Halaqah Paralel tentang Membangun Resiliensi Indonesia dari Radikalisme dan Ekstremisme Kekerasan

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian


Radikalisme dan ekstremisme kekerasan saat ini masih menjadi persoalan bersama bangsa Indonesia. Bahkan, radikalisme dan ekstremisme kekerasan atau terorisme seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa Indonesia. Sebab jika dilihat dalam sejarahnya, aksi radikalisme dan terorisme ini selalu hadir sejak awal kemerdekaan Indonesia. Sebut saja Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan SM. Kartosuwiryo yang hadir beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Sejak NII lahir, pada Agustus 1948, teror terhadap bangsa dan negara Indonesia terus berlanjut bahkan sampai hari ini. Seakan teror sudah menjadi bagian dari perjalanan bangsa dan kehidupan masyarakat Indonesia.  

Jika diamati aksi dan pelaku teror juga terus mengalami perubahan, baik dari sisi sasaran maupun modusnya. Termasuk di dalamnya adalah pelibatan perempuan dan anak. Dari sisi sasaran, pada awalnya aksi teroris menyasar pemerintah. Hal ini dilakukan karena perjuangan yang dilakukan adalah keinginan mengubah dasar negara dari pancasila menjadi Islam. Pada tahap selanjutnya teror dialamatkan kepada simbol barat, karena dianggap sebagai perusak moral juga penyebab kesengsaraan umat Islam di berbagai belahan dunia, seperti Afghanistan, Palestina dan beberapa negara lainnya. Jihad yang dilakukan kelompok ekstremis selanjutnya adalah keinginan untuk menerapkan Khilafah Islamiyah. Mereka melakukan teror di berbagai negara di dunia. Mereka mengkafirkan dan membunuh warga masyarakat yang tidak sepaham dengannya. Mereka juga membunuh aparat kepolisian, karena dianggap sebagai aparat negara thaghut dan penghalang perjuangan mereka.

Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan terjadi pada pelaku teroris. Pada awalnya kita mengenal pelaku teroris adalah laki-laki. Namun saat ini beberapa pelaku teroris adalah perempuan bahkan anak-anak. Jika kita telusuri, perubahan ini terjadi setelah ISIS mempropagandakan kepada seluruh jihadis di seluruh dunia, untuk melibatkan seluruh anggota keluarga yang ada untuk melakukan aksi istisyhadiyah melawan pemerintahan thaghut. Keterlibatan perempuan dalam jaringan terorisme sebelum adanya ISIS hanya sebatas sebagai pendukung dengan beragam peran. Kebanyakan mereka yang terlibat karena adanya hubungan pernikahan yaitu sebagai istri para terdakwa teroris. Beberapa perempuan yang terlibat kasus terorisme pada tahun 2004-2009 dan dijatuhi hukuman pidana diantaranya yaitu istri terdakwa teroris: Putri Munawaroh (istri Nurdin M. Top), Munfiatun (istri kedua Nurdin M. Top), Arina Rahma (istri ketiga Nurdin M. Top), Inggrid Wahyu Cahyaningsih (istri Sugeng Waluyo yang membantu pelaku teroris Bom Cimanggis), Rasidah binti Subari (istri Husaini bin Ismail pelaku pemboman di Singapura), Ruqayah binti Husen (istri Umar Patek), Deni Carmelita (istri Pepi Fernando pelaku bom buku dan bom Serpong), Rosmawati (kelompok Santoso), dan Nurul Azmy Tibyani (jaringan kelompok Santoso). Keterlibatan mereka hanya memberikan bantuan dan ikut terlibat karena perbuatan suaminya dalam terorisme yang artinya pada periode ini para perempuan tidak terlibat langsung dalam jaringan dan aksi terorisme.

Namun, sejak tahun 2016, terjadi trend baru terkait peran perempuan yang masuk dalam jaringan terorisme, yang tidak lagi sekedar membantu pelaku terorisme, melainkan menjadi aktor kunci pelaku terorisme. Yang paling fenomenal adalah apa yang dilakukan oleh pak  Dita yang melibatkan seluruh keluarganya dalam aksi terorisme dengan melakukan aksi bom bunuh diri di beberapa Gereja di Surabaya.

Ema Mukarromah dari Jalastoria menyampaikan bahwa fenomena meningkatnya ekstremisme kekerasan dari para istri komunitas tertentu. Narasumber juga menyampaikan hasil penelitian yang dilakukan oleh Setara Institute terkait tahapan seseorang menjadi teroris. Dalam paparannya narasumber menyampaikan bahwa puritanisme dan radikalisme jika dibiarkan bisa berubah menjadi ekstremisme. Indikasi awal yang bisa dilihat dari seseorang yang terpapar radikalisme adalah menolak bergaul dengan orang yang berbeda agama, bahkan meminta anak-anaknya untuk tidak bergaul dengan yang berbeda agama. Mereka juga menganggap Pancasila bertentangan dengan Islam dan harus diganti. Selanjutnya yang bisa dilihat dari indikasi awal adalah adanya persetujuan terhadap sistem khilafah Islamiah sebagai satu-satunya solusi atas persoalan yang ada, dan paham-paham lainnya yang bertentangan dengan pemahaman kebanyakan masyarakat Indonesia. Bermula dari paham puritan ini kemudian berubah menjadi intoleran, dan pada tahap selanjutnya akan berkembang menjadi ekstremisme.

Berikutnya Munajat, Ph. D (Ketua Biro Bebras UIN Salatiga) menjelaskan bahwa saat ini anak-anak kita sudah diajari paham ekstrimis melalui berbagai media. Oleh karena itu, narasumber tergerak untuk membentengi anak-anak dari paparan ekstremisme dengan memberikan tempat belajar untuk mereka termasuk mengembagkannya di beberapa daerah. Menurutnya meskipun HTI, JI, dan FPI telah dilarang, namun persoalan radikalisme belum selesai. Mereka terus bergerak dan berkamuflase melalui berbagai wajah dan untuk mengelabui masyarakat.

Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana anak-anak jika ada persoalan tidak lari kepada terorisme. Sebab kebanyakan dari kasus terorisme bermula dari pelarian mereka atas persoalan pribadi yang menimpa. Mereka dalam posisi rentan yang kemudian menjadi target oleh doktrin ekstremisme. Mereka kemudian di doktrin bahwa solusi atas persoalannya adalah Islam kaffah dan itu hanya ada dalam negara Islam.

Disinilah pentingnya resiliensi bersama, agar kita terhindar dari ekstremisme. Pada dasarnya banyak dimensi terkait resiliensi diantaranya adalah sosial politik, kemanusian, religiusitas dan ideologi. Kita mulai dengan memilah narasi yang masuk ke kita. Menguatkan narasi pendidikan damai, toleran terhadap berbagai perbedaan yang ada dan lain sebagainya. Kita juga harus masuk ke keluarga eks napiter untuk melakukan deradikalisasi dan menguatkan keyakinannya berbeda dengan suaminya. Sebab dalam keyakinan mereka istri yang menolak pemahaman suaminya yang berideologi teroris, maka dianggap khulu atau cerai secara otomatis. Disisi lain, seorang istri yang suaminya menjadi teroris, dia akan menerima stigma sosial, dan merasa diawasi masyarakat. Kondisi ini dimanfaatkan kelompok atau jaringan lamanya, untuk kemudian diajak melakukan amaliah lagi.

Maka kita harus merangkul mereka (keluarga napiter), membekali keterampilan istri napiter atau eks napiter perempuan, mendidik mereka dan menguatkan untuk bangkit, dan diupayakan untuk bisa bekerja. Sementara anak-anaknya yang distigma sebagai aib masyarakat dibina dan diberi pendidikan dalam perspektif moderasi. Sehingga dia akan tumbuh dalam iklim dan lingkungan yang harmonis dalam keragaman dan menganggap semua saudara.

Dr. Hj. Luluk Farida Muchtar, S.Ag., M. Pd., mengawali pembicaraannya dengan menyampaikan pengalaman hidupnya yang biasa hidup dalam keragaman agama, dimana masjid dan gereja bisa berdampingan. Awal 2000an kehidupan kemudian berubah, ketika tahun 2004 sampai 2015 ada tetangganya yang ditangkap densus 88 karena menjadi jaringan teroris. Awalnya semua memang puritan, tapi jika dibiarkan maka akan berubah menjadi ekstremisme. Sementara disisi lain, orang-orang baik memilih untuk diam tidak berusaha mengcounter narasi kebencian yang pada akhirnya membuat kerusakan di bumi. Ingatlah bahwa kerusakan yang terjadi di muka bumi, yang diakibatkan oleh tindakan satu atau beberapa orang, dampaknya akan menimpa kepada banyak orang tanpa terkecuali, termasuk orang-orang yang tidak berdosa. Sebagai contohnya adalah apa yang dialami Suriah. Meskipun yang berkonflik adalah kelompok ISIS dan pemerintah, tapi semua warga terkena dampaknya.

Pada dasarnya teroris tidak terlalu paham konsep agama apalagi tentang khilafah. Oleh karena itu, siapapun harus bergerak dengan bil hikmah wal mauidhoh hasanah, dengan mengiringi/membangun kesadaran logika ekstremisme hingga tergugah. Setiap orang harus bertahan, sabar, dan lakukan yang bisa diupayakan baik di dunia nyata maupun di dunia maya dengan konten-konten kontra naratif yang bermanfaat. Apa yang dilakukan semua orang dengan tujuan resiliensi akan perlahan diminati follower; konsep kebaikan, kebenaran, keadilan yang kita tawarkan akan bisa diterima dengan baik. Kontra narasi dalam bentuk apapun harus dilakukan. Sebab intoleransi akan datang dari manapun termasuk dari lingkungan terdekat kita. [] (ZA)

Selengkapnya untuk mendapatkan informasi tentang dokumen-dokumen pendukung kegiatan ini bisa lihat di Dokumen Kegiatan Halaqah Paralel tentang Membangun Resiliensi Indonesia dari Radikalisme dan Ekstremisme Kekerasan.