif di tengah masyarakat.

Hadirnya KUPI seakan membawa angin segar bagi Sagirah untuk tetap menyiarkan dakwahnya mengenai pemahaman yang bias gender dan tradisi khitan perempuan yang masih ada hingga kini. Isu tentang pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP) di daerahnya menjadi suatu tradisi yang susah untuk dihilangkan. Namun dengan adanya KUPI ini, ia mendapatkan pemahaman baru dan pengalaman yang sama dari perempuan lain mengenai khitan perempuan. Hal tersebut menjadi pemantik bagi Sagirah untuk terus berjihad agar keadilan bagi perempuan dapat ditegakkan.

Karya-Karya

Pengabdiannya terhadap kemaslahatan umat merupakan prestasi terbesar yang sudah ditorehkan oleh Sagirah. Mengabdi selagi muda, ia sudah menjelma sebagai sosok yang konsisten dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di daerahnya terkait dengan tradisi khitan perempuan (P2GP) melalui pendekatan atau tafsir hadis yang telah ia pelajari. Selain itu, Sagirah juga pernah mempublikasikan karya tulis yang berjudul Sumber Kelemahan Umat Islam (Fikruna: Jurnal Ilmiah Kependidikan dan Kemasyarakatan, 2021).

Daftar Bacaan Lanjutan


Penulis : Siti Nur Azizah
Editor :
Reviewer :