Gusti Kanjeng Ratu Hemas
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas | |
---|---|
Tempat, Tgl. Lahir | Jakarta, 31 Oktober 1952 |
Aktivitas Utama |
|
Karya Utama |
|
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas memiliki nama lahir Tatiek Dradjad Supriastuti. Ia lahir di Jakarta, 31 Oktober 1952. Setelah menikah dengan Sri Sultan Hamengkubuwana (HB) X pada 1968, Hemas menetap di Yogyakarta mulai tahun 1972. Kegiatan utamanya saat ini adalah sebagai Anggota DPD RI sekaligus Ratu Keraton Yogyakarta.
Hemas hadir dalam acara penutupan Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang berlangsung pada tanggal 27 April 2017. Ia menyampaikan concluding remarks berurutan dengan catatan penutup yang disampaikan oleh H. Lukman Hakim Saefuddin selaku Menteri Agama pada waktu itu.
Riwayat Hidup
Hemas merupakan anak perempuan tunggal dari pasangan Soepono Digdosastropranoto dan Susamtilah Soepono. Bapaknya adalah seorang ABRI dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Menikah dengan Herjuni Darpito (sekarang Sultan HB X) menjadi pijakan besar Hemas untuk bisa berkontribusi terhadap masyarakat.
Pedidikan formal Hemas ditempuh di SD Tarakanita Jakarta (1957-1965). Kemudian ia melanjutkan di SLTP Tarakanita Jakarta (1965-1968). Setelah selesai, ia melanjutkan di SMU Gajah Mada Jakarta (1968-1971). Ia juga sempat mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi di Fakultas Arsitektur, Trisakti, Jakarta, namun ia tidak menyelesaikannya. Pendidikannya berhenti pada saat ia berusia 19 tahun karena memilih menikah.
Karier Hemas cukup panjang di dunia legislatif. Pada tahun 2004 ia menjadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia asal Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kemudian pada periode 2009-2014 dan 2014-2019, ia menjabat sebagai Wakil Ketua DPD. Sekarang, pada periode 2019-2024, Hemas kembali menjadi Anggota DPD RI. Sebelumnya, Hemas juga pernah menjadi Anggota MPR pada masa jabatan 1997-1999 dari fraksi Utusan Golongan.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Hari-hari pertama Hemas di Keraton bukanlah hal yang mudah, ia merasa kesulitan mendapatkan teman. Oleh karena itu, ia mulai mengikuti Yayasan Sayap Ibu untuk mengurus bayi-bayi yang terlantar, dan tahap yang lebih lanjut ia mulai membantu memberantas buta aksara dengan mengajar. Kegiatan sosial lainnya yang ia jalani adalah aktif di Yayasan Jantung Sehat. Selain itu, ia juga pernah menjadi Pimpinan Redaksi pada Majalah Kartini.
Ia mengaku mendapat banyak kegiatan sewaktu menjadi Permaisuri di Keraton Yogyakarta. Setelah Sultan HB X menjadi Gubernur, Hemas merasa terpacu untuk berkontribusi lebih dalam menangani masalah perempuan. Ia mulai masif mengikuti aktivitas-aktivitas sosial untuk mendalami apa saja permasalahan perempuan di daerah. Karena rasa penasarannya terhadap dunia perempuan semakin meningkat, ia memutuskan untuk terjun ke dunia politik.
Banyaknya kegiatan yang ia ikuti itu, sekaligus tanggung jawabnya sebagai Senator, Ratu Yogyakarta, dan istri Gubernur DI Yogyakarta, membuat energinya terkuras. Ia mengaku memilih tidur ketika ada waktu luang untuk mengembalikan lagi energinya.
Secara khusus, ia memiliki concern terhadap isu perempuan. Ia memperhatikan betul konstituennya di Yogyakarta. Salah satu isu perempuan yang getol ia perjuangkan adalah Undang-Undang Pornografi yang waktu itu hendak disahkan oleh DPR. Hemas merupakan salah satu penentangnya karena undang-undang itu menurutnya banyak merugikan perempuan. Dalam aksi penolakan itu, Hemas menyempatkan diri turun ke jalan untuk berdemonstrasi bersama ribuan warga Bali. Secara garis besar ia menyetujui masalah perlindungan anak dan dampak negatif situs-situs internet, karena sejak lama ia sudah berkecimpung di isu tersebut dan memahaminya. Namun, tuturnya, itu tidak perlu diatur melalui undang-undang.
Beberapa pekerjaan yang ia lakukan ketika menjadi DPD di antaranya adalah menggugat uji materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ke Mahkamah Konstitusi terkait pasal 22D UUD 1945 mengenai hak-hak yang sama antara DPD dan DPR. Ia menilai hubungan DPD dan DPR selama ini tidak seimbang, sehingga DPD perlu diperkuat untuk menyeimbangkan hubungan pusat dan daerah. Ketika itu, Hemas bersama dengan Laode Ida, I Wayan Sudirta, dan John Pieris mewakili DPD RI dalam proses gugatan tersebut.
Hemas bertekad kuat mengegolkan gugatan tersebut melalui amandemen kelima konstitusi, dengan memperkuat kewenangan DPD sebagai salah satu agendanya. Namun tampaknya usaha Hemas dan rekan-rekannya itu tidak berjalan mulus. Ada banyak rintangan yang menghadang. Salah satu rintangan itu adalah pengesahan tata tertib calon pemilihan pimpinan DPD dalam Sidang Paripurna Luar Biasa ke-2 di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada 2019.
Menurut kubu Hemas, aturan tersebut cacat formil dan disinyalir bertujuan menjegal Hemas untuk mencalonkan diri sebagai Pimpinan Senator. Hemas dijegal dalam pasal mengatur senator yang pernah terkena sanksi Badan Kehormatan (BK) tidak diperbolehkan maju dalam bursa pimpinan DPD. Aturan itu muncul setelah Hemas mendapat sanksi BK karena pelanggaran etik. Secara berurutan, pada 2018 Hemas memang mendapat sanksi diberhentikan sementara dari DPD karena melanggar kode etik.
Tekad Hemas untuk memperkuat martabat dan kelembagaan DPD bukan tanpa alasan. Itu berkaitan dengan perhatian pada persoalan daerah yang belum maksimal didengar oleh pusat. Jika kelembagaan DPD tidak kuat atau tidak seimbang dengan DPR, maka suara-suara daerah akan sulit dipenuhi. Beberapa persoalan daerah, menurut Hemas, yang saat ini kurang diperhatikan adalah infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan, sehingga rasa merdeka itu belum betul-betul dirasakan masyarakat daerah. Oleh karena itu, Hemas mendorong untuk memperkuat DPD agar lebih berdayaguna dan betul-betul bermanfaat bagi masyarakat.
Keberadaan Hemas di DPD selama 4 periode merupakan sebuah pertanda bahwa ia memiliki posisi strategis di mata rakyat, khususnya perempuan. Ia memiliki modal sosial cukup tinggi, selain statusnya sebagai permaisuri, untuk ditangkap oleh mata rakyat. Aktivitas sosial dan sumbangan sosialnya yang menjadi nilai lebih. Misalnya, ia telah memimpin, mengarahkan, dan membina 23 organisasi kemasyarakatan, terutama yang berkaitan dengan pemberdayaan dan dukungan terhadap minoritas, perempuan, anak, dan keluarga yang kurang beruntung.
Yayasan Kanker Indonesia (YKI) adalah salah satu organisasi yang merasakan betul kehadiran Hemas. Ia memanfaatkan priviledge-nya untuk membantu penderita kanker dalam hal pengobatan, seperti menyediakan tempat penginapan bagi keluarga korban di rumah sakit dr. Sardjito. Memanfaatkan tanah Sultan Ground, bersama pengurus YKI, Hemas membangun kantor dua lantai yang bisa dimanfaatkan oleh pasien kanker dan keluarga pasien sebagai rumah singgah selama menjalani pengobatan dengan biaya yang relatif rendah, yaitu Rp 7500 per orang.
Kuatnya aktivitas kemanusiaan yang dijalani Hemas membuatnya ditunjuk sebagai Ketua Tim Kerja Tetap DPD RI untuk bantuan kemanusiaan pada tahun 2015. Ia diberi amanat mengoptimalkan penanggulangan bencana tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi yang menjamin hak-hak korban sekaligus daerah yang terdampak bencana. Kemudian, Hemas juga melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah DIY untuk membebaskan biaya pendidikan warga Tanah Karo yang sedang kuliah di Yogyakarta. Langkah itu dilakukan untuk meringankan beban orang tua mahasiswa asal Karo yang pada waktu itu menjadi korban letusan Gunung Sinabung.
Kontribusi Hemas terhadap pemberdayaan perempuan juga ia lakukan melalui langkah advokasi bagi korban kekerasan. Ia pernah membela seorang remaja perempuan yang didiskriminasi oleh Pemerintah Daerah dengan tidak diperbolehkan mengikuti Ujian Nasional (UN) dikarenakan hamil. Remaja perempuan berusia 14 tahun tersebut menjadi korban pemerkosaan oleh sopirnya, namun sekolah mengambil langkah akan memberhentikannya dari sekolah. Dari sudut pandang mana pun, remaja perempuan tersebut tidak diuntungkan sebagai korban. Hemas lalu mengambil langkah yang berlawanan, ia berjuang keras membela hak anak tersebut hingga bisa menyelesaikan pendidikannya.
Hemas menilai bahwa budaya patriarki menjadi penyebab utamanya, budaya yang menempatkan perempuan terbatas hanya di ruang domestik sebagai ibu rumah tangga. Pengalamannya berjumpa dengan seorang mahasiswi lulusan UGM yang mendapat beasiswa namun tidak diambil karena alasan mendahulukan suaminya, dinilainya sebagai masih kuatnya ketidakadilan gender di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, salah satu usahanya adalah menjadi bagian dari pengusung Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Namun usahanya tersebut disalahartikan sebagai tindakan liberalisasi di Indonesia. Meski derasnya tuduhan, Hemas tidak mengendurkan tekad, ia terus membuktikan diri sebagai Ratu yang mengemban nilai-nilai Jawa yang berpikiran progresif dan jauh dari pemikiran feodal.
Penghargaan atau Prestasi
Hemas banyak mendapatkan penghargaan, di antaranya:
- Satya Lencana Kebaktian Sosial dari Presiden RI, 1997
- Lencana Tanda Jasa I dari Yayasan Jantung Indonesia, 1997
- Faul Harris Fellow dari Rotary International, 1998
- Lencana Kesetiaan Yayasan Kanker Indonesia, 2000
- Pembina Olah Raga Adimanggalya Krida dari Presiden RI, 2003
- Pengemban Kain Tradisional Nusantara dari Deperindag RI, 2004
- Mahaputera Naraya dari Presiden RI, 2018
- International Craft Awards (ICA) untuk kategori Craft Icon of the year 2020, 2021
Daftar Bacaan Lanjut
- Faraz (ed.), Memaknai Tumbuk Ageng GKR Hemas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2016).
- Merdeka.com, Teken Komitmen, GKR Hemas akan Perjuangkan Penguatan DPD RI dalam Ketatanegaraan, https://m.merdeka.com/politik/teken-komitmen-gkr-hemas-akan-perjuangkan-penguatan-dpd-ri-dalam-ketatanegaraan.html
- Merdeka.com, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, https://m.merdeka.com/gusti-kanjeng-ratu-hemas/profil/.
- Tirto.id, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, https://tirto.id/m/gusti-kanjeng-ratu-hemas-zP.
- Viva.co.id, Dari Tembok Kraton ke Senayan, https://www.viva.co.id/arsip/11798-dari-tembok-kraton-ke-senayan.
- Wikipedia, Ratu Hemas, https://id.wikipedia.org/wiki/Ratu_Hemas#:~:text=Gusti%20Kanjeng%20Ratu%20Hemas%20(nama,Istimewa%20Yogyakarta%20sejak%20tahun%201998.
Penulis | : | Miftahul Huda |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |