Naskah Hasil Musyawarah Keagamaan Tentang Pernikahan Anak

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Hasil Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia

No. 02/IV/2017 Tentang Pernikahan Anak

TASHAWWUR (DESKRIPSI)

Pernikahan bisa jadi merupakan impian kebahagiaan bagi sebagian orang. Bagi sebagian lainnya, menikah bisa jadi mimpi buruk yang panjang. Terutama bila pernikahan bukan keinginan sang pengantin, yang masih berusia anak-anak.

Satu dari empat perempuan Indonesia menikah sebelum mencapai usia 18 tahun (BPS dan UNICEF, 2016). Di tingkat di tingkat dunia, Indonesia termasuk diantara tujuh negara dengan jumlah absolut tertinggi pernikahan anak, dan menempati peringkat kedua tertinggi jumlah kasus pernikahan anak di ASEAN (UNICEF, 2010).

Sepanjang tahun 2011-2012, telah terjadi 6.211 kasus pernikahan anak di 111 desa pada 20 provinsi (Yayasan Pekka dan SMERU, 2013). Praktik pernikahan anak ini dengan mudah dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 2015 misalnya, lima provinsi dengan prevalensi tertinggi pernikahan anak bila dibanding angka nasional (22,82 persen) yaitu Sulawesi Barat 34,22% kasus, Kalimantan Selatan 33,68% kasus, Kalimantan Tengah 33,56% kasus, Kalimantan Barat 32,21% kasus, dan Sulawesi Tengah 31,91% kasus. Pernikahan anak lebih tinggi terjadi di pedesaan (27,11) dibandingkan dengan wilayah perkotaan (17,09). Sekalipun angka tersebut ada penurunan bila dibanding tahun 2013 yang menyebutkan praktik pernikahan anak di perdesaan sebesar 28,47 persen dan di perkotaan sebesar 18,48 persen (BPS, 2013 dan 2015).

Selain di wilayah pedesaan, daerah dengan kerusakan alam parah akibat perubahan fungsi dan kepemilikan lahan, jumlah pernikahan anak cenderung lebih tinggi. Misalnya di daerah Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Hal ini terjadi karena akses masyarakat terhadap sumber daya alam mereka, misalnya tanah, menjadi mengecil bahkan tertutup. Mereka tidak lagi memiliki penghasilan dari tanah dan lingkungan mereka sendiri. Dalam kondisi demikian, menikahkan anak perempuan menjadi jalan pintas untuk melepaskan tanggung-jawab keluarga terhadapnya. Karena dengan pernikahan tersebut, sang anak beralih tanggung jawab dari orang tua ke dalam tanggung jawab suaminya dan membawa sang anak perempuan keluar dari rumah keluarganya. Dibarengi juga dengan harapan besar, sang anak dapat membawa rizki dari luar untuk keluarganya (Rumah KitaB, 2016).

Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab langsung pernikahan anak adalah kehamilan tak diinginkan (KTD), perjodohan paksa, dan putus sekolah karena mengambil alih pekerjaan rumah tangga, atau karena keterbatasan biaya. Pernikahan anak juga terjadi karena orang tua menghendaki anaknya segera mandiri secara ekonomi, seksualitas sang anak dipandang membahayakan sehingga seksualitasnya perlu terkontrol, atau karena menjadi korban kekerasan seksual sehingga solusinya adalah dinikahkan. Faktor-faktor di atas, pernikahan usia anak seringkali dikemas dengan justifikasi agama; mengikuti Sunnah Nabi Saw, melengkapi keagamaan seseorang, dan menghindarkannya dari perzinahan (Rumah KitaB, 2016).

Salah satu kabupaten yang menunjukkan adanya korelasi antara perkawinan anak dengan buta huruf, AKI, dan AKB yakni Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Kabupaten ini memiliki prevensi tertinggi untuk tiga hal di atas bila dibandingkan dengan daerah lain di seluruh Jawa Timur. Angka buta huruf yakni ada 6,84% anak laki-laki dan 19,09% anak perempuan usia lima tahun ke atas belum pernah atau tidak bersekolah pada tahun 2012, AKI yakni 109/100.000 kelahiran hidup tahun 2012 dan AKB tercatat 58 bayi/1000 kelahiran tahun 2011. Data tersebut terjadi karena angka perkawinan anak di Bondowoso menempati urutan tertinggi di Jawa Timur yakni 73,9% tahun 2011 (YKP, 2016). 

Alih-alih memetik kemaslahatan, pernikahan anak terbukti menimbulkan banyak madlarat atau dampak negatif, penderitaan, dan ketidaknyamanan hidup, baik kepada anak perempuan yang dinikahkan, lelaki yang menikahi, maupun kepada anak-anak yang dilahirkan kemudian. Kemudlaratan itu bertingkat-tingkat dan terjalin berkelindan dengan aspek-aspek lain yang pada akhirnya berpengaruh kepada kualitas mereka sebagai manusia yang mengemban amanat Allah SWT dan Rasul-Nya. Baik amanat sebagai individu yang memiliki hubungan vertikal dengan Allah Swt, maupun sebagai anggota keluarga, komunitas, warga bangsa, dan penduduk dunia yang memiliki relasi horizontal untuk memakmurkan kehidupan dunia ini dan mengembangkan peradaban kemanusiaan yang lebih baik.

Perkawinan anak berdampak buruk hampir di segala aspek kehidupan. Pada bidang kesehatan. Kehamilan yang terjadi karena usia ibu yang sangat muda (di bawah 18 tahun) menjadi penyebab anemia pada ibu saat hamil, kekurangan gizi pada ibu hamil karena sang ibu masih masa tumbuh kembang sehingga terjadi perebutan gizi antara ibu dan anak yang dikandungnya atau disusuinya, bayi mengalami difabilitas akibat gagal tumbuh kembang pada saat dalam kandungan atau gagal kelahirannya karena ketidaksiapan organ reproduksi sang ibu, serta berdampak pada kematian kedua terbesar saat kehamilan dan melahirkan, termasuk pula bayi yang lahir berpeluang meninggal sebelum berusia 28 hari (Unicef, 2016) sehingga secara signifikan menyumbang naiknya angka kematian ibu (AKI).

Pada aspek pendidikan, anak perempuan yang berpendidikan rendah dan drop out (putus sekolah) dari sekolah pada umumnya lebih rentan menikah pada usia anak dari pada yang berpendidikan menengah dan tinggi. Sebaliknya, perempuan yang menikah pada usia anak, 85% mengakhiri pendidikan setelah mereka menikah (BPS, 2016). Dalam kata lain, sebagian besar anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun berpeluang enam kali lebih besar untuk tidak menyelesaikan pendidikan (UNICEF, 2016), terlebih mereka yang langsung hamil karena harus melahirkan, menyusui, dan mengasuhnya.

UNICEF juga melaporkan selama tahun 1998-2007 anak-anak dari ibu yang kurang berpendidikan memiliki angka kematian bayi/anak yang tinggi yakni 73/1.000 kelahiran hidup. Sedangkan pada anak-anak dari ibu yang berpendidikan menengah atau lebih tinggi adalah 24/1.000 kelahiran hidup. Perbedaan ini disebabkan perilaku dan pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik diantara perempuan-perempuan yang berpendidikan.

Secara sosial, pernikahan anak sangat rentan memunculkan perceraian. Bahwa 22 persen  perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun berakhir dengan perceraian mencapai 50%. (Indonesia Demographic and Health Survey, 2012). Pernikahan anak juga bisa berakhir dengan perceraian sebelum menginjak setahun usia pernikahan mereka, kerentanan terjadinya KDRT, dan pemaksaan hubungan seksual. Dalam usia masih anak-anak, mereka dipaksa keadaan menjadi dewasa dengan kemampuan pengasuhan yang sangat terbatas. Pada aspek kesejahteraan, pernikahan anak berhubungan dengan tingkat kesejahteraan yang lebih rendah dan sulit untuk mencapai kesejahteraan yang baik. Hal ini berbanding lurus dengan kebijakan pendidikan di mayoritas sekolah yang menutup akses bagi perempuan yang sudah menikah sebelum usia 18 tahun, sehingga mereka berpeluang kecil untuk meningkatkan kesejahteraan baik melalui bekerja maupun menjadi pengusaha, sehingga mereka menjadi sangat miskin yakni 29,9 persen dan miskin 28,8 persen (BPS dan UNICEF, 2016)

Pada aspek politik, pernikahan anak pada dasarnya telah merampas hak anak untuk tumbuh kembang sebagai warga negara secara wajar. Haknya untuk bisa berkontribusi mengembangkan keluarga dan komunitas, serta membangun negara sudah terampas sejak dini. Sebagai individu, mereka harus terbebas dari kesakitan, bebas dari beban yang sanggup ditanggungnya sebagai anak, dan bebas untuk menentukan pilihan hidupnya yang lebih baik. Pernikahan anak yang dipaksakan menghilangkan hak politik anak yang paling dasar, yaitu untuk didengar pendapatnya. Sementara pada aspek ekonomi, karena tak memiliki keterampilan akibat rendahnya pendidikan, lapangan pekerjaan menjadi terbatas untuknya sehingga menjadi miskin, tergantung kepada pihak lain (suami, keluarga suami, keluarga sendiri) yang memicu kekerasan, baik secara ekonomi,  mental, fisik, maupun seksual.

Menurut Convention on the Rights of the Child (CRC) atau Konvensi Hak Anak, hak anak yang harus dijamin adalah hak untuk hidup, hak untuk sehat, hak untuk terlindungi dari segala praktik yang berbahaya, hak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi, hak atas pendidikan, dan hak berpartisipasi aktif. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 jo. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA), menyebutkan bahwa hak anak diantaranya yakni hak untuk tumbuh kembang, hak mendapatkan pendidikan, lingkungan yang nyaman, hak bermain, dan terbebas dari kejahatan seksual. UU PA mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1). Praktik pernikahan anak dengan segala dampak negatif yang ditimbulkan telah melanggar hak-hak anak berdasarkan CRC dan UU PA.

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) sebenarnya telah menegaskan bahwa perkawinan hanya boleh terjadi bila seseorang telah berumur 21 tahun (Pasal 6 ayat (2)), dan persetujuan kedua calon (Pasal 6 ayat (1)). Jika belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, maka harus mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6 ayat (2)), dengan sekurang-kurangnya pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat (1)). Dan dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat diminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita (Pasal 7 ayat 2). Pasal 7 ayat (1) dan (2) ini membuka celah legitimasi yuridis bagi banyak para pihak untuk melangsungkan pernikahan anak, termasuk izin yang diberikan pejabat berwenang (Kantor Urusan Agama atau Pengadilan Agama).


Pertanyaan:

  1. Bagaimana hukum mencegah pernikahan anak yang menimbulkan kemudlaratan dalam konteks perwujudkan kemaslahatan keluarga sakinah?
  2. Siapakah pihak-pihak yang mempunyai tanggungjawab untuk melakukan pencegahan perkawinan anak yang demikian?
  3. Apa yang bisa dilakukan pada anak yang mengalami pernikahan demikian sebagai bentuk perlindungan?

ADILLAH (DASAR-DASAR HUKUM)

Untuk menjawab tiga pertanyaan di atas, Musyawarah merujuk pada beberapa dasar hukum di bawah ini:

Nash Al-Qur’an

a. Tujuan perkawinan adalah ketenangan jiwa (sakinah) atas dasar kasih sayang (mawaddah wa rahmah).
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ  (الروم، 21).
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah Swt) bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Rum, 30: 21).
b. Perintah untuk tidak memiliki generasi yang lemah.
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (النساء، 9).
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisa, 4: 9).
c. Perintah menjadi umat terbaik dengan berperan aktif dalam kerja-kerja sosial kemasyarakatan
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ. (آل عمران، 110). 
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, dengan menyeru kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran, 3: 110)
d. Larangan menjerumuskan diri dalam kebinasaan
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ  (البقرة، 195).
Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah, 2: 195).
e. Perintah agar menggunakan wewenang secara adil.
إنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (النساء، 58).
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa,  4: 58).
f. Perintah berlaku adil dan berbuat baik.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (النحل: 90).
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl, 16: 90).
g. Anjuran untuk menuntut ilmu, karena mereka yang memiliki ilmu akan diangkat derajat mereka di sisi Allah Swt.
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (المجادلة، 11).
Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah, 58: 11).

Nash Hadis

a. Larangan membahayakan dan mengatasi bahaya dengan bahaya lainnya:
عَنْ يَحْيَى الْمَازِنِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: «لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ». (رواه مالك في الموطأ، رقم الحديث: 1435، كتاب الأقضية، باب باب الْقَضَاءِ فِى الْمِرْفَقِ).
Dari Yahya al-Mazini, Rasulullah Saw bersabda: Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh mengganti bahaya dengan bahaya lain (Riwayata Imam Malik dalam kitab Muwaththa’ (no. hadis: 1435), juga Ibn Majah dalam Sunannya (no. hadis: 2430 dan 2431), dan Imam Ahmad dalam musnadnya (no. hadis: 2912 dan 23223).
b. Larangan berbuat zalim dan anjuran menghilangkan kesusahan dan kesulitan orang lain 
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رضى الله عنهما أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه البخاري في صحيحه، رقم الحديث: 2482).
Bahwa Abdullah ibn Umar berkata: Bahwa Rasulullah Saw bersabad: Seorang muslim adalah saudara untuk muslim yang lain, tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka niscaya Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan seorang muslim, maka niscaya Allah akan menghilangkan kesusahan-kesusahannya pada hari Kiamat dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari Kiamat (Riwayat Bukhari Sahihnya, no. 2482 dan Muslim dalam Sahihnya, no. 6743).
c. Prinsip kasih sayang dalam segala hal 
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ (رواه الترمذي في سننه، رقم الحديث: 2049).
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw bersabda: Manusia-manusia pengasih senantiasa disayangi oleh Allah Yang Maha Pengasih. Kasihanilah dan sayangilah oleh kalian semua (siapa dan apa) yang ada di bumi agar semua yang ada di langit selalu menyayangi kalian. (Riwayat Turmudzi dalam Sunananya, no. hadits: 2049 dan Abu Dawud dalam Sunannya, no. 4943).
d. Mensyaratkan pernikahan dengan kemampuan seseorang.
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه، قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (رواه مسلم في صحيحه، رقم الحديث: 3464).
Dari Abdullah bin Masud ra, Rasulullah Saw bersabda: Wahai anak muda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kehormatan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa dapat menekan syahwatnya (Riwayat Muslim dalam Sahihnya, no. Hadits: 3464).
e. Keharusan adanya kerelaan dalam menikah
عَنْ خَنْسَاءَ بِنْتِ خِذَامٍ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهْيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهُ (رواه البخاري في صحيحه، رقم الحديث: 5193).
Dari Khansa` binti Khidzam Al Anshariyyah ra, bahwa bapaknya menikahkannya saat ia janda, padahal ia tak suka. Lalu ia pun mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau pun menolak pernikahannya (Riwayat Bukhari dalam Sahihnya, no. hadits: 5193 dan Abu Dawud dalam Sunannya, no. 2098).

Aqwalul Ulama

  1. Tokoh-tokoh ulama salaf, seperti Abdullah bin Syubrumah (Ibn Syubrumah, w. 144 H/761 M), Abu Bakr al-Asham (w. 279H/892 M), dan Utsman al-Batti (w. 143 H/760 M) dalam berbagai kitab rujukan tafsir dan fiqh menyatakan bahwa pernikahan usia anak adalah tidak boleh (al-Mabsut, juz 5, hal. 491 dan Fiqh Perempuan, 94-95). Seperti dikutip Ibn Hazm (w. 456 H/1064 M) dalam al-Muhalla bil Atsaar (juz IX, hal. 459), Ibn Syubrumah misalnya, menyatakan:
    لا يجوز إنكاح الأب ابنته الصغيرة إلا حتى تبلغ وتأذن (المحلى لابن حزم، ج9، ص 459).
    Seorang ayah tidak diperkenankan menikahkan putrinya yang masih usia anak, kecuali jika ia sudah dewasa dan memberikan izin.
  2. Tokoh ulama Mazhab Syafi’i, Imaduddin Ali bin Muhammad th-Thabari al-Kiya al-Harasi (w. 504 H/1110 M) dalam kitab Ahkam al-Qur’an (juz 1, hal. 314) menyatakan bahwa tidak ada dalil yang jelas dalam a-Qur’an mengenai kebolehan pernikahan anak, karena itu setuju dengan pendapat Ibn Syubrumah bahwa pernikahan tersebut adalah tidak boleh.
  3. Imam Asy-Syaukani (w. 1255 H/1839 M) dalam “Wablul Ghamam ‘ala Syifa’il Awaam” bahwa pernikahan anak yang tidak membawa maslahat harus dibatalkan, negara juga berhak membatalkan pernihakan tersebut, dan anak yang terjebak pada pernikahan tersebut bisa lari keluar dari pernikahan, baik ketika saat masih dalam usia anak maupun ketika sudah tumbuh dewasa.
  4. Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H/1449 M) dalam kitab Fathul Bari (juz 10, hal. 135) mengenai hadits anjuran menikah, mengaitkan pernikahan dengan kemampuan ekonomi seseorang, di samping kemampuan fisik biologis, yang jika tidak mampu justru disarankan untuk berpuasa.
  5. Imam Asy-Syathibi (w. 790 H/1388 M) dalam Al-Muwafaqat (juz 2, hal. 326) menyatakan bahwa kebutuhan primer manusia (dlaruriyat) yang harus dipenuhi meliputi lima hal, yaitu: agama (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan akal (al-aql).
  6. ومجموع الضروريات خمسة وهي حفظ الدين والنفس والنسل والمال والعقل (الموفقات، ج2، ص 326).
    Bahwa kebutuhan primer manusia itu ada lima: memelihara agama, jiwa, keturutan, harta, dan akal.
  7. Kaidah-kaidah Fiqhiyyah (al-Asybah wa an-Nazahir lis-Suyuthi, 1983, hal. 83, 86, dan 121):
  8. ﺍَﻟﻀَّﺮَﺭُ ﻳُﺰَﺍﻝُ
    Kemudharatan itu harus dihilangkan.
    اَلضَّرَرُ لاَ يُزَالُ باَلضَّرَرِ
    Kemudharatan tidak bisa dihilangkan dengan kemudharatan lain.
    تَصَرُّفُ الإمام عَلَى الرَعِيَة مَنُوْطٌ بالمَصْلَحَة
    Kebijakan dan regulasi pemimpin atau negara untuk rakyat harus berkaitan dengan kemaslahatan mereka.

Konstitusi Negara (Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945)

a.      Pasal 34: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.

b.     Pasal 28B Pasal (2): Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

c.      Pasal 28C Pasal (1): Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

d.     Pasal 28D Pasal  (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

e.      Pasal 28G Pasal (1): Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

f.       Pasal 28H Pasal (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, Pasal (2): Setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, Pasal (3): Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

g.      Pasal 28I Pasal (1): Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, Pasal (2): Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

h.     UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 dan Perubahannya No. 35 Tahun 2014.

ISTIDLAL (ANALISIS)

Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada kita bahwa tujuan pernikahan adalah supaya memperoleh ketenangan dan kedamaian yang diliputi dengan cinta dan kasih sayang sebagaimana termaktub dalam QS. Ar-Rum (30: 21). Ayat ini menjadi dasar bagi para ulama untuk menyepakati perwujudan ketenangan dalam hidup dan kasih sayang sebagai tujuan pernikahan. Tujuan ini juga ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 3, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah da rahmah.” Dengan redaksi yang berbeda juga terdapat dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 bahwa tujuan pernikahan untuk membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal dasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Merujuk pada pernyataan al-Qur’an dan penegasan hukum Indonesia yang berlaku, maka segala bentuk pernikahan yang akan menghambat seseorang mencapai tujuan pernikahan tersebut harus dicegah. Misalnya pernikahan anak. Sebagaimana digambarkan dalam Tashawwur, pernikahan anak banyak membawa kemudlaratan. Berupa penderitaan dan ketidak-nyamanan hidup, terutama yang dialami anak yang dinikahkan. Sebab utamanya adalah karena anak masih belum memiliki kemampuan dan kematangan yang cukup untuk mengemban kewajiban dan tanggung jawab berkeluarga, baik kemampuan fisik terutama karena organ reproduksinya belum siap untuk bereproduksi, kemampuan psikis, kemampuan mental,  finansial maupun sosial.

Memiliki kemampuan sebagai syarat menikah sudah disebutkan dalam hadis Bukhari dalam poin Adillah (2/d). Dalam teks ini, “istitho’atul ba’ah” atau kemampuan menikah dijadikan syarat bagi seseorang yang ingin melangsungkan perkawinan. Dalam penjelasan Ibn Hajar al-‘Asqallani dalam kitab Fath al-Bari terhadap teks hadits tersebut (Adillah, 3/d), yang dimaksud kemampuan adalah kemampuan finansial di samping kemampuan fisik biologis. Dalam konteks sekarang, dimana kehidupan berkeluarga semakin kompleks, kecakapan psikis, mental, dan sosial juga penting sebagai pra-syarat pernikahan. Ini semua, agar tujuan pernikahan yang maslahat, sakinah, mawaddah, dan rahmah, benar-benar bisa terwujud.

Karena ketidak-cakapan anak dalam mengarungi kehidupan berkeluarga, ia akan mengalami berbagai kemudlaratan, penderitaan, dan ketidak-nyamanan dalam berbagai sisi kehidupan. Baik pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, dan juga moral keagamaan. Dampak negatif ini dialami oleh anak perempuan yang dinikahkan, lelaki yang menikahi, maupun kepada anak-anak yang dilahirkannya. Kemudlaratan itu bertingkat-tingkat dan terjalin berkelindan dengan aspek-aspek lain yang pada akhirnya berpengaruh kepada kualitas mereka sebagai manusia yang mengemban amanat Allah SWT dan Rasul-Nya. Baik amanat sebagai individu yang memiliki hubungan vertikal dengan Allah Swt, maupun sebagai anggota keluarga, komunitas, warga bangsa, dan penduduk dunia yang memiliki relasi horizontal untuk memakmurkan kehidupan dunia ini dan mengembangkan peradaban kemanusiaan yang lebih baik.

Dus, pernikahan anak adalah penghalang terwujudnya kemaslahatan keluarga dan masyarakat. Ia juga menjadi penghambat tercapainya tujuan pernikahan seperti yang sudah digariskan al-Qur’an dan dinyatakan dalam hukum positif Indonesia. Karena pernikahan anak adalah jalan yang membawa seseorang pada kemudlaratan, maka mencegahnya merupakan pelaksanaan perintah al-Qur’an (al-Baqarah, 2: 195). Dalam ayat ini, Allah Swt menuntun kita agar tidak menjerumuskan diri dalam tindakan-tindakan yang membinasakan.

Pencegahan pernikahan anak juga merupakan implementasi dari kaidah fiqh yang sangat populer: bahwa kemudlaratan harus dihilangkan (Adillah, 3/f/1). Kaidah ini didasarkan pada teks hadits larangan melakukan hal-hal yang membahayakan (Adillah, 2/a). Hadis ini juga bisa diartikan bahwa “Bahaya harus dihilangkan dan suatu bahaya tidak bisa dihilangkan dengan sesuatu yang juga membahayakan”. Arti ini persis dengan dua kaidah fiqh yang sudah disebut di atas dan. Yaitu “adl-dlororu yuzaalu” (Adillah, 3/f/1), bahwa suatu kemudlaratan harus dihilangkan, dan “adl-dlororu laa yuzaalu bidl-dloror” (Adillah, 3/f/2), bahwa suatu kemudlaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudlaratan yang lain.

Oleh karena itu, dengan kaidah fiqh pertama, anak harus dilindungi dari pernikahan yang secara nyata akan membawanya pada kemudlaratan dan penderitaan. Karena pernikahan anak merupakan kemudlaratan, dengan kaidah fiqh kedua, maka ia tidak bisa menjadi solusi bagi kemudlaratan lain, seperti perzinahan. Dus, kekhawatiran berzina tidak bisa diselesaikan dengan pernikahan anak. Karena keduanya adalah mudlarat yagn harus dihindari dengan berbagai cara. Tetapi yang satu tidak bisa menjadi solusi bagi menghindari yang lain. Dalam hadis sendiri, kekhawatiran berzina harus dihadapi dengan berpuasa dan menahan diri, bukan dengan pernikahan yang tidak cukup umur, belum matang, dan bisa membahayakan. Puasa adalah simbol untuk komitmen dengan nilai-nilai luhur, menahan diri, mengalihkan pada hal-hal positif, dan tidak menjerumuskan diri sendiri pada hal-hal yang negatif.

Mencegah pernikahan anak juga merupakan implementasi ajaran prinsip Islam untuk tidak menzalimi seseorang dengan perbuatan yang akan menjerumuskannya pada penderitahaan. Sebagaimana dalam hadits disebutkan (Adillah, 2/b), bahwa sesama muslim adalah saudara, sehingga tidak boleh menzalimi dan melecehkan, satu terhadap yang lain. Pencegahan ini juga merupakan implementasi hadis kasih sayang (Adillah, 2/c) kepada anak agar terhindar dari penderitaan dan kesusahan hidup. Teks hadis ini juga secara umum meminta semua umat Islam, baik sebagai orang tua, masyarakat, maupun negara untuk mengentaskan orang-orang dari kesusahan-kesusahan hidup. Salah satunya dengan memastikan anak tidak terjebak pada pernikahan yang justru akan membuatnya susah dan menderita. Asumsi beberapa orang tua, bahwa menikahkan anak adalah demi kemaslahatan anak, harus dikoreksi. Walau bagaimanapun,  pernikahan akan mencabut hak anak untuk bisa menikmati masa bermain sebagai anak, belajar dari pengalaman kehidupan sebagai anak, dan belajar pengetahuan dari sekolah-sekolah.

Argumentasi demikian, sedikit banyak sudah muncul pada masa awal Islam di tangan tokoh-tokoh ulama seperti Abdullah bin Syubrumah (Ibn Syubrumah, w. 144 H/761 M), Utsman al-Batti (w. 143 H/760 M), dan Abu Bakr al-Asham (w. 279H/892 M). Bagi mereka pernikahan anak tidak diperkenankan, karena dia tidak bisa menikmati kemaslahatan dari pernikahan tersebut. Pernikahan adalah sebuah akad untuk hidup bersama sepanjang umur, yang seharusnya diputuskan ketika seseorang sudah dewasa, matang, dan layak membuat keputusan. Karena itu, menurut mereka, pernikahan anak harus dicegah, dan jika terjadi harus dibatalkan. Atau setidaknya, seperti kata Imam Asy-Syawkani (w. 1255 H/1839), seorang anak berhak penuh untuk membatalkan pernikahan tersebut, baik ketika masih di usia anak atau ketika sudah dewasa nanti.

Penyebab pernikahan anak sesungguhnya tidaklah tunggal. Ada faktor ekonomi, pandangan keluarga terhadap anak, akses pendidikan yang sulit terjangkau, tradisi dan kultur masyarakat setempat, pandangan keagamaan yang permisif terhadap kawin anak, pemahaman yang kurang terhadap kesehatan reproduksi, tidak tekendalinya akses terhadap pornografi, dan kondisi tertentu yang dialami anak itu sendiri. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penanganannya pun harus dengan berbagai strategi dan dengan melibatkan banyak pihak yang terkait dan memiliki tanggungjawab. Sebagaimana pencegahan dan penanganan yang harus melibatkan banyak pihak, demikian pula penanganan terhadap kemudlaratan yang dialami anak akibat pernikahan.

Upaya perlindungan yang harus dilakukan bagi anak korban pernikahan anak yang membawa kemadlaratan adalah dengan tetap menjamin anak tersebut mendapatkan hak-haknya sebagaimana anak lainnya untuk tumbuh kembang, melangsungkan hidup, memperoleh pendidikan, pengasuhan, pelayanan kesehatan, dan juga mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekekerasan, diskriminasi dan eksploitasi. Demikian ini adalah mandat dari Undang-Undang Dasar 1945 (Adillah, 4/a-g). Lebih detail lagi, mandat ini djelaskan dalam UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 dan Perubahannya No. 35 Tahun 2014. Penanganan korban perkawinan anak dalam bentuk yang lain adalah dengan memberikan pilihan kepada anak, termasuk pilihan untuk menghentikan perkawinan yang tidak diinginkan korban, sesuai dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang Khansa` binti Khizam ra di atas (Adillah, 2/e). Segala upaya perlindungan ini dilakukan untuk memastikan anak-anak tidak menjadi generasi yang lemah sebagaimana dianjurkan al-Qur’an (QS. An-Nisa, 4: 9).

Untuk mendapatkan hak-haknya tersebut, termasuk pemulihannya ketika menjadi korban, anak perlu pendampingan dan bimbingan dari orang dewasa, perlindungan dari orang tua, dukungan masyarakat dan negara. Pendampingan, bimbingan, perlindungan dan dukungan para pihak ini merupakan implementasi dari kewajiban melaksanakan amanat dan berlaku adil yang digariskan al-Qur’an (QS an-Nahl, 16: 90; dan al-Mujadilah, 58: 11, lihat: Adillah, 1/e dan f). Keadilan adalah dengan memberikan kepada anak hak-haknya untuk tumbuh kembang menjadi pribadi yang matang, kuat dan bertanggung-jawab. Keadilan juga dengan memastikan kelompok rentan, seperti perempuan dan anak, memperoleh hak-hak mereka, terlindungi dari segala bentuk kekerasan, dan tidak dieksploitasi oleh mereka yang memiliki kuasa atas mereka. Seperti orang tua, orang dewasa, para pendidik mereka, dan negara. Demikian ini makna dari pelaksanaan amanah dan keadilan yang digariskan al-Qur’an untuk anak dalam isu pernikahan.

Upaya perlindungan anak dari perkawinana, atau ketika sudah menjadi korban perkawinan anak yang membawa mudlarat ini sejalan dengan prinsip Maqashidus Syariah dalam Islam, atau tujuan-tujuan dasar Syari’at Islam. Yakni menjaga agama (hifzud-din), jiwa (hifzun-nafs), akal (hifzul-‘aql), keturunan (hifzun-nasl), kehormatan (hifzul ‘irdl), dan harta (hifzul-mal). Menjaga agama (hifz ad-din) berarti melindungai anak dari pernikahan agar ia tetap mampu menjalankan ajaran agama secara benar serta dapat mewujudkan tujuan pernikahan yang digariskan agama. Pernikahan pada usia anak akan membuat mereka tidak cukup waktu untuk dapat mempelajari dan mendalami agama secara umum dan untuk mengamalkan tujuan nikah yang digariskan agama secara khusus.

Menjaga jiwa (hifz an-nafs) berarti melindungi anak dari kemungkinan kematian akibat aktivitas reproduksinya yang belum matang jika menikah. Menjaga akal (hifz al-‘aql) berarti melindungi anak dari kemungkinan tidak berkembangnya potensi akal karena terputusnya pendidikan. Menjaga keturunan (hifz an-nasl) berarti melindungi anak dari resiko menghasilkan keturunan yang tidak berkualitas. Menjaga kehormatan (hifzul ‘irdl) berarti melindungi anak dari kerentanan diperdagangkan dan dieksploitasi ketika harus bekerja mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Dan menjaga harta (hifzul-mal) berarti melindungi anak dari resiko kemiskinan dan tidak bisa hidup sejahtera akibat tidak memiliki ilmu dan keterampilan yang cukup karena menikah di usia dini. 

Sebagai umat Islam yang memiliki acuan Al-Qur’an dan Hadis dan warga negara Indonesia yang memiliki UUD 1945, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, semua upaya perlindungan, pencegahan, penanganan dan penghentian pernikahan anak yang menimbulkan mudlarat ini merupakan bagian dari kewajiban setiap orang, dari sisi agama dan negara. Baik sebagai orang tua, guru, keluarga, masyarakat (termasuk pegiat perlindungan anak dan ulama, baik laki-laki maupun perempuan), pemerintah (mulai pemerintah pusat dan daerah,  termasuk Disdukcapil, hingga KUA hingga pemerintahan desa, RW dan RT) yang merupakan pemangku kewajiban perlindungan anak. Pemberlakukan semua perundang-undangan dan peraturan terkait perlindungan anak ini adalah sejalan dengan kaidah fiqh yang mengatakan bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus terkait dengan kemaslahatan, tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manutun bil maslahah. (Adillah, 3/f/3).

Dalam konteks ini, semua upaya perlindungan anak dari pernikahan yang menimbulkan kemudlaratan adalah ikhtiar mewujudkan tujuan perkawinan sesuai al-Qur’an (ar-Rum, 30: 21), Undang-Undang Perkawinan 1974, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ini juga merupakan perwujudan ajaran-ajaran al-Qur’an (an-Nisa, 4: 9; Ali Imran, 3: 38 dan 110; dan Sabat, 34: 15)  untuk membentuk generasi yang baik (dzurriyyah thayyibah) dan umat yang terbaik (khaira ummah), serta dalam rangka mewujudkan negara bangsa yang baik dan diridhoi Allah SWT (baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur).


SIKAP DAN PANDANGAN KEAGAMAAN

Dengan merujuk pada dasar-dasar hukum di atas dan analisis yang telah diurarikan di atas, jawaban atas tiga pertanyaan di Tashawur:

  1. Bagaimana hukum mencegah pernikahan anak yang menimbulkan kemudlaratan dalam konteks perwujudkan kemaslahatan keluarga sakinah?
  2. Siapakah pihak-pihak yang mempunyai tanggungjawab untuk melakukan pencegahan perkawinan anak yang demikian?
  3. Apa yang bisa dilakukan pada anak yang mengalami pernikahan demikian sebagai bentuk perlindungan?

Adalah:

  1. Hukum mencegah pernikahan anak yang menimbulkan kemudlaratan dalam konteks perwujudkan kemaslahatan keluarga sakinah adalah wajib.
  2. Pihak-pihak yang mempunyai tanggungjawab untuk melakukan pencegahan perkawinan anak yang demikian adalah orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
  3. Hal yang bisa dilakukan pada anak yang mengalami pernikahan demikian sebagai bentuk perlindungan adalah memastikan haknya sebagai anak tetap terpenuhi sebagaimana hak-hak anak lainnya terutama hak pendidikan, kesehatan, pengasuhan dari orang tua dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.

TAZKIYAH (REKOMENDASI)

1.        Kepada Pemerintah dan Negara:

a.        Memastikan adanya regulasi atau kebijakan yang mengikat di tingkat Nasional terkait dengan pencegahan, penanganan, dan penghapusan pernikahan anak.

b.        Mengamandemen Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait dengan batas minimal usia seorang perempuan boleh menikah dari 16 tahun menjadi 18 tahun.

c.         Memastikan adanya penyadaran dan edukasi tentang perlindungan anak kepada orang tua, anak, tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat negara dan pemerintah, termasuk dampak negatif dan bahaya pernikahan anak.

d.        Memastikan penegakan hukum bagi aparatur negara yang terlibat dalam permalsuan identitas anak yang mendorong terjadinya perkawinan anak.

e.        Memastikan instansi terkait (Pemerintah Desa, KUA, Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri) untuk tidak mengurus dan mencatatkan secara legal praktik pernikahan anak

f.          Memastikan penegakan hukum bagi parat penegak hukum yang terlibat dalam praktik pernikahan anak.

g.        Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) atau Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) untuk membatasi dan selektif terhadap pemberian itsbat nikah dan dispensasi pernikahan anak.

h.        Memastikan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa untuk memfasilitasi program-program pencegahan dan penanganan pernikahan anak.

i.          Kemendidasmen RI agar memastikan pemenuhan wajib belajar bagi anak-anak sebagai bentuk pencegahan perkawinan anak dan meratakan fasilitas pendidikan hingga di desa-desa.

j.          Menyelenggarakan sekolah informal bagi anak-anak yang putus sekolah sebagai langkah penanggulangan kemiskinan di tingkat akar rumput dan mencegah terjadinya perkawinan anak

k.        Kemenag RI agar memastikan penyelenggaraan pendidikan pranikah bisa menjangkau seluruh calon pasangan pengantin yang cukup umur.

l.          Kemendikdasmen dan Kemenag RI agar memasukkan materi pendidikan tentang kesehatan reproduksi dan perlindungan anak ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, baik di sekolah, madrasah, maupun pesantren.

m.      Melakukan perlindungan dan pengasuhan terhadap anak-anak terlantar yang rentan menjadi korban perkawinan anak

n.        Kemenkominfo menutup konten-konten pornografi yang berpotensi meningkatnya hubungan seksual di luar nikah, atau hubungan seksula dengan anak di bawah umur.

o.        Melakukan pendidikan literasi media pada anak-anak agar terhindar dari perkawinan anak.

p.        Memastikan anak yang menjadi korban perkawinan tetap bisa bersekolah formal dan sekolah formal tidak boleh menolaknya,


2.    Kepada Masyarakat terutama Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Tokoh Agama, dan Lembaga Swadaya Masyarakat 

a.        Berpartisipasi aktif dalam membangun kesadaran masyarakat untuk mencegah, tidak melakukan, dan tidak menjadi bagian dari pelaku pernikahan anak, melalui kampanye dan promosi pendewasaan usia nikah serta sosialisasi pandangan keagamaan tentang mudharat perkawinan anak.

b.        Mendorong terbentuknya Posko Pengaduan dan Penanganan berbasis masyarakat untuk pendampingan dan penanganan kasus-kasus  pernikahan anak.

c.         Mendorong masuknya materi pencegahan pernikahan anak dan kesehatan reproduksi ke dalam kegiatan sosial keagamaan dan lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat.

d.        Memberikan akses pada anak korban perkawinan anak untuk tetap bisa bersekolah atu belajar di pesantren atau sekolah formal, termasuk anak yang hamil tetap bisa bersekolah

e.        Menyusun kurikulum dan materi tafsir dan fiqh terkait pencegahan perkawinan anak.

f.          Aktif mencari anak yang menjadi korban pernikahan anak, kemudian melakukan pendampingan sesuai dengan kapasitas masing-masing agar hak anak tersebut tetap dapat dipenuhi dengan baik.

g.        Mensosialisasikan bahwa langgengnya perkawinan lebih penting daripada penyegeraan perkawinan apalagi jika belum siap.


3.    Kepada Orang Tua dan Keluarga

a.        Memenuhi tanggungjawab terhadap pemenuhan hak anak (agama, kesehatan, pendidikan, waktu luang, waktu bermain, dan pengasuhan anak) untuk mencegah terjadinya pernikahan anak.

b.        Menyadari bahwa pernikahan anak bukan solusi terbaik atas masalah sosial ekonomi yang dihadapi dan memastikan praktik pernikahan anak tidak terjadi dalam keluarga.

c.         Meningkatkan keterampilan sebagai orangtua termasuk pemahaman keagamaan untuk mencegah kehamilan tidak diinginkan (KTD) dan menghapus kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan seksual.

d.        Tidak menyalahgunakan Hak Ijbar sebagai alat untuk melakukan pemaksaan perkawinan.

e.        Bila terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki pada masa anak perempuan masih di bawah umur, maka orang tua tidak memaksakan perkawinan anak sebagai solusi.

f.          Memastikan hak atas pendidikan dan hak-hak lainnya tetap terpenuhi dengan baik, meskipun anak terlanjur dinikahkan.


4.       Kepada Anak:

a.        Mengikuti forum penguatan sebaya untuk mendapatkan edukasi pencegahan perkawinan anak; mendapatkan informasi dan edukasi percegahan perkawianna anak, perlindungan anak, kesehatan reproduksi, dan hak-hak seksualitas secara komprehensif termasuk dalam perpektif hukum Islam.

b.        Berani untuk berpendapat demi kepentingan terbaik bagi dirinya termasuk menolak penyalahgunaan hak ijbar, menolak semua bentuk hubungan seksual, pernikahan, dan pemaksaan kerja.

MARAJI’

  1. Al-Qur’an al-Karim.
  2. Sahih al-Bukhari, 2000, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, Jam’iyat al-Maknaz al-Islami, Cairo, Mesir.
  3. Sahih Muslim, 2000, Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Jam’iyat al-Maknaz al-Islami, Cairo, Mesir.
  4. al-Muawatha’, 2000, Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail, Jam’iyat al-Maknaz al-Islami, Cairo, Mesir.
  5. Sunan at-Tirmidzi, 2000, Muhammad bin 'Isa bin Saurah bin Musa as-Sulami at-Turmudzi, Jam’iyat al-Maknaz al-Islami, Cairo, Mesir.
  6. Sunan Abu Daud, 2000, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy'as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani, Jam’iyat al-Maknaz al-Islami, Cairo, Mesir.
  7. Sunan Ibnu Majah, 2000, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ar-Rabi’ Al-Qazwinî Al-Hâfidz, Jam’iyat al-Maknaz al-Islami, Cairo, Mesir.
  8. Al-Mabsut, 1989, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad as-Sarakhsi, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Libanon.
  9. Al-Muhalla bil Atsar, t.t., Ali bin Ahmad bin Hazm al-Andalusi, Dar al-Afaaq al-Jadidah, Beirut, Libanon.
  10. Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, 1993, Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar al-Asqallani, ed: Abdul Aziz bin Baz, Dar al-Fikr, Beirut Libanon.
  11. Al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah, 1996, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syatibi, ed: Ibrahim Ramadan, Dar al-Ma’rfiah, Beirut, Libanon.
  12. Ahkam al-Qur’an, 1983, Imaduddin bin Muhammad ath-Tahabri al-Kiya al-Harasi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Libanon.
  13. Al-Asybah wa an-Nazhair fi Furu’ fiqh asy-Syafi’iah, 1983, Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Libanon.
  14. Wablul Ghamam ‘ala Syifa'il Awam, 1416 H, Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani, ed: Muhammad Subhi Hallaq, Maktabah Ibn Taymiyah, Cairo, Mesir.
  15. Al-Qawai’d al-Fiqhiyah, 1994, Ali Ahmad an-Nadwi, Dar al-Qalam, Damaskus, Syria.
  16. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, 2001, Husein Muhammad, ed: Faqihuddin Abdul Kodir, LKiS, Yogyakarta.
  17. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  18. UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
  19. UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
  20. UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
  21. Badan Pusat Statistik dan UNICEF, 2015, ‘Kemajuan yang Tertunda: Analisi Data Perkawinan Anak di Indonesia’, Jakarta.
  22. Indonesia Demographic and Health Survey, 2013, ‘Indonesia Demographic and Health Survey 2012, Special Report on Adolescent Reproductive Health’, (Jakarta: IDHS, BPS, BKKBN, dan Kementerian Kesehatan).
  23. Jurnal Perempuan, 2016, ‘Pernikahan Anak: Status Anak Perempuan?’, Nomor 88 (Jakarta: YJP).
  24. Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), 2016, ‘Kesaksian Pengantin Bocah’, Jakarta.
  25. -------, 2016, ‘Menelusuri Makna Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan tIdak tercatat,’ Jakarta.
  26. -------, 2016, ‘Fiqh Kawin Anak, Membaca Ulang Teks Keagamaan Perkawinan Usia Anak-anak’, Jakarta.
  27. Yayasan Kesehatan Perempuan, 2016, ‘Memangkas Pernikahan Anak, Pengalaman Lapangan di Bondowoso Jawa Timur’, Jakarta.
  28. Yayasan PEKKA dan SMERU, 2013, ‘Sistem Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Komunitas (SPKBK)’, Jakarta.

MARAFIQ

المبسوط للسرخسي (ج 5، ص 491): يَقُولُ ابْنُ شُبْرُمَةَ وَأَبُو بَكْرٍ الْأَصَمُّ - رَحِمَهُمْ اللَّهُ تَعَالَى - أَنَّهُ لَا يُزَوَّجُ الصَّغِيرُ وَالصَّغِيرَةُ حَتَّى يَبْلُغَا لِقَوْلِهِ {حَتَّى إذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ} فَلَوْ جَازَ التَّزْوِيجُ قَبْلَ الْبُلُوغِ لَمْ يَكُنْ لِهَذَا فَائِدَةٌ ، وَلِأَنَّ ثُبُوتَ الْوِلَايَةِ عَلَى الصَّغِيرَةِ لِحَاجَةِ الْمَوْلَى عَلَيْهِ حَتَّى إنَّ فِيمَا لَا تَتَحَقَّقُ فِيهِ الْحَاجَةُ لَا تَثْبُتُ الْوِلَايَةُ كَالتَّبَرُّعَاتِ، وَلَا حَاجَةَ بِهِمَا إلَى النِّكَاحِ ؛ لِأَنَّ مَقْصُودَ النِّكَاحِ طَبْعًا هُوَ قَضَاءُ الشَّهْوَةِ وَشَرْعًا النَّسْلُ وَالصِّغَرُ يُنَافِيهِمَا ، ثُمَّ هَذَا الْعَقْدُ يُعْقَدُ لِلْعُمُرِ وَتَلْزَمُهُمَا أَحْكَامُهُ بَعْدَ الْبُلُوغِ فَلَا يَكُونُ لِأَحَدٍ أَنْ يُلْزِمَهُمَا ذَلِكَ إذْ لَا وِلَايَةَ لِأَحَدٍ عَلَيْهِمَا بَعْدَ الْبُلُوغِ.

أحكام القرآن للكيا الهراسي (ج1، ص314): ولما ثبت أن المراد باليتيمة البالغة، ولم يكن في كتاب الله دلالة على جواز تزويج الصغيرة، لا جرم صار ابن شبرمة إلى أن تزويج الآباء للصغار لا يجوز، وهو مذهب الأصم.

وبل الغمام على شفاء الأوام للشوكاني (ج2، ص33): : أمّا مع عدم المصلحة المعتبرة، فليس للنكاح إنعقادٌ من الأصل، فيجوز للحاكم بل يجب عليها التفرقة بين الصغيرة ومن تزوجها، ولها الفرار متى شاءت، سواء بلغت التكليف أم لم تبلغ، ما لم يقع منها الرضا بعد تكليفها.... إلى أن يقول: فإن قلتَ: إذا كان تزويج الصغيرة غير منعقدٍ، فما حكم الوطء والولد إذا حدث بينهما؟ قلتُ: حكمه حكم النكاح الباطل...فمن ادعى أن غير هذا أولى منه فعليه الدليل.

فتح الباري شرح صحيح البخاري لابن حجر العسقلاني، (ج 14، ص 293): ( الْبَاءَة ) بِالْهَمْزِ وَتَاء تَأْنِيث مَمْدُود، وَفِيهَا لُغَة أُخْرَى بِغَيْرِ هَمْز وَلَا مَدّ، وَقَدْ يُهْمَز وَيُمَدّ بِلَا هَاء، وَيُقَال لَهَا أَيْضًا الْبَاهَة كَالْأَوَّلِ لَكِنْ بِهَاءٍ بَدَل الْهَمْزَة، وَقِيلَ بِالْمَدِّ الْقُدْرَة عَلَى مُؤَن النِّكَاح وَبِالْقَصْرِ الْوَطْء ، قَالَ الْخَطَّابِيُّ : الْمُرَاد بِالْبَاءَةِ النِّكَاح، وَأَصْله الْمَوْضِع الَّذِي يَتَبَوّؤُهُ وَيَأْوِي إِلَيْهِ، وَقَالَ الْمَازِرِيّ: اُشْتُقَّ الْعَقْد عَلَى الْمَرْأَة مِنْ أَصْل الْبَاءَة، لِأَنَّ مِنْ شَأْن مَنْ يَتَزَوَّج الْمَرْأَة أَنْ يُبَوِّئهَا مَنْزِلًا. وَقَالَ النَّوَوِيّ: اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي الْمُرَاد بِالْبَاءَةِ هُنَا عَلَى قَوْلَيْنِ يَرْجِعَانِ إِلَى مَعْنًى وَاحِد: أَصَحّهمَا أَنَّ الْمُرَاد مَعْنَاهَا اللُّغَوِيّ وَهُوَ الْجِمَاع، فَتَقْدِيره مَنْ اِسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْجِمَاع لِقُدْرَتِهِ عَلَى مُؤَنه - وَهِيَ مُؤَن النِّكَاح - فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ الْجِمَاع لِعَجْزِهِ عَنْ مُؤَنه فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ لِيَدْفَع شَهْوَته وَيَقْطَع شَرّ مَنِيّه كَمَا يَقْطَعهُ الْوِجَاء، وَعَلَى هَذَا الْقَوْل وَقَعَ الْخِطَاب مَعَ الشَّبَاب الَّذِينَ هُمْ مَظِنَّة شَهْوَة النِّسَاء وَلَا يَنْفَكُّونَ عَنْهَا غَالِبًا. وَالْقَوْل الثَّانِي أَنَّ الْمُرَاد هُنَا بِالْبَاءَةِ مُؤَن النِّكَاح، سُمِّيَتْ بِاسْمِ مَا يُلَازِمهَا، وَتَقْدِيره مَنْ اِسْتَطَاعَ مِنْكُمْ مُؤَن النِّكَاح فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَلْيَصُمْ لِدَفْعِ شَهْوَته.


الأشباه والنظائر للسيوطي (ص86): الثالثة: الضرر لا يزال بالضرر  قال ابن السبكي: و هو كعائد يعود على قولهم الضرر يزال و لكن لا بضرر فشأنهما شأن الأخص مع الأعم بل هما سواء لأنه لو أزيل بالضرر لما صدق الضرر يزال.