Hijrah Nabi Dulu dan Fenomena Kini

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Yuk kita saksikan penyampaian dari Nyai Badriyah Fayumi berikut ini.

HIJRAH NABI DULU DAN FENOMENA KINI

Oleh: Badriyah Fayumi

Dulu,

Nabi hijrah itu meninggalkan Makkah yang kejam, memusuhi perbedaan dan tak memberi ruang pada Tauhid dan pencerahan.

Dulu,

Nabi hijarah ke Madinah itu membangun peradaban, merukunkan yang bermusuhan, memberi ruang dan penghormatan atas perbedaan, hingga Muslim dan Yahudi pun hidup berdampingan dalam damai di bawah sebuah kesepakatan.

Meski Makkah menorehkan banyak luka, di hati Nabi yang ada hanya rindu dan cinta. Hijrah tak menjadi sekat pembatas untuk tetap menyapa dan mengikat hati dengan Makkah. Hijrah tak menjadikan Nabi dan sahabat tak bergaul dengan kelompok lain karena merasa paling beriman dan berjasa membangun Madinah. Hijarah tak menjadikan Nabi menolak berdialog dengan mereka yang memusuhinya, bahkan tak memasalahkan musuh-musuhnya yang belum mau megakui risalahnya. Perjanjian Hudaibiyah adalah salah satu buktinya.

Begitulah hijrah Nabi ; tak pernah menjadi penghalang toleransi ; tak jadi penghambat komunikasi dengan semua yang berbeda, apalagi pemutus silaturahim dengan kawan dan saudara. Hingga saat Fathu Makkah tiba, Makkah pun menerima islam tanpa ada kekerasan. Semua yang memusuhi dimanfaatkan, yang bermusuhan didamaikan, dan semua merasa dimuliakan. Begitulah hijrah Nabi ; mempersatukan, mendamaikan, mempersaudarakan, memanusiakan.

Kini,

Fenomena hijrah terlihat berbelok arah;

Hijrah diciriutamakan dengan berganti model pakaian, mengikuti perganjian-perganjian yang ditentukan, tak lagi berkawan dengan yang tidak sepemikiran, memandang rendah kepada yang dianggap “belum hijrah” dan menganggap diri lebih islami karena hanya menggunakana produk-produk yang diproduksi dan dijual kawan sendiri.

Padahal hijrah Nabi yang dikabarkan dalam kitab-kitab sirah nabawiyah tidaklah demikian. Hijrah Nabi justru mendorong pembauran dengan penduduk Madinah yang beranekan suku dan keyakinan. Nabi tak mentang-mentang meski berada di jalur kebenaran. Muamalah dan perdagangan terbuka untuk semua kalangan.

Kini,

Fenomena hijrah terlihat berbalik arah. Hijrah menjadi garis pembeda antara “kamu” dan “kami”. Kamu masih belum “Kaaffah” karena belum seperti kami yang sudah hijrah. Vonis itu sering dikatakan kepada siapa saja yang bukan kelompoknya, hatta kepada alim ulama yang sudah puluhan tahun ngaji dan ngajar agama.

Padahal, hijrah Nabi justru mempersatukan kelompok-kelompok yang sebelumnya selalu bemusuhan. Hijrah Nabi tak dipakai untuk menjadi pembeda antara mereka yang hijrahnya lillahi ta’ala dengan mereka yang hijrahnya karena perempuan atau harta. Semua diserahkan kepada Allah semata. Nabi hanya menyampaikan pesan langit tentang pentingnya menjaga niat hijrah agar lillahi ta’ala. Itu karena Nabi tahu bahwa hijrah sangat rawan dicemari oleh niat mencari dunia, dan sangat rentan terjebak riya’ berupa pamer kesalehan di hadapan manusia.

Kini,

Hijrah bagi sebagian kalangan bahkan dijadikan alasan menolak toleransi karena merasa diri paling suci. Lebih menyedihkan, atas nama hijrah empati kepada orang tua sendiri seakan mati. Kudengar cerita ada anak yang merasa sudah berhijrah berkata, “kalau bapak dan ibu sakit parah, itu karena dosa-dosa bapak dan ibu yang bergelimang syirik dan bid’ah. Terimalah itu sebagai kaffarah. Dan biarkan kami mencari selamat dengan berhijrah. “Maa syaa Allah. Inna Lillah

Begitukah hijrah? Pastilah tidak.

Sirah nabawiyah mengabarkan, bahwa jejak hijrah Nabi adalah membangun masyarakat muslim yang beradab dan kosmopolitan dengan ajaran dan akhlak Islam, menjadikan masjid sebagai tempat ibadah dan pusat peradaban, mempersaudarakan yang bermusuhan, dan menghargai perbedaan.

Dakwah Nabi di era hijrah adalah dakwah yang membuka diri, merangkul semua, kaya cara, penuh kearifan dan kebijaksanaan hingga yang beriman makin cinta dan setia, yang memusuhipun akhirnya bisa menerima kebenaran tanp merasa terhina.

Maka, jika kini ada fenomena hijrah yang membangun eksklusifisme, memutus silaturahim, menyalahkan yang berbeda, seraya merasa diri dan kelompoknya paling benar sendiri hingga merasa berhak mengatasnamankan Tuhan untuk menghakimi.......katakan dengan lantang, “Bukan begitu laku hijrah yang Nabi contohkan!!!”

Mahasina, Malam Tas’a’ 1441H