Naimah Hasan
Naimah Hasan lahir di Samalanga, Bireuen pada 5 Desember 1955. Saat ini ia aktif mengelola Yayasan Ratu Nirlasiah Aceh, mengisi ceramah-ceramah, menjadi Pengurus Majelis Pendidikan Aceh (MPA), dan aktif di berbagai kegiatan dan organisasi lainnya. Naimah hadir sebagai peserta kongres KUPI dan berpartisipasi aktif menyebarkan gagasan-gagasan KUPI di Aceh.
Riwayat Hidup
Naimah Hasan tinggal di Banda Aceh bersama suami dan kedua anaknya. Ia menyelesaikan pendidikan D3 Kesekretariatan di Universitas Syiah Kuala (1980), kemudian memperoleh gelar Sarjana dalam Fakultas Tarbiyah di IAIN Ar Raniry Banda Aceh (1983). Dua tahun kemudian ia melanjutkan pendidikan Pasca Sarjana di Graduate School the Philipphine University, Manila, Philipina.
Aktivitasnya sejak dulu hingga sekarang sangat dekat dengan isu-isu dan organisasi perempuan. Ia pernah menjadi Konsultan Bidang Peningkatan Petani Perempuan pada ACTIF Project, yaitu projek pembangunan pertanian, kerjasama Pemerintah RI dengan Pemerintah Belanda pada 1991. Tahun 1997 sampai 1999 ia menjadi anggota MPR-RI, dan satu tahun menjadi Wakil Sekretaris Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh tahun 1999. Ia juga berpartisipasi sebagai Ketua Komite Bersama Aksi Kemanusiaan (KBAK) Republik Indonesia pada Jeda Kemanusiaan untuk Aceh (2000-2001), menjadi Wakil Ketua Tim Monitoring Terpadu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (2003-2004), sebagai Wakil Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (2005-2008), dan menjadi Plt. Ketua Dewan Pengawas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD – Nias (2005-2009).
Dia juga aktif dalam dunia pendidikan dengan menjadi Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala sejak tahun 1979 sampai tahun 2011. Di saat yang sama, ia juga menduduki posisi Dewan Pengawas dan Asistensi Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (2010-2013). Selama satu tahun sejak Januari 2016 hingga Desember 2017, dia aktif sebagai Tenaga Ahli Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Rumoh Putroe Aceh, Provinsi Aceh.
Sekarang, dia aktif melakukan berbagai hal yang sudah ia lakukan sejak tahun 2017, yaitu sebagai Panitia Seleksi JPT Pratama Pemerintah Kota Banda Aceh dan juga sebagai Tenaga Ahli Analisis Pemerintahan Pemerintah Kota Banda Aceh. Sejak tahun 2019 hingga sekarang ia bekerja sebagai Pengurus Majelis Pendidikan Aceh (MPA) Provinsi Aceh dan Pengurus Majelis Pendidikan Aceh (MPA) Provinsi Aceh. Selain itu, ia juga tergabung dalam Tim Pelatih Latihan Kepemimpinan Wanita (LKW), Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sejak tahun 1991 hingga sekarang.
Naimah juga aktif berkontribusi di berbagai organisasi di Aceh. Sejak 2008 hingga sekarang, ia aktif menjadi Pembina Yayasan Ratu Nihrasiyah Aceh, Anggota Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Aceh (2015-sekarang), dan juga menjadi Ketua Bidang Organisasi dan Perkaderan Ikatan Alumni Lemhanas (IKAL) Aceh (2017-sekarang). Sejak tahun 2012 hingga sekarang, ia juga menempati posisi Ketua Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) Wilayah Aceh dan menjadi Ketua Divisi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ikatan Cendekiawaan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh.
Naimah juga pernah menjadi sekretaris di berbagai organisasi sejak pelajar hingga sekarang. Ia pernah menjadi Sekretaris Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBHuWK) Wilayah Aceh (1987-2002), Sekretaris Umum Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (1987-1999), dan Sekretaris Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Aceh (2015-2017). Dia juga aktif dalam kepemimpinan perempuan yaitu menjadi Ketua komisi “F” Majelis Ulama Indonesia Provinsi Istimewa Aceh (1996-1999), Ketua Umum Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Provinsi Aceh (1999-2009), menjadi Ketua Penyelenggara “Duek Pakat Inong Aceh I” (Kongres Perempuan Aceh I, tahun 2000) dan menjadi Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh (2000-2010). Selain itu, ia juga tergabung sebagai Anggota Governing & Executive Board "Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia" (Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2001-2014) dan juga menjadi Pembina Yayasan Aceh Development Fund (ADF) Aceh (2005-2014).
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Pasca pendidikan D3, Naimah bekerja sebagai Staf Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala sejak tahun 1979 hingga tahun 2011. Sekarang ia aktif memberikan ceramah-ceramah keagamaan di berbagai tempat di Aceh seperti di tempat kerjanya, majelis taklim, dan acara keagamaan lainnya. Ia juga menjadi narasumber mengenai topik gender, organisasi dan kepemimpinan perempuan, menejemen organisasi, pengembangan kepribadian, dan pembauran kebangsaaan (pernah bergabung dalam Forum Pembauran Kebangsaan). Dia termasuk dalam tim sosialisasi wawasan kebangsaan ke luar daerah setiap tahun, memberikan sosialisasi di pesantren-pesantren dan SMA yang ada di berbagai daerah Provinsi Aceh. Juga melakukan sosialisasi di berbagai SMA di Banda Aceh.
Sebelum bergabung dengan kongres KUPI, Naimah memang sudah dekat dengan ulama perempuan dan aktivis perempuan di Aceh. Dia dipercaya menjadi Ketua Penyelenggara “Duek Pakat Inong Aceh I”, yaitu Kongres Perempuan Aceh I pada tahun 2000. Saat itu Aceh mengalami konflik yang berkepanjangan, kemudian organisasi federasi BKOW yang terdiri dari 63 organisasi perempuan bergabung dalam kongres perempuan ini. Saat krisis itu, menurutnya setiap kelompok memiliki kepentingan dan perjuangannya sendiri-sendiri. Hal yang memilukan baginya adalah ketika perempuan hanya dilibatkan untuk melegalkan apa yang mereka mau. Naimah sebagai ketua BKOW merasa perempuan hanya dijadikan alat atas kepentingan kelompok-kelompok saja. Maka pada 1999, BKOW membuat dialog dengan mengundang teman-teman dari organisasi perempuan, LSM perempuan, dan LSM yang dipimpin laki-laki namun memiliki konsentrasi untuk pemberdayaan perempuan.
Dalam dialog itu, para peserta mendiskusikan hal-hal yang dapat dilakukan oleh perempuan dan kelompok ke depannya untuk Aceh, yang masa depannya tampak suram akibat konflik berkepanjangan. Kehidupan masyarakat menjadi berat, terutama di kampung-kampung yang ditinggali oleh orang-orang yang memberontak, kondisinya jauh lebih mencekam. Keselamatan dan nyawa menjadi taruhan masyarakat di daerah konflik setiap harinya. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan diperparah oleh pembakaran sekolah-sekolah sehingga anak-anak tidak bisa sekolah, tidak memiliki kebebasan dan keamanan untuk bermain dan belajar. Perempuan-perempuan di Aceh juga ikut merasakan dampak dari konflik ini sehingga mereka bermusyawarah dan menghasilkan kesepakatan untuk membentuk kongres perempuan Aceh. Mereka datang dari berbagai latar belakang, baik dari kalangan akademisi, ulama perempuan, hingga korban konflik Aceh.
Pada 19 Februari 2000, Naimah menjadi ketua penyelenggara Kongres Perempuan Aceh I “Duek Pakat Inong Aceh I” yang dihadiri oleh 437 perempuan Aceh. Kongres ini berlangsung selama tiga hari. Ada 22 hasil kongres dengan lima topik besar, yaitu perempuan dan politik, perempuan dan syariat Islam, perempuan dan seni-budaya, perempuan dan perekonomian serta perempuan, social, dan kemasyarakatan. Masing-masing topik besar ini memiliki hasil kesimpulan yang diperjuangkan. Misalnya, dalam topik “perempuan dan politik”, kesimpulannya adalah perempuan harus berada di level kebijakan sebanyak 30%. Saat itu belum ada kebijakan untuk memberikan affirmative action dengan memberikan ruang 30% kepada perempuan untuk terlibat aktif dalam pengambilan kebijakan di seluruh bidang. Kemudian pada topik “perempuan dan perekonomian”, Aceh menginginkan hasil perekonomian Aceh dikembalikan pada Aceh (dari PT. Arun) karena kondisi perekonomian saat itu sangat terpuruk. Aceh menginginkan pembagian hasil minimal 80% hingga 100%, yang ditujukan untuk membangun perekonomian dan sosial Aceh secara besar-besaran pasca konflik.
Saat itu, ia dan perwakilan peserta kongres meminta bertemu dengan Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Presiden, untuk penyelesaian konflik Aceh. Kesepakatan kongres memutuskan bahwa mereka tidak menginginkan pengiriman tentara dilakukan lagi ke Aceh untuk menyelesaikan konflik. Persoalan Aceh harus diselesaikan di atas meja melalui dialog perdamaian. Maka pada 11 Maret 2000, Naimah sebagai juru bicara kongres, bertemu dengan Gus Dur untuk menjelaskan hasil bumi Aceh, politik afirmasi perempuan, dan penyelesaian konflik Aceh yang diutamakan dan penting bagi masyarakat Aceh. Setelah berdialog dengan Presiden, pada 16 Maret 2000, Presiden mengirimkan Bondan Gunawan (Menteri Sekretaris Negara) untuk berdialog dengan Abdullah Syafi’i (Panglima GAM).
Salah satu isu dan persoalan masyarakat Aceh adalah syariat Islam yang dianggap tidak adil bagi perempuan dan kondisi perempuan dalam rumah tangga. Maka ia hadir di dalam KUPI sebagai peserta kongres pada 2017 karena isu-isu di dalam masyarakat Aceh sangat relevan dengan isu-isu yang dibahas di dalam KUPI. Pasca KUPI, ia melanjutkan kerja dan gerakannya seperti sebelumnya. Menurut Naimah, tidak ada polarisasi antara fatwa-fatwa KUPI dan apa yang dilakukan olehnya dan organisasi-organisasi perempuan di Aceh. Apa yang diperjuangkan oleh dirinya dan gerakannya sama dengan yang diinginkan oleh KUPI, dan KUPI dapat memperkuat jaringan baik di daerah maupun secara nasional.
Setelah Kongres Perempuan Aceh I “Duek Pakat Inong Aceh I”, dibentuklah Balai Syura Ureung Inong Aceh pada tahun 2000 untuk menindaklanjuti hasil Kongres Duek Pakat Inong Aceh I. Hasil kongres, yaitu 22 poin kesepakatan, diformulasikan kembali di Balai Syura Ureung Inong Aceh untuk melanjutkan kegiatan dan hasil kongres. Dia menjabat sebagai Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh selama dua periode, yaitu tahun 2000-2010. Balai Syura Ureung Inong Aceh masih eksis, dan ia masih mendampingi hingga sekarang. Saat terjadi tsunami Aceh, anggota Balai Syura Ureung Inong Aceh membantu pengungsian dan korban tsunami. Saat itu ia dipercaya menjadi Ketua Dewan Pengawas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD – Nias tahun 2005 sampai 2009.
Pada saat yang bersamaan, Naimah menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (2005-2008), membentuk UU No. 18 tahun 2000 yang memberikan otonomi daerah kepada Aceh yang berfokus pada hal-hal yang diperjuangkan gerakan perempuan Aceh. Draft UU dibuat oleh masyarakat sipil dan dikritisi oleh BKOW kemudian memperjuangkannya ke DPR RI. Kerja-kerjanya melintasi berbagai bidang namun berkaitan dengan kepentingan masyarakat Aceh yang saat itu dinamika kehidupannya begitu cepat berubah.
Berdasarkan pengalamannya terlibat dalam Duek Pakat Inong Aceh I, menurut Naimah, koordinasi KUPI dengan ulama dan aktivis perempuan di Aceh akan efektif jika ada pelaksana di lapangan yang menindaklanjuti secara konsisten pelaksanaan rekomendasi dan fatwa-fatwa KUPI. Pelaksanaan tersebut membutuhkan perwakilan di tiap daerah yang bertanggung jawab menerima setiap pertanyaan tentang KUPI dan menampung isu-isu daerah dan dibawa ke tingkat nasional. Model seperti ini akan memudahkan untuk mendokumentasikan dan membukukan kegiatan, permasalahan, dan penyelesaian di lapangan, juga untuk memudahkan proses diskusi dan pemetaan prioritas peluang terutama dalam kondisi pandemi seperti sekarang.
KUPI sudah terkonsep dengan baik, namun juga membutuhkan konsep yang baik dalam pelaksanaannya terutama di daerah-daerah. Mengubah paradigma masyarakat tidak mudah terutama di Aceh yang memiliki kelompok-kelompok dengan tujuan dan paradigma yang berbeda dari gerakan Naimah dan KUPI. Tantangan di Aceh tentu berbeda dari tantangan di daerah lain atau pusat.
Penerimaan tentang konsep ulama perempuan di Aceh masih cukup sulit. Masih ada sebagian ulama-ulama laki-laki yang saling bermasalah dan ada juga aliran-aliran agama yang membuat kerusuhan di Aceh dan merasa “paling benar”. Namun, ada juga ulama-ulama laki-laki yang memiliki perhatian pada isu-isu perempuan dan menerima konsep ulama perempuan. Strategi melo dalam istilah Aceh, digunakan untuk menghadapi tantangan ini, yaitu menghadapi dengan pelan-pelan, tidak konfrontatif. Strategi ini dilakukan agar lebih mudah diterima dan dipahami, terutama oleh kelompok-kelompok yang memiliki paradigma berbeda dari gerakan Naimah dan KUPI.
Pembangunan di desa-desa Aceh sekarang sudah berkembang pesat dan masyarakat di wilayah urban memiliki antusiasme yang tinggi untuk belajar dan menerima pemikiran progresif. Sebagian dari mereka menginisiasi untuk melakukan pengajian dan ceramah rutin setiap minggu dan bulan. Maka tugas KUPI dan ulama perempuan di Aceh adalah untuk melanjutkan, mensosialisasikan, dan memperkuat paradigma KUPI. Forum pengajian dan diskusi memungkinkan two-way communication dalam membumikan fatwa-fatwa KUPI dan Islam progresif.
Naimah juga berharap masyarakat memiliki pemikiran baru berkaitan dengan tafsir yang berpihak kepada perempuan, dan KUPI memiliki peluang untuk menyebarkan tafsir progresif ini, terutama secara virtual mengingat situasi pandemic seperti sekarang. Upaya penyebaran ini akan memperkuat jaringan, membumikan fatwa-fatwa KUPI, dan menyediakan ruang lebih luas dari pusat ke daerah-daerah yang susah dijangkau dengan kegiatan tatap muka secara langsung. Aktivis pelaksana lapangan di tiap daerah akan berperan sebagai fasilitator yang akan menghubungkan pengurus KUPI di pusat dengan jaringan di Aceh.
Penulis | : | Wanda Roxanne |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |