Iddah dan Ihdad
Sebagai agama pembebas, sedari awal Islam telah mengusung satu tugas suci, yaitu menghapus segala praktik diskriminasi dalam kehidupan umat manusia. Islam datang membawa serta pesan profetik untuk menegakkan keadilan dalam bentuknya yang paling konkret. Misi pokok al-Qur`an diturunkan ialah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis, dan ikatan-ikatan primordial lainnya.[1] Semua watak diskriminatif yang berkembang subur dalam masyarakat Arab jahiliyah pada masa itu senantiasa secara bertahap dieliminasi dan ditolak.
Salah satu upaya paling fundamental dari Islam adalah keputusannya untuk menyangkal pandangan diskriminatif terhadap manusia berdasarkan perbedaan jenis kelamin, di mana kaum perempuan sepanjang sejarah kemanusiaan dipandang tidak berharga dibanding lelaki.[2] Kaum perempuan diposisikan tak lebih dari sekedar mesin reproduksi manusia, bagaikan mesin foto copy. Tidak jarang, mereka hanya dimanfaatkan sebagai alat pemuas kebutuhan biologis pria belaka.[3] Mereka seringkali disteriotipkan sebagai makhluk yang lemah, baik fisik, mental maupun nalar (nâqishat ‘aql).
Data historis telah menyuguhkan sekian banyak bukti yang mengindikasikan adanya proses marginalisasi, bahkan dehumanisasi terhadap perempuan. Pada masa jahiliyah, misalnya, anak-anak perempuan tidak diterima sepenuh hati oleh masyarakat secara umum.[4] Peradaban Jahiliyah telah menjadikan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan laki-laki. Sebelum menikah, ia berada dalam pengawasan dan kendali penuh ayahandanya. Tatkala menikah, kekuasaan itupun berpindah ke tangan suami. Suami mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk berbuat apa saja terhadap istrinya. Perempuan telah dipandang sebagai sesuatu barang (something) yang boleh diperlakukan sehendak suami, bukan sebagai seorang manusia (somebody) yang harus dihargai dan dihormati.
Dalam kondisi seperti itu, Islam datang dengan merubah paradigma hegemonik-tiranik tersebut kepada sebuah paradigma yang lebih menghargai dan menghormati perempuan. Islam, misalnya, memberi hak kepada anak perempuan untuk mengajukan keberatan terhadap calon suami yang ditawarkan oleh walinya. Begitu juga, pernikahan bukanlah akad atau transaksi jual beli antara wali perempuan dan calon suami. Al-Qur`an menggambarkan hubungan suami dan isteri sebagai hubungan kemitraan yang saling menyempurnakan.
Bahkan, kemitraan dalam hubungan suami isteri dinyatakan al-Qur`an sebagai kebutuhan timbal-balik. Allah SWT. berfirman (2:187), “Isteri-isteri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka”. Lebih jauh dari itu, hubungan pernikahan merupakan hubungan cinta-kasih antara dua insan yang berlainan jenis. Dengan logika ini, dapat dipahami bahwa maskawin pernikahan (mahar, shaduqah)[5] merupakan simbol adanya cinta kasih itu. Allah SWT. berfirman (4:4), “Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Bukti lain dari marginalisasi dan dehumanisasi perempuan oleh masyarakat Arab pra-Islam adalah munculnya suatu tradisi yang dibebankan terhadap kaum perempuan pasca-kematian sang suami.[6] Misalnya, masyarakat Arab pra-Islam telah secara sadis menerapkan apa yang dikenal dengan ‘iddah dan ihdâd (atau hidad).[7] Yakni, suatu kondisi di mana kaum perempuan yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya bahkan juga oleh anggota keluarganya yang lain, harus mengisolasi diri di dalam ruang terpisah selama setahun penuh.[8] Dalam masa pengasingan itu, perempuan tersebut tidak diperkenankan untuk memakai wewangian, memotong kuku, menyisir rambut, dan berganti pakaian. Dia akan diberi seekor binatang seperti keledai, kambing atau burung untuk dipakai menggosok-gosok kulitnya. Diilustrasikan dalam sebuah hadits, begitu busuknya bau badan perempuan yang ber-ihdâd tersebut, sehingga tidak seorang pun berani menghampirinya, dan seandainya ia keluar ruangan dengan segera burung-burung gagak akan menyergapnya, karena bau busuk yang ditimbulkannya. Naifnya, tradisi ini tidak berlaku bagi kaum laki-laki.[9]
Menghadapi model tradisi seperti ini, secara perlahan Islam melakukan perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Islam datang dengan mengupayakan adanya pengurangan waktu berkabung bagi seorang istri, dan ini dilakukan tidak dengan cara-cara yang merendahkan atau menistakan diri perempuan. Sesuai dengan keterbatasan dan kesederhanaan piranti teknologis pada waktu itu dan pertimbangan etis-moral lainnya, dibuatkanlah suatu ketentuan ‘iddah. Yaitu, suatu masa menunggu bagi seorang wanita yang baru berpisah dari suaminya, baik karena perceraian atau kematian untuk tidak menikah lagi sebelum melalui beberapa waktu tertentu.
Karena terbatasnya ruang yang tersedia, maka tulisan ini hendak memfokuskan diri pada bahasan diseputar iddah dan ihdâd. Dalam pembahasannya nanti, terlebih dahulu akan dikemukakan landasan normatif-doktrinal, termasuk perbincangan fuqahâ` seputar ‘iddah dan ihdâd, baru kemudian disusul bahasan tentang problem etika, sosiologi kontemporer, dan sains modern yang dihadapinya. Bidikan ini terasa penting untuk menghindari munculnya pemahaman Islam (fiqh) yang hanya berorientasi pada dirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan secara matang mengenai tepat atau tidaknya konsep fiqh tersebut untuk diterapkan pada tingkat praksis di lapangan.
‘Iddah: Pengertian dan Dalil Hukum
Jika ditelusuri secara etimologis, kata ‘iddah berasal dari kata kerja ‘adda ya’uddu yang artinya kurang lebih al-ihshâ`, hitungan, perhitungan atau sesuatu yang dihitung.[10] Dari sudut bahasa, kata ‘iddah biasanya dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada perempuan. Artinya, perempuan (istri) menghitung hari-hari haidnya dan masa-masa sucinya.
Sedangkan secara terminologis, para ulama telah merumuskan pengertian ‘iddah dengan berbagai ungkapan, antara lain[11]:
اسم للمدة التي تنتظر فيها المرأة وتمتنع عن التزويج بعد وفاة زوجها أو فراقه لها
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa ‘iddah adalah suatu tenggang waktu tertentu yang harus dihitung oleh seorang perempuan semenjak ia berpisah (bercerai) dengan suaminya, baik perpisahan itu disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal dunia; dan dalam masa tersebut perempuan itu tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki lain.
Secara kategorial, perempuan yang ber’iddah (al-mu’taddah) dapat dikelompokkan ke dalam dua macam kategori. Pertama, perempuan yang ber’iddah karena ditinggal mati oleh suaminya (al-mutawaffâ ‘anhâ zawjuhâ). Ketentuan masa ‘iddahnya adalah: [1] empat bulan sepuluh hari (arba’ah asyhur wa ‘asyr), dengan catatan tidak hamil, baik pernah dukhûl maupun tidak; [2] sampai melahirkan (wadl’u al-hamli), jika kehamilannya dinisbatkan kepada shâhib al-‘iddah.
Kedua, perempuan yang ber’iddah bukan karena ditinggal mati oleh suaminya (ghayr al-mutawaffâ ‘anhâ zawjuhâ). Ketentuan masa ‘iddahnya adalah: [1] sampai melahirkan, bila kehamilan dinisbatkan kepada shâhib al-‘iddah; [2] tiga qurû`, jika ia pernah menstruasi; [3] tiga bulan (tsalatsat asyhur), bila belum menstruasi atau sudah putus dari periode haid (ya`isah).
Selanjutnya, yang menarik untuk mendapatkan fokus perhatian cukup dalam hubungan ini adalah fungsi ‘iddah, yaitu membersihkan diri dari pengaruh atau akibat hubungan perempuan bersangkutan dengan suami yang menceraikannya.[12] Statemen ini mengundang beberapa pertanyaan: apakah pembersihan diri tersebut dalam arti barâ`ah al-rahmi? Jika ya, apakah ia satu-satunya alasan pokok atau ada alasan lain yang menyertainya? Jika hanya berkaitan dengan barâ`ah al-rahmi semata, tentu persoalan ini dapat diselesaikan dengan kecanggihan teknologi modern sekarang. Kalau tidak sekedar itu, lalu faktor apalagi yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan?
Dalam hal terakhir ini, definisi kelompok Syafi’iyyah tentang ‘iddah layak untuk diperhatikan[13];
مدة تتربص فيها المرأة لمعرفة براءة رحمها أوللتعبد أو لتفجعها على زوجها
Definisi tersebut mengisyaratkan ada tiga fungsi ‘iddah, yaitu barâ`ah al-rahim (membersihkan rahim), ta’abbud (pengabdian diri kepada Tuhan), dan bela sungkawa atas kematian suami (tafajju’). Sejalan dengan ini, Hanafiyah mengajukan sebuah definisi, sebagai berikut;[14]
أجل ضرب لانقضاء ما بقي من أثار النكاح أو الفراش
Berdasarkan uraian di atas, secara ringkas, dapat ditarik satu benang merah bahwa tidak mudah juga mematrik pengertian ‘iddah dalam suatu ungkapan. Di samping itu, tampak pula bahwa terdapat beberapa sebab, akibat, dan fungsi ‘iddah. Akan tetapi, yang jelas kewajiban ber’iddah hanya dikenakan kepada perempuan tidak pada laki-laki.[15]
Kecuali itu, para ulama sepakat bahwa perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, diwajibkan menjalani ‘iddah. Konsensus ini didasarkan kepada al-Qur`an, al-Hadits, dan al-Ijma’.[16]
Pertama, dasar al-Qur`an menyebutkan; “Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru`” (al-Baqarah:228); “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, hendaklah perempuan itu ber’iddah empat bulan sepuluh hari” (al-Baqarah:234); “Dan perempuan-perempuan yang putus dari haid (menopause) di antara isteri-isterimu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddah mereka addallah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang sudah haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil aktu ‘iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya” (al-Thalaq:4); dan beberapa ayat lain yang berkaitan dengan ‘iddah ini.
Kedua, dasar hukum ‘iddah dalam al-Hadits. Rasulullah SAW bersabda “Tidak dihalalkan bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari kiamat melakukan ihdâd, kecuali bagi suaminya (yang wafat), yaitu selama empat bulan sepuluh hari (HR. al-Bukhari dan Muslim); Rasulullah kepada Fatimah ibn Qays “Ber’iddahlah (jalanilah ‘iddah) kamu di rumah Ummi Maktum (HR. Muslim, Ahmad ibn Hanbal, al-Nasa’i dan Abu Dawud).
Ketiga, dalil ‘iddah yang dilandaskan kepada ijma’. Berdasarkan ayat dan hadits di atas, ulama fikih sepakat (ijmâ’) bahwa perempuan muslimah yang telah bercerai dengan suaminya wajib menjalani masa ‘iddah.[17]
Dengan memperhatikan secara seksama ayat-ayat dan hadits tersebut, dapatlah ditarik satu konklusi bahwa ‘iddah timbul sebagai akibat perceraian karena kematian dan talak. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang perceraian yang terjadi setelah wathi` syubhat, pernikahan fâsid, dan zina. Golongan al-Dzahiri, misalnya, tidak mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang dicerai secara fâsid, walaupun sudah terjadi dukhûl, sebab tidak ada dalilnya baik dalam al-Qur`an maupun al-Sunnah. Sedangkan golongan lainnya mewajibkan ‘iddah bagi perempuan semacam itu. Bagi kelompok kedua ini, wathi` syubhat dan wathi` yang dilakukan dalam nikah yang fâsid adalah sama saja dengan wathi` dalam pernikahan yang sah dalam pokok soal; melihat kondisi rahim dan kandungannya dinisbatkan kepada lelaki yang menyetubuhinya.
Namun, di kalangan ini pun terdapat perbedaan pendapat tentang perempuan yang berzina. Golongan Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan al-Tsauri menyatakan bahwa perempuan yang berzina tidak wajib ber’iddah, dengan alasan bahwa kegunaan ‘iddah adalah untuk memelihara keturunan, sedangkan zina--dalam pandangan mereka--tidak menimbulkan hubungan nasab. Pendapat ini juga dianut oleh Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin al-Khattab. Sementara itu, Malikiyyah dan Hanabilah menetapkan adanya ‘iddah bagi perempuan yang berzina.[18]
Agaknya, jika ‘iddah dimaksudkan untuk untuk membersihkan rahim, dan ia merupakan satu-satunya cara untuk itu, maka perempuan yang dizinai semestinya harus ber’iddah. Kekacauan nasab akan semakin bertambah bila dalam hal ini ‘iddah tidak diberlakukan. Namun, bila ada alat pembuktian yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa rahim perempuan tersebut bersih dari bibit yang akan tumbuh, maka dalam kasus ini alat tersebut dapat dimanfaatkan dan perempuan tersebut boleh tidak menjalani masa ‘iddah. Dengan kata lain, perempuan yang berzina tidak dapat bebas begitu saja untuk kawin dengan orang lain, tetapi ia juga tidak mutlak menunggu dalam suatu tenggang waktu tertentu sebagai masa ‘iddah. Dengan demikian, dalam kasus-kasus yang tidak secara tegas dikemukakan oleh al-Qur`an atau al-Sunnah, penetapan ‘iddah merupakan ijtihad ulama. Oleh karena itu, peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat cukup besar.
Beberapa Ketentuan ‘Iddah
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, masa ‘iddah tidak selalu sama pada setiap perempuan. Al-Qur`an memberikan petunjuk dalam berbagai ungkapan yang menegaskan bahwa masa ‘iddah ditetapkan berdasarkan keadaan perempuan sewaktu dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya dan juga berdasarkan atas proses perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup. Dari sini, dikenal tiga macam ‘iddah. Masing-masing adalah ‘iddah bi al-aqra`, ‘iddah al-asyhur, ‘iddah bi wadl’i al-hamli.[19] Uraian berikut dikemukakan berdasarkan atas perbedaan-perbedaan ini.
1. Kondisi Perempuan Sebagai Sudut Pandang
Ada beberapa kondisi perempuan tatkala dicerai oleh suaminya yang menjadi patokan dalam penentuan masa ‘iddah.
a. Qabl al-dukhûl atau ba’da al-dukhûl
Tinjauan pertama yang ada dalam paradigma al-Qur`an adalah apakah istri itu sudah digauli (madzkhûl biha) atau belum (ghair madzkhûl biha). Bagi istri yang ditalak--atau bercerai dengan suaminya--belum pernah terjadi wathi` (senggama), tidak ada ‘iddah baginya. Artinya, istri tersebut setelah putus perkawinan bisa segera langsung mengadakan kontak nikah dengan laki-laki lain.[20]
Dalam hal ini, al-Qur`an mengatakan: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka kesenangan (mut’ah) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya (al-Ahzab; 49).
Mayoritas ulama memahami ungkapan ‘an tamassû dalam ayat di atas dengan makna al-dukhûl[21]. Mereka sepakat bahwa ungkapan qabla ‘an tamassûhunna berarti qabla an tadzkhûlu biha. Bagi mereka, ayat ini cukup memberikan dugaan kuat bahwa perempuan yang ghayr al-madkhûl bihâ tidak perlu menjalani masa ‘iddah.[22] Dengan demikian, perempuan tersebut dibolehkan melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain selepas dari perceraian itu. Dan, sebaliknya, istri yang sudah digauli, baginya berlaku ketentuan iddah.
Secara sepintas terlihat bahwa persoalan ‘iddah dengan segala bentuk dan macamnya hanya dipautkan dengan perempuan al-madkhûl bihâ. Jika diamati secara jeli, dalam kondisi tertentu, persoalan dukhûl tampaknya tidak mutlak menjadi patokan.
Dari beberapa perbincangan para ulama tentang ‘iddah, setidaknya satu terma yang sering mereka gunakan, yaitu khalwat. Menurut jumhur ulama, khalwat yang belum tentu terjadi dukhûl, sudah mengharuskan adanya ‘iddah. Pendapat jumhur ini didasarkan pada Hadits riwayat Ahmad dan Atsram dari Zurarah ibn Awfa bahwa al-Khulafâ` al-Râsyidûn pernah memutuskan suatu kasus: “seseorang yang menutup pintu kemudian menurunkan tabir, maka bagi yang laki-laki berwajiban membayar mahr dan bagi yang perempuan berkewajiban untuk ber’iddah”. Berbeda dengan jumhur, Malikiyyah mewajibkan adanya ‘iddah jika terjadi khalwat. Sebab, menurutnya, di dalam khalwat diduga keras terjadi persetubuhan (wiqâ’). Namun, menurut qawl jadîd, khalwat yang tidak sampai kepada terjadinya persetubuhan (al-khalwat al-mujarradah ‘an al-wath`i), tidak mewajibkan adanya ‘iddah.[23]
Yang harus dipersoalkan adalah, apakah ungkapan qabla ‘an tamassûhunna memang hanya berarti dukhûl dalam arti sebenarnya, yaitu hubungan biologis antara dua insan berlainan jenis, atau bermakna lainnya. Setidaknya, hal ini merupakan suatu persoalan yang perlu direnungkan oleh para ushuli. Sebab, kalau ‘iddah juga berkaitan dengan masalah psikologis, di samping rahim, maka sepantasnyalah seorang perempuan yang sudah menjalin hubungan batin dan kasih sayang dengan seorang pria tidak merasa langsung bebas dari suami yang karena sesuatu hal mungkin belum sempat menggaulinya. Terdesak oleh keadaan, mereka harus berpisah. Sudah pasti, ikatan psikologis di antara mereka tidak mungkin lindap begitu saja. Berdasarkan analisis ini, agaknya kata al-mass dalam ayat di atas juga meliputi makna lain, di samping makna dukhûl haqîqî.
Asumsi di atas dapat dicarikan rasionalitasnya, jika dilihat dalam ketentuan lain. Misalnya, dalam syari’at ditegaskan bahwa jika istri yang belum pernah disetubuhi ditinggal mati suaminya, maka ia harus ber’iddah seperti ‘iddahnya orang yang sudah disetubuhi. Allah SWT. berfirman dalam surat al-Baqarah: 234. (...Dan orang-orang yang telah meninggal di antara kamu sedangkan mereka meninggalkan istri, maka hendaklah mereka (istri-istri) menahan diri selama empat bulan sepuluh hari).[24] Ayat ini termasuk lafadz yang mutlak; mencakup istri yang sudah didukhûl dan belum didukhûl, masih kecil dan dewasa, bahkan istri yang sudah menopause. Menurut Wahbah al-Zuhaily, kewajiban ber’iddah bagi istri atas kematian suaminya, sekalipun belum pernah disetubuhi, adalah untuk menyempurnakan dan menghargai hak suami yang meninggal dunia.[25]
b. Dalam Keadaan Hayd atau Suci
Dengan tegas, al-Qur`an menyatakan bahwa perempuan yang dicerai suaminya dalam keadaan haid, ia dapat menjadikan masa-masa haid sebagai patokan waktu. Sedangkan ‘iddahnya adalah tiga qurû`[26]. Ketentuan ini berdasar kepada firman Allah SWT Surat al-Baqarah ayat 228: “Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali qurû`. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menunggu itu, jika mereka menghendaki rekonsiliasi (ishlah). Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”
Selanjutnya, bagi perempuan yang tidak haid, baik karena masih kecil (belum baligh) maupun akibat sudah menopause[27], masa ‘iddahnya adalah tiga bulan. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah SWT: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu tentang masa ‘iddahnya maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid (al-Thalaq: 4).
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya ‘iddah dihitung dengan qurû`. Akan tetapi, bagi perempuan yang belum baligh (lam yahidlna) dan yang sudah memasuki masa menopause (al-ya`isat), perhitungan qurû` tidak mungkin lagi dilakukan. Oleh karena itu, al-Qur`an memberikan petunjuk agar perhitungan dilakukan dengan menghitung hari, yaitu tiga bulan. Hal ini menunjukkan bahwa tiga quru` itu sama dengan tiga bulan.[28]
c. Dalam Keadaan Hamil atau Tidak Hamil
Pokok soal ketiga yang dapat dijadikan standar penetapan ‘iddah bagi seorang istri adalah apakah ia hamil atau tidak. Dalam hal ini, al-Qur`an mengatakan jika perceraian terjadi sewaktu perempuan berada dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya sampai melahirkan anaknya. Ketentuan ini secara nashshy (tekstual) ditunjukkan al-Qur`an dalam ayat 4 Surat al-Thalaq: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddahnya adalah sampai mereka melahirkan”.[29]
Ketetapan ‘iddah bagi perempuan dalam keadaan ini begitu tegas dan jelas. Ketentuan ini tidak memandang jumlah hari. Mungkin saja ‘iddah perempuan seperti ini berlangsung selama 9 bulan atau lebih. Akan tetapi, juga mungkin hanya sesaat karena begitu ia dicerai oleh suaminya lantas ia melahirkan.
2. Status Perceraian: Sebagai Penentu
Dalam prosesnya, perceraian terjadi karena dua hal; karena ditinggal mati suami (biasa disebut dengan cerai mati) atau karena ditalak suami (cerai hidup). Perbedaan status perceraian ini merupakan salah satu faktor penentu jenis ‘iddah yang akan dijalani seorang istri.
Firman Allah pada ayat 234 Surat al-Baqarah, seperti dikemukakan sebelumnya, mengatakan bahwa masa ‘iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Ini berarti bahwa ‘iddah perempuan yang cerai karena ditalak suaminya (cerai hidup) lebih pendek dari cerai mati, yaitu tiga qurû` bagi mereka yang berada dalam masa haid, dan tiga bulan bagi mereka yang belum baligh atau sudah menopause.
Tidak jelas, mengapa al-Qur`an tidak menyebutkan alasan tentang lebih panjangnya masa ‘iddah perempuan akibat kematian suaminya daripada ditalak.[30] Akan tetapi, para ulama memahaminya sebagai masa berkabung bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya. Seandainya dikaitkan dengan barâ`ah al-rahim tentu ‘iddahnya akan sama dengan perempuan yang dicerai dalam kondisi yang masih memungkinkan hamil, yaitu tiga qurû`. Demikian pula, ‘iddah dalam keadaan ini bukanlah masa untuk berfikir bagi kemungkinan terjadinya ruju’ antara suami dan istri.
Kalau keadaannya memang demikian, maka sesungguhnya ‘iddah juga berhubungan dengan masalah etika gender [gender ethics]. Yang dimaksud bahwa dengan iddah seorang perempuan harus merasakan duka dengan kematian mendiang suaminya. Konsisten dengan landasan etis ini, para ulama menetapkan kewajiban hidâd atas perempuan.
Pada umumnya, perceraian yang terjadi akibat kematian suami adalah musibah bagi perempuan yang menjadi istrinya. Perceraian seperti ini merupakan perceraian yang tidak terelakkan.
Dalam suasana batin yang gundah ini, al-Qur`an melarang pria lain untuk menyatakan pinangannya terhadap perempuan itu secara terbuka (tashrih), meskipun perempuan yang cerai akibat ditinggal mati suaminyya sudah tidak mungkin lagi rujû’, Secara doktrinal, lelaki yang meminang (al-khâthib) itu diminta untuk menyembunyikan hasrat peminangannya itu. Kalaupun hasrat itu sudah tak terbendung lagi, maka ia hanya boleh dikemukakan dalam bentuk sindiran (ta’ridl). Ketentuan ini, tampaknya, tidak luput dari upaya menjaga perasaan perempuan yang sedang dalam keadaan duka tersebut.
Terus terang, ketentuan ‘iddah dalam kasus cerai mati ini dapat dengan mudah dilaksanakan. Akan tetapi, persoalan timbul ketika perempuan bersangkutan berada dalam keadaan hamil: bagaimana menentukan ‘iddah wafat dan ‘iddah hamil sekaligus? Apakah cukup melaksanakan salah satunya? Jika ya, ‘iddah wafat atau ‘iddah hamil yang harus dilaksanakan? Mungkinkah seorang perempuan yang melahirkan anaknya sesaat setelah suaminya meninggal dunia tidak menghadapi ‘iddah?
Dalam merespon persoalan di atas para ulama terbelah kepada dua kelompok. Pertama, pendapat jumhur yang mengatakan bahwa patokan ‘iddah adalah kelahiran anaknya, meskipun kelahiran itu terjadi sesaat setelah kematian suaminya. Alasan yang biasa dirujuk adalah a] pernyataan Umar ibn Khattab bahwa ‘iddah perempuan semacam itu ialah melahirkan bayinya, walaupun mayat suaminya masih terbaring di rumah duka. b] berdasar kepada ke-’umum-an ayat ûlât al-ahmâl. Oleh karena itu, bila keduanya bertemu, maka mereka berpegang kepada ayat ulat al-ahmal. Hal ini, juga erat kaitannya dengan pandangan mereka tentang fungsi ‘iddah. Bagi mereka, ‘iddah hanya berfungsi sebagai pembersih rahim. c] didasarkan kepada sabda Nabi Muhammad kepada Sabi’ah al-Aslamiyah yang melahirkan anak praktis setengah bulan dari kematian suaminya. Nabi bersabda, “anda sudah halal, maka nikahlah dengan orang yang kau suka”.
Kedua, ulama yang menyatakan bahwa ‘iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suami adalah dengan mengambil tenggang waktu terlama (ab’ad al-ajalaini) di antara dua alternatif: 4 bulan 10 hari (iddah wafat) atau kelahiran bayinya (karena ‘iddah hamil). Pendapat ini biasanya dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dan Ali ibn Abi Thalib. Kelompok kedua ini menghendaki dikompromikannya (al-jam’u) antara keumuman ayat hamil dan ayat wafat.[31] Saya menduga ada alasan lain yang secara eksplisit tak terucapkan oleh mereka. Yaitu, bahwa fungsi ‘iddah, di samping pembersih rahim, adalah sebagai perlambang solidaritas kekeluargaan [tafajju’].
Etika Sosial Perempuan dalam Masa ‘Iddah
Ulama fikih mengemukakan ada beberapa etika sosial [social ethics] bagi perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah. Di antaranya adalah: pertama, ia tidak boleh menerima pinangan dari laki-laki, baik secara terang-terangan (tashrîh) maupun secara sindiran (ta’rîdl). Akan tetapi, untuk perempuan yang menjalani ‘iddah kematian sang suami, pinangan boleh dilakukan namun dengan cara sindiran. Alasan ulama fikih menetapkan hukum ini adalah firman Allah dalam Surat al-Baqarah (2) ayat 235 yang artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang “perempuan-perempuan itu” dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf….”. Yang dimaksud dengan “perempuan-perempuan itu “adalah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya.
Lebih jauh dari itu, perempuan yang sedang dalam ‘iddah tidak boleh mengadakan akad perkawinan (kawin atau dikawini) secara mutlak. Hal ini didasarkan pada lanjutan Surah al-Baqarah (2) ayat 235 di atas, yaitu: “….Dan janganlah kamu ber’azam (berketetapan hati) untuk berakad nikah, sebelum habis ‘iddahnya…”
Kedua, perempuan yang sedang menjalani ‘iddah dilarang keluar rumah.[32] Jumhur ulama fikih (al-Syafi’i, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, dan al-Layts) sepakat bahwa perempuan yang menjalani ‘iddah dilarang keluar rumah apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kecuali itu, antara Malik dan al-Syafi’i memiliki perbedaan. Bagi Malik, larangan keluar rumah bagi mu’taddah adalah mutlak tanpa membedakan antara talak raj’i dan talak bâ`in. Sedangkan bagi al-Syafi’i, mu’taddah yang ditalak raj’i tidak diperkenankan untuk keluar rumah, baik siang maupun malam. Keluar rumah pada siang hari hanya diperbolehkan bagi mabtutah (perempuan yang ditalak bâ`in).[33]
Alasan yang dikemukakan mereka adalah sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah; “Jabir berkata: Bibiku dari ibu ditalak tiga kali oleh suaminya lalu ia keluar untuk memotong kurmanya. Tiba-tiba ia ditemui oleh seorang laki-laki, lalu melarangnya keluar. Maka saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, pergilah engkau ke kebunmu itu untuk memetik buah kurma itu, mudah-mudahan engkau bersedekah dengan buah kurma itu dan lakukanlah sesuatu yang baik menurutmu.” (HR.al-Nasa’i dan Abu Dawud).
Dalam riwayat Mujahid, dikatakan bahwa beberapa orang laki-laki mati syahid ketika perang Uhud. Lalu istri-istri mereka mendatangi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW ditanya apakah mereka dibolehkan keluar malam ini. Ia menjawab “silakan kalian semua (yang ditinggal oleh kematian suaminya itu) berkumpul bersama di malam hari dan apabila telah mengantuk, maka kembalilah ke rumah masing-masing. (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, al-Nasa`i, al-Timidzi dan Ibnu Majah).[34] Alasan yang lain adalah firman Allah dalam Surat al-Thalâq (65) ayat 1 yang artinya; “...Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diijinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan keji yang terang...”.
Persoalannya kemudian, bagaimana dengan perempuan yang ber’iddah wafat? Tampaknya, larangan keluar rumah bagi perempuan yang ber’iddah wafat, tidak dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur’an. Ketentuan ini didapat dari hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari beberapa jalur, bahwa Nabi bersabda kepada Furai’ah binti Malik bin Sanan yang ditinggal mati suaminya; umkutsî fiy baitiki hattâ yablugha al-kitâb ajalah. Kemudian Furai’ah menjalani ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari.[35]
Namun, Imam Dawud menyangkal dengan menyatakan bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak wajib ber’iddah di rumahnya. Ia boleh ber’iddah di tempat mana saja yang disukai karena kewajiban menempati tempat tinggal yang terdapat dalam al-Qur`an hanya berlaku bagi perempuan muthallaqah. Ulama yang mendukung pendapat ini mengatakan bahwa hadits riwayat Malik tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang perempuan yang tidak populer (ghair ma’rufah) di kalangan para perawi hadits. Ini artinya, hadits yang dijadikan dasar pelarangan keluar rumah bagi perempuan yang ber’iddah wafat, derajat keshahihannya belum disepakati oleh seluruh ulama. Jauh sebelum Dawud, pendapat ini konon pernah dikemukakan oleh Ali, Ibnu Abbas, Jabir, dan ‘Aisyah. Kecuali itu, ada riwayat dari Ma’mar bahwa ‘Aisyah pernah keluar rumah, melakukan umrah ke Mekah pada saat ditinggal mati suaminya, Thalhah ibn ‘Ubaidillah.[36]
Ketiga, al-mu’taddah berkewajiban untuk ihdâd. Bagian yang ketiga akan dijelaskan secara agak detail pada bagian berikut.
Ihdâd: Pengertian dan Dasar Hukum
Secara etimologis, ihdâd atau juga disebut hidâd berarti mencegah [imtinâ’] dari memakai perhiasan. Dalam vocabulary Arab, ihdâd berarti keadaan perempuan yang tidak menghias dirinya sebagai tanda perasaan berkabung atas kematian suaminya atau keluarganya. [37] Kalau bagi selain suami, ihdâd hanya dilakukan sampai masa tiga hari. Dalam ajaran fikih konvensional, ihdâd hanya berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya, dan tidak berlaku terhadap suami yang ditinggal mati istrinya. Ihdâd juga tidak dapat dikenakan kepada istri yang ditalak raj’i dan talak bâ`in.[38]
Ihdâd, dalam kitab-kitab kuning, selalu dinyatakan wajib dilakukan bagi istri yang suaminya wafat dengan tujuan menyempurnakan penghormatan terhadap suami dan memelihara haknya.[39] Ihdâd disyari’atkan dalam ajaran Islam berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat al-Thalâq (65) ayat 1: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah, Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang”. Selain itu, ihdâd juga didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “seorang perempuan tidak boleh melakukan ihdâd lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka ia melakukan ihdâd selama empat bulan sepuluh hari…” (HR. al-Jama’ah kecuali al-Tirmidzi). [40]
Dalam hadits Ummi Salamah dikatakan: “Terhadap perempuan yang ditinggal mati suaminya, janganlah ia memakai pakaian yang dicelup, jangan memakai perhiasan, jangan memakai pewarna wajah, dan jangan bercelak” (HR. Ahmad ibn Hanbal, Abu Dawud, dan al-Nasa`i). Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang berasal dari Ummu ‘Athiyah juga berisi larangan yang sama dengan hal di atas. Dinyatakan bahwa jika seorang istri yang ditinggal wafat suaminya mengetahui bahwa ihdâd wajib dilakukan selama masa ‘iddah, namun ia tidak melakukannya, maka tindakannya termasuk mendurhakai Allah.[41]
Menurut kitab-kitab fikih konvensional, perempuan yang ditinggal mati oleh suami atau keluarganya diharuskan melakukan ihdâd dengan cara menjauhi hal-hal berikut: [1] memakai perhiasan cincin atau perak. Larangan ini diakui oleh ahli fikih pada umumnya, kecuali menurut sebagian madzhab Syafi’i; [2] memakai pakaian yang terbuat dari sutera berwarna putih; [3] memakai pakaian yang berbau wangi; [4] memakai pakaian yang dicelup dengan warna mencolak, misalnya warna merah atau kuning. Pada umumnya ahli fikih menyatakan bahwa perempuan tersebut boleh memakai pakaian yang berwarna hitam. Akan tetapi, menurut madzhab Maliki, pakaian yang berwarna hitam pun tidak boleh dipakai kecuali jika di kalangan masyarakatnya warna hitam dipandang untuk mempercantik diri; [5] memakai wewangian (parfum) pada tubuhnya, kecuali untuk keperluan menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya sehabis haid. Bahkan, madzhab Maliki berpendapat bahwa perempuan yang sedang melakukan ihdâd tidak boleh melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan wewangian, misalnya menjadi pembuat atau pedagang minyak wangi; [6] meminyaki rambut, baik minyak yang mengandung wewangian maupun tidak mengandung wewangian; [7] memakai celak, karena hal itu akan memperindah mata. Menurut ahli fikih, jika bercelak untuk keperluan pengobatan boleh dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari tetap tidak dibenarkan; [8] mewarnai kuku dengan inai dan semua yang berkaitan dengan pewarnaan wajah. Seluruh larangan ini didasarkan kepada hadits riwayat Bukhari dan Muslim ditambah dengan hadits al-Nasa`i dan Ahmad ibn Hanbal.[42]
Di samping itu, larangan lain dalam ihdâd adalah larangan untuk keluar rumah, kecuali untuk keperluan tertentu dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar, seperti mencari nafkah. Larangan keluar rumah ini juga didasarkan pada firman Allah SWT pada Surat al-Thalâq (65) ayat 1 tersebut di atas.
Adanya perbedaan pendapat ulama mengenai tata cara melakukan ihdâd di atas, seperti tentang jenis dan warna pakaian yang boleh dipakai perempuan berkabung, disebabkan karena adanya perbedaan pandangan mengenai hal-hal yang dapat dianggap mempercantik diri dan menjadi daya tarik perempuan. Hadits-hadits yang ada hanya menyebutkan hal-hal yang dipandang dapat mempercantik diri pada masa Rasulullah SAW. Sesungguhnya, hal ini berkaitan erat dengan penilaian dan adat istiadat (‘uruf) yang berkembang pada setiap masyarakat.
Para ahli fikih sepakat bahwa perempuan yang wajib melakukan ihdâd karena kematian suaminya adalah perempuan yang beragama Islam, baligh, merdeka, atau budak, dan melakukan perkawinan yang sah dengan suaminya yang wafat itu. Akan tetapi, para ahli fikih berbeda pendapat mengenai kewajiban melakukan ihdâd bagi istri yang masih kecil (shaghirah), atau istri yang beragama Yahudi dan Nashrani (perempuan kitâbiyyah; ahlu al-kitâb).
Fuqahâ` dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa istri yang masih kecil (belum baligh) tidak wajib melakukan ihdâd, karena ia tidak mukallaf. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan Maliki, istri yang masih kecil wajib melakukan ihdâd juga, karena ia tetap berstatus sebagai istri. Sementara itu, mengenai perempuan kitâbiyyah dan dzimmiyah, madzhab Hanafi berpendapat bahwa perempuan tersebut tidak wajib melakukan ihdâd, sebagaimana shaghirah, karena tidak mukallaf. Sedangkan menurut madzhab Maliki, ia wajib melakukannya karena perempuan kitâbiyyah dan dzimmiyah yang melakukan perkawinan dengan laki-laki muslim memiliki hak yang sama dengan hak-hak perempuan yang beragama Islam.[43] Perempuan yang dinikahi dengan nikah fâsid (pernikahan yang salah satu syaratnya tidak terpenuhi) tidak wajib melakukan ihdâd.
Berseberangan dengan pendapat para ahli fikih pada umumnya, kalangan madzhab Hanafi mewajibkan ihdâd kepada istri yang menjalani masa ‘iddah setelah dijatuhi talak tiga oleh suaminya.[44] Sedangkan ahli fikih lainnya berpendapat bahwa hukumnya hanya sunnah. Madzhab Hanafi memandangnya wajib karena perbuatan itu merupakan ungkapan rasa berduka atas hilangnya karunia Allah SWT. dalam bentuk perkawinan dari diri istri. Karena itu, kewajiban melaksanakan ihdâd, juga berlaku terhadap perempuan tersebut. Dalam hal ini, madzhab Hanafi menyamakan kedudukannya dengan istri yang suaminya wafat.[45] Berbeda dengan Hanafi, madzhab Ja’fariy menyatakan bahwa hanya perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya yang dikenakan kewajiban untuk ihdâd. Pasalnya, dalam kasus ini sudah tidak bermakna lagi adanya masa “berkabung” tersebut. Karena, suami melakukan talak dengan ikhtiyâr. [46]
Lebih lanjut, fuqahâ` lainnya berpendapat bahwa ihdâd bagi perempuan seperti itu tidak wajib, karena ia masih memiliki kemungkinan untuk kawin lagi dengan suaminya itu, jika terlebih dahulu ia kawin dengan laki-laki lain yang kemudian menceraikannya. Di samping itu, ia juga memiliki masa ‘iddah yang sama dengan istri yang dijatuhi talak raj’i. Sedangkan anjuran untuk melakukan ihdâd selama masa ‘iddah talak bâ`in hanya dimaksudkan untuk menghindarkan dirinya dari fitnah yang mungkin muncul jika ia berhias diri.
Para ahli fikih sepakat bahwa perempuan yang menjalani masa ‘iddah talak raj’i tidak wajib melakukan ihdâd, karena selama berada dalam masa ‘iddah ini pada hakikatnya ia masih berada dalam status perkawinan.[47] Karenanya, ia berhak untuk menghias diri, bahkan hal tersebut dianjurkan kepadanya dengan tujuan agar suaminya tertarik untuk melakukan rujû’.[48]
Fiqh yang Berlandaskan Etik-Moral
Dengan memfokuskan perhatian pada sudut pandang fikih semata, paparan-paparan normatif tentang ‘iddah dan ihdâd di atas kiranya tidak ada persoalan berarti. Bahkan, itu mungkin akan terus memperteguh dan mengutuhkan kecenderungan tekstualisme seperti yang selama ini mencoraki alam pikiran umat. Namun, dilihat dari perspektif keadilan relasi lelaki-perempuan [gender relation] dan ditambah dengan perkembangan tehnologi yang semakin canggih (sophisticated technology), maka paradigma tekstualisme tersebut agaknya tidak cukup memadai. Oleh karena itu, harus ada pertimbangan lain yang bukan semata-mata teks-nash.
Dalam kerangka itu, tampaknya perlu ada beberapa hal yang menarik untuk dipertanyakan disekitar ‘iddah dan ihdâd ini. Pertama, mengapa ‘iddah hanya dikenakan pada perempuan, dan tidak pada laki-laki? Untuk menjawab pertanyaan ini tidak begiru sulit, kalau kita telah menerima secara taken for granted penjelasan fiqh bahwa ‘iddah disyari’atkan dengan alasan pokok (‘illat al-hukm) untuk mengetahui kondisi terakhir rahim perempuan. Karena yang punya rahim hanya perempuan, sementara laki-laki tidak, maka normal dan rasional saja jika ‘iddah hanya dapat dibebankan pada perempuan. Dengan menggunakan logika ini, maka penerapan ‘iddah bagi laki-laki bukan saja tidak tepat, melainkan juga tidak realistis.
Akan tetapi, berargumen bahwa ‘iddah diundangkan untuk mengetahui kondisi terakhir rahim perempuan agaknya tidak bisa dipertahankan lagi. Sebab, dengan kecanggihan tehnologi modern sekarang, pelacakan terhadap bagian terdalam rahim seorang perempuan bukanlah sesuatu yang sulit lagi untuk dilakukan. Tehnologi sudah dapat mendeteksi dengan sangat akurat dan valid tentang ada dan tidak adanya bibit atau benih dalam rahim perempuan. Jaminan akurat dari tehnologi ini terus terang membuat kelompok agamawan ortodoks-tradisional khawatir terhadap kemungkinan ditanggalkannya ketentuan ‘iddah ini.
Dengan latar tersebut, dalam perkembangan berikutnya, kelompok tekstualis ini mulai menolak keberadaan ‘illat hukum dari ketentuan ‘iddah. Sebagai argumen pengganti, dihadirkanlah teori lain yang mengatakan bahwa alasan utama ‘iddah bukan untuk ma’rîfah barâ`ah al-rahim (mengetahui keadaan rahim), melainkan lebih karena tuntutan teks ajaran agama. Menurut mereka, meminjam bahasa ushûl al-fiqh, ‘iddah disyari’atkan tidak mengandung ‘illat apapun. Dengan mengikuti ketegorisasi hukum dalam ushul fiqh, ‘iddah termasuk ke dalam hukum ghayr al-ma’qûlat al-ma’nâ, sebuah ketentuan hukum yang harus diimani dan dilaksanakan oleh mukallaf tanpa perlu mempertanyakan apalagi menggugatnya.[49] Berangkat dari logika ini, kalaulah ‘iddah memuat hal-hal yang rasional, maka ia tetap tidak diakui sebagai ‘illat hukum, melainkan sebagai hikmah al-hukm. Dalam ushûl al-fiqh syafi’iyyah, hukum tidak bertumpu pada hikmah melainkan pada illat.
Jika mau dilacak secara agak dalam, sejatinya terdapat aturan dalam al-Qur`an bahwa lelaki harus menanggung beban material dari pernikahan dan perceraian. Beban itu adalah pemberian nafkah oleh suami untuk istri dalam masa pernikahan atau mut’ah--bedakan dengan nikah mut’ah--bagi istri yang baru diceraikan selama masa ‘iddah. Allah SWT. berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2, “Kepada perempuan-perempuan yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa”. [50]
Para ulama sepakat bahwa wanita yang berada dalam ‘iddah talak raj’i berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal (al-suknâ) dari suami yang menceraikannya. Begitu juga, mereka sepakat bahwa wanita hamil yang dicerai suaminya (baik talak raj’i maupun talak ba`in) berhak untuk mendapatkan nafkah dan tempat tinggal hingga melahirkan.[51] Allah SWT. berfirman (65:6), “Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin…”. Allah SWT. berfirman Selanjutnya, Allah SWT juga berfirman (65:6), “….Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin..”.
Namun, dalam realitasnya, wacana yang berkembang di kalangan umat Islam justru bukan masalah nafkah yang harus ditunaikan oleh “bekas” suami, melainkan kewajiban ‘iddah yang mesti dijalankan oleh “mantan” istri. Sangat terasa bahwa ketentuan ‘iddah yang dalam praktiknya telah dipahami sebagai beban dan urusan istri (perempuan) telah memperoleh perhatian yang jauh lebih serius baik dari sudut teoritisnya maupun pengawasan dan pelaksanaannya di lapangan ketimbang urusan nafkah yang pada dasarnya merupakan kewajiban lelaki (suami)--juga baik dari sudut teoritisnya maupun aplikatifnya.[52]
Sesungguhnyalah, di samping untuk mengetahui tentang positif dan negatifnya rahim, sesuai dengan struktur masyarakat Arab yang patriarkhal, ‘iddah pada saat diturunkannya telah berfungsi secara efektif sebagai upaya minimal untuk melindungi hak-hak perempuan pasca-perceraian dan kematian. Dalam batas waktu ‘iddah itu, perempuan masih berhak untuk mendapat perlindungan ekonomi dan perlindungan sosial. Perlindungan ini misalnya terlihat dari desakan al-Qur`an pada suami untuk membuat wasiat khusus sebelum meninggal dunia untuk mempertahankan istrinya di dalam rumahnya paling tidak selama satu tahun dan untuk nafkah hidupnya.
Allah SWT. berfirman (2:240), “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya. Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka”.[53] Dengan demikian, jika ayat ini dibaca dalam perspektif sosial yang berlaku pada saat itu, maka akan terlihat bahwa perlindungan khusus diambil untuk melindungi hak-hak perempuan yang waktu itu banyak yang terampas.
Bahkan, jika berpedoman pada konteks masyarakat Arab dalam era pra-Islam dan awal Islam, perlindungan semacam ini jelas sangat signifikan, karena dua hal. Pertama, pada masa itu secara kultural perempuan memang tidak memperoleh hak apapun. Kedua, dalam fakta obyektif dan realitas empiriknya, tidak banyak dijumpai (kecuali hanya sedikit saja) perempuan yang bekerja untuk mencari nafkah. Pada saat itu, secara ekonomis dan sosial istri memang berada dalam tanggung jawab suaminya. Dengan demikian, apa yang akan terjadi jika tidak ada prakondisi, misalnya dengan tersedianya waktu tertentu (‘iddah) untuk mencadangkan diri memasuki kehidupan mandiri, setelah terjadi perceraian.[54]
Dalam kondisi demikian, ‘iddah menjadi sangat dibutuhkan untuk menunjang masa transisional perempuan tersebut (muthallaqah atau al-mutawaffa ‘anha zawjuhâ). Dengan pengertian seperti ini, konsep ‘iddah pada mulanya jelas sebuah lompatan radikal dari Nabi Muhammad SAW, setidaknya karena dua hal. Pertama, untuk menggantikan cara-cara beriddah sekaligus berihdad yang di luar batas kewajaran--seperti telah dijelaskan sebelumnya--pada cara yang lebih berperikemanusiaan. Kedua, agar setelah diceraikan, perempuan tidak segera tercampakkan dan kehilangan hak-haknya.
Di samping pertimbangan-pertimbangan di atas, pertimbangan lain yang bisa diajukan seputar disyari’atkannya ‘iddah dan ihdâd adalah pertimbangan etis-moral. Dengan pertimbangan ini, walaupun dengan perkembangan teknologi modern yang dengan cermat keadaan rahim bisa diketahui melalui tes urine, misalnya, ‘iddah tetap harus dijalankan. Pertimbangan etik-moral dimaksud tentunya berbeda-beda aksentuasinya dari kasus per kasus, seiring dengan keberagaman latar belakang dan motivasi yang menyertai terjadinya perceraian.
Pertama, dalam kasus perceraian karena suami meninggal. Pada bagian ini, ‘iddah di samping untuk tujuan memperjelas status genetika juga dimaksudkan sebagai pernyataan sikap berkabung (ihdâd). Tentu saja, berkabung yang perlu dijalani istri tidak boleh dijalani dengan cara-cara yang tidak manusiawi, seperti yang telah ditampilkan masyarakat Arab jahiliyyah yang melarang perempuan mu’taddah untuk menyisir rambut, memotong kuku, dan sebagainya. Dengan demikian, selama masa ‘iddahnya (4 bulan 10 hari), di samping perempuan tersebut harus membiarkan rahimnya tidak menampung benih baru, yang bersangkutan juga diminta untuk tidak mengekspresikan satu sikap yang mengesankan bahwa dirinya tidak sedang tertimpa musibah.
Dalam bingkai pemikiran ini, boleh jadi prinsip yang diletakkan dalam ihdâd ini tidak untuk berkabung atas meninggalnya mendiang suami atau keluarga. Sebab, tanpa dikondisikan pun seorang istri atau suami yang ditinggal pasangan yang sangat mencintai dan menyayanginya tentu akan berkabung, bahkan bisa hingga beberapa tahun. Dengan demikian, ihdâd adalah kriteria kepantasan bagi mereka yang baru ditimpa musibah kematian. Karena itu, maka baik istri maupun suami mesti menjaga takaran kepantasan tersebut dengan tidak menunjukkan kepada publik suatu cita rasa bahagia dan senang dengan kematian mitra hidupnya itu.[55]
Kedua, dalam kasus talak raj’i. Dalam tataran ini, fungsi ‘iddah di samping untuk kerangka kejelasan genetika juga untuk membuka kesempatan selebar-lebarnya khusus kepada mereka berdua (suami-istri) untuk segera kembali sebagai suami istri. Sejatinya, kewajiban memberikan nafkah atas suami terhadap istri yang dicerainya, terutama dalam talak raj’i, merupakan cara lain untuk menggiring suami-istri tersebut ke arah perdamaian (rekonsiliasi). Suami tetap dibebani tanggung jawab nafkah sekalipun ia tidak memperoleh haknya secara penuh. Sebaliknya, wanita menerima pemberian itu agar tidak mudah larut dalam godaan lelaki lain. Ujungnya, diharapkan agar alternatif utama yang menjadi pilihan mereka adalah ruju’, bersatu kembali dalam rumah keluarga.
Ini paralel dengan dambaan Islam agar sekali pernikahan dilangsungkan maka harus diusahakan dengan sekuat tenaga untuk tidak cerai, karena Allah akan sangat marah. Nabi bersabda, abghadl al-halâl ‘inda Allah al-thalâq.[56] Artinya, pernikahan yang dalam al-Qur`an digambarkan sebagai perjanjian yang kukuh (mitsâqan ghalidhan) tidak bisa dianggap remeh dan tidak boleh diputuskan kecuali dalam keadaan yang luar biasa.[57] Namun, kalaulah perceraian tidak juga bisa dihindari, Islam masih memberikan kesempatan (‘iddah) agar keduanya bisa kembali lagi menyatu dalam bangunan rumah tangga. Selama masa penantian itu, perempuan tersebut (muthallaqah) dilarang menjalin pernikahan, baik secara tashrîh (terang-terangan) maupun ta’rîdl (misalnya dengan sindiran) dengan lelaki lain.
Dengan ketentuan ‘iddah ini, sesungguhnya Islam mengharapkan mereka berdua untuk kembali sebagai suami istri. Jika kedua belah pihak telah sepakat untuk ruju’ kembali, maka tidak ada seseorang yang bisa melarangnya hingga orang tua (wali) yang bersangkutan sekalipun. Dan Islam tidak mempersulit aturan tehnikalnya; tidak perlu mahar (maskawin), tidak perlu menghadirkan saksi, dan apalagi seorang wali. Pihak lelaki (suami) cukup mengemukakan komitmennya untuk kembali, dengan mengatakan “sekarang saya kembali ke pangkuanmu”, raja’tuki.
Walaupun demikian, Islam masih memberikan persyaratan bahwa jika sang suami sudah memutuskan untuk merujukinya, maka dia tidak boleh melakukannya dengan maksud menimbulkan kemudaratan bagi istrinya, baik fisik maupun mental, tetapi untuk menggaulinya dengan cara yang baik.[58]Allah SWT. berfirman (2:231), “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir ‘iddah-nya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf pula. Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan…”.
Selanjutnya, setelah masa ‘iddahnya habis, sementara rekonsiliasi (ruju’) sudah tidak dimungkinkan lagi, maka istri tersebut harus dilepaskan dengan cara yang baik. Dan jika akhirnya ia diceraikan, maka dua orang harus dihadirkan sebagai saksi.[59] Para saksi ini harus saleh, jujur, dan memiliki komitmen kuat untuk melindungi kepentingan pihak yang lemah, yang biasanya adalah pihak isteri. Sepanjang sejarah kemanusiaan, perempuan selalu berada pada posisi periferal, tertindas, dan dirugikan.
Akhirnya, dalam kaitan ini, ingin saya katakan tentang perlunya reformasi dari fiqh legal-formal yang bersifat partikular (juz’iy) semata kepada fiqh yang bersendikan etis-moral yang bersifat universal. Fiqh yang legal formal harus senantiasa berada dalam sinaran dan kontrol etik-moral. Dengan langgam seperti ini, fiqh tidak akan pernah kerontang dari spirit-ruhaniyahnya dalam merespon tantangan zaman. Sekarang, ikhtiar dalam memikirkan konstruksi fiqh baru yang lebih komit kepada nilai-nilai moralitas kolektif, demokratif, dan aplikatif sudah layak dilakukan.
Penulis: Abd Moqsith Ghazali
Editor: Faqihuddin Abdul Kodir
Referensi
ref
- ↑ Hal ini diisyaratkan dalam al-Qur`an (49:13), “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
- ↑ Salah satu indikator tentang kerendahan posisi perempuan dalam pandangan masyarakat Arab jahiliyah, dapat dilihat dari ungkapan Umar ibn Khathab, “kami dahulu sama sekali tidak mempedulikan perempuan. Namun, ketika Islam datang dan Tuhan telah menyebut mereka dalam al-Qur`an, kami baru tahu bahwa mereka juga memiliki hak yang tidak bisa dicampuri oleh kami”.
- ↑ Armahedi Mahzar, “Wanita dan Islam: Satu Pengantar untuk Tiga Buku”, dalam Mazhar ul-Haq Khan, Wanita Islam Korban Patologi Sosial, Bandung: Penerbit Pustaka, 1994.
- ↑ Al-Qur`an merekam pandangan mereka mulai dari yang paling ringan yaitu bermuka masam jika disampaikan tentang kelahiran anak perempuan (QS, 16:58) sampai kepada yang paling parah yaitu membunuh bayi-bayi perempuan (QS, 81:9).
- ↑ Al-Qur`an tidak menggunakan kata mahar melainkan kata shaduqah bagi “maskawin” perempuan. Secara generik, shaduqah yang berasal dari kata shadaqa berarti kejujuran, ketulusan, dan hadiah yang diberikan sebagai amal saleh, dan bukan untuk mempertunjukkan status sosial atau finansial seseorang. Lihat Louis Ma’luf, al-Munjid fiy al-Lughat wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986, hlm. 419-420. Dengan ini akan terlihat bahwa menurut konsep Islam, calon suami harus membayar kepada calon istri sejumlah nilai materi tertentu sebagai tanda cinta, kesungguhan, dan ketulusannya. Kata lain yang juga dipakai untuk kata maskawin ini adalah nihlah. Menurut al-Raghib, nihlah berarti sesuatu yang diberikan tanpa mengharapkan imbalan, melainkan karena dorongan cinta dan penghormatan. Lihat Al-Ishfahaniy Al-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfadzh al-Qur`an, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 485.
- ↑ Memang terdapat kontroversi tentang apakah pada masa jahiliyah ada masa ‘iddah setelah terjadi perceraian. Sebagian peneliti ada yang mengatakan ada, dan sebagian yang lain mengatakan tidak ada. Mereka yang berpendapat terakhir mengatakan bahwa seorang perempuan yang telah dicerai di mana ia dalam keadaan hamil, bisa langsung melakukan pernikahan dengan laki-laki lain, dan melahirkan di rumah suaminya yang baru tersebut. Sedangkan anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak suaminya yang baru, walaupun ia hamil karena suaminya terdahulu. Menurut mereka, Islamlah yang menetapkan adanya ‘iddah. Baca Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, (Terjemahan Farid Wajidi dan Cici Farcha Assegaf), Yogyakarta: LSPPA, 1997
- ↑ Syah Waliyullah al-Dihlawiy, Hujjah Allah al-Balighah, (Beirut: Dar Ihya` al-Ulum), Tanpa Tahun, Jilid II, hlm. 377.
- ↑ Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy, al-Umm, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, Juz V, hlm. 247.
- ↑ Lihat al-Qurthubiy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an, Kairo: 1969, Juz II, hlm. 194. Bandingkan dengan Masdar F. Mas’udi, Ihdâd dan ‘iddah dalam Kehidupan Umat yang Berubah, Makalah tidak diterbitkan, disampaikan dalam seminar tentang “Implikasi Transformasi Global terhadap Konsep ‘iddah”, Lis-Sakinah, Situbondo 27 Pebruari 1997.
- ↑ Baca Ibnu ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Jilid III, hlm. 502. Lihat juga, Muhammad Husain al-Dzahabiy. al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah, Mesir: Dar al-Kutub al-Hadtsah, 1968, hlm. 357. Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaily. al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 1996, Juz VII, hlmm. 624.