Hukum Aborsi dalam Perspektif Islam: Perbedaan revisi

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
tidak ada ringkasan suntingan
(←Membuat halaman berisi '''Oleh: Badriyah Fayumi'' Sampai saat ini aborsi masih merupakan isu yang kontroversial. Kalangan agamawan -khususnya agama-agama samawi- memandang aborsi, kecuali...')
 
Baris 16: Baris 16:
'''a. Definisi Aborsi'''
'''a. Definisi Aborsi'''


Kata aborsi berasal dari bahasa Inggris yaitu abortion dan bahasa Latin abortus yang berarti: gugur kandungan atau keguguran.[1]
Kata aborsi berasal dari bahasa Inggris yaitu abortion dan bahasa Latin abortus yang berarti: gugur kandungan atau keguguran<ref>M. Ali Hasan, ''Masail Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam,'' (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 44.</ref>.


Dalam bahasa Arab aborsi disebut dengan dua istilah yakni ''al-ijhadh'' dan ''isqath al-haml''. Kedua istilah ini terdapat dalam kitab-kitab [[fiqh]] dan tulisan yang membahas tentang aborsi. Sebagian menggunakan istilah ''al-ijhadh'' dan Sebagian lain menggunakan istilah ''isqath al-haml''.[2]
Dalam bahasa Arab aborsi disebut dengan dua istilah yakni ''al-ijhadh'' dan ''isqath al-haml''. Kedua istilah ini terdapat dalam kitab-kitab [[fiqh]] dan tulisan yang membahas tentang aborsi. Sebagian menggunakan istilah ''al-ijhadh'' dan Sebagian lain menggunakan istilah ''isqath al-haml''.<ref>Fuqaha kontemporer yang menggunakan istilah ''al-ijhadh'' ini misalnya Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam ''al-Fiqh al-Islamiyy wa Adillathu'', Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam ''Mas’alah Tahdid an-Nasl, Wiqayatan wa Ilajan,'' Syekh al-Azhar (mantan) Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq dalam ''Ahkam asy-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyah ‘an al-Amradh an-Nisa’iyah wa Shihhah al-Injabiyah.'' Ada juga yang membedakan kedua istilah ini. ''Isqath al-haml'' digunakan oleh para dokter Arab untuk pengguguran kandungan yang sudah tua, sementara ''al-ijhadh'' digunakan untuk pengguguran kandungan yang masih muda. Lihat: KH. A. Aziz Masyhuri, ''Abortus Menurut Hukum Islam,'' (Makalah pada Bahtsul Masail NU Wilayah Jawa Timur, Oktober 1992, tidak diterbitkan).</ref>


Para Fuqaha, kecuali Syafi'iyah dan Ja'fariyah, mendefinisakan ''isqath al-haml'' dengan pengguguran janin yang dikandung perempuan dengan tindakan tertentu sebelum sempurna masa kehamilannya sebelum si janin bisa hidup di luar kandungan namun telah terbentuk sebagian anggota tubuhnya.[3]
Para Fuqaha, kecuali Syafi'iyah dan Ja'fariyah, mendefinisakan ''isqath al-haml'' dengan pengguguran janin yang dikandung perempuan dengan tindakan tertentu sebelum sempurna masa kehamilannya sebelum si janin bisa hidup di luar kandungan namun telah terbentuk sebagian anggota tubuhnya.<ref>Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq dalam ''Ahkam asy-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyah ‘an al-Amradh an-Nisa’iyah wa Shihhah al-Injabiyah,'' (Cairo: Universitas al-Azhar, 1997), h. 135.</ref>


Dari definisi di atas, sebuah tindakan bisa disebut sebagai aborsi jika memenuhi unsur-unsur a). kesengajaan menggugurkan, b). adanya tindakan tertentu, c). terjadi dalam masa kehamilan belum sempurna, d). itu sendiri belum bisa hidup di luar kandungan, dan f). sebagian anggota tubuhnya telah terbentuk.  
Dari definisi di atas, sebuah tindakan bisa disebut sebagai aborsi jika memenuhi unsur-unsur a). kesengajaan menggugurkan, b). adanya tindakan tertentu, c). terjadi dalam masa kehamilan belum sempurna, d). itu sendiri belum bisa hidup di luar kandungan, dan f). sebagian anggota tubuhnya telah terbentuk.  
Baris 26: Baris 26:
Unsur a dan b dalam definisi di atas mengandung pengertian bahwa keguguran tidak sengaja tidak termasuk dalam hukum aborsi. Sedangkan unsur f, sebagaimana akan dijelaskan nanti, berkaitan erat dengan kontroversi mengenai hukum aborsi, khususnya mengenai kapan sebuah tindakan disebut aborsi, apakah sejak terjadinya konsepsi ataukah setelah melewati masa tertentu.  
Unsur a dan b dalam definisi di atas mengandung pengertian bahwa keguguran tidak sengaja tidak termasuk dalam hukum aborsi. Sedangkan unsur f, sebagaimana akan dijelaskan nanti, berkaitan erat dengan kontroversi mengenai hukum aborsi, khususnya mengenai kapan sebuah tindakan disebut aborsi, apakah sejak terjadinya konsepsi ataukah setelah melewati masa tertentu.  


Definisi para fukaha ini agaknya senada dengan definisi yang dikemukakan para ahli kedokteran. Dalam istilah kedokteran, aborsi adalah pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi (kehamilan) 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.[4]
Definisi para fukaha ini agaknya senada dengan definisi yang dikemukakan para ahli kedokteran. Dalam istilah kedokteran, aborsi adalah pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi (kehamilan) 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.<ref>''Ensiklopedi Islam,'' (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994), h. 33.</ref>


Sardikin Ginaputra dari Fakultas Kedokteran UI mendefinisikan aborsi sebagai pengakhiran kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sedangkan Maryono Reksodipura dari Fakultas Hukum UI mendefinisikan aborsi dengan pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).[5]
Sardikin Ginaputra dari Fakultas Kedokteran UI mendefinisikan aborsi sebagai pengakhiran kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sedangkan Maryono Reksodipura dari Fakultas Hukum UI mendefinisikan aborsi dengan pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).<ref>Prof. Dr. Masyfuk Zuhdi, ''Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam,'' (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989), ce. Ke-3, h. 77.</ref>


Dengan memperbandingkan definisi para fukaha dan ahli kedokteran dan hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa ada titik persamaan di antara mereka dalam dua hal yakni: 1). ada upaya tertentu mengeluarkan janin atau mengakhiri kehamilan, dan 2). dilakukan pada saat janin belum bisa hidup di luar kandungan meski sudah berbentuk.  
Dengan memperbandingkan definisi para fukaha dan ahli kedokteran dan hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa ada titik persamaan di antara mereka dalam dua hal yakni: 1). ada upaya tertentu mengeluarkan janin atau mengakhiri kehamilan, dan 2). dilakukan pada saat janin belum bisa hidup di luar kandungan meski sudah berbentuk.  
Baris 36: Baris 36:
# Terpancarnya embrio yang tidak mungkin lagi hidup (sebelum hasil bulan keempat dari kehamilan); keguguran atau keluron;  
# Terpancarnya embrio yang tidak mungkin lagi hidup (sebelum hasil bulan keempat dari kehamilan); keguguran atau keluron;  
# Keadaan terhentinya pertumbuhan yang normal (untuk makhluk hidup);  
# Keadaan terhentinya pertumbuhan yang normal (untuk makhluk hidup);  
# ''guguran'' (janin).[6]
# ''guguran'' (janin).<ref>Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Depdikbud RI, ''Kamus Besar Bahasa Indonesia,'' (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), cet. Ke-2, h. 2.</ref>


Dari definisi ini tampak bahwa aborsi lebih dititikberatkan pada adanya embrio atau janin yang keluar sebelum waktunya dan tidak mensyaratkan adanya tindakan tertentu. Oleh karena itu keguguran atau keluron juga disebut aborsi. Demikian juga janin yang digugurkan.  
Dari definisi ini tampak bahwa aborsi lebih dititikberatkan pada adanya embrio atau janin yang keluar sebelum waktunya dan tidak mensyaratkan adanya tindakan tertentu. Oleh karena itu keguguran atau keluron juga disebut aborsi. Demikian juga janin yang digugurkan.  
Baris 52: Baris 52:
·      ''Abortus provocatus thorapeuticus'', yakni yang dilakukan atas dasar pertimbangan medis yang sungguh-sungguh dan pada umumnya untuk menyelamatkan jiwa si ibu.
·      ''Abortus provocatus thorapeuticus'', yakni yang dilakukan atas dasar pertimbangan medis yang sungguh-sungguh dan pada umumnya untuk menyelamatkan jiwa si ibu.


·      ''Abortus provocatus criminalis'', yakni yang dilakukan tanpa indikasi medis apapun, dan dianggap sebagai tindak pidana.[7]
·      ''Abortus provocatus criminalis'', yakni yang dilakukan tanpa indikasi medis apapun, dan dianggap sebagai tindak pidana.<ref>Dr. Harkristuti Harkrisnowo, ''Aborsi Ditinjau dari Perspektif Hukum,'' (Makalah Seminar dan Lokakarya Aborsi Ditinjau dari Perspektif Fiqh Kontemporer yang diselenggarakan oleh PP Fatayat NU, Jakarta, 2001), hl. 4. Lihat juga Masyfuk Zuhdi, ''Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia,'' (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), h. 38-39.</ref>


Aborsi jenis terakhir inilah yang sering disebut dengan aborsi illegal dan diancam hukuman, baik pidana maupun hukum Islam. Sedangkan untuk aborsi yang lain (''abortus spontaneous'' dan ''abortus provocatus therapeuticus'') hukum pidana dan hukum Islam memberikan kualifikasi dan ketentuan yang berbeda-beda menurut faktor penyebabnya, ringan dan beratnya serta jenis dan sifatnya.  
Aborsi jenis terakhir inilah yang sering disebut dengan aborsi illegal dan diancam hukuman, baik pidana maupun hukum Islam. Sedangkan untuk aborsi yang lain (''abortus spontaneous'' dan ''abortus provocatus therapeuticus'') hukum pidana dan hukum Islam memberikan kualifikasi dan ketentuan yang berbeda-beda menurut faktor penyebabnya, ringan dan beratnya serta jenis dan sifatnya.  
Baris 69: Baris 69:




Janin dianggap sudah memiliki kehidupan setelah berusia 40 hari, sehingga para rabbi menganggap aborsi sesudah itu adalah pembunuhan. Aborsi di atas 40 hari dianggap dosa besar dan pelakunya dapat dikenakan sanksi yang berat sebagaimana halnya membunuh bayi yang sudah lahir. Sedangkan janin yang belurn berusia 40 hari disekut "cairan biasa" (maya d'alma). Sebagian rabbi berpendapat bahwa pengguguran kandungan di awah 40 hari tidak disebut aborsi dan pelakunya tidak dilzenakan sanksi inoral atau sanksi hukum.[8]  
Janin dianggap sudah memiliki kehidupan setelah berusia 40 hari, sehingga para rabbi menganggap aborsi sesudah itu adalah pembunuhan. Aborsi di atas 40 hari dianggap dosa besar dan pelakunya dapat dikenakan sanksi yang berat sebagaimana halnya membunuh bayi yang sudah lahir. Sedangkan janin yang belurn berusia 40 hari disekut "cairan biasa" (maya d'alma). Sebagian rabbi berpendapat bahwa pengguguran kandungan di awah 40 hari tidak disebut aborsi dan pelakunya tidak dilzenakan sanksi inoral atau sanksi hukum.<ref>[[Nasaruddin Umar]], ''Aborsi dalam Pandangan Agama-Agama Samawi,'' (Makalah Semi-Loka Aborsi Ditinjau dari Perspektif Fiqh Kontemporer yang diadakan PPFNU, Jakarta, 2001), h. 2-3.</ref>


Secara lebih rinci, hukum Yahudi memiliki empat konsideran berkenaan dengan aborsi. Pertama, aborsi dilarang bila mengarah pada pembunuhan, yakni bila calon bayi (embrio, feotus) dianggap sebagai makhluk hidup. Kedua, aborsi dilarang apabila menyebabkan luka pada tubuh. Ketiga, aborsi diarang apabila menyebabkan kerusakan finansial atau property. Seorang ayah bertanggung jawab pada kepada keluarga dan keturunannya, dan apabila seseorang memukul perempuan (istri) dan menyebabkannya terluka, maka orang tersebut harus membayar uang kompensasi kepada ayah. Keempat, seluruh otoritas Rabbani sependapat bahwa untuk alasan-alasan sosial ekonomi, aborsi bertentangan dengan hukum Yahudi.
Secara lebih rinci, hukum Yahudi memiliki empat konsideran berkenaan dengan aborsi. Pertama, aborsi dilarang bila mengarah pada pembunuhan, yakni bila calon bayi (embrio, feotus) dianggap sebagai makhluk hidup. Kedua, aborsi dilarang apabila menyebabkan luka pada tubuh. Ketiga, aborsi diarang apabila menyebabkan kerusakan finansial atau property. Seorang ayah bertanggung jawab pada kepada keluarga dan keturunannya, dan apabila seseorang memukul perempuan (istri) dan menyebabkannya terluka, maka orang tersebut harus membayar uang kompensasi kepada ayah. Keempat, seluruh otoritas Rabbani sependapat bahwa untuk alasan-alasan sosial ekonomi, aborsi bertentangan dengan hukum Yahudi.
Baris 75: Baris 75:
Akan tetapi, jika kehamilan mengancam kelangsungan hidup si perempuan yang mengandung, aborsi diperbolehkan. Alasannya, seperti dinyatakan dalam The Mishnah, adalah karena hidup ibu lebih dahulu daripada sang bayi yang belum lahir.
Akan tetapi, jika kehamilan mengancam kelangsungan hidup si perempuan yang mengandung, aborsi diperbolehkan. Alasannya, seperti dinyatakan dalam The Mishnah, adalah karena hidup ibu lebih dahulu daripada sang bayi yang belum lahir.


Sebagian rabbi Yahudi membolehkan aborsi apabila kondisi janin menderita cacat atau penyakit keturunan. Sebagian yang lain memperbolehkan aborsi apabila keberlanjutan kehamilan sang ibu akan berpengaruh pada kesehatan mentalnya. Lebih lanjut, aborsi diperbolehkan ada  posisi lenient yaitu feotus berkisia kurang dari 41 hari. Talinud menyebutkan, feotus tidak berbentuk sampai periode itu.[9]
Sebagian rabbi Yahudi membolehkan aborsi apabila kondisi janin menderita cacat atau penyakit keturunan. Sebagian yang lain memperbolehkan aborsi apabila keberlanjutan kehamilan sang ibu akan berpengaruh pada kesehatan mentalnya. Lebih lanjut, aborsi diperbolehkan ada  posisi lenient yaitu feotus berkisia kurang dari 41 hari. Talinud menyebutkan, feotus tidak berbentuk sampai periode itu.<ref>Geoffrey Wigoder, ''The Encyclopaedia of Judaism,'' (The Jerussalem Publishing House, 1989), h. 19.</ref>


'''b. Katolik'''
'''b. Katolik'''
Baris 84: Baris 84:


# Bagaimana janin menerima ruh (human soul). Dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, yang mengatakan bahwa jiwa itu secara biologis ditransmisi dari orang tua, dan kedua, jiwa dibuat langsung oleh Tuhan.  
# Bagaimana janin menerima ruh (human soul). Dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, yang mengatakan bahwa jiwa itu secara biologis ditransmisi dari orang tua, dan kedua, jiwa dibuat langsung oleh Tuhan.  
# Kapan janin menerima ruh. Menurut Agustinus, jiwa hadir pada janin pada saat "quickening", sementara menurut Thornas Aquinas jiwa tidak diciptakan saat konsepsi melainkan telah diinfuse ke dalam fetus. Oleh karena itu rnenggugurkan fetus baik yang telah terbentuk maupun yang belum terbentuk (quasi) tetap merupkan pembunuhan.[10]
# Kapan janin menerima ruh. Menurut Agustinus, jiwa hadir pada janin pada saat "quickening", sementara menurut Thornas Aquinas jiwa tidak diciptakan saat konsepsi melainkan telah diinfuse ke dalam fetus. Oleh karena itu rnenggugurkan fetus baik yang telah terbentuk maupun yang belum terbentuk (quasi) tetap merupkan pembunuhan.<ref>Rev. Gennaro P. Avvento, ''Sexuality a Christian View, Toward Formation of Mature Values,'' (PO. Box 180, Mystic, CT.06355, 1982), h. 145-147.</ref>


Setelah abad pertengahan wacana tentang aborsi semakin menunjukkan ketegasan mengenai ketidak bolehan aborsi dan sanksi hukurnnya.
Setelah abad pertengahan wacana tentang aborsi semakin menunjukkan ketegasan mengenai ketidak bolehan aborsi dan sanksi hukurnnya.


Mainstream pernikiran yang berkembang dalam tradisi Katolik adalah bahwa kehidupan itu sudah dimulai sejak masa konsepsi (pembuahan). Upaya menggugurkan janin pasca pembuahan temasuk dosa besar dan dapat dikenakan sanksi moral dan hukum sebagaimana halnya pembunuhan bayi. Bahkan Paus Paulus pernah mengatakan bahwa kehidupan janin harus lebih diutamakan dari pada kehidupan ibunya. Namun, sebagian ilmuan Katolik yang moderat, seperti St.Jerome, penerjemah ''Vulgate Bible'', membedakan janin yang sebelum dan sesudah berumur 40 hari. Aborsi sebelum janin berusia 40 hari tidak bisa disamakan dengan pembunuhan terhadap bayi yang sudah lahir.[11]
Mainstream pernikiran yang berkembang dalam tradisi Katolik adalah bahwa kehidupan itu sudah dimulai sejak masa konsepsi (pembuahan). Upaya menggugurkan janin pasca pembuahan temasuk dosa besar dan dapat dikenakan sanksi moral dan hukum sebagaimana halnya pembunuhan bayi. Bahkan Paus Paulus pernah mengatakan bahwa kehidupan janin harus lebih diutamakan dari pada kehidupan ibunya. Namun, sebagian ilmuan Katolik yang moderat, seperti St.Jerome, penerjemah ''Vulgate Bible'', membedakan janin yang sebelum dan sesudah berumur 40 hari. Aborsi sebelum janin berusia 40 hari tidak bisa disamakan dengan pembunuhan terhadap bayi yang sudah lahir.<ref>Nasaruddin Umar, ''Op.Cit.,'' h. 3.</ref>


== Aborsi dalam Pandangan Islam ==
== Aborsi dalam Pandangan Islam ==
Baris 129: Baris 129:


Di samping penjelasan secara terinci, dalam beberapa ayat Allah juga menyinggung proses penciptaan manusia, misalnya :
Di samping penjelasan secara terinci, dalam beberapa ayat Allah juga menyinggung proses penciptaan manusia, misalnya :


'''1. QS. al-Qiyamah, 75 :37-38'''
'''1. QS. al-Qiyamah, 75 :37-38'''
Baris 149: Baris 148:




1. HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud:[12]
 
1. HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud:<ref>Hadits ini disebut Bukhari dalam kitabnya sebanyak 4 kali. Lihat al-Bukhari, ''Sahih Bukhari,'' CD. Rom, Kitab Bad’ al-Khalq bab Zikr al-Malaikat, hadis ke-2969, kitab Ahadits al-Anbiya’ bab Khalqu Adam wa Dzurriyatuhu, hadis ke-3085, kitab al-Qadr ba Ma Jaa’a fi al-Qadar, hadis ke-6105, kitab at-[[Tauhid]] bab Qawluhu Sabaqat Kalimatuna, hadis ke-6900. Muslim menyebutkan hadis ini dengan 6 sanad. Lihat Muslim, ''Sahih Muslim,'' (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), juz II, kitab al-Qadar ba Kayfiyyah al-Khalq al-Adami, hadis ke-2643. Redaksi di atas adalah redaksi Muslim.</ref>


قَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ (الحديث).
قَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ (الحديث).
Baris 155: Baris 155:
''" Sesungguhnya kamu berada di rahim ibumu selama 40 hari sebagai nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama masa yang sama, lalu menjadi mudghah pada masa yang sama pula. Lalu Allah mengutus seorang malaikat dan meniupkan ruh ke dalam tubuhnya. Malaikat itu kemudian diperintahkan-Nya menulis empat kalimat, lalu malaikat itu menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, kebahagiaan dan kesengsaraannya…… "''
''" Sesungguhnya kamu berada di rahim ibumu selama 40 hari sebagai nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama masa yang sama, lalu menjadi mudghah pada masa yang sama pula. Lalu Allah mengutus seorang malaikat dan meniupkan ruh ke dalam tubuhnya. Malaikat itu kemudian diperintahkan-Nya menulis empat kalimat, lalu malaikat itu menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, kebahagiaan dan kesengsaraannya…… "''


2 HR.Muslirn dari Huzaifah bin Asid:[13]
2 HR.Muslirn dari Huzaifah bin Asid:<ref>Muslilm bin Hajjaj, ''Ibid.,'' Kitab al-Qadar, hadis ke-2644. Dalam bab yang sama Muslim juga meriwayatkan 4 buah hadis dari sahabat yang sama, namun dengan redaksi yang sedikit berbeda dan jumlah hari yang berbeda pula. Dalam salah satu Riwayat dikatakan 40 atau 45 hari, dalam Riwayat lain disebutkan 40 hari, dan ada juga Riwayat yang menyebutkan secara tersamar, yakni empat puluh hari lebih (''bidh’un wa arba’in'').</ref>


إِذَا مَرَّ بِالنُّطْفَةِ ثِنْتَانِ وَأَرْبَعُونَ لَيْلَةً بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهَا مَلَكًا فَصَوَّرَهَا وَخَلَقَ سَمْعَهَا وَبَصَرَهَا وَجِلْدَهَا وَلَحْمَهَا وَعِظَامَهَا ثُمَّ قَالَ يَا رَبِّ أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى فَيَقْضِى رَبُّكَ مَا شَاءَ وَيَكْتُبُ الْمَلَكُ (الحديث).
إِذَا مَرَّ بِالنُّطْفَةِ ثِنْتَانِ وَأَرْبَعُونَ لَيْلَةً بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهَا مَلَكًا فَصَوَّرَهَا وَخَلَقَ سَمْعَهَا وَبَصَرَهَا وَجِلْدَهَا وَلَحْمَهَا وَعِظَامَهَا ثُمَّ قَالَ يَا رَبِّ أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى فَيَقْضِى رَبُّكَ مَا شَاءَ وَيَكْتُبُ الْمَلَكُ (الحديث).
Baris 172: Baris 172:
Seluruh ulama dari semua madzhab sepakat bahwa aborsi setelah kehamilan melewati masa 120 hari adalah haram karena pada saat itu janin telah bernyawa. Dasar daari hukum ini adalah hadits pertama sebagaimana yang telah dijelaskan. Karena pada usia tersebut janin telah bernyawa, maka menggugurkannya sama dengan membunuh manusia (anak) yang secara jelas diharamkan oleh Allah SWT, seperti yang tertera dalam QS.al-An’am/6:151, QS. All-Isra’/17:33, dan sebagainya.
Seluruh ulama dari semua madzhab sepakat bahwa aborsi setelah kehamilan melewati masa 120 hari adalah haram karena pada saat itu janin telah bernyawa. Dasar daari hukum ini adalah hadits pertama sebagaimana yang telah dijelaskan. Karena pada usia tersebut janin telah bernyawa, maka menggugurkannya sama dengan membunuh manusia (anak) yang secara jelas diharamkan oleh Allah SWT, seperti yang tertera dalam QS.al-An’am/6:151, QS. All-Isra’/17:33, dan sebagainya.


Setelah janin memilik ruh, ia menjadi “manusia” dengan hak-hak primernya (''huquq al-insan adh-dharuriyah'').  Konsekuensinya, ia boleh menerima wasiat dan waqaf, berhak menerima warisan dari ahli waris jika ia lahir dan hidup, serta memiliki hubungan nasab dengan kedua orang tuanya. Para fuqaha menyatakan janin setelah 120 hari memiliki ''ahliyyah wujub naqishah''.[14]
Setelah janin memilik ruh, ia menjadi “manusia” dengan hak-hak primernya (''huquq al-insan adh-dharuriyah'').  Konsekuensinya, ia boleh menerima wasiat dan waqaf, berhak menerima warisan dari ahli waris jika ia lahir dan hidup, serta memiliki hubungan nasab dengan kedua orang tuanya. Para fuqaha menyatakan janin setelah 120 hari memiliki ''ahliyyah wujub naqishah''.<ref>Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, ''Op.Cit.,'' h. 148-149. Dalam ushul fiqh, dikenal istilah ahliyyah (keputusan dan keharusan seseorang untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban). Keharusan menerima hak dari orang lain disebut ''ahliyyah al-wujub'' dan keharusan menjalankan kewajiban disebut ''ahliyyah al-ada’.'' Janin hanya mempunyai ''ahliyyah al-wujub.'' Namun karena ia belum sempurna sebagai manusia, maka hak-haknya pun terbatas. Inilah yang disebut ''ahliyyah al-wujub al-qashirah'' atau ''ahliyyah an-naqishah.'' Lihat Abdul Jalil al-Qaransyawi, dkk. ''Al-Mujaz fi Uhsul al-Fiqh'' (Cairon: fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, 1965), cet ke-2, hl. 34-35.</ref>


Aborsi pada usia diatas 120 hari hanya boleh dilakukan jika terjadi kondisi “''dharurat''”[15] seperti ketika si ibu mengalami problem persalinan dan dokter spesialis menyatakan bahwa mempertahankan kehamilan akan membahayakan jiwa si ibu.[16] Dalam kondisi seperti ini menyelamatkan jiwa si ibu dinilai lebih penting dari pada mempertahankan janin, karena ibu adalah induk dari mana janin berasal.
Aborsi pada usia diatas 120 hari hanya boleh dilakukan jika terjadi kondisi “''dharurat''”<ref>Definisi “dharurat” secara sederhana ialah suatu keadaan yang sampai suatu batas, kalua ia tidak mengerjakan yang terlarang akan membinasakan jiwanya atau hamper binasa. Dalam keadaan dharurat semacam ini diperbolehkan mengejakan yang haram, bahkan bisa diwajibkan.</ref> seperti ketika si ibu mengalami problem persalinan dan dokter spesialis menyatakan bahwa mempertahankan kehamilan akan membahayakan jiwa si ibu<ref>Jaad al-Haq, ''Loc. Cit.''</ref>. Dalam kondisi seperti ini menyelamatkan jiwa si ibu dinilai lebih penting dari pada mempertahankan janin, karena ibu adalah induk dari mana janin berasal.


b.2. Ikhtilaf.
b.2. Ikhtilaf.
Baris 184: Baris 184:
           Fuqaha Syafi’iyah berpendapat aborsi pada usia kehamilan di bawah 40 hari hukumnya makruh. Inipun dengan syarat adanya keridhaan dari suami istri serta adanya rekomendasi dari dua orang dokter spesialis bahwa aborsi itu tidak menyebabkan kemudhuratan bagi si Ibu.
           Fuqaha Syafi’iyah berpendapat aborsi pada usia kehamilan di bawah 40 hari hukumnya makruh. Inipun dengan syarat adanya keridhaan dari suami istri serta adanya rekomendasi dari dua orang dokter spesialis bahwa aborsi itu tidak menyebabkan kemudhuratan bagi si Ibu.


           Jika masa kehamilan telah lewat 40 hari, aborsi haram mutlak, baik janin sudah bergerak maupun belum. Pendapat ini didasarkan pada hadits kedua sebagaiman disebutkan di atas.[17]
           Jika masa kehamilan telah lewat 40 hari, aborsi haram mutlak, baik janin sudah bergerak maupun belum. Pendapat ini didasarkan pada hadits kedua sebagaiman disebutkan di atas.<ref>Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Op.Cit.'' h. 72-73.</ref>


           Mengutip pendapat Imam az-Zarkasyi, al-Imam ar-Ramli dalam Nilhayah al-Muhtaj mengemukakan aborsi diperbolehkan pada saat janin masih berupa nuthfah atau ‘alaqah. Pendapat ini disandarkan pada pernyataan Abu Bakar bin Abu Sa’id al-Furati ketika ditanya oleh al-Karabisi tentang seorang laki-laki yang memberi minuman peluntur kepada jariyahnya. Al-Furati menjawab hal itu boleh selagi masih berupa nuthfah atau ‘alaqah. Lebih lanjut ar-Ramli menjelaskan bahwa sebelum nafh ar-ruh,aborsi tidak bisa disebut khilaf al-aula, melainkan mengandung kemungkinan makruh tanzih dan makruh tahrim. Semakin dekat dengan nafh ar-ruh, semakin kuat pula makruh tahrimnya. Dan jika sudah ada ruh, aborsi adalah tindakan kriminal (''jarimah'').[18]
           Mengutip pendapat Imam az-Zarkasyi, al-Imam ar-Ramli dalam Nilhayah al-Muhtaj mengemukakan aborsi diperbolehkan pada saat janin masih berupa nuthfah atau ‘alaqah. Pendapat ini disandarkan pada pernyataan Abu Bakar bin Abu Sa’id al-Furati ketika ditanya oleh al-Karabisi tentang seorang laki-laki yang memberi minuman peluntur kepada jariyahnya. Al-Furati menjawab hal itu boleh selagi masih berupa nuthfah atau ‘alaqah. Lebih lanjut ar-Ramli menjelaskan bahwa sebelum nafh ar-ruh,aborsi tidak bisa disebut khilaf al-aula, melainkan mengandung kemungkinan makruh tanzih dan makruh tahrim. Semakin dekat dengan nafh ar-ruh, semakin kuat pula makruh tahrimnya. Dan jika sudah ada ruh, aborsi adalah tindakan kriminal (''jarimah'').<ref>Al-Imam ar-Ramli, ''Nihayah al-Muhtaj,'' (Cairo: Dar al-Syuruq, tth.), juz VIII, h. 416.</ref>


Seperti halnya pendapat yang berkembang di kalangan Syafi’iyah, Ibnu Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj juga berpendapat serupa, yakni Seperti halnya pendapat yang berkembang di kalangan Syafi’iyah, Ibnu Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj juga berpendapat serupa, yakni peniupan ruh terjadi setelah embrio berusia 40 atau 42 hari. Mulai saat inilah aborsi diharamkan.[19]
Seperti halnya pendapat yang berkembang di kalangan Syafi’iyah, Ibnu Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj juga berpendapat serupa, yakni Seperti halnya pendapat yang berkembang di kalangan Syafi’iyah, Ibnu Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj juga berpendapat serupa, yakni peniupan ruh terjadi setelah embrio berusia 40 atau 42 hari. Mulai saat inilah aborsi diharamkan.<ref>Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Loc. Cit.''</ref>


Berbeda dengan ulama Syafi’iyah yang lain, al-Imam al-Ghazaali dalam Ihya’ Ulum ad-Din berpendapat bahwa aborsi adalah tindakan pidana yang haram tanpa melihat apakah sudah ada ruh atau belum. Al-Ghazali mengatakan bahwa kehidupan telah dimulai sejak pertemuan antara air sperma dengan ovum di dalam Rahim perempuan. Jika telah ditiupkan ruh kepada janin, maka itu merupakan tindak pidana yang sangat keji, setingkat di bawah pembunuhan bayi hidup-hidup.[20]
Berbeda dengan ulama Syafi’iyah yang lain, al-Imam al-Ghazaali dalam Ihya’ Ulum ad-Din berpendapat bahwa aborsi adalah tindakan pidana yang haram tanpa melihat apakah sudah ada ruh atau belum. Al-Ghazali mengatakan bahwa kehidupan telah dimulai sejak pertemuan antara air sperma dengan ovum di dalam Rahim perempuan. Jika telah ditiupkan ruh kepada janin, maka itu merupakan tindak pidana yang sangat keji, setingkat di bawah pembunuhan bayi hidup-hidup.<ref>Al-Imam al-Ghazali, ''Ihya Ulumuddin,'' (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983), juz II, h. 51.</ref>


Ada yang menarik dari pendapat al-Ghazali mengenai keharaman aborsi. Pelenyapan nuthfah yang telah bertemu dengan ovum dianalogikan dengan sebuah akad atau perjanjian yang sudah disepakati, Sperma laki-laki seperti ijab dan ovum perempuan seperti qabul. Jika keduanya bertemu, maka akad tidak boleh dan tidak bisa dibatalkan. Analogi ini termasuk qiyas jail. Aborsi, lanjut al-Ghazali tidak bisa disamakan dengan ‘azl/coitus interuptus.[21]
Ada yang menarik dari pendapat al-Ghazali mengenai keharaman aborsi. Pelenyapan nuthfah yang telah bertemu dengan ovum dianalogikan dengan sebuah akad atau perjanjian yang sudah disepakati, Sperma laki-laki seperti ijab dan ovum perempuan seperti qabul. Jika keduanya bertemu, maka akad tidak boleh dan tidak bisa dibatalkan. Analogi ini termasuk qiyas jail. Aborsi, lanjut al-Ghazali tidak bisa disamakan dengan ‘azl/coitus interuptus.<ref>''Ibid.''</ref>


Demikian, dalam fuqaha Syafi’iyah sendiri terjadi ikhtilaf. Mayoritas mengharamkan aborsi pasca 40 hari usia embrio, ar-Ramli membuat batasan yang lebih longgar, sementara al-Ghazali justru mengharamkannya sejak terjadi konsepsi.
Demikian, dalam fuqaha Syafi’iyah sendiri terjadi ikhtilaf. Mayoritas mengharamkan aborsi pasca 40 hari usia embrio, ar-Ramli membuat batasan yang lebih longgar, sementara al-Ghazali justru mengharamkannya sejak terjadi konsepsi.
Baris 198: Baris 198:
''b.2.b. Madzhab Hanafi''
''b.2.b. Madzhab Hanafi''


Sama dengan yang terjadi dalam madzhab Syafi’i, dalam madzhab Hanafi juga terdapat ikhtilaf. Namun jika fuqaha Syafi’iyah sebagian besar sepakat bahwa aborsi haram setelah usia kehamilan 40 atau 42 hari, sebagian besar fuqaha Hanafiyahberpendapat bahwa aborsi diperbolehkan sebelum janin terbentuk. Kapan janin terbentuk, masih terjadi ikhtilaf juga. Sebagian besar berpendapat janin terbentuk setelah usia kehamilan 120 hari. Pendapat yang demikian disampaikan oleh, antara lain, al-Hashkafi, penulis kitab ad-Durr al-Mukhtar. Menurutnya, aborsi boleh sepanjang belum terjadi penciptaan, dan itu hanya terjadi sesudah 120 hari kehamilan.[22] Sebagian besar ulama Hanafiyah juga berpendapat demikian.
Sama dengan yang terjadi dalam madzhab Syafi’i, dalam madzhab Hanafi juga terdapat ikhtilaf. Namun jika fuqaha Syafi’iyah sebagian besar sepakat bahwa aborsi haram setelah usia kehamilan 40 atau 42 hari, sebagian besar fuqaha Hanafiyahberpendapat bahwa aborsi diperbolehkan sebelum janin terbentuk. Kapan janin terbentuk, masih terjadi ikhtilaf juga. Sebagian besar berpendapat janin terbentuk setelah usia kehamilan 120 hari. Pendapat yang demikian disampaikan oleh, antara lain, al-Hashkafi, penulis kitab ad-Durr al-Mukhtar. Menurutnya, aborsi boleh sepanjang belum terjadi penciptaan, dan itu hanya terjadi sesudah 120 hari kehamilan.<ref>Ibnu Abidin, ''ar-Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar,'' (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), juz II, h. 411.</ref> Sebagian besar ulama Hanafiyah juga berpendapat demikian.


Pendapat lain dikemukakan oleh Ibnu Abidin, penulis kitab ar-Radd al-Mukhtar, yakni bahwa aborsi makruh mutlak baik sebelum maupun sesudah terjadinya pembentukan janin. Hanya saja dosanya tidak sama dengan dosa membunuh.[23] Pendapat ini mengandung pengertian haramnya aborsi secara mutlak karena istilah makruh dalam fiqh Hanafi berarti Karahiyah at-tahrim (makruh yang lebih dekat kepada haram).
Pendapat lain dikemukakan oleh Ibnu Abidin, penulis kitab ar-Radd al-Mukhtar, yakni bahwa aborsi makruh mutlak baik sebelum maupun sesudah terjadinya pembentukan janin. Hanya saja dosanya tidak sama dengan dosa membunuh.<ref>''Ibid.''</ref> Pendapat ini mengandung pengertian haramnya aborsi secara mutlak karena istilah makruh dalam fiqh Hanafi berarti Karahiyah at-tahrim (makruh yang lebih dekat kepada haram).


Sebagian fuqaha Hanafiyah berpendapat bahwa aborsi diperbolehkan sebelum janin melewati usia 45 hari. Pendapat ini dinyatakan oleh Abdullah bin Mahmud al-Mushili. Namun pendapat ini tidak begitu popular dalam madzhab Hanafi. [24]
Sebagian fuqaha Hanafiyah berpendapat bahwa aborsi diperbolehkan sebelum janin melewati usia 45 hari. Pendapat ini dinyatakan oleh Abdullah bin Mahmud al-Mushili. Namun pendapat ini tidak begitu popular dalam madzhab Hanafi.<ref>Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Op. Cit.,'' h. 77.</ref>


''b.2.c. Madzhab Hanbali''
''b.2.c. Madzhab Hanbali''
Baris 210: Baris 210:
Dalam kitab al-Inshaf karya ‘Alauddin ‘Ali bin Sulaiman al-Mardayi terdapat keterangan bolehnya minum obat-obatan peluntur untuk menggugurkan nuthfah. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu an-Najjar dalam Muntaha al-Iradat. Ia mengatakan laki-laki boleh meminum obat yang mencegah terjadinya coitus, sedangkan perempuan boleh meminum peluntur untuk menggugurkan nuthfah dan mendapatkan haidh.
Dalam kitab al-Inshaf karya ‘Alauddin ‘Ali bin Sulaiman al-Mardayi terdapat keterangan bolehnya minum obat-obatan peluntur untuk menggugurkan nuthfah. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu an-Najjar dalam Muntaha al-Iradat. Ia mengatakan laki-laki boleh meminum obat yang mencegah terjadinya coitus, sedangkan perempuan boleh meminum peluntur untuk menggugurkan nuthfah dan mendapatkan haidh.


Pendapat yang paling ketat dating dari Ibnu’I Jauzi. Dalam kitab Ahkam an-NIsaa’ ia menyebutkan bahwa aborsi hukumnya haram mutlak baik sebelum maupun sesudah penciptaan (40 hari). [25]
Pendapat yang paling ketat dating dari Ibnu’I Jauzi. Dalam kitab Ahkam an-NIsaa’ ia menyebutkan bahwa aborsi hukumnya haram mutlak baik sebelum maupun sesudah penciptaan (40 hari).<ref>Pendapat-pendapat ini sebagaimana yang dikutip al-Buthi. Selengkapnya lihat Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Op. Cit.,'' h. 79.</ref>


''b.2.d. Madzhab Maliki''
''b.2.d. Madzhab Maliki''


Mayoritas fuqaha Malikiyah berpendapat keras mengenai aborsi, yakni haram sejak terjadinya konsepsi.[26] Pendapat mereka ini sejalan dengan Imam al-Ghazali dari madzhab Syafi’i dan Ibnu al-Jauzi dari madzhab Hanbali. Ibnu Hazm dari madzhab Zhahiri juga menyetujui pendapat ini.[27] Demikian pula pandangan sejumlah fuqaha Syi’ah Imamiyah dan Ibadhiyah.[28]
Mayoritas fuqaha Malikiyah berpendapat keras mengenai aborsi, yakni haram sejak terjadinya konsepsi.<ref>Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, ''Op.Cit.,'' h. 136. Lihat juga al-Buthi, ''Ibid.,'' h. 80.</ref> Pendapat mereka ini sejalan dengan Imam al-Ghazali dari madzhab Syafi’i dan Ibnu al-Jauzi dari madzhab Hanbali. Ibnu Hazm dari madzhab Zhahiri juga menyetujui pendapat ini.<ref>Ibn Hazm, ''al-Muhalla,'' (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, tth.), juz XI, h. 35-40.</ref> Demikian pula pandangan sejumlah fuqaha Syi’ah Imamiyah dan Ibadhiyah.<ref>Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, ''Op.Cit.,'' h. 137.</ref>


Ibnu al-Jauzi dalam al-Qawanin al-Fiqhiyah mengatakan bahwa jika sperma telah bertemu ovum dan berada dalam rahim, pengguguran tidak boleh dilakukan. Keharaman itu menjadi lebih berat jika sudah terjadi masa penciptaan (40 hari), dan menjadi sangat berat jika sudah diberikan nyawa, karena hal itu sama dengan membunuh nyawa manusia. Pendapat ini sejalan denan al-Ghazali yang mengenal tahapan-tahapan dosa dalam aborsi.[29]
Ibnu al-Jauzi dalam al-Qawanin al-Fiqhiyah mengatakan bahwa jika sperma telah bertemu ovum dan berada dalam rahim, pengguguran tidak boleh dilakukan. Keharaman itu menjadi lebih berat jika sudah terjadi masa penciptaan (40 hari), dan menjadi sangat berat jika sudah diberikan nyawa, karena hal itu sama dengan membunuh nyawa manusia. Pendapat ini sejalan denan al-Ghazali yang mengenal tahapan-tahapan dosa dalam aborsi.<ref>Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Loc.Cit.''</ref>


''b.2.e. Khulashah al-qaul''  
''b.2.e. Khulashah al-qaul''  
Baris 230: Baris 230:
4.    Haram mutlak. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha Malikiyah, Imam al-Ghazali, Ibnu’I Jauzi, dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Dengan kata lain di samping mayoritas fuqaha Malikiyah, dalam semua madzhab terdapat ulama yang mengaharmkan aborsi secara mutlak.
4.    Haram mutlak. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha Malikiyah, Imam al-Ghazali, Ibnu’I Jauzi, dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Dengan kata lain di samping mayoritas fuqaha Malikiyah, dalam semua madzhab terdapat ulama yang mengaharmkan aborsi secara mutlak.


 
=== ''c. Alasan-alasan Aborsi Diperbolehkan'' ===
'''''c. Alasan-alasan Aborsi Diperbolehkan'''''
Fiqh selalu mengenal pengecualian. Demikian pula halnya dengan aborsi. Hukum aborsi yang telah diformulasikan para fuqaha itu berlaku dalam kondisi normal. Sebaliknya, para fuqaha memperbolehkan bahkan mewajibkan aborsi jika terjadi sebuah kondisi yang dianggap “dharurat” Banyak dalil yang menjadi sandaran hukum hal ini, seperti QS. Al-Baqarah:2/173, QS.al-Maidah:5/3, hadis Nabi “''laa dharara wa laa dhiraara”,'' dan kaedah fiqhiyah “''adh-dharurat tubihu al-mahzhurat.”''<ref>Mengenai rincian dan contoh-contoh kasus yang masuk dalam kaedah ini, lihat as-Suyuthi dalam ''al-Asybah wa an-Nazhair'' dalam pembahasan mengenai kaedah ke-empat “adh-Dharar Yuzal”.</ref>
 
Fiqh selalu mengenal pengecualian. Demikian pula halnya dengan aborsi. Hukum aborsi yang telah diformulasikan para fuqaha itu berlaku dalam kondisi normal. Sebaliknya, para fuqaha memperbolehkan bahkan mewajibkan aborsi jika terjadi sebuah kondisi yang dianggap “dharurat” Banyak dalil yang menjadi sandaran hukum hal ini, seperti QS. Al-Baqarah:2/173, QS.al-Maidah:5/3, hadis Nabi “''laa dharara wa laa dhiraara”,'' dan kaedah fiqhiyah “''adh-dharurat tubihu al-mahzhurat.”'''[30]'''''


''          '' Diantara alasan yang sering dikemukakan fuqaha untuk kehamilan, sementara ia sendiri sedang menyusui bayinya. Dalam keadaan demikian ia atau suaminya tidak mampu membayar air susu yang lain. Alasan lain adalah ketidakmampuan ibu menanggung beban hamil, karena tubuhnya yang kurus dan rapuh. Dalam kasus-kasus seperti ini aborsi,tanpa memandang usia kehamilan, dapat dilakukan sepanjang menurut penelitian medis yang dapat dipercaya, kelahirannya dipastikan akan membahayakan jiwa ibu.
''          '' Diantara alasan yang sering dikemukakan fuqaha untuk kehamilan, sementara ia sendiri sedang menyusui bayinya. Dalam keadaan demikian ia atau suaminya tidak mampu membayar air susu yang lain. Alasan lain adalah ketidakmampuan ibu menanggung beban hamil, karena tubuhnya yang kurus dan rapuh. Dalam kasus-kasus seperti ini aborsi,tanpa memandang usia kehamilan, dapat dilakukan sepanjang menurut penelitian medis yang dapat dipercaya, kelahirannya dipastikan akan membahayakan jiwa ibu.
Baris 241: Baris 239:
           ”Idza ''ta’aradha al-mafsadatani ru’iya a’adzamuhuma dhararan bi-rtikab akhaff adh-dhararain.”'' (jika terjadi pergulatan antara dua hal yang sama-sama merugikan, maka yang harus dipertahankan adalah hal yang menimbulkan kerugian paling berat dengan menempuh resiko kerugian yang lebih ringan).
           ”Idza ''ta’aradha al-mafsadatani ru’iya a’adzamuhuma dhararan bi-rtikab akhaff adh-dhararain.”'' (jika terjadi pergulatan antara dua hal yang sama-sama merugikan, maka yang harus dipertahankan adalah hal yang menimbulkan kerugian paling berat dengan menempuh resiko kerugian yang lebih ringan).


Dalam pandangan fuqaha,kematian ibu lebih berat daripada janin, karena ibu adalah induk darimana janin berasal. Ia sudah memilki eksistensi yang pasti, memiliki kewajiban dan hak, sementara janin belum. Karena itu ia tidak boleh dikorbankan demi menyelamatkan janin yang eksistensinya belum pasti dan belum memiliki kewajiban.[31]
Dalam pandangan fuqaha,kematian ibu lebih berat daripada janin, karena ibu adalah induk darimana janin berasal. Ia sudah memilki eksistensi yang pasti, memiliki kewajiban dan hak, sementara janin belum. Karena itu ia tidak boleh dikorbankan demi menyelamatkan janin yang eksistensinya belum pasti dan belum memiliki kewajiban.<ref>[[Husein Muhammad]], ''Op.Cit.,'' h. 6-7.</ref>
 
'''''d. Aborsi di Luar Nikah'''''


=== ''d. Aborsi di Luar Nikah'' ===
Seks bebas yang mengakibatkan terjadinya kehamilan di luar nikah yang tidak terlalu menarik perhatian fuqaha klasik ternyata menarik perhatian tersendiri bagi fuqaha kontemporer. Sa’id Ramadhan al-Buthi dengan tegas mengatakan bahwa aborsi untuk kasus yang demikian adalah haram mutlak. Ia mengemukakan lima dalil sebagai berikut :
Seks bebas yang mengakibatkan terjadinya kehamilan di luar nikah yang tidak terlalu menarik perhatian fuqaha klasik ternyata menarik perhatian tersendiri bagi fuqaha kontemporer. Sa’id Ramadhan al-Buthi dengan tegas mengatakan bahwa aborsi untuk kasus yang demikian adalah haram mutlak. Ia mengemukakan lima dalil sebagai berikut :


Baris 256: Baris 253:




2.    Hadits mengenai perempuan Ghamidiyah yang diriwayatkan Muslim dari Buraidah r.a. yang dating kepada Rasulullah dengan membawa pengakuan ia telah berzina dengan Ma’iz bin Malik sedang hamil karenanya. Ma’iz dirajam lebih dulu setelah empat kali membuat pengakuan zina dan meminta Rasulullah mensucikannya. Namun terhadap peremuan Ghaamidiyah itu Rasulullah menangguhkan hukuman rajam sampai ia melahirkan anaknya dan menyapihnya. Setelah si anak disapih dan diserahkan kepada orang lain, barulah ia dirajam.[32]


2.    Hadits mengenai perempuan Ghamidiyah yang diriwayatkan Muslim dari Buraidah r.a. yang dating kepada Rasulullah dengan membawa pengakuan ia telah berzina dengan Ma’iz bin Malik sedang hamil karenanya. Ma’iz dirajam lebih dulu setelah empat kali membuat pengakuan zina dan meminta Rasulullah mensucikannya. Namun terhadap peremuan Ghaamidiyah itu Rasulullah menangguhkan hukuman rajam sampai ia melahirkan anaknya dan menyapihnya. Setelah si anak disapih dan diserahkan kepada orang lain, barulah ia dirajam.<ref>Muslim, ''Op.Cit.,'' kitab al-Hudud bab Man I’tarafa ‘ala Nafsihi bi al-Zina, hadis ke-1695.</ref>
Hadits ini menunjukan bahwa anak yang diakndung akibat zina tidak boleh digugurkan. Bahkan Imam Nawawi dalam syarah atas hadits ini menyatakan bahwa semua had, termasuk hukuman ''jilid'', harus ditangguhkan ketika perempuan sedang hamil demi menjaga kehidupan janin.<ref>An-Nawawi, ''Syarah an-Nawawi ‘ala Sahih Muslim,'' juz XI, h. 201.</ref>


Hadits ini menunjukan bahwa anak yang diakndung akibat zina tidak boleh digugurkan. Bahkan Imam Nawawi dalam syarah atas hadits ini menyatakan bahwa semua had, termasuk hukuman ''jilid'', harus ditangguhkan ketika perempuan sedang hamil demi menjaga kehidupan janin.[33]




Baris 268: Baris 268:




5.    Aborsi terhadap janin hasil hubungan di luar nikah juga bertentangan dengan kaedah “''sad adz-dzari’ah”.'''[34]'''''  
5.    Aborsi terhadap janin hasil hubungan di luar nikah juga bertentangan dengan kaedah “''sad adz-dzari’ah”.''<ref>Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Op. Cit.,'' h. 127-139.</ref>




Demikian, aborsi akibat perzinaan dipandang oleh fiqh kontemporer sebagai tindak kriminal yang berkaitan erat dengan moralitas sosial (''jarimah ijtima’iyah).'' Pengecualian hanya berlaku jika si perempuan diancam dibunuh kalau tidak melakukan aborsi. Dalam kasus seperti ini aborsi diperbolehkan karena untuk menyelamatkan jiwa si ibu.[35]
Demikian, aborsi akibat perzinaan dipandang oleh fiqh kontemporer sebagai tindak kriminal yang berkaitan erat dengan moralitas sosial (''jarimah ijtima’iyah).'' Pengecualian hanya berlaku jika si perempuan diancam dibunuh kalau tidak melakukan aborsi. Dalam kasus seperti ini aborsi diperbolehkan karena untuk menyelamatkan jiwa si ibu.<ref>''Ibid,'' h. 143.</ref>


Berbeda dengan aborsi yang disebabkan oleh perzinaan, aborsi yang disebabkan karena perkosaan diperbolehkan jika kelahiran anak tersebut dipastikan akan membawa dampak buruk bagi jiwa dan raga si ibu dikemudian hari. Aborsi untuk kasus seperti ini boleh karena perempuan diperkosa bukan pelaku tindak pidana sehingga ''rukhsah'' aborsi berlaku.[36]
Berbeda dengan aborsi yang disebabkan oleh perzinaan, aborsi yang disebabkan karena perkosaan diperbolehkan jika kelahiran anak tersebut dipastikan akan membawa dampak buruk bagi jiwa dan raga si ibu dikemudian hari. Aborsi untuk kasus seperti ini boleh karena perempuan diperkosa bukan pelaku tindak pidana sehingga ''rukhsah'' aborsi berlaku.<ref>''Ibid,'' h. 159-160.</ref>


Apalagi perempuan tersebut hamil bukan atas kemauannya sendiri melainkan dipaksa. Dalam kondisi seperti ini berlaku hadits nabi yang menyatakan ”''Umatku dibebaskan dari kekeliruan kealpaan dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.”'' (HR.Thabarani, Abu Dawud, an-Nasa’I dan al-Hakim).
Apalagi perempuan tersebut hamil bukan atas kemauannya sendiri melainkan dipaksa. Dalam kondisi seperti ini berlaku hadits nabi yang menyatakan ”''Umatku dibebaskan dari kekeliruan kealpaan dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.”'' (HR.Thabarani, Abu Dawud, an-Nasa’I dan al-Hakim).
Baris 281: Baris 282:
           Satu hal yang perlu dicatat di sini, dalam kasus perzinaan, pendekatan hukum aborsi dalam fiqh dilakukan dengan mngedepankan hak janin dan hak masyarakat. Hak Ibu yang mengandung justru tidak mendapatkan tempat sama sekali. Pada titik inilah, antara lain, kontroversi dengan kalangan aktivis “pro-choice” terjadi.
           Satu hal yang perlu dicatat di sini, dalam kasus perzinaan, pendekatan hukum aborsi dalam fiqh dilakukan dengan mngedepankan hak janin dan hak masyarakat. Hak Ibu yang mengandung justru tidak mendapatkan tempat sama sekali. Pada titik inilah, antara lain, kontroversi dengan kalangan aktivis “pro-choice” terjadi.


 
=== ''e. Akibat Hukum aborsi'' ===
'''''e. Akibat Hukum aborsi'''''
 
Pelaku aborsi atau penyebab ''keguguran'' dalam fiqh dikenakan hukuman. Orang yang terkena hukuman itu bisa Ibu si janin sendiri bisa juga orang lain. Ada beberapa macam sanksi bagi pelaku atau penyebab aborsi sesuai dengan akibat yang ditimbulkan : ''ghurroh'' (denda yang nilainya 5% dari diyat penuh atau senilai lima ekor unta), ''kifarah'' (ganti rugi), ''diyat'' (tebusan), dan ''ta’zir'' ( hukuman atas pertmbangan hakim).
Pelaku aborsi atau penyebab ''keguguran'' dalam fiqh dikenakan hukuman. Orang yang terkena hukuman itu bisa Ibu si janin sendiri bisa juga orang lain. Ada beberapa macam sanksi bagi pelaku atau penyebab aborsi sesuai dengan akibat yang ditimbulkan : ''ghurroh'' (denda yang nilainya 5% dari diyat penuh atau senilai lima ekor unta), ''kifarah'' (ganti rugi), ''diyat'' (tebusan), dan ''ta’zir'' ( hukuman atas pertmbangan hakim).


''Ghurrah'' berlaku jika aborsi telah memenuhi lima syarat yakni : adanya tindakan tertentu yang menyebabkan janin gugur, janin gugur setelah terjadinya tindakan tertentu, janin keluar dalam keadaan meninggal, janin sudah melewati masa ''mudghah'' (sudah berbentuk), dan orang tua janin bukan ''kafir harbi'' kedua-duanya.[37]
''Ghurrah'' berlaku jika aborsi telah memenuhi lima syarat yakni : adanya tindakan tertentu yang menyebabkan janin gugur, janin gugur setelah terjadinya tindakan tertentu, janin keluar dalam keadaan meninggal, janin sudah melewati masa ''mudghah'' (sudah berbentuk), dan orang tua janin bukan ''kafir harbi'' kedua-duanya.<ref>Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Op.Cit.,'' h. 180-186.</ref>
 
Yang dimaksud tindakan disini adalah semua hal yang bisa menjadi penyebab keguguran, termasuk ucapan. Misalnya, mengancam, menakut-nakuti, menghina, mengejutkan, berteriak keras, membiarkan kelaparan, meneyabrkan bau busuk, bahkan membuat si hamil terpesona. JIka hal-hal tersebut membuat si perempuan keguguran, maka pelaku atau penyebab keguguran mesti membayar '' ghurrah'' tanpa melihat apakah tindakan itu disengaja atau tidak.[38]


Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan usia janin yang gugur mewajibkan ''ghurrah.'' Jumhur ulama mengatakan ''ghurrah'' wajib tanpa memandang usia janin, asalkan janin sudah melewati masa ''mudghah.'' Namun Imam Malik mewajibkan ''ghurrah'' tanpa memandang apakah janin sudah berbentuk atau belum.[39] Ulama Hanabilah memberikan ''tafshil. Ghurrah'' wajib pada usia kehamilan dibwah 6 bulan. Selain itu, pelaku atau penyebab aborsi dikenakan ''diyat'' penuh.[40]
Yang dimaksud tindakan disini adalah semua hal yang bisa menjadi penyebab keguguran, termasuk ucapan. Misalnya, mengancam, menakut-nakuti, menghina, mengejutkan, berteriak keras, membiarkan kelaparan, meneyabrkan bau busuk, bahkan membuat si hamil terpesona. JIka hal-hal tersebut membuat si perempuan keguguran, maka pelaku atau penyebab keguguran mesti membayar '' ghurrah'' tanpa melihat apakah tindakan itu disengaja atau tidak.<ref>Lihat Ibn Hajar, ''Tuhfah al-Muhtaj,'' (Cairo: Musthafa Muhammad, tth), juz IX, h. 39, dan asy-Syirbini, ''Mughni al-Muhtaj,'' (Beirut: Ihya at-Turats al-Arabi), juz IV, h. 391. Juga Ibnu Qudamah, ''al-Mughni,'' (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah), juz VIII, h. 391.</ref>


           ''Diyat'' penuh juga berlaku jika janin yang sudah diketahui hidup di rahim ibunya terbunuh karena tindak kriminal terhadap ibunya dan bukan dimaksudkan untuk mebunuh karena tindak kriminal terhadap ibunya sendiri dan bukan dimaksudkan untuk membunuh janin itu sendiri. Ini adalah pendapat jumhur. Namun jika tindakan itu memang dimaksudkan untuk mencelakai si janin itu sendiri, maka pelakunya wajib membayar ''kifarati.'' Demikian pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.[41]
Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan usia janin yang gugur mewajibkan ''ghurrah.'' Jumhur ulama mengatakan ''ghurrah'' wajib tanpa memandang usia janin, asalkan janin sudah melewati masa ''mudghah.'' Namun Imam Malik mewajibkan ''ghurrah'' tanpa memandang apakah janin sudah berbentuk atau belum.<ref>Ibn Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid,'' juz II, h. 312.</ref> Ulama Hanabilah memberikan ''tafshil. Ghurrah'' wajib pada usia kehamilan dibwah 6 bulan. Selain itu, pelaku atau penyebab aborsi dikenakan ''diyat'' penuh.<ref>Ibnu Qudamah, ''Op.Cit.,'' h. 401.</ref>


'''Aborsi dalam Perspektif Hukum Positif'''
           ''Diyat'' penuh juga berlaku jika janin yang sudah diketahui hidup di rahim ibunya terbunuh karena tindak kriminal terhadap ibunya dan bukan dimaksudkan untuk mebunuh karena tindak kriminal terhadap ibunya sendiri dan bukan dimaksudkan untuk membunuh janin itu sendiri. Ini adalah pendapat jumhur. Namun jika tindakan itu memang dimaksudkan untuk mencelakai si janin itu sendiri, maka pelakunya wajib membayar ''kifarati.'' Demikian pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.<ref>Ibnu Qudamah, ''Op.Cit.,'' h. 403, al-Syirbini, ''Op.Cit.,'' h. 105.</ref>


Masalah aborsi dibahas dalam KUHP dan UUD no.23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam KUHP, pasal mengenai pengguguran kandungan dimasukkan ke dalam bab mengenai “kejahatan terhadap nyawa”. Dengan demikian secara implisit berarti tindakan pidana ini dilakukan terhadap korban yang berbeda “ ''in rerum natura “'' atau berada dalam keadaan hidup.[42] Di sini persoalan menjadi terkait dengan kapan janin mulai dianggap sebagai makhluk bernyawa.  
== Aborsi dalam Perspektif Hukum Positif ==
Masalah aborsi dibahas dalam KUHP dan UUD no.23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam KUHP, pasal mengenai pengguguran kandungan dimasukkan ke dalam bab mengenai “kejahatan terhadap nyawa”. Dengan demikian secara implisit berarti tindakan pidana ini dilakukan terhadap korban yang berbeda “ ''in rerum natura “'' atau berada dalam keadaan hidup.<ref>Harkristuti Harkrisnowo, ''Op.Cit.,'' h. 5.</ref> Di sini persoalan menjadi terkait dengan kapan janin mulai dianggap sebagai makhluk bernyawa.  


           Sama halnya dengan perdebatan yang terjadi dalam fiqh Islam, kontroversi mengenai kapan janin dianggap sebagai makhluk bernyawa juga terjadi dalam dunia kedokteran. Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh World Medical Association tahun 1948, disebutkan bahwa dokter harus menghormati kehidupan insani sejak saat pembuahan sel oleh sperma, Ini dipengaruhi oleh pandangan Kristiani yang berkembang di Barat saat itu.
           Sama halnya dengan perdebatan yang terjadi dalam fiqh Islam, kontroversi mengenai kapan janin dianggap sebagai makhluk bernyawa juga terjadi dalam dunia kedokteran. Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh World Medical Association tahun 1948, disebutkan bahwa dokter harus menghormati kehidupan insani sejak saat pembuahan sel oleh sperma, Ini dipengaruhi oleh pandangan Kristiani yang berkembang di Barat saat itu.
Baris 304: Baris 302:
           Dilema ini kemudian dipecahkan oleh sebuah keputusan di Venesia tahun 1983 yang intinya dokter menghormati kehidupan sejak kehidupan itu dimulai. Persatuan Dokter spesialis Kebidanan se-Dunia dalam perkembangannya menetapkan bahwa kehidupan dimulai sejak sel telur yang dibuahi menempel di dinding rahim. Dilemanya bayi tabung akhirnya terselesaikan.
           Dilema ini kemudian dipecahkan oleh sebuah keputusan di Venesia tahun 1983 yang intinya dokter menghormati kehidupan sejak kehidupan itu dimulai. Persatuan Dokter spesialis Kebidanan se-Dunia dalam perkembangannya menetapkan bahwa kehidupan dimulai sejak sel telur yang dibuahi menempel di dinding rahim. Dilemanya bayi tabung akhirnya terselesaikan.


           Namun hasil penelitian Norman F. Ford kemudian menunjukan bahwa kehidupan dimulai setelah pembentukan ''primitive streak,'' yaitu lipatan ke dalam yang terbentuk pada ''zygote'' ( hasil pertautan sel telur dan sperma) saat berusia empat minggu. Pada saat itulah, menurut Ford, embrio baru bisa lisebut sebagai ''person'' atau rnakhluk insani.[43]
           Namun hasil penelitian Norman F. Ford kemudian menunjukan bahwa kehidupan dimulai setelah pembentukan ''primitive streak,'' yaitu lipatan ke dalam yang terbentuk pada ''zygote'' ( hasil pertautan sel telur dan sperma) saat berusia empat minggu. Pada saat itulah, menurut Ford, embrio baru bisa lisebut sebagai ''person'' atau rnakhluk insani.<ref>Dr. Kartono Muhammad, ''Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi,'' (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), cet. Ke-1, h. 130-131.</ref>


Perbedaan pandagan mengenai kapan kehidupan dimulai ini berakibat pada perbedaan penafsiran mengenai ketentuan yang diatur dalam dan UU Kesehatan.
Perbedaan pandagan mengenai kapan kehidupan dimulai ini berakibat pada perbedaan penafsiran mengenai ketentuan yang diatur dalam dan UU Kesehatan.
Baris 326: Baris 324:
b.    tidak mempermasalahkan cara melakukannya.
b.    tidak mempermasalahkan cara melakukannya.


Dalam praktek, yang diajukan ke pengadilan pada umumnya adalah orang yang menggugurkan kandungan, sedangkan si perempuan sendiri lolos dari jeratan hukum. Ha1 ini karena ketidak jelasan identitas mereka di samping para terdakwa tidak mau memberikan kesaksian yang justru memberatkan mereka jika ia mengungkap identitas orang yang digugurkan kandungannya.[44]
Dalam praktek, yang diajukan ke pengadilan pada umumnya adalah orang yang menggugurkan kandungan, sedangkan si perempuan sendiri lolos dari jeratan hukum. Ha1 ini karena ketidak jelasan identitas mereka di samping para terdakwa tidak mau memberikan kesaksian yang justru memberatkan mereka jika ia mengungkap identitas orang yang digugurkan kandungannya.<ref>Harkristuti Harkrisnowo, ''Op.Cit.,'' h. 6-8.</ref>


Selain KUHP, ketentuan mengenai aborsi juga terdapat dalam UU Kesehatan No.23 tahun 1992. Namun UU ini juga menimbulkan kebingungan penafsiran. Dalampasa115 dinyatakan:
Selain KUHP, ketentuan mengenai aborsi juga terdapat dalam UU Kesehatan No.23 tahun 1992. Namun UU ini juga menimbulkan kebingungan penafsiran. Dalampasa115 dinyatakan:
Baris 340: Baris 338:
c.      Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya
c.      Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya


d.     Pada sarana kesehatan tertentu.[45]
d.     Pada sarana kesehatan tertentu.<ref>Syafiq Hasyim, ''Menakar “Harga” Perempuan,'' (Bandung: Mizan, 1999), cet. Ke-1, h. 276-277.</ref>


Dari pasal di atas seakan-akan UU ini memperbolehkan pengguguran kandungan dengan alasan tertentu. Akan tetapi Penjelasan Pasal ini merumuskan suatu hal yang membingungkan, yakni:  
Dari pasal di atas seakan-akan UU ini memperbolehkan pengguguran kandungan dengan alasan tertentu. Akan tetapi Penjelasan Pasal ini merumuskan suatu hal yang membingungkan, yakni:  
Baris 346: Baris 344:
''Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan, Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu.''
''Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan, Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu.''


Bagi beberapa orang, "tindakan medis tertentu" diartikan sebagai aborsi, tetapi di sisi lain pemerintah atau pengadilan bisa saja menafsirkannya sebagai tindakan selain aborsi sebab pada kalimat awal ditegaskan bahwa Pengguguran kandungan atas alasan apapun dilarang. Yang boleh diambil adalah “tindakan medis tertentu”. Apalagi kalimat terakhir menyebutkan          “untuk menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin” yang sudah pasti bukan tindakan aborsi karena aborsi tidak pernah menyelamatkan jiwa janin.[46]
Bagi beberapa orang, "tindakan medis tertentu" diartikan sebagai aborsi, tetapi di sisi lain pemerintah atau pengadilan bisa saja menafsirkannya sebagai tindakan selain aborsi sebab pada kalimat awal ditegaskan bahwa Pengguguran kandungan atas alasan apapun dilarang. Yang boleh diambil adalah “tindakan medis tertentu”. Apalagi kalimat terakhir menyebutkan          “untuk menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin” yang sudah pasti bukan tindakan aborsi karena aborsi tidak pernah menyelamatkan jiwa janin.<ref>Dr. Kartono Muhammad, ''Op.Cit.,'' h. 65-66.</ref>


Di sini terasa ada keragu-raguan pemerintah Indonesia dalam menghadapi masalah aborsi. Alasan medis memang dikemukakan dalam konteks menjaga nilai-nilai moral, namun tidak jelas apakah aborsi termasuk sa1ah satu tindakan yang diperbolehkan. Lebih dari itu dalam perundang-undangan yang ada tidak tercantum dictum yang menyatakan persyaratan aborsi, jika itu dipandang sebagai tindakan darurat, apalagi memberi ruang bagi ibu untuk melakukan aborsi karena mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Ini semua menyebabkan aborsi menjadi ''"dark number of crime"'' sampai sekarang.
Di sini terasa ada keragu-raguan pemerintah Indonesia dalam menghadapi masalah aborsi. Alasan medis memang dikemukakan dalam konteks menjaga nilai-nilai moral, namun tidak jelas apakah aborsi termasuk sa1ah satu tindakan yang diperbolehkan. Lebih dari itu dalam perundang-undangan yang ada tidak tercantum dictum yang menyatakan persyaratan aborsi, jika itu dipandang sebagai tindakan darurat, apalagi memberi ruang bagi ibu untuk melakukan aborsi karena mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Ini semua menyebabkan aborsi menjadi ''"dark number of crime"'' sampai sekarang.


 
== Fakta Aborsi ==
'''Fakta Aborsi'''
 
Fakta tentang aborsi di lapangan menunjukkan angka-angka yang sulit dijadikan pedoman karena penelitian yang akurat terbentur kendala hukum dan norma-norma sosial. Namun yang pasti adalah bahwa aborsi terjadi di tengah-tengah masyarakat dan angka-angka yang diperoleh belum menunjukkan jumlah kejadian yang sebenarnya.
Fakta tentang aborsi di lapangan menunjukkan angka-angka yang sulit dijadikan pedoman karena penelitian yang akurat terbentur kendala hukum dan norma-norma sosial. Namun yang pasti adalah bahwa aborsi terjadi di tengah-tengah masyarakat dan angka-angka yang diperoleh belum menunjukkan jumlah kejadian yang sebenarnya.


Sebagai gambaran, pada tahun 1994 diperkirakan terjadi 1.000.000 aborsi setiap tahun di Indonesia. 50% diantaranya dilakukan oieh mereka yang belum menikah, dan dari jumlah ini kurang lebih 10-25 % adalah remaja (jakarta, 3/10/1994) tahun berikutnya terbetik berita dari Bali bahwa setiap ada 100 remaja di Denpasar dan Badung yang ingin dipulihkan dari kehamilan yang tidak mereka inginkan (Matra, November 1995).[47]
Sebagai gambaran, pada tahun 1994 diperkirakan terjadi 1.000.000 aborsi setiap tahun di Indonesia. 50% diantaranya dilakukan oieh mereka yang belum menikah, dan dari jumlah ini kurang lebih 10-25 % adalah remaja (jakarta, 3/10/1994) tahun berikutnya terbetik berita dari Bali bahwa setiap ada 100 remaja di Denpasar dan Badung yang ingin dipulihkan dari kehamilan yang tidak mereka inginkan (Matra, November 1995).<ref>Adrina dkk. ''Hak-hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung,'' (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), h. 117-118.</ref>


Angka yang disodorkan oleh Prof. Sudraji Sumapraja lain lagi. Dalam catatannya ia menyatakan 99,7 % perempuan yang melakukan aborsi adalah yang sudah menikah (Kompas,30/11/1997). Sementara itu, penelitian lapangan yang dilakukan oleh Indraswari dari FISIP Unpad tahun 1997 menyirnpulkan 85 % pelaku aborsi berstatus menikah. Penelitian ini juga mengungkapkan abortus spontan karena kelelahan, beban kerja berlebihan dan kondisi kesehatan mencapai angka 20%. Selebihnya, 10 % responden melakukan abortus prbvokatus terapikus (APT), dan 65 % responden melakukan abortus provokatus kriminalis (APK).[48]
Angka yang disodorkan oleh Prof. Sudraji Sumapraja lain lagi. Dalam catatannya ia menyatakan 99,7 % perempuan yang melakukan aborsi adalah yang sudah menikah (Kompas,30/11/1997). Sementara itu, penelitian lapangan yang dilakukan oleh Indraswari dari FISIP Unpad tahun 1997 menyirnpulkan 85 % pelaku aborsi berstatus menikah. Penelitian ini juga mengungkapkan abortus spontan karena kelelahan, beban kerja berlebihan dan kondisi kesehatan mencapai angka 20%. Selebihnya, 10 % responden melakukan abortus prbvokatus terapikus (APT), dan 65 % responden melakukan abortus provokatus kriminalis (APK).<ref>Syafiqh Hasyim (ed.), ''Op.Cit.,'' h. 152-154.</ref>


Held dan Adriaanz yang melakukan meta analisis tentang kelompok risiko tinggi terhadap kehami1an yang tidak diinginkan mengemukakan bahwa ada 4 kelompok risiko 1).kelompok kegagalan kontrasepsi (48 %); 2).kelompok remaja (27 %); 3).kelompok praktisi seks komersial (14%); dan 4).kelompok korban perkosaan, incest, perbudakan seksual (9 %).[49]
Held dan Adriaanz yang melakukan meta analisis tentang kelompok risiko tinggi terhadap kehami1an yang tidak diinginkan mengemukakan bahwa ada 4 kelompok risiko 1).kelompok kegagalan kontrasepsi (48 %); 2).kelompok remaja (27 %); 3).kelompok praktisi seks komersial (14%); dan 4).kelompok korban perkosaan, incest, perbudakan seksual (9 %).<ref>Attashehendartini Habsjah, ''Fakta-fakta Aborsi,'' (Makalah Semi-Loka Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, PPFNU, 2001), h. 4.</ref>


Angka-angka di atas, sekali lagi, belum menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Apalagi pada umumnya penelitian dilakukan dengan Responden yang tidak banyak dan tidak luas sebaran wilayahnya. Responden juga kurang jujur dalam menjawab pertanyaan karena ada stigma-stigma tertentu mengenai aborsi.
Angka-angka di atas, sekali lagi, belum menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Apalagi pada umumnya penelitian dilakukan dengan Responden yang tidak banyak dan tidak luas sebaran wilayahnya. Responden juga kurang jujur dalam menjawab pertanyaan karena ada stigma-stigma tertentu mengenai aborsi.
Baris 367: Baris 363:
a.             Pada perempuan yang belum/tidak menikah, alasan melakukan aborsi di antaranya karena masih berusia remaja, pacar tidak mau bertanggungjawab, takut pada orang tua, berstatus janda yang hamil di luar nikah, dan berstatus sebagai simpanan sesorang dan dilarang hamil oleh pasangannya.
a.             Pada perempuan yang belum/tidak menikah, alasan melakukan aborsi di antaranya karena masih berusia remaja, pacar tidak mau bertanggungjawab, takut pada orang tua, berstatus janda yang hamil di luar nikah, dan berstatus sebagai simpanan sesorang dan dilarang hamil oleh pasangannya.


b.             Pada perempuan yang sudah menikah, alasannya antara lain karena kegagalan alat kontrasepsi, jarak kelahiran yang terlalu rapat, jumlah anak yang terlalu banyak, terlalu tua untuk melahirkan, fator sosial ekonomi (tidak sanggup lagi membiayai anak-anaknya dan khawatir masa depan anak tidak terjamin), alasan medis, sedang dalam proses perceraian dengan suami, atau karena berstatus sebagai istri kedua dan suaminya tidak menginginkan kehadiran anak dari dia.[50]
b.             Pada perempuan yang sudah menikah, alasannya antara lain karena kegagalan alat kontrasepsi, jarak kelahiran yang terlalu rapat, jumlah anak yang terlalu banyak, terlalu tua untuk melahirkan, fator sosial ekonomi (tidak sanggup lagi membiayai anak-anaknya dan khawatir masa depan anak tidak terjamin), alasan medis, sedang dalam proses perceraian dengan suami, atau karena berstatus sebagai istri kedua dan suaminya tidak menginginkan kehadiran anak dari dia.<ref>''Ibid.,'' h. 5.</ref>


Dari alasan-alasan yang dikemukakan tampak bahwa sebagian besar, aborsibukan disebabkan oleh kemauan murni perempuan. Ia melakukan aborsi karena takut dengan risiko sosial, takut kepada orang lain (suami atau  orang tua cian keluarga), adanya paksaan dari keluarga, dan adanya kondisi keluarga yang membuatnya tidak berani punya anak lagi. Aborsi yang semata-mata dilakukan karena perempuan tidak mau punya anak tampaknya sulit ditemukan datanya, untuk tidak bilang tidak ada. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, dari perspektif agama, apakah kondisi-kondisi seperti itu bisa disebut ''"ikrah"'' yang konsekuensinya menempatkan perempuan pada posisi ''"ghairu mukallaf"'' ? Tentu, pertanyaan ini akan memerlukan pembahasan yang khusus dan mendalam.
Dari alasan-alasan yang dikemukakan tampak bahwa sebagian besar, aborsibukan disebabkan oleh kemauan murni perempuan. Ia melakukan aborsi karena takut dengan risiko sosial, takut kepada orang lain (suami atau  orang tua cian keluarga), adanya paksaan dari keluarga, dan adanya kondisi keluarga yang membuatnya tidak berani punya anak lagi. Aborsi yang semata-mata dilakukan karena perempuan tidak mau punya anak tampaknya sulit ditemukan datanya, untuk tidak bilang tidak ada. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, dari perspektif agama, apakah kondisi-kondisi seperti itu bisa disebut ''"ikrah"'' yang konsekuensinya menempatkan perempuan pada posisi ''"ghairu mukallaf"'' ? Tentu, pertanyaan ini akan memerlukan pembahasan yang khusus dan mendalam.


'''Penutup'''
== Penutup ==
 
      Uraian di atas mendorong penulis untuk menyatakan beberapa hal berikut ini  
      Uraian di atas mendorong penulis untuk menyatakan beberapa hal berikut ini  


Baris 394: Baris 389:




'''Daftar Pustaka'''
== Daftar Pustaka ==
 
                                                                                                   
 
''Al-Qur’an al-Karim''
 
Abidin, Ibnu, ''ar-Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar,'' (Beirut: Dar al-Fikr, 1979).
 
Adrina dkk. ''Hak-hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung,'' (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998).
 
al-Bukhari, al-Imam, ''Sahih Bukhari,'' Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, tth.
 
al-Buthi, Sa’id Ramadhan, Dr. ''Mas’alah Tahdid an-Nasl, Wiqayatan wa Ilajan,'' (Syria: Maktabah al-Farabi, 2000).
 
al-Ghazali, Al-Imam, ''Ihya Ulumuddin,'' (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983), juz II.
 
Al-Haq, Jaad al-Haq ‘Ali Jaad, asy-Syaikh, ''Ahkam asy-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyah ‘an al-Amradh an-Nisa’iyah wa Shihhah al-Injabiyah,'' Cairo: Jami’ah al-Azhar, 1997.
 
al-Qaransyawi, Abdul Jalil, dkk. ''Al-Mujaz fi Uhsul al-Fiqh'' (Cairo: Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, 1965).
 
An-Nawawi, ''Syarah an-Nawawi ‘ala Sahih Muslim,'' juz XI, h. 201.
 
ar-Ramli, Al-Imam, ''Nihayah al-Muhtaj,'' (Cairo: Dar al-Syuruq, tth.), juz VIII.
 
asy-Syirbini, ''Mughni al-Muhtaj,'' (Beirut: Ihya at-Turats al-Arabi).
 
Avvento, Rev. Gennaro P., ''Sexuality a Christian View, Toward Formation of Mature Values,'' (PO. Box 180, Mystic, CT.06355, 1982).
 
''Ensiklopedi Islam,'' (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994).
 
Habsjah, Attashehendartini, ''Fakta-fakta Aborsi,'' (Makalah Semi-Loka Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, PPFNU), tidak diterbitkan, 2001.
 
Hajar, Ibn, ''Tuhfah al-Muhtaj,'' (Cairo: Musthafa Muhammad, tth).
 
Harkrisnowo, Harkristuti, ''Aborsi Ditinjau dari Perspektif Hukum,'' (Makalah Seminar dan Lokakarya Aborsi Ditinjau dari Perspektif Fiqh Kontemporer yang diselenggarakan oleh PP Fatayat NU, Jakarta), tidak diterbitkan, 2001.
 
Hasan, M. Ali. ''Masail Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam,'' (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).
 
Hasyim, Syafiq, ''Menakar “Harga” Perempuan,'' (Bandung: Mizan, 1999), cet. Ke-1.
 
Hazm, Ibn, ''al-Muhalla,'' (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, tth.).
 
Masyhuri, Aziz, KH. ''Abortus Menurut Hukum Islam,'' (Makalah pada Bahtsul Masail NU Wilayah Jawa Timur, Oktober 1992, tidak diterbitkan).
 
Muhammad, Kartono, Dr., ''Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi,'' (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), cet. Ke-1.
 
Muslim, al-Imam, ''Sahih Muslim,'' (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), juz II.
 
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Depdikbud RI, ''Kamus Besar Bahasa Indonesia,'' (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), cet. Ke-2.
 
Qudamah, Ibnu, ''al-Mughni,'' (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah), juz VIII.
 
Rusyd, Ibn, ''Bidayah al-Mujtahid,'' Beirut: Dar al-Fikr, tth. juz II.
 
Umar, Nasaruddin, ''Aborsi dalam Pandangan Agama-Agama Samawi,'' (Makalah Semi-Loka Aborsi Ditinjau dari Perspektif Fiqh Kontemporer yang diadakan PPFNU, Jakarta), tidak diterbitkan, 2001.
 
Wigoder, Geoffrey, ''The Encyclopaedia of Judaism,'' (The Jerussalem Publishing House, 1989).
 
Zuhdi, Masyfuk, ''Islam dan [[Keluarga Berencana]] di Indonesia,'' (Surabaya: Bina Ilmu, 1986).
 
Zuhdi, Masyfuk, ''Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam,'' (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989). 
 
 
 
 
 
 
 
 
----[1] M. Ali Hasan, ''Masail Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam,'' (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 44.
 
[2] Fuqaha kontemporer yang menggunakan istilah ''al-ijhadh'' ini misalnya Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam ''al-Fiqh al-Islamiyy wa Adillathu'', Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam ''Mas’alah Tahdid an-Nasl, Wiqayatan wa Ilajan,'' Syekh al-Azhar (mantan) Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq dalam ''Ahkam asy-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyah ‘an al-Amradh an-Nisa’iyah wa Shihhah al-Injabiyah.'' Ada juga yang membedakan kedua istilah ini. ''Isqath al-haml'' digunakan oleh para dokter Arab untuk pengguguran kandungan yang sudah tua, sementara ''al-ijhadh'' digunakan untuk pengguguran kandungan yang masih muda. Lihat: KH. A. Aziz Masyhuri, ''Abortus Menurut Hukum Islam,'' (Makalah pada Bahtsul Masail NU Wilayah Jawa Timur, Oktober 1992, tidak diterbitkan).
 
[3] Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq dalam ''Ahkam asy-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyah ‘an al-Amradh an-Nisa’iyah wa Shihhah al-Injabiyah,'' (Cairo: Universitas al-Azhar, 1997), h. 135.
 
[4] ''Ensiklopedi Islam,'' (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994), h. 33.
 
[5] Prof. Dr. Masyfuk Zuhdi, ''Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam,'' (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989), ce. Ke-3, h. 77.
 
[6] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Depdikbud RI, ''Kamus Besar Bahasa Indonesia,'' (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), cet. Ke-2, h. 2.
 
[7] Dr. Harkristuti Harkrisnowo, ''Aborsi Ditinjau dari Perspektif Hukum,'' (Makalah Seminar dan Lokakarya Aborsi Ditinjau dari Perspektif Fiqh Kontemporer yang diselenggarakan oleh PP Fatayat NU, Jakarta, 2001), hl. 4. Lihat juga Masyfuk Zuhdi, ''Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia,'' (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), h. 38-39.
 
[8] Nasaruddin  Umar, ''Aborsi dalam Pandangan Agama-Agama Samawi,'' (Makalah Semi-Loka Aborsi Ditinjau dari Perspektif Fiqh Kontemporer yang diadakan PPFNU, Jakarta, 2001), h. 2-3.
 
[9] Geoffrey Wigoder, ''The Encyclopaedia of Judaism,'' (The Jerussalem Publishing House, 1989), h. 19.
 
[10] Rev. Gennaro P. Avvento, ''Sexuality a Christian View, Toward Formation of Mature Values,'' (PO. Box 180, Mystic, CT.06355, 1982), h. 145-147.
 
[11] [[Nasaruddin Umar]], ''Op.Cit.,'' h. 3.
 
[12] Hadits ini disebut Bukhari dalam kitabnya sebanyak 4 kali. Lihat al-Bukhari, ''Sahih Bukhari,'' CD. Rom, Kitab Bad’ al-Khalq bab Zikr al-Malaikat, hadis ke-2969, kitab Ahadits al-Anbiya’ bab Khalqu Adam wa Dzurriyatuhu, hadis ke-3085, kitab al-Qadr ba Ma Jaa’a fi al-Qadar, hadis ke-6105, kitab at-[[Tauhid]] bab Qawluhu Sabaqat Kalimatuna, hadis ke-6900. Muslim menyebutkan hadis ini dengan 6 sanad. Lihat Muslim, ''Sahih Muslim,'' (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), juz II, kitab al-Qadar ba Kayfiyyah al-Khalq al-Adami, hadis ke-2643. Redaksi di atas adalah redaksi Muslim.
 
[13] Muslilm bin Hajjaj, ''Ibid.,'' Kitab al-Qadar, hadis ke-2644. Dalam bab yang sama Muslim juga meriwayatkan 4 buah hadis dari sahabat yang sama, namun dengan redaksi yang sedikit berbeda dan jumlah hari yang berbeda pula. Dalam salah satu Riwayat dikatakan 40 atau 45 hari, dalam Riwayat lain disebutkan 40 hari, dan ada juga Riwayat yang menyebutkan secara tersamar, yakni empat puluh hari lebih (''bidh’un wa arba’in'').
 
[14] Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, ''Op.Cit.,'' h. 148-149. Dalam ushul fiqh, dikenal istilah ahliyyah (keputusan dan keharusan seseorang untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban). Keharusan menerima hak dari orang lain disebut ''ahliyyah al-wujub'' dan keharusan menjalankan kewajiban disebut ''ahliyyah al-ada’.'' Janin hanya mempunyai ''ahliyyah al-wujub.'' Namun karena ia belum sempurna sebagai manusia, maka hak-haknya pun terbatas. Inilah yang disebut ''ahliyyah al-wujub al-qashirah'' atau ''ahliyyah an-naqishah.'' Lihat Abdul Jalil al-Qaransyawi, dkk. ''Al-Mujaz fi Uhsul al-Fiqh'' (Cairon: fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, 1965), cet ke-2, hl. 34-35.
 
[15] Definisi “dharurat” secara sederhana ialah suatu keadaan yang sampai suatu batas, kalua ia tidak mengerjakan yang terlarang akan membinasakan jiwanya atau hamper binasa. Dalam keadaan dharurat semacam ini diperbolehkan mengejakan yang haram, bahkan bisa diwajibkan.
 
[16] Jaad al-Haq, ''Loc. Cit.''
 
[17] Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Op.Cit.'' h. 72-73.
 
[18] Al-Imam ar-Ramli, ''Nihayah al-Muhtaj,'' (Cairo: Dar al-Syuruq, tth.), juz VIII, h. 416.
 
[19] Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Loc. Cit.''
 
[20] Al-Imam al-Ghazali, ''Ihya Ulumuddin,'' (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983), juz II, h. 51.
 
[21] ''Ibid.''
 
[22] Ibnu Abidin, ''ar-Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar,'' (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), juz II, h. 411.
 
[23] ''Ibid.''
 
[24] Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Op. Cit.,'' h. 77.
 
[25] Pendapat-pendapat ini sebagaimana yang dikutip al-Buthi. Selengkapnya lihat Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Op. Cit.,'' h. 79.
 
[26] Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, ''Op.Cit.,'' h. 136. Lihat juga al-Buthi, ''Ibid.,'' h. 80.
 
[27] Ibn Hazm, ''al-Muhalla,'' (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, tth.), juz XI, h. 35-40.
 
[28] Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, ''Op.Cit.,'' h. 137.
 
[29] Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Loc.Cit.''
 
[30] Mengenai rincian dan contoh-contoh kasus yang masuk dalam kaedah ini, lihat as-Suyuthi dalam ''al-Asybah wa an-Nazhair'' dalam pembahasan mengenai kaedah ke-empat “adh-Dharar Yuzal”.
 
[31] [[Husein Muhammad]], ''Op.Cit.,'' h. 6-7.
 
[32] Muslim, ''Op.Cit.,'' kitab al-Hudud bab Man I’tarafa ‘ala Nafsihi bi al-Zina, hadis ke-1695.
 
[33] An-Nawawi, ''Syarah an-Nawawi ‘ala Sahih Muslim,'' juz XI, h. 201.
 
[34] Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Op. Cit.,'' h. 127-139.
 
[35] ''Ibid,'' h. 143.
 
[36] ''Ibid,'' h. 159-160.
 
[37] Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Op.Cit.,'' h. 180-186.
 
[38] LIhat Ibn Hajar, ''Tuhfah al-Muhtaj,'' (Cairo: Musthafa Muhammad, tth), juz IX, h. 39, dan asy-Syirbini, ''Mughni al-Muhtaj,'' (Beirut: Ihya at-Turats al-Arabi), juz IV, h. 391. Juga Ibnu Qudamah, ''al-Mughni,'' (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah), juz VIII, h. 391.
 
[39] Ibn Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid,'' juz II, h. 312.
 
[40] Ibnu Qudamah, ''Op.Cit.,'' h. 401.
 
[41] Ibnu Qudamah, ''Op.Cit.,'' h. 403, al-Syirbini, ''Op.Cit.,'' h. 105.
 
[42] Harkristuti Harkrisnowo, ''Op.Cit.,'' h. 5.
 
[43] Dr. Kartono Muhammad, ''Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi,'' (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), cet. Ke-1, h. 130-131.
 
[44] Harkristuti Harkrisnowo, ''Op.Cit.,'' h. 6-8.
 
[45] Syafiq Hasyim, ''Menakar “Harga” Perempuan,'' (Bandung: Mizan, 1999), cet. Ke-1, h. 276-277.
 
[46] Dr. Kartono Muhammad, ''Op.Cit.,'' h. 65-66.
 
[47] Adrina dkk. ''Hak-hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung,'' (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), h. 117-118.
 
[48] Syafiqh Hasyim (ed.), ''Op.Cit.,'' h. 152-154.


[49] Attashehendartini Habsjah, ''Fakta-fakta Aborsi,'' (Makalah Semi-Loka Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, PPFNU, 2001), h. 4.
* ''Al-Qur’an al-Karim''
* Abidin, Ibnu, ''ar-Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar,'' (Beirut: Dar al-Fikr, 1979).
* Adrina dkk. ''Hak-hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung,'' (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998).
* al-Bukhari, al-Imam, ''Sahih Bukhari,'' Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, tth.
* al-Buthi, Sa’id Ramadhan, Dr. ''Mas’alah Tahdid an-Nasl, Wiqayatan wa Ilajan,'' (Syria: Maktabah al-Farabi, 2000).
* al-Ghazali, Al-Imam, ''Ihya Ulumuddin,'' (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983), juz II.
* Al-Haq, Jaad al-Haq ‘Ali Jaad, asy-Syaikh, ''Ahkam asy-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyah ‘an al-Amradh an-Nisa’iyah wa Shihhah al-Injabiyah,'' Cairo: Jami’ah al-Azhar, 1997.
* al-Qaransyawi, Abdul Jalil, dkk. ''Al-Mujaz fi Uhsul al-Fiqh'' (Cairo: Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, 1965).
* An-Nawawi, ''Syarah an-Nawawi ‘ala Sahih Muslim,'' juz XI, h. 201.
* ar-Ramli, Al-Imam, ''Nihayah al-Muhtaj,'' (Cairo: Dar al-Syuruq, tth.), juz VIII.
* asy-Syirbini, ''Mughni al-Muhtaj,'' (Beirut: Ihya at-Turats al-Arabi).
* Avvento, Rev. Gennaro P., ''Sexuality a Christian View, Toward Formation of Mature Values,'' (PO. Box 180, Mystic, CT.06355, 1982).
* ''Ensiklopedi Islam,'' (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994).
* Habsjah, Attashehendartini, ''Fakta-fakta Aborsi,'' (Makalah Semi-Loka Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, PPFNU), tidak diterbitkan, 2001.
* Hajar, Ibn, ''Tuhfah al-Muhtaj,'' (Cairo: Musthafa Muhammad, tth).
* Harkrisnowo, Harkristuti, ''Aborsi Ditinjau dari Perspektif Hukum,'' (Makalah Seminar dan Lokakarya Aborsi Ditinjau dari Perspektif Fiqh Kontemporer yang diselenggarakan oleh PP Fatayat NU, Jakarta), tidak diterbitkan, 2001.
* Hasan, M. Ali. ''Masail Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam,'' (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).
* Hasyim, Syafiq, ''Menakar “Harga” Perempuan,'' (Bandung: Mizan, 1999), cet. Ke-1.
* Hazm, Ibn, ''al-Muhalla,'' (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, tth.).
* Masyhuri, Aziz, KH. ''Abortus Menurut Hukum Islam,'' (Makalah pada Bahtsul Masail NU Wilayah Jawa Timur, Oktober 1992, tidak diterbitkan).
* Muhammad, Kartono, Dr., ''Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi,'' (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), cet. Ke-1.
* Muslim, al-Imam, ''Sahih Muslim,'' (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), juz II.
* Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Depdikbud RI, ''Kamus Besar Bahasa Indonesia,'' (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), cet. Ke-2.
* Qudamah, Ibnu, ''al-Mughni,'' (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah), juz VIII.
* Rusyd, Ibn, ''Bidayah al-Mujtahid,'' Beirut: Dar al-Fikr, tth. juz II.
* Umar, Nasaruddin, ''Aborsi dalam Pandangan Agama-Agama Samawi,'' (Makalah Semi-Loka Aborsi Ditinjau dari Perspektif Fiqh Kontemporer yang diadakan PPFNU, Jakarta), tidak diterbitkan, 2001.
* Wigoder, Geoffrey, ''The Encyclopaedia of Judaism,'' (The Jerussalem Publishing House, 1989).
* Zuhdi, Masyfuk, ''Islam dan [[Keluarga Berencana]] di Indonesia,'' (Surabaya: Bina Ilmu, 1986).
* Zuhdi, Masyfuk, ''Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam,'' (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989).  


[50] ''Ibid.,'' h. 5.
[[Kategori:Diskursus Hukum Islam]]
[[Kategori:Diskursus Hukum Islam]]

Menu navigasi