Pandangan Fikih terhadap Ibadah Penyandang Disabilitas
Artinya: Tidak ada halangan bagi penyandang disabilitas netra, tidak (pula) bagi penyandang disabilitas daksa, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumahmu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat dan kebaikan. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. (QS. An-Nur ayat 61)
Ayat di atas secara eksplisit menegaskan kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dan mereka yang bukan penyandang disabilitas. Mereka harus diperlakukan sama dan diterima dengan tulus, tanpa diskriminasi, serta tanpa stigma negatif dalam kehidupan sosial, sebagaimana penjelasan Syaikh Ali As-Ṣabūnī dalam Tafsīr Āyāt al-Ahkām berikut:
Substansi firman Allah Ta’ālā ini (Surat An-Nūr: 61) adalah bahwa tidak ada dosa bagi orang-orang yang punya uzur dan keterbatasan (disabilitas netra, daksa, dan orang sakit) untuk makan bersama non-disabilitas, sebab Allah Ta’ālā membenci kesombongan dan orang-orang sombong. Allah menyukai kerendahhatian dari para hamba-Nya.
Bahkan dari penafsiran ini menjadi jelas bahwa Islam mengecam sikap dan tindakan diskriminatif terhadap para penyandang disabilitas. Terlebih diskriminasi yang berdasarkan kesombongan dan jauh dari akhlāqulkarīmah. Dalam al-Qur’an dikisahkan perihal interaksi Nabi Muhammad yang dianggap kurang ideal dengan seorang sahabat penyandang disabilitas netra sehingga Allah menegurnya dalam firmannya berikut:
“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling. Karena seorang disabilitas netra telah datang kepadanya. Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali ia ingin menyucikan dirinya (dari dosa). Atau ia ingin mendapatkan pengajaran yang memberi manfaat kepadanya. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (para pembesar Quraisy), maka engkau (Muhammad) memperhatikan mereka. Padahal tidak ada (cela) atasmu kalau ia tidak menyucikan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sementara ia takut kepada Allah, engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu). Sungguh (ayat-ayat/ surat) itu adalah peringatan. …” (QS. ‘Abasa ayat 1-11)
Para mufassir meriwayatkan bahwa QS. ‘Abasa turun berkaitan dengan salah seorang sahabat penyandang disabilitas, yaitu Abdullāh ibn Ummi Maktūm. Beliau mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk memohon bimbingan Islam. Namun diabaikan sebab Nabi sedang sibuk mengadakan rapat bersama petinggi kaum Quraisy tentang hal yang sebenarnya memang merupakan prioritas sebab melibatkan nasib kaum muslimin secara umum. Kemudian, turunlah Surat ‘Abasa di atas kepada beliau sebagai peringatan agar beliau lebih memperhatikannyadaripada para pemuka Quraisy itu. Sejak saat itu, Nabi Muhammad SAW sangat memuliakan Ibnu Ummi Maktum dan bila menjumpainya langsung menyapa dengan kalimat:
مَرحَْبًا بمَِنْ عاَتبَنَِ فيِهِ رَبِّ
“Selamat berjumpa wahai orang yang karenanya aku telah diberi peringatan oleh Tuhanku.”
Semakin jelas, melihat asbābun nuzūl (sebab turun) QS. ‘Abasa, Islam sangat memperhatikan penyandang disabilitas, menerimanya setara sebagaimana manusia lainnya dan bahkan memprioritaskannya. Dalam Hadis Abu Daud disebutkan:
“Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh seseorang niscaya punya suatu derajat di sisi Allah yang tidak akan dicapainya dengan amal, sampai ia diuji dengan cobaan di badannya, lalu dengan ujian itu ia mencapai derajat tersebut” (HR.Ibnu Abi Syaibah).
Hadis ini memberi pemahaman bahwa di balik keterbatasan fisik terdapat derajat yang mulia di sisi Allah SWT. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menjadikan keterbatasan tersebut sebagai kekurangan, tapi justru sebagai tangga bagi ketercapaian derajat yang tinggi. Senada dengan itu, hadis berikut ini mengabarkan kemuliaan bagi penyandang disabilitas netra:
Allah berfirman, “Siapa yang aku hilangkan kedua penglihatannya, kemudian dia bersabar dan meminta pahala, maka aku tidak rela kalau dia mendapat pahala selain surga.”
Hasil penjabaran berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis menunjukkan bahwa Islam menghargai hak-hak penyandang disabilitas dalam beribadah. Islam menghargai hak penyandang disabilitas dengan pandangan penyetaraan seluruh umat manusia, sedangkan hal yang membedakan hanya tingkat ketakwaan.
Dalam sudut pandang fiqhiyyah, penyandang disabilitas tetap dibebani kewajiban menjalankan kewajiban syariat (taklīf) selama akal mereka masih mampu bekerja dengan baik. Tentunya pelaksanaan kewajiban itu dengan mempertimbangkan kondisi. Penyandang disabilitas diperbolehkan menjalankan kewajiban sesuai dengan batas kemampuan dengan tanpa mengurangi nilai keutamaan ibadah sedikit pun. Lebih spesifik Al-Quran, Hadis, dan pendapat para ulama secara tegas menyampaikan pembelaan terhadap penyandang disabilitas:
لَيْسَ عَلَى الْاَعْمٰى حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْاَعْرَجِ حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْمَرِيْضِ حَرَجٌ ۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ يُدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ ۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّ يُعَذِّبْهُ عَذَابًا اَلِيْمًا ࣖ
Tiada dosa atas penyandang disabilitas netra dan daksa dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang di bawahnya sungai-sungaimengalir dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih. (QS. Al-Fath ayat 17)
Allah SWT. memberikan kemudahan bagi umat manusia dalam beribadah. Ketika dia tidak mampu melaksanakan dengan sempurna, dia bisa melaksanakan semampunya. Allah SWT berfirman:
فَاتَّقُوا اللهََّ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Bertaqwalah kepada Allah semampu kalian. (QS. At-Tagabun ayat 16)
Karena itu, Rasulullah SAW. mengizinkan seseorang untuk salat semampunya. Sahabat Imran bin Hushain RA. terkena penyakit wasir, sehingga menyulitkan beliau untuk salat dengan sempurna. Rasulullah SAW. berkata kepadanya:
صَلِّ قَائمًِا، فَإنِْ لمَْ تسَْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإنِْ لمَْ تسَْتَطِعْ فَعَلَ جَنْبٍ
“Salatlah sambil berdiri. Jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk, dan jika kamu tidak mampu, maka sambil berbaring miring.” (HR. Bukhari).
Ketika seseorang tidak mampu duduk dengan sempurna, baik iftirasy (duduk taiyyat awwal) maupun tawarruk (duduk tahiyyat akhir), ia bisa duduk semampunya, bahkan tidak boleh memaksakan fisik untuk melakukan gerakan yang membuat diri kesakitan. Beberapa dalil di atas dapat dijadikan dasar bahwa penyandang disabilitas dapat mengambil kemudahankemudahan dalam beribadah dengan cara melakukan gerakan sesuai dengan kemampuannya.