Membumikan Fatwa KUPI: Pembelajaran dari Pengelolaan Sampah di Pesantren
Bagi yang ingin membaca buku ini secara lengkap silahkan download dalam bentuk pdf di link berikut ini
(link Download di sini)
Tumpukan limbah yang belum dipilah dan diolah dise but sampah, namun jika sudah dipilah dan diolah, -maka mempunyai nilai ekonomi, menjadi barang komoditi. Pandangan tersebut, merupakan fakta yang tak terbantahkan. Akan tetapi, apakah spirit mengelola dan mengolah sampah dari hulu sampai hilir, semata karena keuntungan ekonomi? Dalam uraian sekujur buku “Membumikan Fatwa KUPI: Pembelajaran dari Pengelolaan Sampah di Pesantren” ini, justru sebaliknya. Titik sumbunya lebih pada bagaimana sampah menjadi alat edukasi menanamkan kesadaran menjaga ekosistem lingkungan, kampanye kesehatan manusia, kebersihan bagian dari iman, dan keindahan kawasan. Sebagai pemantiknya, kerja-kerja kreativitas daur ulang sampah dan kreasi teknologi ramah lingkungan. Sementara faktor ekonomi, sekadar bonus.
Buku ini terbagi dalam lima Bab. Setiap Bab, merunut dan merumuskan kontruksi pemikiran, ide, dan gagasakan yang melatari kenapa sampai ada gerakan partisipatif mengelola dan mengolah sampah, khususnya di pondok pesantren? Pada Bab satu, berisi pandangan para ulama terhadap kerusakan lingkungan hingga Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II yang melahirkan fatwa atau “hukum melakukan pembiaran kerusakan lingkungan akibat sampah”. Sementara Bab dua, bagaimana landasan-landasan pemikiran dan kerja-kerja Yayasan Fahmina Cirebon merajut jejaring antar pesantren dan lembaga-lembaga yang konsen pada isu lingkungan untuk mempraksiskan Fatwa KUPI.
Kedua Bab tersebut menggambarkan bahwa mengelola dan mengolah sampah, bukan semata urusan negara atau pemerintah, melainkan tanggung jawab bersama: tanggung jawab perusahaan, perkantoran, industrial, institusi keagamaan, lembaga pendidikan, sampai keluarga dan tanggung jawab setiap individu. Sampah yang semula menjadi isu publik, kemudian ditarik menjadi ranah privat. Setiap manusia adalah produsen sampah. Maka, setiap individu harus bertanggung jawab pada sampah yang dihasilkannya.
Selain itu, bagaimana menanamkan kesadaran dan meletakkan dasar-dasar nilai kebersihan diri, lingkungan, dan kesehatan manusia? Untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut, pembaca bisa langsung masuk ke Bab tiga dan Bab empat yang berisi gambaran praktik baik dalam mengelola dan mengolah sampah di pondok pesantren. Terutama pondok pesantren jejaring Yayasan Fahmina baik yang ada di kawasan Cirebon, Jawab Barat maupun Jepara, Jawa Tengah.
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan punya peran penting membentuk sikap dan karakter manusia, terutama karakter santri yang berintegritas, bertanggung jawab, dan memiliki kepribadian yang kuat. Melalui program Pesantren EMAS (Ekosistem Madani Atasi Sampah), Yayasan Fahmina mencoba mempraksiskan dan membumikan Fatwa KUPI.
Pesantren yang pada umumnya memprioritaskan pendidikan agama, kemudian didorong untuk memberikan pendidikan akan kesadaran lingkungan bagi para santri, pengurus, pengasuh, sampai wali santri dan masyarakat sekitar pesantren. Hal ini penting karena sampah yang tidak dikelola dengan baik bisa merusak ekosistem dan menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Selain itu, program Pesantren EMAS juga mencerminkan tanggung jawab sosial dan keagamaan dalam menjaga alam dan menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat.
Lingkungan dan kawasan pesantren kerap menghadapi tantangan dalam mengelola sampah, terutama karena jumlah penghuni atau populasi cukup banyak dengan kegiatan sehari-hari yang menghasilkan sampah dalam jumlah besar. Untuk itu, pada Bab tiga dan Bab empat selain berisi pemaparan dan narasi praktik baik sekaligus solusi terhadap masalah sampah menjadi titik fokus utama di pesantren, para santri juga diajarkan pemahanan akan kebersihan lingkungan dan kesehatan, sekaligus praktik langsung dalam mengelola dan mengolah sampah. Bagaimana merancang manajemen pengelolaan sampah, melakukan pemilahan sampah dari hulu, tengah, hingga hilir sampai melakukan kerja-kerja daur ulang, pengelolaan sampah organik, sekaligus pengurangan konsumsi bahan sekali pakai.
Selanjutnya, program Pesantren EMAS yang digerakkan oleh Yayasan Fahmina dalam mempraksiskan Fatwa KUPI, memiliki pengaruh kuat sebagai contoh bagi pesantren lain dan masyarakat umum. Harapannya, pesantren menjadi agen perubahan yang memengaruhi santri dan masyarakat sekitar kawasan pondok dalam mengadopsi praktik pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Dengan menjadi contoh nyata dalam pengelolaan sampah yang berkelanjutan, sekaligus menciptakan gerakan bersama dalam menjaga kebersihan lingkungan.
Bonusnya, para santri juga memiliki kesempatan untuk mengembangkan keterampilan dan kewirausahaan dalam bidang pengelolaan sampah. Mereka terlibat dalam kegiatan pemilahan sampah, pengolahan kompos, dan pengolahan sampah non-organik, yang dapat meningkatkan keterampilan mereka dan menciptakan peluang ekonomi yang berkelanjutan.
Disadari betul, dalam penyusunan buku “Membumikan Fatwa KUPI: Pembelajaran dari Pengelolaan Sampah di Pesantren” ini, masih belum bisa merangkum keseluruhan pemikiran dan praktik baik dalam menerapkan pendidikan kesadaran mengelola sampah dan keasrian lingkungan di pondok pesantren. Untuk itu, masukan dan kritikan yang konstruktif dari pembaca sangat diharapkan. Selamat membaca.