Hukum Aborsi dalam Perspektif Islam

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Oleh: Badriyah Fayumi


Sampai saat ini aborsi masih merupakan isu yang kontroversial. Kalangan agamawan -khususnya agama-agama samawi- memandang aborsi, kecuali dengan alasan-alasan tertentu, sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai moral keagamaan karena identik dengan pembunuhan. Demikian juga hukum positif seperti KUHP juga memandang aborsi sebagai tindak pidana. Sementara itu di sisi lain, aborsi dipandang beberapa pihak sebagai salah satu bentuk otonomi perempuan atas tubuhnya. la adalah bagian dari hak reproduksi, sehingga perempuan memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan aborsi yang aman.

Adanya dua kutub yang berseberangan ini menjadikan aborsi sebagai sesuatu yang sulit diketahui angka pastinya. Semua tahu aborsi adalah fakta dan benar-benar ada. Namun adanya sanksi hukum bagi orang yang mengetahui tindakan aborsi tetapi tidak melaporkannya membuat berbagai kalangan tidak berani mengadakan penelitian yang bisa  menjelaskan angka aborsi secara akurat. Sekalipun demikian, tidak ada yang menyangkal bahwa aborsi yang tidak aman banyak memberi kontribusi pada meningkatnya angka kematian ibu.

Banyak negara menghadapi dilema ketika dihadapkan pada kenyataan seperti ini, termasuk Indonesia. Meskipun sudah menandatangani kesepakatan Kairo 1994 Chapter V Il tentang Hak-Hak Reproduksi dan Kesehatan Reproduksi yang salah satu program aksinya adalah mengeliminir aborsi illegal dan tidak aman, Indonesia dan banyak negara lainnya tidak mampu berbuat banyak. Pilihan sikap "pro-life" (tetap memelihara janin demi kelangsungan hidup insani) di tingkat lapangan seringkali berbenturan dengan budaya masyarakat yang tidak bersahabat pada anak hasil hubungan gelap. Sistem sosial juga belum bisa menjamin kehidupan anak-anak yang lahir dalam perkawinan namun tidak diinginkan kelahirannya karena berbagai macam alasan. Sementara itu, pilihan sikap "pro-choice" (keputusan apakah aborsi atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada perempuan yang sedang hamil) dianggap tidak sesuai dengan norma agama dan kemanusiaan karena janin memiliki hak hidup, dan mencabutnya adalah perlawanan kepada Tuhan.

Demikianlah peta singkat problema aborsi, khususnya di negeri yang religius seperti Indonesia. Pergulatan antara nilai-nilai moral keagamaan dan hak perempuan atas dirinya sendiri terus terjadi.

Tanpa bermaksud mereduksi persoalan aborsi itu sendiri, tulisan ini akan mengulas aborsi dengan titik tekan pada aspek agama, khususnya Islam. Namun mengingat kompleksitas persoalan aborsi tampaknya perlu juga dilakukan pemaparan mengenai fakta-fakta aborsi. Semua itu dilakukan dalam kerangka merumuskan ajaran-ajaran agama yang sesuai dengan perkembangan zaman tanpa menghilangkan nilai-nilai moral, spiritual dan sosial yang menjadi tujuan agama itu sendiri.

Definisi dan Macam-macam Aborsi

a. Definisi Aborsi

Kata aborsi berasal dari bahasa Inggris yaitu abortion dan bahasa Latin abortus yang berarti: gugur kandungan atau keguguran[1].

Dalam bahasa Arab aborsi disebut dengan dua istilah yakni al-ijhadh dan isqath al-haml. Kedua istilah ini terdapat dalam kitab-kitab fiqh dan tulisan yang membahas tentang aborsi. Sebagian menggunakan istilah al-ijhadh dan Sebagian lain menggunakan istilah isqath al-haml.[2]

Para Fuqaha, kecuali Syafi'iyah dan Ja'fariyah, mendefinisakan isqath al-haml dengan pengguguran janin yang dikandung perempuan dengan tindakan tertentu sebelum sempurna masa kehamilannya sebelum si janin bisa hidup di luar kandungan namun telah terbentuk sebagian anggota tubuhnya.[3]

Dari definisi di atas, sebuah tindakan bisa disebut sebagai aborsi jika memenuhi unsur-unsur a). kesengajaan menggugurkan, b). adanya tindakan tertentu, c). terjadi dalam masa kehamilan belum sempurna, d). itu sendiri belum bisa hidup di luar kandungan, dan f). sebagian anggota tubuhnya telah terbentuk.

Unsur a dan b dalam definisi di atas mengandung pengertian bahwa keguguran tidak sengaja tidak termasuk dalam hukum aborsi. Sedangkan unsur f, sebagaimana akan dijelaskan nanti, berkaitan erat dengan kontroversi mengenai hukum aborsi, khususnya mengenai kapan sebuah tindakan disebut aborsi, apakah sejak terjadinya konsepsi ataukah setelah melewati masa tertentu.

Definisi para fukaha ini agaknya senada dengan definisi yang dikemukakan para ahli kedokteran. Dalam istilah kedokteran, aborsi adalah pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi (kehamilan) 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.[4]

Sardikin Ginaputra dari Fakultas Kedokteran UI mendefinisikan aborsi sebagai pengakhiran kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sedangkan Maryono Reksodipura dari Fakultas Hukum UI mendefinisikan aborsi dengan pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).[5]

Dengan memperbandingkan definisi para fukaha dan ahli kedokteran dan hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa ada titik persamaan di antara mereka dalam dua hal yakni: 1). ada upaya tertentu mengeluarkan janin atau mengakhiri kehamilan, dan 2). dilakukan pada saat janin belum bisa hidup di luar kandungan meski sudah berbentuk.

Definisi aborsi yang lebih umum terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni:

  1. Terpancarnya embrio yang tidak mungkin lagi hidup (sebelum hasil bulan keempat dari kehamilan); keguguran atau keluron;
  2. Keadaan terhentinya pertumbuhan yang normal (untuk makhluk hidup);
  3. guguran (janin).[6]

Dari definisi ini tampak bahwa aborsi lebih dititikberatkan pada adanya embrio atau janin yang keluar sebelum waktunya dan tidak mensyaratkan adanya tindakan tertentu. Oleh karena itu keguguran atau keluron juga disebut aborsi. Demikian juga janin yang digugurkan.

Dari berbagai definisi di atas, definisi para fukaha dan para ahli kedokteranlah yang akan dijadikan rujukan dalam pembahasan mengenai aborsi dalam tulisan ini. Hanya saja definisi aborsi yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menjadi signifikan untuk dikemukakan karena berkaitan erat dengan pembahasan mengenai macam-macam aborsi  sebagaimana berikut ini.

b. Macam-macam Aborsi

Selaras dengan definisi yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikenal dua macam bentuk aborsi yakni:

a) Abortus spontaneous (aborsi spontan) yakni aborsi yang terjadi dengan sendirinya, tidak disengaja dan tanpa pengaruh dari luar atau tanpa tindakan. Abortus spontan bisa terjadi karena kecelakaan, penyakit syphilis, dan sebagainya.
b) Abortus provocatus atau abortus arteficiallis, yakni aborsi yang dilakukan dengan sengaja. Tindakan semacam ini dibagi dua:
  • Abortus provocatus thorapeuticus, yakni yang dilakukan atas dasar pertimbangan medis yang sungguh-sungguh dan pada umumnya untuk menyelamatkan jiwa si ibu.
  • Abortus provocatus criminalis, yakni yang dilakukan tanpa indikasi medis apapun, dan dianggap sebagai tindak pidana[7]


Aborsi jenis terakhir inilah yang sering disebut dengan aborsi illegal dan diancam hukuman, baik pidana maupun hukum Islam. Sedangkan untuk aborsi yang lain (abortus spontaneous dan abortus provocatus therapeuticus) hukum pidana dan hukum Islam memberikan kualifikasi dan ketentuan yang berbeda-beda menurut faktor penyebabnya, ringan dan beratnya serta jenis dan sifatnya. Berbeda-beda menurut factor penyebabnya, ringan   dan beratnya serta jenis dan sifatnya.

Aborsi dalam Pandangan Agama-Agama Samawi pra-Islam

a. Yahudi

Aborsi mulai menjadi wacana keagamaan ketika agama Yahudi datang. Sebagian besar antara mereka masih memahami janin dalam dalam rahim belum dianggap manusia. Namun demikian, kehadirn janin sudah mempunyai konsekuensi secara etika. Pengguguran kandungan sudah dikenakan sanksi, meskipun tidak seberat membunuh bayi. Orang yang menyebabkan terjadinya keguguran dikenakan sanksi namun tidak dianggap sebagai penbunuh karena janin tidak dianggap sebagai manusia yang hidup. Dalam Exodus (Keluaran) 21:22 dikatakan :


"Apabila ada orang berkelahi dan melukai seorang perempuan yang sedang hamil yang menyebabkan kandungannya gugur, tetapi perempuan itu tidak cedera, maka orang itu akan didenda sesuai dengan tuntutan suaminya dan masalah itu diselesaikan di muka hakim."


Janin dianggap sudah memiliki kehidupan setelah berusia 40 hari, sehingga para rabbi menganggap aborsi sesudah itu adalah pembunuhan. Aborsi di atas 40 hari dianggap dosa besar dan pelakunya dapat dikenakan sanksi yang berat sebagaimana halnya membunuh bayi yang sudah lahir. Sedangkan janin yang belurn berusia 40 hari disekut "cairan biasa" (maya d'alma). Sebagian rabbi berpendapat bahwa pengguguran kandungan di awah 40 hari tidak disebut aborsi dan pelakunya tidak dilzenakan sanksi inoral atau sanksi hukum.[8]

Secara lebih rinci, hukum Yahudi memiliki empat konsideran berkenaan dengan aborsi. Pertama, aborsi dilarang bila mengarah pada pembunuhan, yakni bila calon bayi (embrio, feotus) dianggap sebagai makhluk hidup. Kedua, aborsi dilarang apabila menyebabkan luka pada tubuh. Ketiga, aborsi diarang apabila menyebabkan kerusakan finansial atau property. Seorang ayah bertanggung jawab pada kepada keluarga dan keturunannya, dan apabila seseorang memukul perempuan (istri) dan menyebabkannya terluka, maka orang tersebut harus membayar uang kompensasi kepada ayah. Keempat, seluruh otoritas Rabbani sependapat bahwa untuk alasan-alasan sosial ekonomi, aborsi bertentangan dengan hukum Yahudi.

Akan tetapi, jika kehamilan mengancam kelangsungan hidup si perempuan yang mengandung, aborsi diperbolehkan. Alasannya, seperti dinyatakan dalam The Mishnah, adalah karena hidup ibu lebih dahulu daripada sang bayi yang belum lahir.

Sebagian rabbi Yahudi membolehkan aborsi apabila kondisi janin menderita cacat atau penyakit keturunan. Sebagian yang lain memperbolehkan aborsi apabila keberlanjutan kehamilan sang ibu akan berpengaruh pada kesehatan mentalnya. Lebih lanjut, aborsi diperbolehkan ada  posisi lenient yaitu feotus berkisia kurang dari 41 hari. Talinud menyebutkan, feotus tidak berbentuk sampai periode itu.[9]

b. Katolik

Sejak zaman Romawi hingga sekarang, sikap-sikap terhadap aborsi, dalam tradisi Katolik dipengaruhi oleh pemikiran dan praktek pada gereja. Pada awal kelahiran Yesus, undang-undang lebih banyak ditujukan bagi perlindungan fetus. Seluruh undang-undang melarang semua hal yang menyebabkan kematian anak yang tidak dilahirkan. Pada abad kedua setelah kelahiran Yesus, undang-undang anti aborsi diberlakukan sebagai bagian dari reformasi general. Penentangan terhadap aborsi ini disuarakan oleh para pendeta Apostelic. Alasan yang diajukan adalah bahwa aborsi bertentangan dengan ajaran cinta.

Pada abad pertengahan, problem pemberian ruh banyak dibicarakan oleh para pemikir gereja. Problem-problem itu antara lain mengenai dua hal :

  1. Bagaimana janin menerima ruh (human soul). Dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, yang mengatakan bahwa jiwa itu secara biologis ditransmisi dari orang tua, dan kedua, jiwa dibuat langsung oleh Tuhan.
  2. Kapan janin menerima ruh. Menurut Agustinus, jiwa hadir pada janin pada saat "quickening", sementara menurut Thornas Aquinas jiwa tidak diciptakan saat konsepsi melainkan telah diinfuse ke dalam fetus. Oleh karena itu rnenggugurkan fetus baik yang telah terbentuk maupun yang belum terbentuk (quasi) tetap merupkan pembunuhan.[10]

Setelah abad pertengahan wacana tentang aborsi semakin menunjukkan ketegasan mengenai ketidak bolehan aborsi dan sanksi hukurnnya.

Mainstream pernikiran yang berkembang dalam tradisi Katolik adalah bahwa kehidupan itu sudah dimulai sejak masa konsepsi (pembuahan). Upaya menggugurkan janin pasca pembuahan temasuk dosa besar dan dapat dikenakan sanksi moral dan hukum sebagaimana halnya pembunuhan bayi. Bahkan Paus Paulus pernah mengatakan bahwa kehidupan janin harus lebih diutamakan dari pada kehidupan ibunya. Namun, sebagian ilmuan Katolik yang moderat, seperti St.Jerome, penerjemah Vulgate Bible, membedakan janin yang sebelum dan sesudah berumur 40 hari. Aborsi sebelum janin berusia 40 hari tidak bisa disamakan dengan pembunuhan terhadap bayi yang sudah lahir.[11]

Aborsi dalam Pandangan Islam

Wacana tentang aborsi dalam Islam tidak bisa dilepaskan sama sekali dari wacana yang berkembang dalam agama-agama samawi sebelumnya. Namun demikian pembahasan aborsi dalam Islam jauh lebih mendetail dari pada dua agama sebelumnya. Perdebatan mengenai aborsi dalam Islam paling tidak mencakup lima persoalan penting yakni :

  1. Kapan seorang manusia dianggap mulai hidup, apakah sejak terjadinya konsepsi atau ketika sudah mencapai usia tertentu,
  2. Bagaimana hukum aborsi menjadi boleh
  3. Apa alasan yang membuat aborsi menjadi boleh
  4. Bagaimana halnya dengan aborsi di luar perkawinan baik karena diperkosa maupun karena zina, dan
  5. Apa akibat hukum aborsi dan sanksi yang dikenakan terhadap pelaku.

Persoalan pertama berkaitan erat dengan pertanyaan kapan aborsi dianggap sebagai pembunuhan manusia yang berakibat hukum bagi pelakunya, sementara persoalan kedua merupakan formulasi hukum dari persoalan pertama. Persoalan ketiga terkait dengan fakta bahwa aborsi bisa terjadi karena berbagai sebab, ada yang disengaja dan ada yang tidak. Terhadap aborsi yang disengaja pun perlu dilakukan pemilahan lebih lanjut, apakah karena alasan medis yang serius atau karena tekanan ekonomi, tekanan sosial dan sebagainya. Di sinilah para ulama merasa perlu mendiskusikan "dharurat" yang menjadi alasan kebolehan aborsi. Persoalan keempat lebih berkaitan dengan fenomena kontemporer yang menunjukkan peningkatan angka aborsi akibat hubugan gelap luar nikah. Persoalan ini berkaitan langsung dengan moralitas umat. Sedangkan persoalan kelima menyangkut ketentuan-ketentuan yang lebih rinci mengenai akibat hukum  aborsi dalam berbagai bentuknya, yang semuanya itu dimaksudkan untuk mencegah meluasnya aborsi tanpa alasanyang jelas, memberikan efek jera bagi pelaku, serta melindungi kehidupan dan moralitas masyarakat dalam kerangka menjamin terealisasinya magashid as-syari'ah.

a. Proses kehidupan janin dan awal kehidupan manusia.

Secara eksplisit al-Qur'an tidak menyatakan kapan janin atau embrio disebut sebagai sebagai "manusia". Namun demikian al-Qur’an banyak menjelaskan menjelaskan proses perkembangan janin dalam kandungan ibu. Ada yang dijelaskan secara sekilas, dan ada pula yang dijelaskan secara rinci. Ayat-ayat yang menjelaskan proses perkembangan janin secara rinci adalah :


1. QS.A1-Hajj, ayat 5


يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ فَاِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَّغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِّنُبَيِّنَ لَكُمْۗ وَنُقِرُّ فِى الْاَرْحَامِ مَا نَشَاۤءُ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوْٓا اَشُدَّكُمْۚ وَمِنْكُمْ مَّنْ يُّتَوَفّٰى وَمِنْكُمْ مَّنْ يُّرَدُّ اِلٰٓى اَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْۢ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْـًٔاۗ وَتَرَى الْاَرْضَ هَامِدَةً فَاِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاۤءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَاَنْۢبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍۢ بَهِيْجٍ. (الحج، 5).


"Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka ketahuilah sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kmudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan (tetumbuhan) yang indah."


2. QS. Al-Mu’minun, 23: 12-14


وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ  (12) ثُمَّ جَعَلْنٰهُ نُطْفَةً فِيْ قَرَارٍ مَّكِيْنٍ ۖ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظٰمًا فَكَسَوْنَا الْعِظٰمَ لَحْمًا ثُمَّ اَنْشَأْنٰهُ خَلْقًا اٰخَرَۗ فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَحْسَنُ الْخٰلِقِيْنَۗ  (14).


"Dan sesunggulinya Kami telalz menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah Kemudian Kami jadilcan saripati air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) .Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia malchluk yang

(berbentuk) lain. Maha Suci Allah Pencipta Yang Paling Baik.

Di samping penjelasan secara terinci, dalam beberapa ayat Allah juga menyinggung proses penciptaan manusia, misalnya :

1. QS. al-Qiyamah, 75 :37-38


اَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِّنْ مَّنِيٍّ يُّمْنٰى (37) ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوّٰىۙ (38).

"Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya

2. QS. As-Sajdah, 32:7-9


الَّذِيْٓ اَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهٗ وَبَدَاَ خَلْقَ الْاِنْسَانِ مِنْ طِيْنٍ  (7) ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهٗ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ مَّاۤءٍ مَّهِيْنٍ (8) ثُمَّ سَوّٰىهُ وَنَفَخَ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِهٖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ (9).

"Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani), lalu Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalant tubuhnya ruh ciptaan-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.

Dalam ayat-ayat di atas, khususnya dua yang pertama, secara rinci Allah SWT menjelaskan proses penciptaan manusia dan perkembangan janin. Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa pada awal kejadiannya manusia diciptakan dari tanah (Adam as.). selanjutnya anak cucu Adam diciptakan dari nuthfah (air mani yang mengandung beribu-ribu sperma yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Setelah salah satu sel itu bertemu dengan Ovum lalu menyatu dan bergantung, pada dinding rahim, selang beberapa waktu nuthfiih itu berupa menjadi alaqah (segumpal darah). Selanjutnya, ia akan berubah menjadi mudghah (segumpal daging). Kemudian Allah menciptakan tulang belulang dari mudghah itu dan membungkusnya dengan daging. Selang beberapa waktu, ia akan menjadi makhluk yang memiliki bentuk yang indah sampai dilahirkan ke dunia menjadi bayi.

Demikianlah, al-Qur'an menjelaskan tahapan-tahapan kejadian manusia di dalam rahim. Namun demikian ayat-ayat di atas tidak menyebut kapan janin mempunyai jiwa/ruh. Informasi mengenai hal ini terdapat dalam hadis Nabi. Paling tidak ada dua hadis Nabi yang mengungkap peniupan ruh ke dalam janin, yakni:

1. HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud:[12]


قَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ (الحديث).

" Sesungguhnya kamu berada di rahim ibumu selama 40 hari sebagai nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama masa yang sama, lalu menjadi mudghah pada masa yang sama pula. Lalu Allah mengutus seorang malaikat dan meniupkan ruh ke dalam tubuhnya. Malaikat itu kemudian diperintahkan-Nya menulis empat kalimat, lalu malaikat itu menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, kebahagiaan dan kesengsaraannya…… "

2 HR.Muslirn dari Huzaifah bin Asid:[13]


إِذَا مَرَّ بِالنُّطْفَةِ ثِنْتَانِ وَأَرْبَعُونَ لَيْلَةً بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهَا مَلَكًا فَصَوَّرَهَا وَخَلَقَ سَمْعَهَا وَبَصَرَهَا وَجِلْدَهَا وَلَحْمَهَا وَعِظَامَهَا ثُمَّ قَالَ يَا رَبِّ أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى فَيَقْضِى رَبُّكَ مَا شَاءَ وَيَكْتُبُ الْمَلَكُ (الحديث).

"Jika nuthfah melewati 42 malam, maka Tuhan mengutus malaikat untuk membentuk rupa, pendengaran, penglihatan, kulit, daging dan tulangnya. Malaikat bertanya,"Ya Tuhan, lelaki atau perempuan?" Allah pun memutuskan sesuai kehendakNya dan malaikat mencatatnya. ...".

Dari hadis-hadis di atas, ada dua informai mengenai kapan ruh ditiupkan. Hadis pertama menyatakan ruh ditiupkan setelah embrio melewati masa 120 hari yang terdiri dari tiga tahap: 40 hari menjadi nuthfalz, 40 hari menjadi nuthfalz  dan 40 hari menjadi mudlighah. Sedangkan hadis kedua mengatakan ruh ditiupkan setelah embrio melewati masa 42 hari. Riwayat lain ada yang menyebutkan 40 hari dan 45 hari. Pemberian ruh kepada janin inilah yang kemudian menjadi sumber ikhtilaf mengenai hukum aborsi Karena keadaan ruh dianggap oleh sebagian fuqaha sebagai tanda awal kehidupan manusia dalam arti yang seungguhnya, yakni manusia yang memiliki raga dan jiwa.

b. Hukum Aborsi

Sebagai konsekuensi dari pemahaman ayat dan hadits sebagaimana dijelaskan di atas, para fuqaha membuat formulasi hukum yang berbeda–beda mengenai aborsi. Perlu untuk dikemukakan di sini, para fuqaha (klasik) memberlakukan hukum ini secara umum, yakni mencakup aborsi di dalam dan di luar perkawinan ( kehamilan karena seks di luar nikah), Hanya saja, perkembangan terakhir menunjukan adanya formulasi hukum tersendiribagi aborsi yang disebabkan oleh hamil di luar nikah dengan alasan-alasan yang sifatnya moral dan sosial.

Secara garis besar pemikiran hukum yang berkembang di seputar aborsi adalah:

b.1. Haram mutlak (‘ala al-ittifaq), kecuali ada uzur yang bersifat “dharuri”.

Seluruh ulama dari semua madzhab sepakat bahwa aborsi setelah kehamilan melewati masa 120 hari adalah haram karena pada saat itu janin telah bernyawa. Dasar daari hukum ini adalah hadits pertama sebagaimana yang telah dijelaskan. Karena pada usia tersebut janin telah bernyawa, maka menggugurkannya sama dengan membunuh manusia (anak) yang secara jelas diharamkan oleh Allah SWT, seperti yang tertera dalam QS.al-An’am/6:151, QS. All-Isra’/17:33, dan sebagainya.

Setelah janin memilik ruh, ia menjadi “manusia” dengan hak-hak primernya (huquq al-insan adh-dharuriyah).  Konsekuensinya, ia boleh menerima wasiat dan waqaf, berhak menerima warisan dari ahli waris jika ia lahir dan hidup, serta memiliki hubungan nasab dengan kedua orang tuanya. Para fuqaha menyatakan janin setelah 120 hari memiliki ahliyyah wujub naqishah.[14]

Aborsi pada usia diatas 120 hari hanya boleh dilakukan jika terjadi kondisi “dharurat[15] seperti ketika si ibu mengalami problem persalinan dan dokter spesialis menyatakan bahwa mempertahankan kehamilan akan membahayakan jiwa si ibu[16]. Dalam kondisi seperti ini menyelamatkan jiwa si ibu dinilai lebih penting dari pada mempertahankan janin, karena ibu adalah induk dari mana janin berasal.

b.2. Ikhtilaf.

Ikhtilaf hukum terjadi untuk aborsi di bawah umur usia 120 hari. Kontroversi ulama dalam hal ini tidak hanya terjadi antara madzhab, tetapi juga pada internal madzhab. Berikut ini uraiannya :

b.2.a. Madzhab Syafi’i

Fuqaha Syafi’iyah berpendapat aborsi pada usia kehamilan di bawah 40 hari hukumnya makruh. Inipun dengan syarat adanya keridhaan dari suami istri serta adanya rekomendasi dari dua orang dokter spesialis bahwa aborsi itu tidak menyebabkan kemudhuratan bagi si Ibu.

Jika masa kehamilan telah lewat 40 hari, aborsi haram mutlak, baik janin sudah bergerak maupun belum. Pendapat ini didasarkan pada hadits kedua sebagaiman disebutkan di atas.[17]

Mengutip pendapat Imam az-Zarkasyi, al-Imam ar-Ramli dalam Nilhayah al-Muhtaj mengemukakan aborsi diperbolehkan pada saat janin masih berupa nuthfah atau ‘alaqah. Pendapat ini disandarkan pada pernyataan Abu Bakar bin Abu Sa’id al-Furati ketika ditanya oleh al-Karabisi tentang seorang laki-laki yang memberi minuman peluntur kepada jariyahnya. Al-Furati menjawab hal itu boleh selagi masih berupa nuthfah atau ‘alaqah. Lebih lanjut ar-Ramli menjelaskan bahwa sebelum nafh ar-ruh,aborsi tidak bisa disebut khilaf al-aula, melainkan mengandung kemungkinan makruh tanzih dan makruh tahrim. Semakin dekat dengan nafh ar-ruh, semakin kuat pula makruh tahrimnya. Dan jika sudah ada ruh, aborsi adalah tindakan kriminal (jarimah).[18]

Seperti halnya pendapat yang berkembang di kalangan Syafi’iyah, Ibnu Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj juga berpendapat serupa, yakni Seperti halnya pendapat yang berkembang di kalangan Syafi’iyah, Ibnu Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj juga berpendapat serupa, yakni peniupan ruh terjadi setelah embrio berusia 40 atau 42 hari. Mulai saat inilah aborsi diharamkan.[19]

Berbeda dengan ulama Syafi’iyah yang lain, al-Imam al-Ghazaali dalam Ihya’ Ulum ad-Din berpendapat bahwa aborsi adalah tindakan pidana yang haram tanpa melihat apakah sudah ada ruh atau belum. Al-Ghazali mengatakan bahwa kehidupan telah dimulai sejak pertemuan antara air sperma dengan ovum di dalam Rahim perempuan. Jika telah ditiupkan ruh kepada janin, maka itu merupakan tindak pidana yang sangat keji, setingkat di bawah pembunuhan bayi hidup-hidup.[20]

Ada yang menarik dari pendapat al-Ghazali mengenai keharaman aborsi. Pelenyapan nuthfah yang telah bertemu dengan ovum dianalogikan dengan sebuah akad atau perjanjian yang sudah disepakati, Sperma laki-laki seperti ijab dan ovum perempuan seperti qabul. Jika keduanya bertemu, maka akad tidak boleh dan tidak bisa dibatalkan. Analogi ini termasuk qiyas jail. Aborsi, lanjut al-Ghazali tidak bisa disamakan dengan ‘azl/coitus interuptus.[21]

Demikian, dalam fuqaha Syafi’iyah sendiri terjadi ikhtilaf. Mayoritas mengharamkan aborsi pasca 40 hari usia embrio, ar-Ramli membuat batasan yang lebih longgar, sementara al-Ghazali justru mengharamkannya sejak terjadi konsepsi.

b.2.b. Madzhab Hanafi

Sama dengan yang terjadi dalam madzhab Syafi’i, dalam madzhab Hanafi juga terdapat ikhtilaf. Namun jika fuqaha Syafi’iyah sebagian besar sepakat bahwa aborsi haram setelah usia kehamilan 40 atau 42 hari, sebagian besar fuqaha Hanafiyahberpendapat bahwa aborsi diperbolehkan sebelum janin terbentuk. Kapan janin terbentuk, masih terjadi ikhtilaf juga. Sebagian besar berpendapat janin terbentuk setelah usia kehamilan 120 hari. Pendapat yang demikian disampaikan oleh, antara lain, al-Hashkafi, penulis kitab ad-Durr al-Mukhtar. Menurutnya, aborsi boleh sepanjang belum terjadi penciptaan, dan itu hanya terjadi sesudah 120 hari kehamilan.[22] Sebagian besar ulama Hanafiyah juga berpendapat demikian.

Pendapat lain dikemukakan oleh Ibnu Abidin, penulis kitab ar-Radd al-Mukhtar, yakni bahwa aborsi makruh mutlak baik sebelum maupun sesudah terjadinya pembentukan janin. Hanya saja dosanya tidak sama dengan dosa membunuh.[23] Pendapat ini mengandung pengertian haramnya aborsi secara mutlak karena istilah makruh dalam fiqh Hanafi berarti Karahiyah at-tahrim (makruh yang lebih dekat kepada haram).

Sebagian fuqaha Hanafiyah berpendapat bahwa aborsi diperbolehkan sebelum janin melewati usia 45 hari. Pendapat ini dinyatakan oleh Abdullah bin Mahmud al-Mushili. Namun pendapat ini tidak begitu popular dalam madzhab Hanafi.[24]

b.2.c. Madzhab Hanbali

Dalam memandang hukum aborsi, sebagian besar fuqaha Hanabilah sama dengan fuqaha Syafi’iyah, yakni aborsi diperbolehkan sebelum terjadinya penciptaan, yakni sebelum janin berusia 40 hari.

Dalam kitab al-Inshaf karya ‘Alauddin ‘Ali bin Sulaiman al-Mardayi terdapat keterangan bolehnya minum obat-obatan peluntur untuk menggugurkan nuthfah. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu an-Najjar dalam Muntaha al-Iradat. Ia mengatakan laki-laki boleh meminum obat yang mencegah terjadinya coitus, sedangkan perempuan boleh meminum peluntur untuk menggugurkan nuthfah dan mendapatkan haidh.

Pendapat yang paling ketat dating dari Ibnu’I Jauzi. Dalam kitab Ahkam an-NIsaa’ ia menyebutkan bahwa aborsi hukumnya haram mutlak baik sebelum maupun sesudah penciptaan (40 hari).[25]

b.2.d. Madzhab Maliki

Mayoritas fuqaha Malikiyah berpendapat keras mengenai aborsi, yakni haram sejak terjadinya konsepsi.[26] Pendapat mereka ini sejalan dengan Imam al-Ghazali dari madzhab Syafi’i dan Ibnu al-Jauzi dari madzhab Hanbali. Ibnu Hazm dari madzhab Zhahiri juga menyetujui pendapat ini.[27] Demikian pula pandangan sejumlah fuqaha Syi’ah Imamiyah dan Ibadhiyah.[28]

Ibnu al-Jauzi dalam al-Qawanin al-Fiqhiyah mengatakan bahwa jika sperma telah bertemu ovum dan berada dalam rahim, pengguguran tidak boleh dilakukan. Keharaman itu menjadi lebih berat jika sudah terjadi masa penciptaan (40 hari), dan menjadi sangat berat jika sudah diberikan nyawa, karena hal itu sama dengan membunuh nyawa manusia. Pendapat ini sejalan denan al-Ghazali yang mengenal tahapan-tahapan dosa dalam aborsi.[29]

b.2.e. Khulashah al-qaul

Dari ikhtilaf yang berkembang sebagaimana dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum aborsi pada janin di bawah usia 120 hari adalah sebagai berikut :

  1. Boleh sebelum 120 hari. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian besar ulama Hanafiyah dan sebagian kecil ulama Syafi’iyah.
  2. Boleh sebelum 40-45 hari (takhalluq). Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha Syafi’iyah, sebagian besar fuqaha Hanabilah dan sebagian kecil fuqaha Hanafiyah.
  3. Makruh cenderung haram baik sebelum maupun sesudah 40 hari). Pendapat ini dikemukakan sebagian kecil fuqaha Hanafiyah.
  4. Haram mutlak. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha Malikiyah, Imam al-Ghazali, Ibnu’I Jauzi, dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Dengan kata lain di samping mayoritas fuqaha Malikiyah, dalam semua madzhab terdapat ulama yang mengaharmkan aborsi secara mutlak.

c. Alasan-alasan Aborsi Diperbolehkan

Fiqh selalu mengenal pengecualian. Demikian pula halnya dengan aborsi. Hukum aborsi yang telah diformulasikan para fuqaha itu berlaku dalam kondisi normal. Sebaliknya, para fuqaha memperbolehkan bahkan mewajibkan aborsi jika terjadi sebuah kondisi yang dianggap “dharurat” Banyak dalil yang menjadi sandaran hukum hal ini, seperti QS. Al-Baqarah:2/173, QS.al-Maidah:5/3, hadis Nabi “laa dharara wa laa dhiraara”, dan kaedah fiqhiyah “adh-dharurat tubihu al-mahzhurat.”[30]

Diantara alasan yang sering dikemukakan fuqaha untuk kehamilan, sementara ia sendiri sedang menyusui bayinya. Dalam keadaan demikian ia atau suaminya tidak mampu membayar air susu yang lain. Alasan lain adalah ketidakmampuan ibu menanggung beban hamil, karena tubuhnya yang kurus dan rapuh. Dalam kasus-kasus seperti ini aborsi,tanpa memandang usia kehamilan, dapat dilakukan sepanjang menurut penelitian medis yang dapat dipercaya, kelahirannya dipastikan akan membahayakan jiwa ibu.

Dilema kematian antara ibu dan janin dalam pandangan fuqaha dipecahkan melalui pengorbanan janin berdasarkan kaedah :

”Idza ta’aradha al-mafsadatani ru’iya a’adzamuhuma dhararan bi-rtikab akhaff adh-dhararain.” (jika terjadi pergulatan antara dua hal yang sama-sama merugikan, maka yang harus dipertahankan adalah hal yang menimbulkan kerugian paling berat dengan menempuh resiko kerugian yang lebih ringan).

Dalam pandangan fuqaha,kematian ibu lebih berat daripada janin, karena ibu adalah induk darimana janin berasal. Ia sudah memilki eksistensi yang pasti, memiliki kewajiban dan hak, sementara janin belum. Karena itu ia tidak boleh dikorbankan demi menyelamatkan janin yang eksistensinya belum pasti dan belum memiliki kewajiban.[31]

d. Aborsi di Luar Nikah

Seks bebas yang mengakibatkan terjadinya kehamilan di luar nikah yang tidak terlalu menarik perhatian fuqaha klasik ternyata menarik perhatian tersendiri bagi fuqaha kontemporer. Sa’id Ramadhan al-Buthi dengan tegas mengatakan bahwa aborsi untuk kasus yang demikian adalah haram mutlak. Ia mengemukakan lima dalil sebagai berikut :

1. QS al-Isra /17:15:

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۗ

“… Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain…”

Berdasarkan ayat ini seorang janin yang tidak berdosa tidak menanggung dosa ibunya. Ia tidak bersalah, karena itu tidak boleh digugurkan baik sebelum maupun sesudah takhalluq.

2. Hadits mengenai perempuan Ghamidiyah yang diriwayatkan Muslim dari Buraidah r.a. yang dating kepada Rasulullah dengan membawa pengakuan ia telah berzina dengan Ma’iz bin Malik sedang hamil karenanya. Ma’iz dirajam lebih dulu setelah empat kali membuat pengakuan zina dan meminta Rasulullah mensucikannya. Namun terhadap peremuan Ghaamidiyah itu Rasulullah menangguhkan hukuman rajam sampai ia melahirkan anaknya dan menyapihnya. Setelah si anak disapih dan diserahkan kepada orang lain, barulah ia dirajam.[32]

Hadits ini menunjukan bahwa anak yang diakndung akibat zina tidak boleh digugurkan. Bahkan Imam Nawawi dalam syarah atas hadits ini menyatakan bahwa semua had, termasuk hukuman jilid, harus ditangguhkan ketika perempuan sedang hamil demi menjaga kehidupan janin.[33]

3. Bahwa hukum yang diperbolehkan aborsi dibwah 40 hari usia kehamilan berlaku untuknikah yang sahih dan bahwa kebolehan aborsi adalah bersifat rukhsah. Padahal, ada kaedah fiqhiyah yang mengatakan ” ar-rukhas laa tunaathu bi al-ma’ashi” (rukshah tidak berlaku untuk perbuatan-perbuatan maksiat). Oleh karena kehamilan itu sendiri disebabkan oleh perbuatan haram, maka aborsi dengan sendirinya tidak diperbolehkan.

4. Adanya kaedah fiqhiyah yang menyatakan “tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-masalahah”. Berdasarkan kaedah ini ibu dari sang bayi tidak boleh mengugurkan kandungannya karena ia secara syar’I tidak berhak atas janin tersebut. Berbeda dengan aborsi dalam perkawinan di mana kedua orang tua punya ha katas janin, aborsi karena perzinaan tidak demikian. Si ibu tidak memiliki hak syar’I atas nama anaknya, demikian pula lelaki yang mengamilinya. Hak perwalian ada di tangan hakim, sementara hakim harus mengambil tindakan yang melindungi hak janin yang ada dalam perwaliannya sekaligus hak-hak masyarakat. Oleh karena itu aborsi tidak diperbolehkan karena akan membawa dampak negative bagi masyarakat secara luas, yakni dengan munculnya sikap permisif terhadap pergaulan bebas.

5. Aborsi terhadap janin hasil hubungan di luar nikah juga bertentangan dengan kaedah “sad adz-dzari’ah”.[34]

Demikian, aborsi akibat perzinaan dipandang oleh fiqh kontemporer sebagai tindak kriminal yang berkaitan erat dengan moralitas sosial (jarimah ijtima’iyah). Pengecualian hanya berlaku jika si perempuan diancam dibunuh kalau tidak melakukan aborsi. Dalam kasus seperti ini aborsi diperbolehkan karena untuk menyelamatkan jiwa si ibu.[35]

Berbeda dengan aborsi yang disebabkan oleh perzinaan, aborsi yang disebabkan karena perkosaan diperbolehkan jika kelahiran anak tersebut dipastikan akan membawa dampak buruk bagi jiwa dan raga si ibu dikemudian hari. Aborsi untuk kasus seperti ini boleh karena perempuan diperkosa bukan pelaku tindak pidana sehingga rukhsah aborsi berlaku.[36]

Apalagi perempuan tersebut hamil bukan atas kemauannya sendiri melainkan dipaksa. Dalam kondisi seperti ini berlaku hadits nabi yang menyatakan ”Umatku dibebaskan dari kekeliruan kealpaan dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.” (HR.Thabarani, Abu Dawud, an-Nasa’I dan al-Hakim).

Formulasi hukum diatas mencrminkan ketegasan fiqh sekaligus Elastisitasnya. Ketentuan hukum yang keras namun tetap ada celah untuk menempuh apa yang aslinya diharamkan ketika terjadi benturan dua kemudharatan merupakan salah satu pola pikiran yang khas dalam fiqh. Itu bisa dimengerti karena fiqh diformulasikan untuk menjamin tercapainya maqashid as-syari’ah yang dalam konteks ini adalah hafidz an-nafs dan hafidz al-‘irdh. Dengan demikian pemikiran yang dikembangkan oleh al-Buthi di atas sebetulnya merupakan represntasi dari pendirian sebagian besar fuqaha kontemporer.

Satu hal yang perlu dicatat di sini, dalam kasus perzinaan, pendekatan hukum aborsi dalam fiqh dilakukan dengan mngedepankan hak janin dan hak masyarakat. Hak Ibu yang mengandung justru tidak mendapatkan tempat sama sekali. Pada titik inilah, antara lain, kontroversi dengan kalangan aktivis “pro-choice” terjadi.

e. Akibat Hukum aborsi

Pelaku aborsi atau penyebab keguguran dalam fiqh dikenakan hukuman. Orang yang terkena hukuman itu bisa Ibu si janin sendiri bisa juga orang lain. Ada beberapa macam sanksi bagi pelaku atau penyebab aborsi sesuai dengan akibat yang ditimbulkan : ghurroh (denda yang nilainya 5% dari diyat penuh atau senilai lima ekor unta), kifarah (ganti rugi), diyat (tebusan), dan ta’zir ( hukuman atas pertmbangan hakim).

Ghurrah berlaku jika aborsi telah memenuhi lima syarat yakni : adanya tindakan tertentu yang menyebabkan janin gugur, janin gugur setelah terjadinya tindakan tertentu, janin keluar dalam keadaan meninggal, janin sudah melewati masa mudghah (sudah berbentuk), dan orang tua janin bukan kafir harbi kedua-duanya.[37]

Yang dimaksud tindakan disini adalah semua hal yang bisa menjadi penyebab keguguran, termasuk ucapan. Misalnya, mengancam, menakut-nakuti, menghina, mengejutkan, berteriak keras, membiarkan kelaparan, meneyabrkan bau busuk, bahkan membuat si hamil terpesona. JIka hal-hal tersebut membuat si perempuan keguguran, maka pelaku atau penyebab keguguran mesti membayar  ghurrah tanpa melihat apakah tindakan itu disengaja atau tidak.[38]

Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan usia janin yang gugur mewajibkan ghurrah. Jumhur ulama mengatakan ghurrah wajib tanpa memandang usia janin, asalkan janin sudah melewati masa mudghah. Namun Imam Malik mewajibkan ghurrah tanpa memandang apakah janin sudah berbentuk atau belum.[39] Ulama Hanabilah memberikan tafshil. Ghurrah wajib pada usia kehamilan dibwah 6 bulan. Selain itu, pelaku atau penyebab aborsi dikenakan diyat penuh.[40]

Diyat penuh juga berlaku jika janin yang sudah diketahui hidup di rahim ibunya terbunuh karena tindak kriminal terhadap ibunya dan bukan dimaksudkan untuk mebunuh karena tindak kriminal terhadap ibunya sendiri dan bukan dimaksudkan untuk membunuh janin itu sendiri. Ini adalah pendapat jumhur. Namun jika tindakan itu memang dimaksudkan untuk mencelakai si janin itu sendiri, maka pelakunya wajib membayar kifarati. Demikian pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.[41]

Aborsi dalam Perspektif Hukum Positif

Masalah aborsi dibahas dalam KUHP dan UUD no.23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam KUHP, pasal mengenai pengguguran kandungan dimasukkan ke dalam bab mengenai “kejahatan terhadap nyawa”. Dengan demikian secara implisit berarti tindakan pidana ini dilakukan terhadap korban yang berbeda “ in rerum natura “ atau berada dalam keadaan hidup.[42] Di sini persoalan menjadi terkait dengan kapan janin mulai dianggap sebagai makhluk bernyawa.

Sama halnya dengan perdebatan yang terjadi dalam fiqh Islam, kontroversi mengenai kapan janin dianggap sebagai makhluk bernyawa juga terjadi dalam dunia kedokteran. Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh World Medical Association tahun 1948, disebutkan bahwa dokter harus menghormati kehidupan insani sejak saat pembuahan sel oleh sperma, Ini dipengaruhi oleh pandangan Kristiani yang berkembang di Barat saat itu.

Ketika teknologi bayi tabung ditemukan tahun 1979, sumpah dokter di atas menimbulkan dilemma, karena bayi tabung diproses melalui pengambilan beberapa (7-10) sel telur yang kemudian dibuahi oleh sperma suaminya di laboratorium. Setelah pembuahan, hanya beberapa yang dikembalikan ke rahim ibunya, sedang yang lain disimpan atau dimusnahkan. Jika kehidupan dimulai dari saat pembuahan. Sebaliknya mengembalikan seluruh sel yang dibuahi ke rahim ibu juga tidak mungkin dan memperbesar resiko kegagalan.

Dilema ini kemudian dipecahkan oleh sebuah keputusan di Venesia tahun 1983 yang intinya dokter menghormati kehidupan sejak kehidupan itu dimulai. Persatuan Dokter spesialis Kebidanan se-Dunia dalam perkembangannya menetapkan bahwa kehidupan dimulai sejak sel telur yang dibuahi menempel di dinding rahim. Dilemanya bayi tabung akhirnya terselesaikan.

Namun hasil penelitian Norman F. Ford kemudian menunjukan bahwa kehidupan dimulai setelah pembentukan primitive streak, yaitu lipatan ke dalam yang terbentuk pada zygote ( hasil pertautan sel telur dan sperma) saat berusia empat minggu. Pada saat itulah, menurut Ford, embrio baru bisa lisebut sebagai person atau rnakhluk insani.[43]

Perbedaan pandagan mengenai kapan kehidupan dimulai ini berakibat pada perbedaan penafsiran mengenai ketentuan yang diatur dalam dan UU Kesehatan.

Jika dilihat KUHP itu sendiri, usia kandungan tidak menjadi persoalan hukum. Satu hari, satu bulan, maupun empat bulan sama saja  karena ada janin yang dikeluarkan secara paksa. Namun tidak termasuk dalam hal ini jika sang janin sudah tidak hidup ketika masih ada di rahim ibu.

Dalam KUI-IP ada beberapa ketentuan yang mengatur aborsi yakni pasal 346, 347, 348 dan 349

  1. Pasal 346 KUHP berunsurkan sbb: a). perempuan b). dengan sengaja c). menyebabkan gugur atau mati kandungannya d). menyuruh orang lain untuk itu e). dihukum penjara selama-lamanya empat tahun
  2. Pasal Pasal 347 berunsurkan: a). barang siapa b).dengan sengaja c). menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan d). tidak diizinkan oleh perempuan itu e). dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Ditambahkan dalam ayat 2, jika karena perbuatan itu perempuan mati maka dia dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun.
  3. Pasal 348 berunsurkan : a). barang siapa b). dengan sengaja c). menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan d). engan izin perempuan itu e).dihukum penjara selama-larnanya lima tahun enam bulan. Ditambahkan dalam ayat 2, jika karena itu perempuan mati, maka dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
  4. Pasal 349 secara spesifik menetukan sanksi pidana bagi mereka yang melakukan aborsi dalam kerangka profesi mereka yakni membantu salah satu kejahatan yang tersebut dalampasal 346, 347,dan 348, maka hukumannya dapat ditambah sepertiga dari yang terdapat dalam ketentuan yang, dilanggar dan dapat dipecat dari jabatannya yang digunakan untuk melakukan kejahatan tersebut.

Dari rumusan yang ada, yang disebut tindak pidana hanyalah yang berupa "menyebabkan gugur atau mati kandungan" yang berarti :

a. tidak mempermasalahkan usia kandungan

b. tidak mempermasalahkan cara melakukannya.

Dalam praktek, yang diajukan ke pengadilan pada umumnya adalah orang yang menggugurkan kandungan, sedangkan si perempuan sendiri lolos dari jeratan hukum. Ha1 ini karena ketidak jelasan identitas mereka di samping para terdakwa tidak mau memberikan kesaksian yang justru memberatkan mereka jika ia mengungkap identitas orang yang digugurkan kandungannya.[44]

Selain KUHP, ketentuan mengenai aborsi juga terdapat dalam UU Kesehatan No.23 tahun 1992. Namun UU ini juga menimbulkan kebingungan penafsiran. Dalampasa115 dinyatakan:

(1)  Dalam kedalam darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungannya dapat dilakukan tindakan medis tertentu.

(2)  Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :

a. Bedaska indikasi medis yang  mengharuskan diambilnya tindakan tersebut

b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggang jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli

c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya

d. Pada sarana kesehatan tertentu.[45]

Dari pasal di atas seakan-akan UU ini memperbolehkan pengguguran kandungan dengan alasan tertentu. Akan tetapi Penjelasan Pasal ini merumuskan suatu hal yang membingungkan, yakni:

Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan, Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu.

Bagi beberapa orang, "tindakan medis tertentu" diartikan sebagai aborsi, tetapi di sisi lain pemerintah atau pengadilan bisa saja menafsirkannya sebagai tindakan selain aborsi sebab pada kalimat awal ditegaskan bahwa Pengguguran kandungan atas alasan apapun dilarang. Yang boleh diambil adalah “tindakan medis tertentu”. Apalagi kalimat terakhir menyebutkan          “untuk menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin” yang sudah pasti bukan tindakan aborsi karena aborsi tidak pernah menyelamatkan jiwa janin.[46]

Di sini terasa ada keragu-raguan pemerintah Indonesia dalam menghadapi masalah aborsi. Alasan medis memang dikemukakan dalam konteks menjaga nilai-nilai moral, namun tidak jelas apakah aborsi termasuk sa1ah satu tindakan yang diperbolehkan. Lebih dari itu dalam perundang-undangan yang ada tidak tercantum dictum yang menyatakan persyaratan aborsi, jika itu dipandang sebagai tindakan darurat, apalagi memberi ruang bagi ibu untuk melakukan aborsi karena mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Ini semua menyebabkan aborsi menjadi "dark number of crime" sampai sekarang.

Fakta Aborsi

Fakta tentang aborsi di lapangan menunjukkan angka-angka yang sulit dijadikan pedoman karena penelitian yang akurat terbentur kendala hukum dan norma-norma sosial. Namun yang pasti adalah bahwa aborsi terjadi di tengah-tengah masyarakat dan angka-angka yang diperoleh belum menunjukkan jumlah kejadian yang sebenarnya.

Sebagai gambaran, pada tahun 1994 diperkirakan terjadi 1.000.000 aborsi setiap tahun di Indonesia. 50% diantaranya dilakukan oieh mereka yang belum menikah, dan dari jumlah ini kurang lebih 10-25 % adalah remaja (jakarta, 3/10/1994) tahun berikutnya terbetik berita dari Bali bahwa setiap ada 100 remaja di Denpasar dan Badung yang ingin dipulihkan dari kehamilan yang tidak mereka inginkan (Matra, November 1995).[47]

Angka yang disodorkan oleh Prof. Sudraji Sumapraja lain lagi. Dalam catatannya ia menyatakan 99,7 % perempuan yang melakukan aborsi adalah yang sudah menikah (Kompas,30/11/1997). Sementara itu, penelitian lapangan yang dilakukan oleh Indraswari dari FISIP Unpad tahun 1997 menyirnpulkan 85 % pelaku aborsi berstatus menikah. Penelitian ini juga mengungkapkan abortus spontan karena kelelahan, beban kerja berlebihan dan kondisi kesehatan mencapai angka 20%. Selebihnya, 10 % responden melakukan abortus prbvokatus terapikus (APT), dan 65 % responden melakukan abortus provokatus kriminalis (APK).[48]

Held dan Adriaanz yang melakukan meta analisis tentang kelompok risiko tinggi terhadap kehami1an yang tidak diinginkan mengemukakan bahwa ada 4 kelompok risiko 1).kelompok kegagalan kontrasepsi (48 %); 2).kelompok remaja (27 %); 3).kelompok praktisi seks komersial (14%); dan 4).kelompok korban perkosaan, incest, perbudakan seksual (9 %).[49]

Angka-angka di atas, sekali lagi, belum menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Apalagi pada umumnya penelitian dilakukan dengan Responden yang tidak banyak dan tidak luas sebaran wilayahnya. Responden juga kurang jujur dalam menjawab pertanyaan karena ada stigma-stigma tertentu mengenai aborsi.

Meskipun demikian, berbagai penelitian disimpulkan beberapa dasar yang menyebabkan perempuan melakukan aborsi. Alasan itu adalah :

  1. Pada perempuan yang belum/tidak menikah, alasan melakukan aborsi di antaranya karena masih berusia remaja, pacar tidak mau bertanggungjawab, takut pada orang tua, berstatus janda yang hamil di luar nikah, dan berstatus sebagai simpanan sesorang dan dilarang hamil oleh pasangannya.
  2. Pada perempuan yang sudah menikah, alasannya antara lain karena kegagalan alat kontrasepsi, jarak kelahiran yang terlalu rapat, jumlah anak yang terlalu banyak, terlalu tua untuk melahirkan, fator sosial ekonomi (tidak sanggup lagi membiayai anak-anaknya dan khawatir masa depan anak tidak terjamin), alasan medis, sedang dalam proses perceraian dengan suami, atau karena berstatus sebagai istri kedua dan suaminya tidak menginginkan kehadiran anak dari dia.[50]

Dari alasan-alasan yang dikemukakan tampak bahwa sebagian besar, aborsibukan disebabkan oleh kemauan murni perempuan. Ia melakukan aborsi karena takut dengan risiko sosial, takut kepada orang lain (suami atau  orang tua cian keluarga), adanya paksaan dari keluarga, dan adanya kondisi keluarga yang membuatnya tidak berani punya anak lagi. Aborsi yang semata-mata dilakukan karena perempuan tidak mau punya anak tampaknya sulit ditemukan datanya, untuk tidak bilang tidak ada. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, dari perspektif agama, apakah kondisi-kondisi seperti itu bisa disebut "ikrah" yang konsekuensinya menempatkan perempuan pada posisi "ghairu mukallaf" ? Tentu, pertanyaan ini akan memerlukan pembahasan yang khusus dan mendalam.

Penutup

      Uraian di atas mendorong penulis untuk menyatakan beberapa hal berikut ini

  1. Dari perspektif agama-agama samawi, aborsi pada dasarnya adalah tindakan yang dilarang. Namun demikian Islam mempunyai corak hukum yang lebih fleksibel. Fleksibilitas ini memungkinkan adanya toleransi terhadap aborsi dalam kasus-kasus tertentu seperti aborsi untuk menyelamatkan nyawa ibu dan aborsi akibat ,perkosaan. Banyak variable yang dipertimbangkan dalam proses penentuan hukum aborsi, sehingga terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ikhtilaf memang terjadi, namun semuanya memiliki dasar hukum dan argumen moral yang kuat.
  2. Melihat perdebatan yang terjadi, baik dalam Islam maupun dalam hukum positif, tampak bahwa dasar pelarangan aborsi adalah penghormatan kepada kehidupan, khususnya kepada yang bernyawa. Berbagai erangkat hukum, termasuk sanksi-sanki hukum dirumuskan untuk melindungi kehidupan makhluk bernyawa yang bernama janin ini. Fiqh Islam sangat rinci dalam menjelaskan sanksi-sanksi ini. Sayangnya, sampai kini persoalan kapan kehidupan dimulai masih menjadi sesuatu yang diperdebatkan oleh para ahli baik dari kalangan agama maupun medis.
  3. Satu hal yang penting untuk dicatat adalah bahwa nilai-nilai moral yang mendasari seluruh bangunan hukum tentang aborsi baik hukum agama maupun hukum negara ternyata mengalami kesulitan penerapan dan perbenturan di tingkat lapangan. Sekalipun secara moral-ideal dan legal-formal aborsi dilarang, toh praktek aborsi menunjukkan angka yang cukup tinggi. Aborsi juga secara signifikan menyumbang angka kematian ibu akibat tindakan aborsi yang tidak aman. Ini semua menunjukkan bahwa pendekatan terhadap masalah aborsi semata-mata dari sudut moral dan hukum tidak cukup.
  4. Kenyataannya, baik hukum positif maupun fiqh Islam tidak memasukkan agenda hak-hak reproduksi perempuan -dalam hal ini hak  untuk memutuskan hamil atau tidak dan hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang aman- dalam konsideran hukumnya Dalam kasus tertentu, misalnya aborsi karena perkosaan, KUHP bahkan menafikan hak perempuan untuk melanjutkan atau menggugurkan kehamilannya. Oleh karena itu menjadi bisa dimengerti jika suara yang menginginkan diberikannya hak ini. kepada perempuan kian hari kian nyaring terdengar.
  5. Di tengah dilemma antara nilai moral dan tuntutan kebebasan perempuan untuk menjalankan hak-hak reproduksinya (pro-choice) seperti terjadi sekarang, sudah saatnya islam menyatakan pendirian yang tegas dengan segala segala konsekuensinya. Bila pilihan "Pro-life" dianggap sebagai pilihan terbaik, maka para tokoh Islam tidak cukup hanya memberi fatwa hukum melainkan juga harus mempersiapkan berbagai perangkat yang mendukung tersosialisasikannya pilihan itu di tengah masyarakat. Misalnya, menyiapkan sikap mental dan sosial masyarakat agar tidak mau melakukan aborsi, mensosialisasikan sikap bisa menerima anak yang lahir dari kehamilan yang tidak dikehendaki, dan membuat system sosial yang siap dengan segala risiko pilihan sikap "pro-life". Agama dan hukum tidak boleh ambigu. Sebab, ambiguitas seperti ini terbukti tidak menyelesaikan persoalan.


Wallahu A’lam Bi al-Shwwab.

Catatan: Artikel ini dipresentasikan dalam Dawrah Fiqh Perempuan, 23-27 Mei 2004 di Cirebon, yang diadakan Fahmina Institute Cirebon.           


Daftar Pustaka

  • Al-Qur’an al-Karim
  • Abidin, Ibnu, ar-Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979).
  • Adrina dkk. Hak-hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998).
  • al-Bukhari, al-Imam, Sahih Bukhari, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, tth.
  • al-Buthi, Sa’id Ramadhan, Dr. Mas’alah Tahdid an-Nasl, Wiqayatan wa Ilajan, (Syria: Maktabah al-Farabi, 2000).
  • al-Ghazali, Al-Imam, Ihya Ulumuddin, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983), juz II.
  • Al-Haq, Jaad al-Haq ‘Ali Jaad, asy-Syaikh, Ahkam asy-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyah ‘an al-Amradh an-Nisa’iyah wa Shihhah al-Injabiyah, Cairo: Jami’ah al-Azhar, 1997.
  • al-Qaransyawi, Abdul Jalil, dkk. Al-Mujaz fi Uhsul al-Fiqh (Cairo: Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, 1965).
  • An-Nawawi, Syarah an-Nawawi ‘ala Sahih Muslim, juz XI, h. 201.
  • ar-Ramli, Al-Imam, Nihayah al-Muhtaj, (Cairo: Dar al-Syuruq, tth.), juz VIII.
  • asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Ihya at-Turats al-Arabi).
  • Avvento, Rev. Gennaro P., Sexuality a Christian View, Toward Formation of Mature Values, (PO. Box 180, Mystic, CT.06355, 1982).
  • Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994).
  • Habsjah, Attashehendartini, Fakta-fakta Aborsi, (Makalah Semi-Loka Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, PPFNU), tidak diterbitkan, 2001.
  • Hajar, Ibn, Tuhfah al-Muhtaj, (Cairo: Musthafa Muhammad, tth).
  • Harkrisnowo, Harkristuti, Aborsi Ditinjau dari Perspektif Hukum, (Makalah Seminar dan Lokakarya Aborsi Ditinjau dari Perspektif Fiqh Kontemporer yang diselenggarakan oleh PP Fatayat NU, Jakarta), tidak diterbitkan, 2001.
  • Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).
  • Hasyim, Syafiq, Menakar “Harga” Perempuan, (Bandung: Mizan, 1999), cet. Ke-1.
  • Hazm, Ibn, al-Muhalla, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, tth.).
  • Masyhuri, Aziz, KH. Abortus Menurut Hukum Islam, (Makalah pada Bahtsul Masail NU Wilayah Jawa Timur, Oktober 1992, tidak diterbitkan).
  • Muhammad, Kartono, Dr., Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), cet. Ke-1.
  • Muslim, al-Imam, Sahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), juz II.
  • Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), cet. Ke-2.
  • Qudamah, Ibnu, al-Mughni, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah), juz VIII.
  • Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid, Beirut: Dar al-Fikr, tth. juz II.
  • Umar, Nasaruddin, Aborsi dalam Pandangan Agama-Agama Samawi, (Makalah Semi-Loka Aborsi Ditinjau dari Perspektif Fiqh Kontemporer yang diadakan PPFNU, Jakarta), tidak diterbitkan, 2001.
  • Wigoder, Geoffrey, The Encyclopaedia of Judaism, (The Jerussalem Publishing House, 1989).
  • Zuhdi, Masyfuk, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986).
  • Zuhdi, Masyfuk, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989).

Footnote

  1. M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 44.
  2. Fuqaha kontemporer yang menggunakan istilah al-ijhadh ini misalnya Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islamiyy wa Adillathu, Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam Mas’alah Tahdid an-Nasl, Wiqayatan wa Ilajan, Syekh al-Azhar (mantan) Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq dalam Ahkam asy-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyah ‘an al-Amradh an-Nisa’iyah wa Shihhah al-Injabiyah. Ada juga yang membedakan kedua istilah ini. Isqath al-haml digunakan oleh para dokter Arab untuk pengguguran kandungan yang sudah tua, sementara al-ijhadh digunakan untuk pengguguran kandungan yang masih muda. Lihat: KH. A. Aziz Masyhuri, Abortus Menurut Hukum Islam, (Makalah pada Bahtsul Masail NU Wilayah Jawa Timur, Oktober 1992, tidak diterbitkan).
  3. Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq dalam Ahkam asy-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyah ‘an al-Amradh an-Nisa’iyah wa Shihhah al-Injabiyah, (Cairo: Universitas al-Azhar, 1997), h. 135.
  4. Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994), h. 33.
  5. Prof. Dr. Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989), ce. Ke-3, h. 77.
  6. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), cet. Ke-2, h. 2.
  7. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, Aborsi Ditinjau dari Perspektif Hukum, (Makalah Seminar dan Lokakarya Aborsi Ditinjau dari Perspektif Fiqh Kontemporer yang diselenggarakan oleh PP Fatayat NU, Jakarta, 2001), hl. 4. Lihat juga Masyfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), h. 38-39.
  8. Nasaruddin Umar, Aborsi dalam Pandangan Agama-Agama Samawi, (Makalah Semi-Loka Aborsi Ditinjau dari Perspektif Fiqh Kontemporer yang diadakan PPFNU, Jakarta, 2001), h. 2-3.
  9. Geoffrey Wigoder, The Encyclopaedia of Judaism, (The Jerussalem Publishing House, 1989), h. 19.
  10. Rev. Gennaro P. Avvento, Sexuality a Christian View, Toward Formation of Mature Values, (PO. Box 180, Mystic, CT.06355, 1982), h. 145-147.
  11. Nasaruddin Umar, Op.Cit., h. 3.
  12. Hadits ini disebut Bukhari dalam kitabnya sebanyak 4 kali. Lihat al-Bukhari, Sahih Bukhari, CD. Rom, Kitab Bad’ al-Khalq bab Zikr al-Malaikat, hadis ke-2969, kitab Ahadits al-Anbiya’ bab Khalqu Adam wa Dzurriyatuhu, hadis ke-3085, kitab al-Qadr ba Ma Jaa’a fi al-Qadar, hadis ke-6105, kitab at-Tauhid bab Qawluhu Sabaqat Kalimatuna, hadis ke-6900. Muslim menyebutkan hadis ini dengan 6 sanad. Lihat Muslim, Sahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), juz II, kitab al-Qadar ba Kayfiyyah al-Khalq al-Adami, hadis ke-2643. Redaksi di atas adalah redaksi Muslim.
  13. Muslilm bin Hajjaj, Ibid., Kitab al-Qadar, hadis ke-2644. Dalam bab yang sama Muslim juga meriwayatkan 4 buah hadis dari sahabat yang sama, namun dengan redaksi yang sedikit berbeda dan jumlah hari yang berbeda pula. Dalam salah satu Riwayat dikatakan 40 atau 45 hari, dalam Riwayat lain disebutkan 40 hari, dan ada juga Riwayat yang menyebutkan secara tersamar, yakni empat puluh hari lebih (bidh’un wa arba’in).
  14. Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, Op.Cit., h. 148-149. Dalam ushul fiqh, dikenal istilah ahliyyah (keputusan dan keharusan seseorang untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban). Keharusan menerima hak dari orang lain disebut ahliyyah al-wujub dan keharusan menjalankan kewajiban disebut ahliyyah al-ada’. Janin hanya mempunyai ahliyyah al-wujub. Namun karena ia belum sempurna sebagai manusia, maka hak-haknya pun terbatas. Inilah yang disebut ahliyyah al-wujub al-qashirah atau ahliyyah an-naqishah. Lihat Abdul Jalil al-Qaransyawi, dkk. Al-Mujaz fi Uhsul al-Fiqh (Cairon: fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, 1965), cet ke-2, hl. 34-35.
  15. Definisi “dharurat” secara sederhana ialah suatu keadaan yang sampai suatu batas, kalua ia tidak mengerjakan yang terlarang akan membinasakan jiwanya atau hamper binasa. Dalam keadaan dharurat semacam ini diperbolehkan mengejakan yang haram, bahkan bisa diwajibkan.
  16. Jaad al-Haq, Loc. Cit.
  17. Sa’id Ramadan al-Buthi, Op.Cit. h. 72-73.
  18. Al-Imam ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, (Cairo: Dar al-Syuruq, tth.), juz VIII, h. 416.
  19. Sa’id Ramadan al-Buthi, Loc. Cit.
  20. Al-Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983), juz II, h. 51.
  21. Ibid.
  22. Ibnu Abidin, ar-Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), juz II, h. 411.
  23. Ibid.
  24. Sa’id Ramadan al-Buthi, Op. Cit., h. 77.
  25. Pendapat-pendapat ini sebagaimana yang dikutip al-Buthi. Selengkapnya lihat Sa’id Ramadan al-Buthi, Op. Cit., h. 79.
  26. Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, Op.Cit., h. 136. Lihat juga al-Buthi, Ibid., h. 80.
  27. Ibn Hazm, al-Muhalla, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, tth.), juz XI, h. 35-40.
  28. Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, Op.Cit., h. 137.
  29. Sa’id Ramadan al-Buthi, Loc.Cit.
  30. Mengenai rincian dan contoh-contoh kasus yang masuk dalam kaedah ini, lihat as-Suyuthi dalam al-Asybah wa an-Nazhair dalam pembahasan mengenai kaedah ke-empat “adh-Dharar Yuzal”.
  31. Husein Muhammad, Op.Cit., h. 6-7.
  32. Muslim, Op.Cit., kitab al-Hudud bab Man I’tarafa ‘ala Nafsihi bi al-Zina, hadis ke-1695.
  33. An-Nawawi, Syarah an-Nawawi ‘ala Sahih Muslim, juz XI, h. 201.
  34. Sa’id Ramadan al-Buthi, Op. Cit., h. 127-139.
  35. Ibid, h. 143.
  36. Ibid, h. 159-160.
  37. Sa’id Ramadan al-Buthi, Op.Cit., h. 180-186.
  38. Lihat Ibn Hajar, Tuhfah al-Muhtaj, (Cairo: Musthafa Muhammad, tth), juz IX, h. 39, dan asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Ihya at-Turats al-Arabi), juz IV, h. 391. Juga Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah), juz VIII, h. 391.
  39. Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz II, h. 312.
  40. Ibnu Qudamah, Op.Cit., h. 401.
  41. Ibnu Qudamah, Op.Cit., h. 403, al-Syirbini, Op.Cit., h. 105.
  42. Harkristuti Harkrisnowo, Op.Cit., h. 5.
  43. Dr. Kartono Muhammad, Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), cet. Ke-1, h. 130-131.
  44. Harkristuti Harkrisnowo, Op.Cit., h. 6-8.
  45. Syafiq Hasyim, Menakar “Harga” Perempuan, (Bandung: Mizan, 1999), cet. Ke-1, h. 276-277.
  46. Dr. Kartono Muhammad, Op.Cit., h. 65-66.
  47. Adrina dkk. Hak-hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), h. 117-118.
  48. Syafiqh Hasyim (ed.), Op.Cit., h. 152-154.
  49. Attashehendartini Habsjah, Fakta-fakta Aborsi, (Makalah Semi-Loka Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, PPFNU, 2001), h. 4.
  50. Ibid., h. 5.