Nur Rofiah: Pernikahan Poligami Hanyalah Sasaran Antara Untuk Menuju Pernikahan Monogami

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Info Artikel

Sumber : Jurnalperempuan.org
Penulis : Naufaludin Ismail
Tanggal Publikasi : 31/05/2017
Artikel Lengkap : Nur Rofiah: Pernikahan Poligami Hanyalah Sasaran Antara Untuk Menuju Pernikahan Monogami

Jumat, 26 Mei 2017, kuliah kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) VI Jurnal Perempuan membincangkan mengenai “Sejarah Poligami dan Islam”. Dr. Nur Rofiah (Dosen Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran) mengampu kelas pada malam itu. Rofiah memulai kelas dengan memberikan sedikit gambaran dan penjelasan mengenai praktik poligami yang sudah berlangsung berabad-abad lalu di seluruh peradaban maupun dari praktik poligami yang dilakukan oleh berbagai agama di muka bumi ini. Tercatat bangsa Babilonia, Siria, dan Persia pra Islam, tidak mengadakan pembatasan mengenai jumlah perempuan yang dikawini oleh seorang laki-laki. Bagi Bangsa Israel, poligami telah berjalan sejak sebelum zaman nabi Musa yang kemudian menjadi adat atau kebiasaan yang dilanjutkan tanpa ada batasan istri. Bangsa Eropa seperti Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang sudah melakukan praktik poligami jauh sebelum Islam datang. Begitu pun bangsa Timur Tengah seperti Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Bangsa Afrika, India, Tiongkok dan Jepang juga berpoligami. Bahkan ada raja Tiongkok yang beristri sampai 30.000 orang. Masyarakat Sparta bahkan melarang lelaki beristri lebih dari seorang, kecuali dalam keadaan tertentu. Sebaliknya, perempuan boleh mempunyai suami lebih dari seorang (poliandri). Rofiah juga menjelaskan bahwa agama Like di Tiongkok memperbolehkan poligami sampai 130 orang. Agama Hindu melakukan poligami secara meluas. Seorang Brahma berkasta tinggi, boleh mengawini perempuan sebanyak yang ia ingini. Dalam agama Yahudi, laki-laki dapat menikahi banyak istri dengan syarat mampu membiayai. Sejumlah kaum Yahudi yang ahli di bidang agama menganjurkan agar setiap pria beristri tidak lebih dari empat orang. Akan tetapi, golongan Yahudi Qurra tidak mengakui keabsahan pembatasan jumlah istri karena agama bani Israel membolehkan seorang lelaki mempunyai istri berapa saja tanpa batasan. Tetapi selanjutnya, poligami dilarang oleh sidang muktamar Rabi di Worms pada abad ke-11. Namun kaum Yahudi Timur Tengah lazim melakukan poligami. Sedangkan agama Kristen melalui kaum reformer Jerman yang terdiri dari pemuka Nasrani, mengakui sahnya perkawinan dengan istri kedua dan ketiga bersama istri pertama. Keputusan itu dilaksanakan hingga abad ke-16 Masehi. Namun tiga abad kemudian, Sekte Mormon, sebuah sekte yang berafiliasi pada Gereja The Church of Jesus Christ of Latter Day Saint yang didirikan oleh Joseph Smith di tahun 1830 M menyerukan: “Keterikatan pria kepada seorang istri adalah soal yang tidak wajar“. Martin Luther mempunyai sikap yang toleran dan menyetujui status poligami Philip dari Hesse. Tahun 1531 kaum Anabaptis mendakwakan poligami. Sedangkan agama Islam dipahami oleh masyarakat luas sebagai agama yang memperbolehkan poligami hingga empat istri dan belum ada forum terbuka yang melarang poligami di dalam Islam. Rofiah juga menyebutkan bahwa alasan utama praktik poligami masih dilakukan hingga saat ini adalah karena faktor relasi gender yang tidak seimbang dan budaya patriarki yang begitu kental.