Roudlatul Jannah
Nyai Hj. Roudlatul Jannah yang lahir di Cirebon, 12 Februari 1957 adalah pengasuh Pesantren Ass-Sai’idiyyah Gedongan, Kab. Cirebon. Selain sebagai pengasuh pesantren, Nyai Roudloh aktif sebagai pengusaha, petani, dan sekaligus penggerak di berbagai organisasi yang fokus pada pemberdayaan perempuan dan anak. Pada saat KUPI 2017 di Pesantren Kebon Jambu, ia hadir sebagai peserta.
Riwayat Hidup
Nyai Roudloh merupakan anak dari KH. Imam Dimyati bin Kiai Dimyati dan Nyai Hj. Maemunah. Ia menikah dengan KH Abu Bakar Muhtarom dan dikaruniai 3 anak, yakni Muhammad Syarofil Anam, Lihayati dan Muhammad Faiz.
Nyai Roudloh mengenyam pendidikan formal di SDN Gedongan. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan di Pesantren Gedongan Cirebon, Pesantren Darul Hikmah Bojonegoro, Pesantren Lirboyo, dan Pesantren Buntet Cirebon.
Setelah menikah, sekitar tahun 1977, Nyai Roudloh dan keluarga kecilnya tinggal di Tolitoli, Sulawesi Tengah. Selama 10 tahun di tanah rantau, ia merintis majelis taklim dan mendirikan pendidikan agama Islam untuk anak-anak di Tolitoli. Selain itu, di Sulawesi ia juga sempat mengajar di Perguruan Al-Khaeraat. Setelah majelis taklim dan pendidikan agama Islam untuk anak-anak semakin besar dan diminati masyarakat, Nyai Roudloh akhirnya memutuskan untuk tidak lagi mengajar di Al-Khaeraat. Di rumahnya itulah kegiatan pembelajaran Islam dilakukan sehabis zuhur dan maghrib. Selama di Sulawesi ia juga aktif dalam organisasi Nasiatul Aisyiyah.
Selain aktif dalam memberikan pendidikan keagamaan kepada masyarakat dan berorganisasi, selama berada di Sulawesi, Nyai Roudloh juga rajin berkebun dan membangun usaha cengkeh. Sejak kecil, ia selalu diajarkan bapaknya, Kiai Imam untuk bertani. Kiai Imam tak pernah ragu mengajarkan Roudloh kecil, meskipun perempuan, untuk pergi ke kebun jagung dan mengajarkan caranya bertani jagung, singkong, padi, dan lain sebagainya. Kiai Imam mengajari anaknya tentang masa tanam yang baik, pengelolaan air, dan cara memelihara tanaman. Pengetahuan dan pendidikan itu yang membuat Nyai Roudloh selalu bergelut dengan dunia pertanian dan usaha. Tangannya tidak pernah lepas dari lumpur sawah dan tanah kebun.
Pada sekitaran tahun 1980, karena suatu hal, Nyai Roudloh dan keluarga akhirnya memutuskan untuk kembali lagi ke Cirebon dan menetap di daerah suaminya, Gedongan. Hal pertama yang ia lakukan pada tahun-tahun pertama pindah adalah menemukan sumber penghidupan. Dia pun kembali lagi bekerja dengan berjualan apa saja. Ia berkeliling ke pelosok-pelosok kampung dan tak malu menjajakan barang dagangannya. Bagi Nyai Roudloh bekerja apa pun baginya akan dilakukan agar hidup bisa mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain.
Ia masih ingat pesan KH. Mahrus Ali Lirboyo kepadanya agar tidak bergantung, termasuk kepada santri dan orangtuanya. Pesan dari Kiai Mahrus itulah yang terus mendorong Nyai Roudloh untuk ikhlas dan lapang dengan tidak mengharapkan materi dari para santrinya, hingga sekarang.
Pesan Kiai Mahrus kepada Nyai Roudloh: “Kowe ojo mulih siek, yok. Mulih ne awakmu wis duwe modal, wis duwe tanah, wis iso kanggo mangan kuwe mulih, terus ngedekne pesantren Kyai Sa’id, ben mengko ora tomak kalian santri.” (Kamu jangan pulang dulu, ya. Kamu pulang kalau sudah punya modal, tanah, dan sudah bisa makan sendiri. Terus membesarkan pesantren Kiai Said (Gedongan). Biar nanti tidak tamak (mengharap secara berlebihan) kepada santri.”
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Setelah sempat kembali lagi ke Sulawesi pada 1981, pada 1985 akhirnya Nyai Roudloh benar-benar mantap untuk menetap di Gedongan. Ia diminta bapaknya untuk meneruskan perjuangan orangtua mengurus santri dan pertanian. Pada tahun ini pula Nyai Roudloh memulai perjalanannya bersama organisasi pergerakan. Ia bergabung bersama Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) dengan menjadi Sekretaris Cabang. Ia juga aktif di Aisiyah.
Jiwa kemanusiaan Nyai Rodhoh terus tumbuh. Ia menjual semua barang-barangnya di Sulawesi dan membelikan mesin jahit untuk mengajari warga sekitar menjahit secara cuma-cuma. Karena keuletannya dalam dunia pertanian, ia juga menjadi anggota asosasi petani dan mengurus bagian ekspor-impor di Jawa Barat pada periode 1985-2004. Dari kiprahnya di asosiasi tersebut, Nyai Roudloh bisa membantu masyarakat, terutama petani dan pedagang kecil untuk menyalurkan barang komoditi mereka. Ia membantu mereka agar tidak terjamah tangan para tengkulak dan mendapatkan harga yang pantas. Mulai dari pengusaha kecil tahu tempe, petani garam, petani tebu, dan lainnya bisa diakomodasinya dengan baik ke perusahan atau koperasi yang membutuhkan barang-barang kebutuhan tersebut. Nyai Roudloh berperan sebagai penyambung, perantara, dan negosiator di antara para petani dan industri.
Nyai Rodhoh juga terlibat aktif dalam gerakan Maternal Neonatal Health (MNH) di Jawa Barat pada 2001 hingga 2004. Gerakan yang fokus pada upaya menurunkan angka kematian ibu dan keluarga berencana ini kemudian dia bawa ke kabupaten Cirebon.
Pengalaman hidup Nyai Roudloh mendorongnya untuk terus berjuang meningkatkan derajat dan kesejahteraan perempuan. Masih hangat dalam ingatan sewaktu sekolah di SD, pada masa itu, hanya dia perempuan satu-satunya di daerahnya yang bersekolah di bangku formal. Bapaknya adalah orang yang sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Kiai Imam sampai mengundang guru les untuk datang ke rumahnya, untuk mengajar anak-anaknya. Akan tetapi yang mendapat les hanya anak laki-laki saja. Kenyataan itu membuat perasaan Roulhoh kecil meronta-ronta. Jiwa pemberontakannya pun muncul. Setiap guru les datang, dia sudah lebih dulu ngumpet di kolong meja. Sehingga setiap les itu diberikan untuk kakak laki-lakinya, Nyai Roudloh bisa mengikuti semua pelajarannya.
Diskriminasi terhadap perempuan, dengan menomorduakan pendidikan mereka, amat membekas di hati Nyai Roudloh. Ia pun tidak ingin anak-anaknya, santrinya, dan masyarakat mengalami diskriminasi seperti yang dulu pernah dialaminya. Meskipun ayahnya, Kiai Imam adalah sosok yang sangat memperhatikan pendidikan perempuan, bisa dilihat misalnya dari anak perempuannya yang disekolahkan ke SD, akan tapi Nyai Roudloh masih melihat adanya diskriminasi terhadap perempuan. Selain menyekolahkan anak perempuannya, pada tahun 1960-an, Kiai Imam juga sempat merintis madrasah lil banat, akan tetapi keberadaan madrasah sudah tidak ditemukan saat ini.
Nyai Roudloh juga salah satu nyai yang merintis dan ikut dalam pelatihan-pelatihan untuk para kiai dan nyai di Cirebon pada tahun-tahun awal Fahmina Institute berdiri, pada tahun 2000-an awal. Ia mengatakan bahwa dirinya sangat setuju dengan ide kesetaran gender karena ia sendiri pernah mengalami ketimpangan dan ketertindasan tersebut secara langsung.
Nyai Roudloh sangat aktif dalam berorganisasi di antaranya dia juga pernah menjadi Ketua Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Jawa Barat. BKMT bersama gerakan MNH dan Fatayat pernah membuat acara kolosal dalam mengkampanyekan penurunan angka kematian ibu dan keluarga berencana yang dihadiri ribuan orang. Sebagai perempuan, Nyai Roudloh banyak mendapatkan pertanyaan terkait kemampuannya termasuk dalam berorganisasi. Akan tetapi, semua keberhasilannya membuktikan hal sebaliknya. Bahwa perempuan juga mampu melakukan hal-hal yang luar biasa.
Sejauh pengalaman Nyai Roudloh, penjegalan yang yang ia alami karena perbedaan pendapat dan pemikiran biasanya dilakukan oleh para laki-laki. Termasuk konflik dan dinamika di dalam organisasi, menurutnya laki-laki selalu menjadi batu sandungan bagi perempuan. Tidak semua laki-laki memang, tapi dasar legitimasi dan oknum yang berusaha menjegal selalu mereka.
Nyai Roudloh juga berkeyakinan bahwa untuk mengangkat isu kesetaraan gender, kita harus melakukan kerja-kerja lintas organisasi. Sehingga lembaga apa pun harus didekati dan diberdayakan untuk keberhasilan mengangkat derajat kaum perempuan. Saat menjadi Ketua BKMT, banyak orang di lingkungan organisasinya dan kalangan masyarakat menolak sikap dan keputusannya. Akan tetapi, Nyai Roudloh tetap berpegang pada pendiriannya.
Nyai Roudloh juga aktif di Bina Balita sejak tahun 1986—2004, dan Dewan Masjid Indonesia (DMI) sejak tahun 1989 hingga 2004 di bidang pengasuhan anak. Ia juga masih aktif di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Cirebon 2018-sekarang. Menjadi Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari tahun 2002-2012, pengurus PW Fatayat tahun 1996-2001, juga aktif menjadi pengurus di Forum Cirebon Kabupaten Sehat dari 2001-sekarang. Ia pernah meraih Juara 1 Keluarga Sakinah tingkat Jawa Barat tahun 2009.
Pada saat gelaran KUPI 2017 di Pesantren Kebon Jambu, Nyai Roudloh hadir sebagai peserta. Ia sangat mengapresiasi acara tersebut. Suara-suara perempuan, di dalam forum tersebut dilantangkan dengan bebas. Sehingga tidak ada lagi diskriminasi terhadap perempuan, utamanya dalam memandang pendidikan untuk semua. Tidak hanya mengutamakan laki-laki, tapi pendidikan juga sangat penting untuk perempuan.
Satu hal yang menurutnya perlu untuk diperjuangkan untuk masa-masa mendatang yakni tentang pendamping haji perempuan. Sepanjang pengalamannya, jamaah haji perempuan tidak mendapatkan pendampingan dan pelayanan yang baik selama berada di tanah suci. Mengingat kebutuhan dan kondisi fisik, fisiologis, maupun psikis perempuan, amat berbeda dengan laki-laki. Misalnya adalah tentang kondisi kesehatan reproduksi perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Sementara petugas haji dari Indonesia kebanyakan adalah perempuan. Hal ini berbanding terbalik dengan presentasi jumlah ibadah haji perempuan yang jauh lebih banyak dibandingkan jamaah laki-laki.
Penulis | : | Asih W |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |