Masturbasi dan Onani
Naluri seksualitas merupakan fenomena biologis normal dalam perkembangan anak manusia menuju kedewasaannya. Setiap manusia normal baik laki-laki maupun perempuan pernah mengalami dorongan ini. Perkembangan ini biasanya mengalami puncaknya pada masa pubertas [puberty periode]. Artinya, pada masa pubertas inilah, dorongan seksual tersebut bergerak secara sangat kuat dan menuntut adanya penyaluran.
Penyaluran nafsu seksual umumnya dilakukan lewat dua jalur. Pertama, disalurkan kepada sang suami atau sang istri bagi yang telah menikah atau kepada para budak miliknya pada zaman klasik di mana praktik perbudakan masih berjalan. Kedua, disalurkan lewat cara lain, baik bagi yang belum nikah maupun yang sudah menikah. Cara yang kedua ini biasanya dilakukan dengan cara lesbi[1] (hubungan intim yang dilakukan antara perempuan dengan perempuan), homoseksual[2] (hubungan intim antara laki-laki dengan laki-laki), dan onani atau masturbasi (suatu upaya untuk mengeluarkan sperma dan menggapai orgasme dengan cara merangsang alat kelamin).
Cara onani atau masturbasi agaknya relatif lebih mudah dilakukan karena tidak selalu membutuhkan bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam kenyataannya onani atau masturbasi banyak dilakukan oleh mereka yang tengah mengalami puncak nafsu seksual, sementara pasangannya (istri atau suami) tidak ada di tempat bagi yang telah melangsungkan pernikahan. Onani juga dilakukan oleh para remaja yang tidak mampu mengendalikan dorongan seksualnya, sementara istri atau suami tidak punya. Terkait dengan remaja ini, konon hampir setiap remaja diduga pernah melakukan onani atau masturbasi, baik sembunyi-sembunyi (sirriyah) maupun terang-terangan (‘alaniyah).
Dalam pandangan psiko-seksiologis, onani atau masturbasi tentu bisa dipahami, bahkan mungkin bisa dinilai wajar-wajar saja sebagai salah satu bentuk penyaluran seksual alternatif--selagi tidak berlebihan. Tetapi tidak dalam pandangan agama, karena secara normatif agama memiliki tata aturannya sendiri. Islam, misalnya, mempunyai ajaran perkawinan dan berbagai etikanya dalam hubungan seksual. Di dalam kitab-kitab fiqh Islam selalu disisakan ruangan untuk pembahasan ini. Tetapi pada umumnya onani atau masturbasi dibahas secara singkat oleh karena dianggap sebagai bagian dari bentuk ketidakwajaran penyaluran seksual.
Tulisan berikut hendak menjelaskan inti masalah onani dan masturbasi yang sering dihadapi banyak orang dan berbagai pandangan ahli hukum Islam atas kenyataan tersebut.
Masturbasi-Onani: Istilah Teknis dan Pengertiannya
Masturbasi atau onani ialah suatu aktivitas yang mengarah pada pemusatan nafsu birahi melalui rangsangan alat kelamin atau bagian vital lainnya, baik dilakukan sendiri maupun oleh orang lain, hingga mencapai orgasme yang bagi laki-laki ditandai dengan ejakulasi[3] dan bagi perempuan dengan berkonstraksinya otot-otot secara otomatis terutama otot vagina yang kadar kontraksinya paling besar. Dalam bahasa Indonesia aktvitas perangsangan organ seks ini disebut rancap.[4] Pencapaian puncak kenikmatan itu biasanya dilakukan dengan tangan, sehingga aktivitas ini dalam fikih dikenal dengan al-istimnâ’ bi al-kaff, al-istimnâ’ bi al-yadd, atau nikâh al-yadd (pada wanita disebut al-ilthâf).
Maksud utama masturbasi adalah mencapai kepuasan atau melepas keinginan nasfsu seksual dengan jalan tidak bersenggama. Memang tidak laki-laki saja yang biasa melakukan aktivitas seksual, tetapi juga perempuan. Selain mempergunakan tangannya, perempuan yang melakukan masturbasi dapat mempergunakan benda lain yang dimasukkan ke liang vagina, atau dengan jalan mengempitkan kedua paha dan menggesek-gesekkannya, hingga alat vital (vagina) tergesek-gesek pula dan kemudian menimbulkan orgasme.[5]
Perbuatan ini biasanya banyak dilakukan oleh orang yang tidak bersuami atau tidak beristri sebagai upaya penanggulangan atas dorongan nafsu syahwat yang amat kuat. Tetapi adakalanya sebagai akibat gangguan jiwa, sehingga dipandang sebagai kebiasaan yang dirahasiakan [al-’âdat al-sirriyyah].[6]
Menurut penelitian, para pemuda yang berumur antara tiga belas dan dua puluh tahun merupakan usia yang paling banyak melakukan masturbasi. Dan jika dibandingkan, anak laki-laki lebih banyak melakukan masturbasi daripada anak perempuan. Di antara penyebabnya adalah [a] nafsu seksual anak perempuan tidak datang melonjak dan eksplosif, berbeda dengan anak laki-laki; [b] perhatian anak perempuan tidak tertuju kepada masalah senggama karena mimpi seksual dan mengeluarkan sperma (ihtilam) lebih banyak dialami oleh anak laki-laki. Mimpi erotis yang menyebabkan orgasme pada anak perempuan terjadi jika perasaan itu telah dialaminya dalam keadaan terjaga.
Istilah masturbasi dan onani pada dasarnya sama saja, tetapi kadang dibedakan. Onani adalah pengeluaran mani atau sperma dengan tidak melakukan senggama, misalnya dengan cara menggosok-gosokkan tangannya sendiri pada alat kelaminnya. Sedangkan masturbasi adalah proses memperoleh kepuasan seks tanpa berhubungan kelamin.[7] Dalam istilah sehari-hari, onani digunakan untuk aktivitas kaum lelaki, sementara masturbasi untuk perempuan.
Masturbasi dalam Teks al-Qur’an
Memang tak ada satu ayat pun di dalam al-Qur’an yang secara eksplisit dan tegas melarang tindakan masturbasi atau onani yang sering dibahasakan dalam kitab-kitab fiqh dengan al-istimnâ’ bi al-yadd. Tetapi ada, setidak-tidaknya lima ayat dalam empat surat, yang secara jelas mengajarkan kepada kita untuk menjaga dan memelihara alat kelamin [furûj] sebagai bagian dari kesalehan kita dalam beriman. Lima ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama, Surat al-Mu’minûn (23) ayat 5 (dan 6),
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (المؤمنون: 5-6)
Artinya: “[Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman] … dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”
Kedua, Surat al-Nûr (24) ayat 30 dan 31.
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ
Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…”
Ketiga, Surat al-Ahzâb (33) ayat 35.
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (الأحزاب: 35)
Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Keempat, Surat al-Ma’ârij (70) ayat 29 (dan 30).
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. (المعارج: 29-30)
Artinya: “… Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”
Dalam mengomentari surat al-mu’minûn di atas, al-Syinqithiy dalam kitab tafsirnya Adlwâ`u al-Bayân fiy Iydhâh al-Qur`ân bi al-Qur`ân[8] menyatakan bahwa ada tiga petunjuk hukum yang dapat dipetik darinya. Pertama, jika dilihat dari aspek keumumannya, ayat tersebut mengandung larangan istimnâ` bi al-yadd, yang juga kadang disebut jild ‘umayrah atau khadlkhadlah. Baginya, seseorang yang mencari kenikmatan dengan tangannya sendiri hingga keluar sperma termasuk orang yang telah melampaui ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT [al-‘âdûn hudûd Allâh].[9]
Kedua, bahwa ayat wa al-ladzîna hum li furûji him hâfidlûn ditujukan bagi laki-laki bukan perempuan [khâshshat li al-rijâl dûna al-nisâ`].[10] Oleh karena itu, konsisten dengan argumen ini, seorang perempuan tidak diperkenankan berjimak dengan budak-budak lelaki miliknya. Pelarangan ini, menurut al-Syinqithy, sudah menjadi konsensus di kalangan para ulama. Lebih lanjut, sebagaimana dikutip oleh al-Qurthubiy, Ibnu al-‘Arabiy mengatakan bahwa kesepuluh ayat pertama dari Surat al-Mu’minûn dapat berlaku umum antara laki-laki dan perempuan, kecuali ayat wa al-ladzîna hum li furûji him hâfidlûn. Solusi yang ditawarkan para ulama kemudian, jika majikan perempuan itu hendak menikahi budak laki-laki miliknya, maka budak tersebut harus dimerdekakan terlebih duhulu.[11] Pembedaan inilah yang mengundang pertanyaan: mengapa dibedakan antara lelaki dan perempuan dalam menyikapi para budak miliknya? Bukankah laki-laki dan perempuan sama-sama berkewajiban untuk memelihara alat kemaluannya, kecuali kepada istri atau suaminya?
Ketiga, ditilik dari dhâhirnya, ayat di atas juga menunjukkan larangan untuk melakukan nikah mut`ah. Pasalnya, penyaluran nafsu seksual hanya bisa dibenarkan jika dilakukan kepada istri-istri dan atau para budak miliknya. Sedangkan perempuan yang disetubuhi melalui jalur nikah mut’ah, tetap tidak berstatus sebagai istri atau budak miliknya. Dikatakan bukan sebagai budak miliknya sudah jelas hukumnya. Sementara dikatakan tetap tidak berstatus sebagai istri, karena hilangnya kemestian-kemestian yang seharusnya ada dalam hubungan suami-istri, seperti mîrâts, thalaq, dan lain sebagainya.[12] Penjelasan tentang nikah mut’ah dalam konteks ini tidak akan diberikan secara panjang-lebar dalam tulisan ini.
Masturbasi/Onani: Pandangan Para Ahli Hukum Islam
Onani atau masturbasi yang dilakukan oleh seseorang [laki-laki atau perempuan] dengan cara memainkan alat kelaminnya dengan tangannya sendiri tampaknya disepakati sebagai bagian dari tindakan yang merusak unsur etika dan tidak pantas dilakukan. Kendatipun demikian, dari sudut kesehatan banyak para ilmuan dan psikolog mengatakan bahwa masturbasi tidak merusak kesehatan jika dilakukan tidak secara berlebih-lebihan. Kehilangan benih tidak merugikan bagi tubuh, karena kelenjar-kelenjar benih akan segera dapat mengisi kekosongan.
Sedangkan dalam konteks hukum legal-formal, para ulama ahli hukum Islam [fuqahâ`] berbeda pandangan dengan berbagai argumennya yang berimplikasi pada perbedaan pendapat hukumnya tentang masturbasi dan onani ini. Secara kategorial, seperti termaktub dalam kitab-kitab fiqh, dapat kita klasifikasikan ke dalam lima pendapat hukum yang secara umum bisa dianggap mampu menjelaskan masalah-masalah masturbasi. Kategori tersebut secara baik dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah-nya.[13]
Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh para ulama mazhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Zaidiyyah. Mereka secara tegas berpendapat, bahwa masturbasi atau onani haram dilakukan oleh siapapun. Baik oleh kaum lelaki maupun perempuan, dewasa maupun remaja, sudah kawin maupun masih lajang, semuanya diharamkan melakukan masturbasi atau onani. Hujjah atau argumen hukum yang mereka gunakan adalah firman Allah SWT yang telah disebutkan di atas. Menurut mereka, secara keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an tersebut menyuruh kepada kita [umat manusia] untuk memelihara alat kemaluan atau kehormatannya [hifdh al-furûj] pada semua keadaan, kecuali ketika mendatangi istri-istri atau ‘budak-budak’ yang menjadi miliknya. Di samping ayat di atas, al-Suyuthi mengutip sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muhammad Ibn Ka’ab bahwa “Setiap farj haram atas kamu kecuali dua farji: farji istri dan budak miliknya.”[14]
Konsekuensi dari pemahaman demikian, apabila ada seorang lelaki yang melampaui batas dari dua keadaan tersebut--yakni mendatangi istri dan budak miliknya--misalnya dengan cara masturbasi atau onani, maka ia oleh ketentuan ayat al-Qur’an tersebut dimasukkan ke dalam orang yang melampaui batas dari sesuatu yang dihalalkan Allah SWT. Dipahami oleh mereka, “melampaui batas ini” adalah masuk ke dalam perbuatan yang diharamkannya.[15]
Untuk lebih jelasnya, dikemukakan firman Allah dalam redaksi sama yang terdapat dalam Surat al-Mu’minûn (23) ayat 5-7 dan Surat al-Ma’ârij (70) ayat 29-31: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tiada tercela. Barangsiapa yang mencari kebalikannya itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
Ketiga ayat di atas mengajarkan bahwa orang-orang yang memelihara kemaluannya (dengan tidak memasukkan penisnya ke sembarang vagina dan tidak membiarkan vaginanya dimasuki oleh sembarang penis) kecuali terhadap pasangannya yang sah (seperti istri dan suami) atau budak-budaknya (bagi tuan laki-laki), adalah termasuk orang mukmin yang akan memperoleh kebahagiaan (dalam Surat al-Mu’minûn) dan tidak termasuk orang yang bersifat keluh kesah dan kikir, yang apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir (dalam Surat al-Ma’ârij). Mereka itulah orang-orang yang tidak tercela. Sementara orang yang melampiaskan nafsu syahwatnya dengan cara lain, seperti masturbasi atau onani, adalah orang-orang yang melampaui batas [al-‘âdûn].
Secara lebih spesifik, di samping pada tiga ayat di atas, Malikiyyah mendasarkan keharaman onani/masturbasi tersebut kepada hadits riwayat Ibnu Mas’ud yang sudah cukup kesohor.
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
Artinya: “Wahai para pemuda. Barang siapa di antara kalian memiliki kemampuan untuk nikah, lakukanlah. Sebab, nikah lebih dapat mengendalikan pandangaan dan lebih efektif menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu maka berpuasalah, karena di dalam puasa itu terdapat obat yang dapat menurunkan gejolak syahwatnya.”
Mereka menegaskan bahwa kalau memang onani/masturbasi itu boleh, maka pasti Rasulullah SAW mengarahkan kita untuk melakukan onani/masturbasi--karena ia lebih mudah--ketimbang puasa. Menurutnya, tidak diperhitungkannya onani/masturbasi oleh Rasulullah sebagai pemegang otoritas tasyri’ jelas menunjukkan atas keharamannya.[16]
Dalam tataran ini, lebih lanjut al-Syinqithi menegaskan bahwa pendasaran (istidlâl) keharaman masturbasi atau onani kepada dhâhir al-qur`ân di atas adalah absah, dan tidak satu pun ayat al-Qur`an atau al-Hadits yang menentang dhâhir al-nash tersebut.[17]
Argumen lain yang diajukan oleh kelompok pertama ini adalah dampak ikutan dari onani/masturbasi tersebut. Misalnya, jika terlalu sering dilakukan, onani/masturbasi itu akan dapat mengganggu kesehatan yang bersangkutan. Bahkan, jika pelakunya dihinggapi perasaan bersalah dan berdosa, maka masturbasi tersebut tak ayal lagi dapat merusak jaring-jaring kemasyarakatan (ijtimâ’iyyah)nya, misalnya yang bersangkutan mengalami kesulitan dalam bergaul dengan orang lain karena dalam dirinya ada perasaan serba salah.
Pendapat ini diperkuat dengan adanya hadits yang mengatakan bahwa pelaku masturbasi jika meninggal dunia tanpa berkesempatan tobat terlebih dahulu, maka pada hari kiamat nanti ia akan datang dengan tangan yang bunting.[18] Sa’id Ibn Jubair juga mempertegas bahwa Allah akan menyiksa seseorang yang suka memainkan alat kelaminnya.[19]
Imam Nawawi dari madzhab Syafi’i menyatakan bahwa di samping berdasar kepada dalil naqli di atas, ada dalil ‘aqli yang dapat dijadikan sebagai rajutan keharamannya. Yaitu, bahwa dengan semaraknya tindakan masturbasi/onani sebagian orang akan enggan untuk nikah. Dampaknya adalah terhentinya perkembangbiakan umat manusia [qath’u al-nasl]. Dengan demikian, masturbasi/onani ini mesti dikikis dan pelakunya sekalipun tidak dihad harus dita’zir.[20]
Untuk memperkuat argumennya, Imam Syafi’i--dari kelompok pertama ini-- menambahkan dengan sebuah hadits Nabi SAW, walaupun oleh Ibnu Katsir dinilai gharîb. “Ada tujuh golongan yang tidak akan mendapatkan perhatian dari Allah SWT, tidak disucikan, tidak dikumpulkan bersama orang-orang yang tekun beribadah, dan termasuk orang yang pertama masuk ke dalam neraka--kecuali kalau mereka bertobat. [1] orang yang menikahi tangannya/masturbasi [al-nâkih yadahu]; [2] orang yang melakukan liwâth; [3] orang yang diliwath [disetubuhi duburnya]; [4] orang yang minum khamr; [5] orang yang memukul kedua orang tuanya hingga mereka mengampuni; [6] orang yang menyakiti tetangganya; dan [7] orang yang menyetubuhi istri tetangganya.[21]
Namun, Taqiyuddin al-Husainiy--ulama fikih dari kalangan Syafi’iyyah--memberikan kekecualian atas keharaman masturbasi atau onani tersebut. Menurutnya, jika seorang suami melakukan onani dengan menggunakan tangan istrinya atau budak perempuannya, maka hal itu diperbolehkan, karena tangan istri tersebut merupakan salah satu tempat yang boleh dinikmati suami (mahall istimta’ihi). Berbeda dengan pendapat tersebut, Qadhi Husain mengatakan jika tangan seorang perempuan meraba (atau memegang) zakar suami atau sayyidnya, maka makruh hukumnya jika sampai keluar sperma sekalipun sudah mendapatkan ijin dari suami atau sayyidnya. Menurut Qadhi Husain, itu telah menyerupai ‘azl (senggama terputus), sementara ‘azl adalah makruh.[22]
Kedua, pendapat para ulama madzab Hanafi. Mereka berpendapat sama, bahwa masturbasi atau onani pada dasarnya adalah harâm. Akan tetapi, perbedaannya dengan pendapat pertama, mereka membolehkan, bahkan bisa wâjib, untuk melakukan masturbasi atau onani dalam keadaan tertentu di mana ia bisa terjerumus dalam tindakan keharaman yang lebih besar. Dengan demikian, hukum masturbasi atau onani menurut pendapat kedua ini harâm dalam sebagian keadaan dan mubâh atau wâjib dalam sebagian keadaan yang lain. Dihukumi harâm tentu saja jika perbuatan ini hanya untuk membangkitkan syahwat semata [istijlâb al-syahwat wa itsarâratihâ]. Dan dihukumi wâjib, jika tidak melakukannya, ia merasa kuatir akan berbuat zina [wuqû’ fiy al-zinâ].
Untuk hukum yang disebut terakhir ini, mereka mengikuti suatu kaidah fiqh bahwa, idzâ ta’âradla mafsadatâni rû’iya a’dhamuhumâ dlirâran bi irtikâbi akhaffihimâ
إذ ا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضرارا بارتكاب أخفهما
Artinya: “Jika bertentangan dua bahaya, maka dipinggirkan bahaya yang lebih besar dengan melaksanakan bahaya yang lebih ringan.”[23]
Kaidah ini secara umum mengajarkan bahwa jalan keluar terbaik adalah solusi yang berisiko terkecil. Kaidah ini digunakan ketika kita berhadapan dengan dua macam keadaan yang sama-sama bahaya dan merugikan. Tindakan yang harus dipilih adalah menghindari bahaya yang lebih besar dengan menempuh bahaya yang lebih kecil di antara dua keadaan tersebut [irtikâb akhaff al-dlararayn]. Itulah sebabnya dalam keadaan tertentu hukum masturbasi bisa harâm sebagaimana asalnya, bisa juga mubâh dan wâjib dalam keadaan yang lain. Contohnya, jika nafsu syahwat bangkit, padahal tidak mempunyai istri yang dapat menjadi tempat penyaluran seksual yang sah, tetapi tidak sampai kuatir akan berbuat zina, maka hukumnya mubâh melakukan masturbasi atau onani, dengan tujuan untuk meredakan libido atau syahwat tadi.
Ketiga, pendapat para ulama Hanabilah. Secara garis besar, pendapat ketiga ini sama dengan pendapat kedua dari para ulama Ahnaf. Ulama Hanabilah umumnya mengatakan bahwa onani dengan tangan sendiri haram hukumnya, kecuali jika takut akan berbuat zina [khawfan min al-zinâ], atau takut akan merusak kesehatan [khawfan ‘alâ shihhatihi], sedang ia tak mempunyai istri atau ‘budak’, dan juga tak mampu untuk menikah. Dalam keadaan seperti ini, menurutnya, tidaklah ada kesempitan baginya untuk melakukkan onani/masturbasi dengan tangannya sendiri.[24]
Akan tetapi, karena kebolehannya akibat terpaksa maka sudah barang tentu perbuatannya dilakukan seminimal mungkin dan tidak boleh berlebihan. Ini sesuai dengan ketentuan hukum dlarûrat seperti disinyalir dalam kaidah fiqh berikut:
ما أبيح للضرورة يقدر بقدرها
Mâ ubîha li al-dlarûrati yuqaddaru bi qadarihâ
“Sesuatu yang diperbolehkan karena dlarurat, hanya boleh dilakukan sekadarnya saja.”[25]
Berkaitan dengan pendapat Hanabilah ini, Imam Ahmad Ibn Hanbal, sebagai imam madzhab kelompok Hanabilah, memiliki pendapatnya sendiri. Dengan cara diqiyaskan kepada bercanduk [al-fashdu wa al-hijâmah], masturbasi atau onani [istimâ` bi al-yadd], dalam pandangannya, adalah boleh [jawâz]. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa masturbasi itu tak ubahnya mengeluarkan sesuatu yang sudah tak diperlukan lagi [fadllah] oleh badan. Dengan demikian, ia dibolehkan ketika hajat saja. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa onani/masturbasi masih lebih baik ketimbang menikahi seorang budak.[26]
Pendapat Ahmad Ibn Hanbal ini ditolak oleh sebagian ulama yang lain. Secara tegas, al-Syinqithy mengajukan keberatannya atas cara qiyâs yang telah ditempuh oleh Ahmad Ibn Hanbal. Qiyâs tersebut telah menyalahi ketegasan ‘umûm al-Qur`ân, dan qiyâs seperti ini pasti ditolak.[27]
Keempat, pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm, ulama dari mazhab al-Dhahiri. Berbeda dengan pendapat di atas, Ibnu Hazm mengatakan bahwa onani itu hukumnya makruh dan tidak berdosa [lâ itsma fîhi]. Akan tetapi, menurutnya, onani bisa diharamkan oleh karena merusak etika dan budi luhur yang terpuji. Ibnu Hazm mengambil argumentasi hukum dengan satu statemen bahwa orang yang menyentuh kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya diperbolehkan dengan ijmâ’ (kesepakatan semua ulama). Dengan pertimbangan itu, maka tidak ada tambahan dari hukum mubâh tersebut, kecuali adanya kesengajaan mengeluarkan sperma [al-ta’ammud li nuzûl al-maniy] sewaktu melakukan masturbasi. Perbuatan ini sama sekali tidak dapat diharamkan. Karena dalam al-Qur’an Surat al-An’âm (6) ayat 119, Allah SWT berfirman bahwa Ia telah menerangkan secara terinci segala sesuatu yang diharamkannya.
Sementara jika kita menelitinya, maka tidak ditemukan satu keterangan pun dari firman Allah yang menerangkan keharaman masturbasi itu. Logikanya, bila demikian, maka masturbasi atau onani diperbolehkan, sebagaimana penegasan umum Allah bahwa segala seuatu yang ada di bumi ini memang telah diperuntukkan manusia: khalaqa lakum mâ fiy al-ardli jamî’a. Meski begitu, masturbasi dihukumkan makrûh oleh karena tidak termasuk ke dalam perbuatan yang terpuji. Jelasnya, bukan perbuatan yang mencerminkan al-akhlâq al-karîmah.[28] Abdurrahman al-Jaziry menyebutnya sebagai telah keluar dari fithrah kemanusian [al-fithrah al-insâniyyah].[29]
Sedangkan pendapat kelima adalah pendapat yang dikemukakan oleh para sahabat dan tabi’in. Mereka itu, di antaranya, adalah Ibnu ‘Umar dan ‘Atha yang berpendapat makrûh. Sementara Ibnu ‘Abbas, Hasan, dan beberapa tokoh tabi’in lain berpendapat mubâh. Hasan berkata, “Mereka dahulu mengerjakan onani ketika terjadi peperangan (jauh dari keluarga/istri).” Sementara Mujahid, ahli tafsir murid Ibnu ‘Abbas, berkata, “Orang-orang dahulu (sahabat Nabi) malah menyuruh agar pemuda-pemudanya melakukan onani untuk menjaga kesucian dan kehormatan diri”. Sejenis dengan onani, masturbasi pun sama hukumnya.[30] Hukum mubâh ini berlaku baik untuk kaum laki-laki maupun perempuan.[31]
Penutup
Memperhatikan bahwa masturbasi atau onani pada dasarnya bukan jalan normal untuk memenuhi nafsu syahwat, dan mempertimbangkan bahwa masturbasi atau onani bisa mendatangkan kerugian bagi pelakunya bila dibiasakan, maka hukum asal masturbasi/onani lebih condong kepada hukum makruh. Jika telah nyata menunjukkan kecenderungan bahwa masturbasi atau onani merusak pelakunya--atas dasar hadits Nabi yang melarang setiap perbuatan yang merugikan diri sendiri atau orang lain--maka masturbasi/onani hukumnya bisa menjadi haram.
Sedangkan masturbasi atau onani yang dilakukan guna menghindari perbuatan zina bisa menjadi mubah dan dibolehkan. Allah SWT. berfirman (4: 31), “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu untuk mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosa kecil yang kamu kerjakan) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).
Sementara pendapat yang menyatakan bahwa dosa onani sama dengan dosa perzinaan, di samping tidak tepat juga sama sekali tidak rasional. Sebab, kalau dosa zina dan onani disamakan, maka setiap orang diduga keras (dhann) akan memilih untuk melakukan perzinaan daripada onani/masturbasi dan prihal ini pasti berbahaya. Pendapat itu mungkin dikemukakan oleh para ulama agar seseorang tidak gampang melakukan aktivitas masturbasi atau onani, terlebih menjadikannya sebagai adat kebiasaannya tiap hari.
Walhasil, hukum masturbasi atau onani mengikuti motif pelaksanaan dan akibat yang ditimbulkannya. Hukumnya sangat kondisional dan situasional. Elastisitas ini didukung oleh kenyataan bahwa perbuatan masturbasi atau onani oleh syarî’at tidak digolongkan sebagai tindak pidana [jarîmah] atau perbuatan yang terkena hukum ta’zîr. Perbuatan ini semata-mata urusan etika, murû`ah, dan kehormatan belaka.
Untuk menghindari timbulnya nafsu birahi secara tak terkendali, hendaknya diperhatikan ajaran hadits Nabi SAW agar para pemuda yang belum mampu melakukan perkawinan memperbanyak ibadah puasa.[32] Puasa bisa menjadi perisai (tameng) yang cukup efektif dari perbuatan-perbuatan yang tidak pantas dikerjakan. Bisa juga menyibukkan dan menenggelamkan diri dalam sejumlah aktivitas, sehingga yang bersangkutan tidak punyak banyak waktu untuk bermasturbasi atau beronani, seperti aktif dalam organisasi, kelompok-kelompuk studi, dan sebagainya.
Seseorang tidak perlu risau akan terjadinya penimbunan sperma dalam dirinya, sehingga ia harus melakukan onani atau masturbasi. Sperma yang menumpuk itu tidak mesti dikeluarkan lewat jalan onani/masturbasi. Bahkan, pada umumnya, tanpa masturbasi atau onani pun timbunan sperma yang seharusnya keluar, pada saatnya akan keluar dengan sendirinya secara alami. Biasanya keluar dengan jalan mimpi saat tidur atau karena kelelahan.
Penting dicatat bahwa pergaulan di antara mereka yang berbeda jenis kelamin sering menjadi faktor dominan bagi timbulnya gejolak nafsu birahi. Oleh karena itu, tata etik pergaulan dalam ajaran Islam penting diperhatikan kembali di tengah mainstream modernisme-hedonisme dewasa ini.
*Tulisan ini sudah pernah diterbitkan Rahima dalam buku bunga rampai berjudul "Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan" tahun 2002.
Penulis | : | Marzuki Wahid |
: | Abdul Moqsith Ghazali | |
Editor | : | Faqihuddin Abdul Kodir |
Referensi
- ↑ Ada banyak cara yang dilakukan oleh para pelaku lesbian. Di antaranya, dengan menggesek-gesekkan vaginanya pada tulang pinggul teman wanitanya, yang dalam istilah fikih dikenal dengan istilah al-sihaq. Belakangan, ditempuh dengan cara memasukkan jari atau benda lain yang menyerupai bentuk penis laki-laki ke liang vagina perempuan lainnya. Terhadap praktik lesbianiame seperti ini, para ulama sepakat menyatakan keharamannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan al-Turmudzi. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, hlm. 369. Bahkan, Taqiuddin al-Husainiy mengatakan bahwa pelaku al-sihaq tersebut bisa dihukum (ta’zir). Qadhi Abu al-Thayyib menyatakan bahwa dosa al-sihaq sama dengan perzinaan. Lihat Taqiyuddin al-Husainiy, Kifayah al-Akhyar fiy Hall Ghayah al-Ikhtishar, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Juz II, hlm. 184.
- ↑ Praktik homuseksual itu bermacam-macam. Antara laki-laki, ada yang memasukkan batang zakar atau penisnya di antara kedua paha lawannya, kemudian menggerak-gerakkannya seperti gerakan dalam senggama, dan ada pula yang memasukkan batang zakarnya ke dalam dubur (anus) lawannya yang dalam al-Qur`an disebut al-liwath. Terhadap praktik al-liwath ini para ulama sepakat tentang keharamannya, bahkan al-Qur`an menyebutnya sebagai perbuatan keji. Lihat al-Qur`an, surat al-A’raf ayat 80-84. Pada masa lampau, homoseksualitas dipandang sebagai perilaku seks yang menyimpang, tetapi kini terutama di Barat, sudah diterima sebagai hal yang lumrah, dan dianggap sebagai sifat yang terbawa semenjak lahir.
- ↑ Istilah ejakulasi dipakai untuk proses penyemburan sperma sewaktu laki-laki mencapai orgasme.
- ↑ Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), Cet. VII, hlm. 815.
- ↑ Lihat, Nina Surtiretna, Bimbingan Seks: Pandangan Islam dan Media, Bandung: Rosdakarya, 1996, hlm. 191.
- ↑ KH Ahmad Azhar Basyir, MA, Refleksi atas Persoalan Keislaman, Seputar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 152.
- ↑ Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 635 dan 703.
- ↑ Al-Syinqithy, Adlwâ` al-Bayân fiy Iydlah al-Qur`ân bi al-Qur`ân, Juz V, (Al-Qahirah: Maktabah Ibnu Taymiyah, 1988), hlm. 768
- ↑ Al-Syinqithi, Adlwâ` al-Bayân fiy Iydlah al-Qur`ân bi al-Qur`ân, hlm. 769-770.
- ↑ ]Al-Syawkaniy, Fath al-Qadîr, Juz III, (Beirut: Mahfudl al-‘Aliy, Tanpa Tahun), hlm. 474. Bandingkan dengan Ibnu Jarir al-Thabariy, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl Ayyi al-Qur`ân, Juz XVII, (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), hlm. 4.
- ↑ Al-Qurthubiy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, Juz XI, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 105.
- ↑ Al-Syinqithy, Adlwâ` al-Bayân fiy Iydlah al-Qur`ân bi al-Qur`ân, hlm. 770. Baca juga al-Qurthubiy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, Juz XI, hlm. 106
- ↑ Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, hlm. 434-436.
- ↑ Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr fiy al-Tafsîr al-Ma`tsûr, Juz IV, (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), hlm. 88.
- ↑ Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, hlm. 435
- ↑ Abdurrahman Al-Jaziry, Kitâb al-Fiqh ‘Alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V, (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), hlm. 152.
- ↑ Al-Syinqithy, Adlwâ` al-Bayân fiy Iydlah al-Qur`ân bi al-Qur`ân, hlm. 770.
- ↑ Abdurrahman al-Jaziry, Kitâb al-Fiqh ‘Alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V, hlm. 152.
- ↑ Lihat al-Imam al-Nawawiy, al-Majmû’: Syarh al-Muhadzdab, Juz XX, (Beirut: dar al-Fikr, Tanpa Tahun), hlm. 31. Belakangan pendapat ini juga diikuti oleh Wahbah al-Zuhailiy, al-Fqih al-Islâmiy wa Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 33
- ↑ Al-Imam al-Nawawiy, al-Majmû’: Syarh al-Muhadzdab, hlm. 25. Sementara itu, pada bagian akhir bahasannya tentang masturbasi/onani Imam Nawawiy menyadari bahwa aktivitas onani/masturbasi ini sudah melanda sebagian besar pemuda yang tidak dapat melangsungkan pernikahan pada usia layak nikah, misalnya karena alasan studi dan lain sebagainya. Kenyataannya, kesadaran tetap menjadi kesadaran. Imam Nawawy tidak sampai menyatakan prihal kebolehannya. Ia menjawabnya dengan singkat “ini sudah ketentuan dari Allah, dan saya akan mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh ahl al-dhâhir, dan apa yang diriwayatkan oleh para sahabat dan para tabi’in tatkala ditanya tentang pokok soal ini. Baca al-Imam al-Nawawiy, al-Majmû’: Syarh al-Muhadzdab, Juz XX, hlm. 34.
- ↑ Al-Imam al-Nawawiy, al-Majmû’: Syarh al-Muhadzdab, Juz XX, hlm. 34
- ↑ Taqiyuddin al-Husainiy, Kifayah al-Akhyar fiy Hall Ghayah al-Ikhtishar, hlm. 184.
- ↑ Baca Ahmad bin Muhammad al-Zarqâ, Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1989), hlm. 201.
- ↑ Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, hlm. 435.
- ↑ Baca Ahmad bin Muhammad al-Zarqâ, Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, hlm. 187. Baca juga Zayn al-‘Abidin bin Ibrahim bin Nujaym, al-Asybah wa al-Nadhâ`ir, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), hlm. 86.
- ↑ Al-Qurthubiy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, Juz XI, hlm. 106.
- ↑ Al-Syinqithy, Adlwâ` al-Bayân fiy Iydlah al-Qur`ân bi al-Qur`ân, hlm.770.
- ↑ Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, hlm. 437.
- ↑ Abdurrahman al-Jaziry, Kitâb al-Fiqh ‘Alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V, hlm. 152.
- ↑ Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, hlm. 436.
- ↑ Lihat Ahmad Ali al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyrî’ wa Falsafatuhu, Vol II, (Kairo: Mathba’ah al-Yusufiyyah, 1931), hlm. 198-199
- ↑ Rasulullah bersabda, “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu sudah mempunyai kemampuan (untuk nikah), maka nikahlah, karena itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Akan tetapi, barang siapa belum mampu (untuk nikah), maka hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung (HR. Bukhari).