Fahmina: Perbedaan revisi

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
11 bita dihapus ,  21 Agustus 2021 18.26
tidak ada ringkasan suntingan
Baris 16: Baris 16:
== Profil ==
== Profil ==
Berbeda dengan organisasi lain yang menjadi fokus penelitian ini, Fahmina-institute (selanjutnya disebut fahmina saja) adalah [[lembaga]] swadaya masyarakat (LSM), bbukan organisasi masyarakat (Ormas) yang memiliki basis massa yang jelas, dan juga bukan organisasi politik (Orpol) yang berorientasi pada perebutan kekuasaan politik. Sebagai LSM, Fahmina organisasi nirlaba, ''non-profit oriented'', dan non-pemerintah. Fahmina memilih bergerak pada wilayah kajian agama, sosial dan penguatan masyarakat sipil ''(civil society)''. Sebagai organisasi ''civil society'', Fahmina terbuka bekerjasama dengan masyarakat lintas etnis, ras, agama dan gender. Ikatan Fahmina adalah sistem nilai dan ideologi perjuangan yang dianut, bukan kesamaan etnik, ras, agama, atau gender.
Berbeda dengan organisasi lain yang menjadi fokus penelitian ini, Fahmina-institute (selanjutnya disebut fahmina saja) adalah [[lembaga]] swadaya masyarakat (LSM), bbukan organisasi masyarakat (Ormas) yang memiliki basis massa yang jelas, dan juga bukan organisasi politik (Orpol) yang berorientasi pada perebutan kekuasaan politik. Sebagai LSM, Fahmina organisasi nirlaba, ''non-profit oriented'', dan non-pemerintah. Fahmina memilih bergerak pada wilayah kajian agama, sosial dan penguatan masyarakat sipil ''(civil society)''. Sebagai organisasi ''civil society'', Fahmina terbuka bekerjasama dengan masyarakat lintas etnis, ras, agama dan gender. Ikatan Fahmina adalah sistem nilai dan ideologi perjuangan yang dianut, bukan kesamaan etnik, ras, agama, atau gender.
Sejarah kehadiran Fahmina berawal dari pergumulan intelektual kawula muda dari kalangan pesantren di Cirebon, yang memunculkan kesadaran berbagai pihak untuk mengembangkan tradisi intelektual dan etos sosial pesantren dalam merespon perkembangan kontemporer dan perubahan sosial yang tiada henti. Berangkat dari semangat pergumulan itu dan sesuai dengan kebutuhan gerakan, pada bulan November tahun 2000 empat aktivis pesantren, yakni Husein Muhammad<ref>Husein Muhammad saat itu adalah kiai pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon, lulusan PTIQ Jakarta, dan al-Azhar Mesir, kader P3M Jakarta dan PP Lakpesdam Jakarta.</ref>, Affandi Mochtar<ref>Affandi Mochtar saat itu adalah anak KH. Mochtar PP Babakan Ciwaringin Cirebon, lulusan S1 STAIN Cirebon dan S2 McGill University, sedang mengikuti program S3 di IAIN Jakarta.</ref>, Marzuki Wahid<ref>Marzuki Wahid saat itu adalah anak Ketua PC Lakpesdam NU Kab. Cirebon, mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Yogyakarta, alumni PP Babakan Ciwaringin Cirebon dan PP Krapyak Yogyakarta, lulusan S1 IAIN Yogyakarta, sedang S2 di IAIN Jakarta.</ref>, dan [[Faqihuddin Abdul Kodir]]<ref>Faqihuddin Abd. Kodir saat itu adalah alumni PP Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon, lulusan S1 Universitas Damaskus Syiria, dan baru menyelesaikan S2 di Islam Antara Bangsa Kualalumpur Malaysia.</ref> mendirikan Fahmina<ref>Awalnya empat pendiri Fahmina tersebut menyepakati nama “Fahmindo” untuk menyebut lembaga yang didirikannya itu. “Fahmindo” adalah padatan dari ''“fahm”'' (bahasa Arab) yang berarti perspektif, dan “indo” adalah singkatan dari “Indonesia”. Sehingga Fahmindo berarti “perspektif Indonesia tentang masalah-masalah kemanusiaan” atau “perspektif kita tentang keindonesiaan”. Saat itu Fahmindo sudah terdaftar di Akta Notaris Atiyah Djahari, SH Cirebon dengan no. 20 tanggal 31 Juli 2000. Namun, dengan berbagai pertimbangan, kemudian nama “Fahmindo” diubah menjadi “Fahmina”. Fahmina adalah padatan dari “fahm” dan “ina” dengan makna yang kurang lebih sama, kecuali “indo” (singkatan Indonesia) diubah menjadi “ina” (singkatan internasional untuk negara Indonesia). Fahmina juga bisa berarti “pemahaman kita” atau “perspektif kita” tentang realitas sosial, kemanusiaan atau masalah-masalah sosial keagamaan untuk transformasi sosial. Nama lembaga Fahmina juga sudah terdaftar di Notaris Idris Abas, SH No. 1 tanggal 3 Januari 2003. Pada tahun 2007, badan hukum Fahmina menjadi Yayasan Fahmina, dengan SK Menhukam No. 8 tanggal 10 Agustus 2007.</ref>. Kemudian pada bulan Februari 2001, Fahmina mulai diluncurkan ke publik.
Sejarah kehadiran Fahmina berawal dari pergumulan intelektual kawula muda dari kalangan pesantren di Cirebon, yang memunculkan kesadaran berbagai pihak untuk mengembangkan tradisi intelektual dan etos sosial pesantren dalam merespon perkembangan kontemporer dan perubahan sosial yang tiada henti. Berangkat dari semangat pergumulan itu dan sesuai dengan kebutuhan gerakan, pada bulan November tahun 2000 empat aktivis pesantren, yakni Husein Muhammad<ref>Husein Muhammad saat itu adalah kiai pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon, lulusan PTIQ Jakarta, dan al-Azhar Mesir, kader P3M Jakarta dan PP Lakpesdam Jakarta.</ref>, Affandi Mochtar<ref>Affandi Mochtar saat itu adalah anak KH. Mochtar PP Babakan Ciwaringin Cirebon, lulusan S1 STAIN Cirebon dan S2 McGill University, sedang mengikuti program S3 di IAIN Jakarta.</ref>, Marzuki Wahid<ref>Marzuki Wahid saat itu adalah anak Ketua PC Lakpesdam NU Kab. Cirebon, mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Yogyakarta, alumni PP Babakan Ciwaringin Cirebon dan PP Krapyak Yogyakarta, lulusan S1 IAIN Yogyakarta, sedang S2 di IAIN Jakarta.</ref>, dan [[Faqihuddin Abdul Kodir]]<ref>Faqihuddin Abd. Kodir saat itu adalah alumni PP Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon, lulusan S1 Universitas Damaskus Syiria, dan baru menyelesaikan S2 di Islam Antara Bangsa Kualalumpur Malaysia.</ref> mendirikan Fahmina<ref>Awalnya empat pendiri Fahmina tersebut menyepakati nama “Fahmindo” untuk menyebut lembaga yang didirikannya itu. “Fahmindo” adalah padatan dari ''“fahm”'' (bahasa Arab) yang berarti perspektif, dan “indo” adalah singkatan dari “Indonesia”. Sehingga Fahmindo berarti “perspektif Indonesia tentang masalah-masalah kemanusiaan” atau “perspektif kita tentang keindonesiaan”. Saat itu Fahmindo sudah terdaftar di Akta Notaris Atiyah Djahari, SH Cirebon dengan no. 20 tanggal 31 Juli 2000. Namun, dengan berbagai pertimbangan, kemudian nama “Fahmindo” diubah menjadi “Fahmina”. Fahmina adalah padatan dari “fahm” dan “ina” dengan makna yang kurang lebih sama, kecuali “indo” (singkatan Indonesia) diubah menjadi “ina” (singkatan internasional untuk negara Indonesia). Fahmina juga bisa berarti “pemahaman kita” atau “perspektif kita” tentang realitas sosial, kemanusiaan atau masalah-masalah sosial keagamaan untuk transformasi sosial. Nama lembaga Fahmina juga sudah terdaftar di Notaris Idris Abas, SH No. 1 tanggal 3 Januari 2003. Pada tahun 2007, badan hukum Fahmina menjadi Yayasan Fahmina, dengan SK Menhukam No. 8 tanggal 10 Agustus 2007.</ref>. Kemudian pada bulan Februari 2001, Fahmina mulai diluncurkan ke publik.
Sejak peluncurannya, orientasi kerja Fahmina fokus pada kajian kritis sosial keagamaan dan pendampingan masyarakat marjinal ''(mustadl’afin)'' dalam perspektif kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan. Orientasi perjuangannya tampak dari program-program yang telah dilaksanakan, yakni menciptakan struktur sosial yang setara dan adil, di mana setiap orang – baik laki-laki maupun perempuan, baik muslim maupun non-muslim, latar etnik maupun – bisa berdaya dan memiliki kesempatan yang sama untuk bisa menjadi kuat, baik secara politik, sosial, maupun budaya.
Sejak peluncurannya, orientasi kerja Fahmina fokus pada kajian kritis sosial keagamaan dan pendampingan masyarakat marjinal ''(mustadl’afin)'' dalam perspektif kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan. Orientasi perjuangannya tampak dari program-program yang telah dilaksanakan, yakni menciptakan struktur sosial yang setara dan adil, di mana setiap orang – baik laki-laki maupun perempuan, baik muslim maupun non-muslim, latar etnik maupun – bisa berdaya dan memiliki kesempatan yang sama untuk bisa menjadi kuat, baik secara politik, sosial, maupun budaya.


Oleh karena itu, dalam dokumen terakhir, rumusan visi Fahmina adalah “terwujudnya tatanan-sosial dan masyarakat yang kritis, terbuka, bermartabat, dan berkeadilan berbasis Islam-Pesantren.” Sedangkan misinya untuk mewujudkan visi tersebut adalah: (1) Mengembangkan gerakan keagamaan kritis berbasis tradisi keislaman pesantren untuk perubahan sosial; (2) Mempromosikan tatanan kehidupan masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat dengan mengacu pada kearifan lokal; (3) Menguatkan kelompok-kelompok masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan publik yang menjamin terpenuhinya kemaslahatan rakyat; dan (4) Mengembangkan upaya-upaya masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kehidupannya.
Oleh karena itu, dalam dokumen terakhir, rumusan visi Fahmina adalah “terwujudnya tatanan-sosial dan masyarakat yang kritis, terbuka, bermartabat, dan berkeadilan berbasis Islam-Pesantren.” Sedangkan misinya untuk mewujudkan visi tersebut adalah: (1) Mengembangkan gerakan keagamaan kritis berbasis tradisi keislaman pesantren untuk perubahan sosial; (2) Mempromosikan tatanan kehidupan masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat dengan mengacu pada kearifan lokal; (3) Menguatkan kelompok-kelompok masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan publik yang menjamin terpenuhinya kemaslahatan rakyat; dan (4) Mengembangkan upaya-upaya masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kehidupannya.
Saat ini Fahmina memiliki 6 devisi program yang terwadahi dalam departemen, yaitu: (1) Departemen Islam dan Gender; (2) Departemen Islam dan Demokrasi; (3) Departemen Penguatan Otonomi [[Komunitas]]; (4) Departemen Pendidikan; Departemen Data Informasi dan Media (5); Departemen Keuangan dan Administrasi; dan (6) Departemen Kawasan dan Kerumahtanggaan.
Saat ini Fahmina memiliki 6 devisi program yang terwadahi dalam departemen, yaitu: (1) Departemen Islam dan Gender; (2) Departemen Islam dan Demokrasi; (3) Departemen Penguatan Otonomi [[Komunitas]]; (4) Departemen Pendidikan; Departemen Data Informasi dan Media (5); Departemen Keuangan dan Administrasi; dan (6) Departemen Kawasan dan Kerumahtanggaan.
Dalam mengembangkan program-program setiap departemennya, Fahmina selalu; [1] mengacu pada visi dan misi, yaitu pengembangan dan penyebarluasan wacana keagamaan kritis yang mengarah pada perubahan sosial yang berkeadilan ''(al-‘adalah)'' dan demokratis, dan memfasilitasi keberdayaan dan melakukan pembelaan terhadap masyarakat yang tertindas melalui penguatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya; [2] mendasarkan pada rekomendasi hasil penelitian pendahuluan ''(preliminary research)''; [3] berorientasi pada transformasi sosial melalui pengguliran isu-isu strategis dari kenyataan sosial yang digeluti oleh masyarakat; [4] mendasarkan pada argumen-argumen teologis dalam [[khazanah]] intelektual dan peraadaban keislaman, baik klasik maupun kontemporer; [5] memprioritaskan pada penguatan tiga ranah, yaitu: ''pertama,'' sosial-intelektual, program diarahkan pada prduksi wacana keagamaan kritis dan penguatan teologi pembebasan sebagai basis gerakan sosial; ''kedua,'' sosial-budaya, program diarahkan pada pengembangan kultur masyarakat yang berorientasi pada perubahan sosial untuk keadilan sosial; dan ''ketiga,'' sosial-politik, program diarahkan pada pengorganisasian berbagai kelompok masyarakat agar mandiri, berdaya, dan mampu menciptakan kebijakan publik yang adil; [6] mengupayakan realisasi program melalui: pengkajian dan penelitian yang berorientasi pada transformasi sosial, pendidikan yang berorientasi pada pembentukan agen perubahan sosial dan penciptaan komunitas intelektual kritis yang bermartabat, produksi hasil kajian dan karya intelelktual bermazhab kritis, dan memfasilitasi tumbuhnya kelompok-kelompok kritis-strategis yang memperjuangkan keadilan sosial, demokratisasi, dan tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM), advokasi kebijakan publik agar berpihak kepada masyarakat yang tertindas demi keadilan sosial.


Dalam mengembangkan program-program setiap departemennya, Fahmina selalu; [1] mengacu pada visi dan misi, yaitu pengembangan dan penyebarluasan wacana keagamaan kritis yang mengarah pada perubahan sosial yang berkeadilan ''(al-‘adalah)'' dan demokratis, dan memfasilitasi keberdayaan dan melakukan pembelaan terhadap masyarakat yang tertindas melalui penguatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya; [2] mendasarkan pada rekomendasi hasil penelitian pendahuluan ''(preliminary research)''; [3] berorientasi pada transformasi sosial melalui pengguliran isu-isu strategis dari kenyataan sosial yang digeluti oleh masyarakat; [4] mendasarkan pada argumen-argumen teologis dalam [[khazanah]] intelektual dan peraadaban keislaman, baik klasik maupun kontemporer; [5] memprioritaskan pada penguatan tiga ranah, yaitu: ''pertama,'' sosial-intelektual, program diarahkan pada prduksi wacana keagamaan kritis dan penguatan teologi pembebasan sebagai basis gerakan sosial; ''kedua,'' sosial-budaya, program diarahkan pada pengembangan kultur masyarakat yang berorientasi pada perubahan sosial untuk keadilan sosial; dan ''ketiga,'' sosial-politik, program diarahkan pada pengorganisasian berbagai kelompok masyarakat agar mandiri, berdaya, dan mampu menciptakan kebijakan publik yang adil; [6] mengupayakan realisasi program melalui: pengkajian dan penelitian yang berorientasi pada transformasi sosial, pendidikan yang berorientasi pada pembentukan agen perubahan sosial dan penciptaan komunitas intelektual kritis yang bermartabat, produksi hasil kajian dan karya intelelktual bermazhab kritis, dan memfasilitasi tumbuhnya kelompok-kelompok kritis-strategis yang memperjuangkan keadilan sosial, demokratisasi, dan tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM), advokasi kebijakan publik agar berpihak kepada masyarakat yang tertindas demi keadilan sosial.




== Sejarah dan Perkembangan ==
== Sejarah dan Perkembangan ==
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, keberadaan Fahmina berawal dari pergumulan intelektual kawula muda yang berakar di dunia pesantren. Ada semacam kegundahan terhadap etos sosial dan tradisi intelektual yang tidak lagi diperankan pesantren, karena penetrasi politik yang sangat dalam dan lama terhadap kehidupan pesantren. Padahal pada pendirian awalnya pesantren secara sengaja didesain untuk melakukan pembelaan terhadap rakyat, sekaligus melakukan pendidikakn dan pengembangan intelektual untuk kepentingan rakyat.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, keberadaan Fahmina berawal dari pergumulan intelektual kawula muda yang berakar di dunia pesantren. Ada semacam kegundahan terhadap etos sosial dan tradisi intelektual yang tidak lagi diperankan pesantren, karena penetrasi politik yang sangat dalam dan lama terhadap kehidupan pesantren. Padahal pada pendirian awalnya pesantren secara sengaja didesain untuk melakukan pembelaan terhadap rakyat, sekaligus melakukan pendidikakn dan pengembangan intelektual untuk kepentingan rakyat.


Pada tahun 1998, kelompok anak-anak muda yang tergabung dalam Klub Kajian Bildung<ref>Klub Kajian Bildung (KKB) dimotori oleh Affandi Mochtar dan Marzuki Wahid. Aktif dalam KKB ini adalah Suwendi, Abd. Moqsith Ghazali, Imam Yahya, Mushoffa Basyir, dll. Selain melakukan serangkaian halaqah di berbagai pesantren, KKB juga melakukan rihlah ilmiah (academical journey) ke berbagai kantong-kantong gerakan, misalnya ke CSIS Jakarta, ICMI Jakarta, PBNU Jakarta, STF Driyarkara, LkiS Yogyakarta. Adapun ke person, KKB melakukan rihlah ilmiah kepada Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), Romo Mangunwijaya Yogyakarta, Prof. Dr. Mochtar Mas’oed (Intelektual Muslim kritis UGM Yogyakarta), dll.</ref> dan PC Lakpesdam Kabupaten Cirebon<ref>Ketua PC Lakpesdam NU pertama di Cirebon adalah Marzuki Wahid, diangkat oleh PCNU Kab. Cirebon.</ref> melakukan serangkaian diskusi keliling ke berbagai pesantren, dengan mengusung kajian kontekstualisasi kitab kuning. Diskusi ini memperoleh tanggapan yang luar biasa dari berbagai aktivis muda pesantren, dan dukungan dari beberapa kyai sepuh seperti KH. Syarif Usman Yahya Kempek<ref>Pengasuh PP Khatulistiwa Kempek Cirebon.</ref>, KH. Fuad Hasyim Buntet<ref>Pengasuh PP Nadwatul Ummah Buntet Cirebon.</ref>, KH. Yahya Masduqi Babakan<ref>Pengasuh PP Miftahul Muta’allimin Babakan Ciwaringin Cirebon.</ref>, dan KH. Prof. Dr. A. Chozin Nasuha Arjawinangun, dan KH. Ibnu Ubaidillah Syathori Arjawinangun<ref>Pengasuh PP Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon.</ref>.
Pada tahun 1998, kelompok anak-anak muda yang tergabung dalam Klub Kajian Bildung<ref>Klub Kajian Bildung (KKB) dimotori oleh Affandi Mochtar dan Marzuki Wahid. Aktif dalam KKB ini adalah Suwendi, Abd. Moqsith Ghazali, Imam Yahya, Mushoffa Basyir, dll. Selain melakukan serangkaian halaqah di berbagai pesantren, KKB juga melakukan rihlah ilmiah (academical journey) ke berbagai kantong-kantong gerakan, misalnya ke CSIS Jakarta, ICMI Jakarta, PBNU Jakarta, STF Driyarkara, LkiS Yogyakarta. Adapun ke person, KKB melakukan rihlah ilmiah kepada Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), Romo Mangunwijaya Yogyakarta, Prof. Dr. Mochtar Mas’oed (Intelektual Muslim kritis UGM Yogyakarta), dll.</ref> dan PC Lakpesdam Kabupaten Cirebon<ref>Ketua PC Lakpesdam NU pertama di Cirebon adalah Marzuki Wahid, diangkat oleh PCNU Kab. Cirebon.</ref> melakukan serangkaian diskusi keliling ke berbagai pesantren, dengan mengusung kajian kontekstualisasi kitab kuning. Diskusi ini memperoleh tanggapan yang luar biasa dari berbagai aktivis muda pesantren, dan dukungan dari beberapa kyai sepuh seperti KH. Syarif Usman Yahya Kempek<ref>Pengasuh PP Khatulistiwa Kempek Cirebon.</ref>, KH. Fuad Hasyim Buntet<ref>Pengasuh PP Nadwatul Ummah Buntet Cirebon.</ref>, KH. Yahya Masduqi Babakan<ref>Pengasuh PP Miftahul Muta’allimin Babakan Ciwaringin Cirebon.</ref>, dan KH. Prof. Dr. A. Chozin Nasuha Arjawinangun, dan KH. Ibnu Ubaidillah Syathori Arjawinangun<ref>Pengasuh PP Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon.</ref>.


Pergumulan ini juga memunculkan serangkaian aktivitas sosial kalangan muda pesantren untuk melakukan pembelaan terhadap orang-orang marjinal; dengan mendiskusikan isu-isu kerakyatan, hak-hak warga, sampai pembelaan di tingkat pewacanaan publik. Pembentukan JILLI (Jaringan Informasi untuk Layanan Lektur Islam) Cirebon<ref>JILLI dibentuk oleh Affandi Mochtar, berpusat di PP Ikhwanul Muslimin Babakan Ciwaringin Cirebon. Aktif dalam JILLI adalah Marzuki Wahid, Dudung Abd. Hakim, Saefullah, Ade Asep Syarifuddin, dll.</ref>, juga berangkat dari kegelisahan dan pergumulan di atas. Jaringan ini mencoba melakukan pendataan terhadap seluruh literatur kitab kuning dan literatur lain yang ada di pesantren-pesantren, pengemasan dalam bentuk ''software'', dan pelayanan informasi-informasi yang dibutuhkan masyarakat dari pesantren.
Pergumulan ini juga memunculkan serangkaian aktivitas sosial kalangan muda pesantren untuk melakukan pembelaan terhadap orang-orang marjinal; dengan mendiskusikan isu-isu kerakyatan, hak-hak warga, sampai pembelaan di tingkat pewacanaan publik. Pembentukan JILLI (Jaringan Informasi untuk Layanan Lektur Islam) Cirebon<ref>JILLI dibentuk oleh Affandi Mochtar, berpusat di PP Ikhwanul Muslimin Babakan Ciwaringin Cirebon. Aktif dalam JILLI adalah Marzuki Wahid, Dudung Abd. Hakim, Saefullah, Ade Asep Syarifuddin, dll.</ref>, juga berangkat dari kegelisahan dan pergumulan di atas. Jaringan ini mencoba melakukan pendataan terhadap seluruh literatur kitab kuning dan literatur lain yang ada di pesantren-pesantren, pengemasan dalam bentuk ''software'', dan pelayanan informasi-informasi yang dibutuhkan masyarakat dari pesantren.


Baik dalam komunitas Bildung Cirebon, JILLI, maupun forum-forum lain yang digagas para santri pasca pesantren, semuanya masih bersifhat ''ad hoc'', sederhana, dan tidak berkesinambungan untuk kegiatan intelektual maupun program pemberdayaan yang dilakukan. Seringkali isu-isu yang dikembangkan menguap begitu saja, karena tidak ada koordinasi kelembagaan yang memadai. Pergumulan kawula muda pesantren itu, baik kelompok intelektual maupun kelompok sosial, meniscayakan adanya kelembagaan yang lebih mampu mengkoordinasi cita-cita yang diusung<ref>Diambil dari website resmi Fahmina-institute, yaitu www.fahmina.or.id</ref>.
Baik dalam komunitas Bildung Cirebon, JILLI, maupun forum-forum lain yang digagas para santri pasca pesantren, semuanya masih bersifhat ''ad hoc'', sederhana, dan tidak berkesinambungan untuk kegiatan intelektual maupun program pemberdayaan yang dilakukan. Seringkali isu-isu yang dikembangkan menguap begitu saja, karena tidak ada koordinasi kelembagaan yang memadai. Pergumulan kawula muda pesantren itu, baik kelompok intelektual maupun kelompok sosial, meniscayakan adanya kelembagaan yang lebih mampu mengkoordinasi cita-cita yang diusung<ref>Diambil dari website resmi Fahmina-institute, yaitu www.fahmina.or.id</ref>.


Atas dasar ini, beberapa pendiri dan pengampu forum-forum itu kemudian mendirikan lembaga Fahmina sebagai kristalisasi dari gagasan dan gerakan kawula santri sebelumnya. Dari gerakan yang cair menjadi kristal, dari gagasan yang liar menjadi terwadahi, dari gerakan yang tanpa bentuk menjadi terlembagakan, itulah kemunculan awal Fahmina yang pertama kali berkantor di Jln. Pangeran Drajat 15 Kota Cirebon. Meski begitu, secara kelembagaan, fahmina didirikan sebagai institusi yang independen, tidak menjadi cabang dair lembaga atau kekuatan lain, non-pemerintah, tidak partisan, dan terbuka keanggotaan komunitas yang lintas etnis, gender, golongan dan agama.


Atas dasar ini, beberapa pendiri dan pengampu forum-forum itu kemudian mendirikan lembaga Fahmina sebagai kristalisasi dari gagasan dan gerakan kawula santri sebelumnya. Dari gerakan yang cair menjadi kristal, dari gagasan yang liar menjadi terwadahi, dari gerakan yang tanpa bentuk menjadi terlembagakan, itulah kemunculan awal Fahmina yang pertama kali berkantor di Jln. Pangeran Drajat 15 Kota Cirebon. Meski begitu, secara kelembagaan, fahmina didirikan sebagai institusi yang independen, tidak menjadi cabang dair lembaga atau kekuatan lain, non-pemerintah, tidak partisan, dan terbuka keanggotaan komunitas yang lintas etnis, gender, golongan dan agama.




Menu navigasi