Dokumen Resmi Proses dan Hasil Kongres Ulama Perempuan Indonesia
Proyeksi Masa Depan Ulama Perempuan Indonesia; Kumpulan Tulisan Refleksi Tentang Kongres Ulama Perempuan Indonesia 25-27 April 2017 M/28-30 Rajab 1438 H
Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon Jawa Barat
Alhamdulillah, setelah berproses sekitar satu bulan lebih, akhirnya buku yang ada di tangan pembaca ini bisa selesai. Buku ini merupakan kumpulan refleksi yang ditulis oleh berbagai kalangan, baik yang terlibat langsung dalam kegiatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) maupun tidak. Dalam posisi sebagai panitia, peserta, pengamat maupun relawan. Tulisan ini juga diperoleh secara langsung dari penulisnya, maupun didapat dari media sosial facebook, grup WhatsApp atau refleksi penulis yang dituangkan dalam website/blog. Oleh karena itu terdapat beberapa tulisan yang sangat pendek hanya beberapa paragraph, juga ada yang mengungkapkannya dalam bentuk puisi.
Kumpulan refleksi ini penting untuk dibukukan sebagai sebuah ikhtiar mendokumentasikan seluruh pikiran dan curahan hati dari semua yang terlibat dalam proses KUPI. Sehingga di kemudian hari bisa memberi manfaat bagi generasi pelanjut. Di samping itu, pendokumentasian ini bisa menjadi salah satu alat evaluasi jika kegiatan serupa dilaksanakan di masa mendatang. Dengan mengacu pada dokumentasi ini, diharapkan kegiatan serupa terlaksana dengan lebih baik lagi. Pendokumentasian ini juga diharapkan memberi manfaat bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan waktu atau berhalangan hadir dalam kegiatan KUPI. Dengan membaca buku ini, mereka bisa memahami dinamika yang terjadi selama kongres berlangsung.
Karena merupakan kumpulan refleksi, maka pembaca akan mendapati tulisan yang mungkin berulang. Satu bahasan, ditulis oleh beberapa orang. Ada juga beberapa orang menulis beberapa kali (momen yang berbeda). Kesemuanya itu pada akhirnya akan menghantarkan pembaca pada satu pemahaman atau penggambaran kegiatan KUPI secara utuh. Karena dalam buku ini, para penulis menyampaikan refleksinya mulai dari persiapan, pelaksanaan/dinamika yang terjadi dalam pelaksanaan KUPI hingga sesudah pelaksanaan KUPI bahkan beberapa penulis menyampaikan kronologis atau sejarah panjang kenapa KUPI ini bisa terselenggara.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) telah selesai diselenggarakan.
Tepatnya, dilaksanakan pada 25-27 April 2017 di Pondok Pesantren Kebon
Jambu al-Islamy Cirebon. Kongres yang pertama kali di Indonesia ini hadir
sebagai penegasan eksistensi ulama perempuan Indonesia dan perluasan peran
dan kiprahnya di masyarakat. KUPI menjadi media sosial dan kultural bagi para
ulama perempuan Indonesia untuk membangun pengetahuan, saling belajar dan
berbagi pengalaman, sekaligus meneguhkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan
dan kemanusiaan.
KUPI telah menjadi ruang perjumpaan antarulama perempuan dari
beragam latar lembaga pendidikan dan organisasi, sekaligus ruang perjumpaan
antara ulama perempuan dengan para aktivis pemberdayaan perempuan, korban
ketidakadilan, pakar, praktisi, representasi lembaga negara, dan pejabat
pemerintahan. Ruang perjumpaan itu meliputi fisik (sebagian besar peserta
bertemu teman lama di KUPI), visi, pemikiran, jejak perjuangan, serta
pengalaman para peserta yang beragam tetapi sangat terlihat jelas benang
merahnya. Sifat KUPI yang non-partisan, inklusif, partisipatoris, serta lintas
organisasi, latar belakang, dan generasi telah menjadikan ruang perjumpaan
yang terjadi benar-benar menjadi ruang bersama yang hasilnya kemudian juga
menjadi milik bersama.
Dalam keseluruhan proses dan rangkaian kegiatan KUPI, dapat dinyatakan
bahwa gerak langkah KUPI merupakan konvergensi dari gerakan intelektual,
kultural, sosial, dan spiritual sekaligus. Serangkaian kegiatan pra-Kongres hingga
acara-acara pada saat Kongres dan cara kerja penyelenggara menunjukkan
adanya konvergensi tersebut.
Kegiatan-kegiatan pra-Kongres meliputi lomba penulisan profil ulama
perempuan, workshop pra-Kongres di tiga kawasan Indonesia (di Yogyakarta
pada Oktober 2016; Padang pada November 2016; dan Makassar pada Februari
2017), serta halaqah pra-Kongres yang membahas materi-materi KUPI dan
metodologi musyawarah keagamaan (2-6 April 2017 di Jakarta).
Pada hari pertama perhelatan KUPI, tanggal 25 April 2017, pagi hingga
sore hari, bertempat di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, diselenggarakan Seminar
Internasional Ulama Perempuan dengan menghadirkan narasumber dari 7
negara muslim dan peserta nasional dan internasional lebih dari 250 orang.
Melebihi kapasitas tempat yang tersedia.
Seluruh acara ini mempertemukan pengetahuan keagamaan ulama
perempuan dengan fakta, data, dan pengalaman lapangan aktivis (pendamping,
organizer, pengada layanan) serta pengalaman hidup korban ketidakadilan.
Dalam semua kegiatan tersebut pertemuan dan dialektika teks dengan konteks
dan realitas juga terjadi.
Di hari yang sama, 25 April 2017, dari pagi hingga sore hari, sebelum acara
pembukaan malam hari, bertempat di Pesantren Kebon Jambu, diadakan
khataman al-Qur’an, sosialisasi kesehatan reproduksi khususnya mengenai test
4
papsmear dan IVA, dan silaturahim ulama perempuan. Sehari sebelum Kongres,
24 April, diadakan kegiatan khitanan masal untuk masyarakat sekitar Pesantren.
Selama tiga hari Kongres berlangsung, 25-27 April, juga disediakan pemeriksaan
test papsmear dan pelayanan kesehatan.
Saat KUPI berlangung, dukungan besar keluarga besar Pesantren se-
Babakan dan masyarakat sekitar sangat kentara. Di antaranya, pesantrenpesantren
di Babakan menjadi tempat penginapan sebagian peserta dan
pengamat. Serta doa-doa dan dzikir yang terus dipanjatkan oleh komunitas
pesantren selama Kongres berlangsung.
Semua ini menunjukkan bahwa KUPI adalah kegiatan yang menyelaraskan
gerakan intelektual dengan kerja-kerja sosial, aktivitas kultural, dan spiritual
yang mengakar dan membumi dengan nilai-nilai kearifan lokal. Konvergensi
gerakan intelektual, sosial, kultural, dan spiritual juga tampak dalam rangkaian
acara KUPI, mulai dari pembukaan, seminar nasional, diskusi paralel 9 tema,
musyawarah keagamaan, launching buku, malam kultural, hingga penutupan.
KUPI merupakan perwujudan dari cita-cita bersama ketiga lembaga
penyelenggara yang mimpi dan kerja-kerja perintisannya sudah dimulai sejak 15
tahun sebelumnya. KUPI menjadi titik kulminasi antara (bukan puncak) dari citacita
individu dan komunitas untuk memperteguh keulamaan perempuan, baik
eksistensi maupun perannya bagi Islam, Indonesia, dan kemanusiaan. Kesamaan
cita-cita dan nilai-nilai yang diyakini lembaga-lembaga tersebut telah
bermetamorfosis menjadi karakter kolektif yang terus menjiwai dan memayungi
seluruh proses penyelenggaraan KUPI. Kejuangan, keikhlasan, kesukarelawanan,
kesetaraan, kegotongroyongan, kebersamaan, dan keterbukaan begitu nyata
adanya dalam seluruh proses penyelenggaraan KUPI.
Semakin mendekati Kongres karakter kolektif itu semakin kuat dan lekat.
Begitu juga kesalingan (mubaadalah/resiprokal) yang menjadi metode
penafsiran teks-teks agama yang dipilih KUPI, terimplementasikan secara
konkret dalam kerja-kerja kepanitiaan; saling memberi jalan, saling mendukung,
saling mengisi, saling memahami, saling menguatkan, saling mengapresiasi,
saling menerima, saling mengendalikan diri, serta saling berlapang dada. Yang
tidak pernah terjadi adalah saling sikut, saling telikung, saling potong, atau saling
berebut panggung. Bahkan saling menyalahkan pun tidak pernah terjadi,
meskipun kesalahan benar-benar terjadi. Karakter kolektif yang berangkat dari
kesadaran dan kesabaran yang selalu dijaga bersama-sama oleh jiwa-jiwa yang
dipersatukan Allah dalam kesamaan mimpi dan cita-cita inilah yang menjiwai
KUPI. Subhaanallaah !
KUPI memang baru pertama kali diselenggarakan. Meski demikian, KUPI
tidak membuat sesuatu yang sama sekali “baru”. Sebab, perempuan ulama dan
ulama perempuan di Indonesia adalah sebuah entitas yang nyata adanya, serta
nyata dedikasi dan kontribusinya dalam sejarah Islam dan sejarah nasional
Indonesia. Sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam, zaman penjajahan, zaman
pergerakan dan perjuangan kemerdekaan, hingga zaman kemerdekaan sampai
sekarang, peran ulama perempuan sebagaimana ulama laki-laki sangat nyata dan
signifikan, namun sangat minim pengakuan dan tidak banyak ditulis dalam
5
historiografi kita. KUPI hadir untuk mengkonfirmasi, mengafirmasi,
mengapresiasi, dan mengkonsolidasikan khidmah-khidmah pengabdian ulama
perempuan yang sudah ada dan nyata di Indonesia itu sebagai bagian tak
terpisahkan dari kekuatan Islam dan bangsa Indonesia dalam membangun umat,
bangsa, dan kemanusiaan.
Historisitas KUPI, urgensi peneguhan keulamaan perempuan dalam rangka
peneguhan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan pada masa kini
dan mendatang inilah tampaknya yang menjadi sebab penting mengapa KUPI
menarik minat ulama perempuan dari beragam latar belakang untuk
mendaftarkan diri menjadi peserta. Selain minat para pemerhati dan peneliti,
baik dalam maupun luar negeri.
Inisiatif aktif dan semangat keswadayaan para ulama perempuan yang
telah memiliki kiprah nyata untuk menjadi peserta telah menjadikan KUPI
memiliki legitimasi yang mengakar ke dalam. Legitimasi berikutnya adalah peran
aktif dan kontribusi yang bermakna dari peserta KUPI dalam setiap forum
perjumpaan pengetahuan dan pengalaman. Mulai dari seminar internasional,
dialog nasional, diskusi paralel, hingga musyawarah keagamaan, para ulama
perempuan bersama para aktivis, pakar, dan akademisi dari beragam disiplin
ilmu membahas berbagai tema yang terkait dengan keulamaan perempuan serta
problematika kontemporer yang dihadapi umat, masyarakat, dan bangsa
Indonesia. Peran aktif dan kontributif ini terjadi karena tema-tema yang dibahas
memberikan perspektif baru tentang keulamaan perempuan, mulai dari
eksistensi, peran, tantangan, strategi dakwah, hingga metodologi studi Islam yang
penting dipergunakan dalam menyikapi beragam masalah di lapangan.
Curah pendapat, sharing pengalaman, dan perdebatan produktif yang
bernas di antara sesama peserta terjadi karena seluruh tema yang diangkat
berangkat dari pertanyaan dan kegelisahan kolektif yang dirasakan dan dihadapi
oleh para ulama perempuan di lapangan. Secara khusus, isu eksistensi ulama
perempuan dan tiga isu utama dalam Musyawarah Keagamaan, yakni pernikahan
anak, kekerasan seksual, dan perusakan alam, telah dibahas sebelumnya dalam
bahtsul masa’il pra-Kongres. Proses pemilihan dan perumusan masalah sejak
awal dilakukan secara partisipatoris. Demikian juga pembahasannya di arena
Kongres yang dilakukan secara partisipatoris menjadikan isu-isu yang diangkat
KUPI memiliki legitimasi yang kuat.
Selanjutnya, perspektif keadilan hakiki dan mubaadalah (kesalingan) yang
diterima dan digunakan peserta KUPI sebagai perspektif dalam setiap
pembahasan dan perumusan, terutama dalam diskusi paralel dan musyawarah
keagamaan, juga menjadi legitimasi ilmiah tersendiri atas keberadaan ulama
perempuan. Apa yang dihasilkan KUPI, berupa ikrar keulamaan perempuan,
rekomendasi umum dan hasil musyawarah keagamaan, adalah wujud dari
implementasi perspektif mubaadalah dan keadilan hakiki ini.
Selain legitimasi internal dari proses dan partisipasi kontributif peserta,
patut disyukuri penyelenggaraan KUPI dan hasilnya memperoleh legitimasi
eksternal yang signifikan. Kesediaan para tokoh nasional untuk menjadi dewan
penasihat KUPI, termasuk Imam Besar Masjid Istiqlal, serta pernyataan
6
dukungan Wapres RI dan dari para pemimpin Ormas-ormas Islam terbesar (NU,
Muhammadiyah, MUI), para tokoh agama dan masyarakat, serta dukungan dan
kehadiran tokoh-tokoh, para pejabat negara tingkat nasional (Menteri Agama RI,
dan Wakil Ketua DPD RI), tingkat provinsi hingga kabupaten menjadi penanda
bahwa penyelenggaraan KUPI memperoleh penerimaan yang luas, tak terkecuali
dari para ulama dan pemimpin laki-laki. Kehadiran para pengamat, ulama
perempuan, dan pembicara dari 11 negara, juga apresiasi khusus dari Presiden
Afghanistan kepada KUPI menjadi indikator bahwa KUPI diakui secara
internasional. Legitimasi sosial KUPI yang lain tampak dari liputan dan
pemberitaan media nasional, internasional dan lokal yang massif dan
berkesinambungan.
Respons negara yang positif dan konkret dalam waktu cepat, khususnya
mengenai usulan perubahan batas usia minimal menikah bagi perempuan
menjadi 18 tahun dan pendirian Ma’had Aly untuk mengkader ulama perempuan,
yang dimulai dari pernyataan Menteri Agama RI pada acara penutupan KUPI
menunjukkan bahwa rekomendasi dan hasil musyawarah keagamaan KUPI
berpengaruh kuat dan legitimated. Inisiatif tindak lanjut KUPI oleh peserta yang
sambung-menyambung di berbagai wilayah sesaat setelah KUPI berakhir juga
patut dinyatakan sebagai legitimasi nyata atas keberadaan KUPI, perspektif,
metodologi studi Islam, dan rumusan hasilnya. Semua ini patut disyukuri,
dirawat, dan dikawal bersama, karena proses dan hasil KUPI adalah milik
bersama ulama perempuan dan bangsa Indonesia.
Pada akhirnya, harus dinyatakan bahwa atas berkat rahmat dan
pertolongan Allah SWT serta dedikasi tulus ikhlas dan kerjasama yang sinergis
lahir dan batin dari seluruh panitia dan stakeholders, sehingga KUPI dapat
terselenggara dengan baik sesuai dengan tujuannya. Dengan tanpa menutup
mata dari berbagai kekurangan, tujuan dan output KUPI alhamdulillaah tercapai,
yakni membangun pengetahuan bersama tentang keulamaan perempuan;
memfasilitasi ruang perjumpaan para ulama perempuan Tanah Air dan dunia;
ulama perempuan bersama praktisi pemberdayaan perempuan melakukan kajian
kritis dan menemukan solusi atas berbagai masalah; serta mengukuhkan peranperan
taktis dan strategis ulama perempuan dalam menjalankan dakwah bil hal
yang bertumpu pada konsep pemberdayaan perempuan dan penguatan hak-hak
perempuan dalam Islam.
Diharapkan dokumen resmi tentang proses dan hasil KUPI ini dapat
dijadikan landasan teologis dan gerakan yang kokoh untuk membuka ruang
seluas-luasnya bagi kiprah keulamaan perempuan yang integral dengan kerjakerja
kebangsaan dan kemanusiaan. Lebih khusus, dokumen ini dapat
memberikan jawaban keagamaan atas keresahan dan pertanyaan masyarakat
tentang berbagai persoalan yang berdampak buruk pada perempuan, kaum
dlu’afaa dan mustadl’afiin; menjadi rujukan keagamaan bagi semua pihak dalam
upaya pemeberdayaan, penguatan, dan pemenuhan hak korban atas keadilan dan
pemulihan; memberi inspirasi pengembangan tradisi pemikiran keislaman yang
mengitegrasikan perspektif kesetaraan, keadilan, dan kesalingan dalam relasi
laki-laki dan perempuan; serta menjadi rujukan dalam upaya pembaruan hukum,
7
kebijakan, dan perubahan sosial yang menjamin kemanusiaan yang adil dan
beradab serta kelestarian alam semesta. Amiin yaa rabbal ‘aalamiin.