Rahima Ajak Jejaring Ulama Perempuan Indramayu Cegah Perkawinan Anak
Info Artikel
Sumber Original | : | KUPI |
Penulis | : | TIM KUPI |
Tanggal Terbit | : | 20 September 2024 |
Artikel Lengkap | : | Rahima Ajak Jejaring Ulama Perempuan Indramayu Cegah Perkawinan Anak |
KUPI.OR.ID – Perhimpunan Rahima bersama Lakpesdam PBNU dan Inklusi gelar konsolidasi ulama perempuan untuk pencegahan perkawinan anak di Indramayu, Hotel Grand Trisula, Kabupaten Indramayu pada Kamis, 19 September 2024.
Konsolidasi ulama ini dihadiri 16 orang perwakilan dari jaringan ulama perempuan, Lakpesdam, Fatayat NU dan LKKNU. Serta perwakilan dari empat desa Lamaran Tarung, Panyingkiran Lor, Panyindangan Kulon dan Terusan.
Penyelenggaraan kegiatan konsolidasi ulama perempuan untuk pencegahan perkawinan anak di Indramayu ini diharapkan menjadi penguat jejaring Ulama Perempuan KUPI dan Rahima. Serta mitra Lakpesdam dan program Inklusi di Indramayu.
Selain untuk memperkuat jejaring, konsolidasi juga sebagai upaya untuk memetakan peluang dan tantangan pencegahan perkawinan anak di desa Lamaran Tarung, Panyingkiran Lor, Panyindangan Kulon dan Terusan.
Lebih dari itu, para peserta juga diajak oleh fasilitator, Direktur Rahima Pera Soparianti dan Pimred Mubadalah.id Zahra Amin untuk menyusun strategi bersama untuk upaya pencegahan perkawinan anak di desa tersebut. Juga termasuk di komunitas Ulama Perempuan Indramayu.
Seperti diketahui, perkawinan anak memiliki banyak dampak negatif (mudharat) bagi anak, terutama pada anak perempuan.
Dampak Perkawinan Anak
Menurut Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia (2015), perkawinan usia anak membawa dampak bagi anak perempuan, bagi anak-anak yang mereka lahirkan, dan bagi masyarakat. Dampak perkawinan bagi anak perempuan:
Pertama, perkawinan anak mengancam jiwa. Anak perempuan yang berusia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal pada saat kehamilan dan persalinan, daripada perempuan berusia 20-24 tahun. Secara global, kematian anak perempuan berusia 15-19 tahun akibat kehamilan di usia anak.
Kedua, perkawinan anak membuat anak perempuan menjadi putus sekolah. Berdasarkan laporan Plan Internasional, 85% anak perempuan di Indonesia mengakhiri pendidikan mereka setelah mereka menikah. Namun, keputusan mereka untuk menikah dan mengakhiri pendidikan juga akibat karena kurangnya kesempatan kerja di Indonesia.
Ketiga, yaitu gangguan psikologis. Berbagai kajian memaparkan bahwa anak perempuan yang menikah di usia anak berisiko tinggi untuk mengalami kecemasan, depresi, atau memiliki pikiran untuk bunuh diri. Hal ini terjadi sebagian karena tidak memiliki status, kekuasaan, dukungan dan kontrol atas kehidupan mereka sendiri.
Keempat, anak perempuan rentan mengalami kekerasan. Kajian lainnya juga menunjukkan bahwa pengantin anak memiliki risiko yang besar untuk mengalami kekerasan fisik, seksual dan psikologis. Serta isolasi sosial.
Hal ini merupakan akibat dari kurangnya status dan kekuasaan mereka di dalam rumah tangga. Mereka juga kurang mampu untuk bernegosiasi dalam hubungan seks aman, sehingga meningkatkan kerentanan mereka terhadap infeksi menular seksual seperti HIV.
Oleh sebab itu, konsolidasi ini, bagi Rahima bersama Lakpesdam PBNU dan Inklusi menjadi sangat penting. Bahkan pihaknya mengajak jejaring ulama perempuan Indramayu, stakeholders dan lembaga perempuan untuk membahas mengenai pencegahan perkawinan anak. []