Ulama Perempuan Dalam Sejarah Islam Indonesia
Sejarah Islam Indonesia pun menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda. Ada sejumlah catatan emas di sana, namun ada juga sisi gelap sejarah yang membuat potensi keulamaan perempuan tidak teraktualisasikan. Dalam perjalanan sejarah Islam Nusantara (saat itu Indonesia belum ada), tercatat beberapa nama ulama perempuan yang menonjol. Sebagian dari ulama perempuan itu adalah juga Sultanah yang memiliki kekuasaan formal dan memimpin kesultanan-kesultanan muslim sejak abad 17 M. Sebagian yang lain permaisuri Raja, keluarga kerajaan, serta isteri, anak atau keluarga dekat dari tokoh Islam. Sebagian yang lain berproses secara mandiri, tidak ada kekuasaan formal, dan pengaruh utamanya bukan berasal dari nama besar keluarga. Para ulama perempuan ini selain peduli pada kaumnya, pada umumnya juga terlibat langsung dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda, termasuk dalam perjuangan bersenjata, terlibat aktif dalam pergerakan meraih kemerdekaan Indonesia, dan mengisi kemerdekaan dengan meneguhkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan, khususnya untuk kemajuan perempuan.
Pada abad ke-17 M, ada nama Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat (Sultanah Aceh Darussalam selama 34 tahun, sejak 1641 – 1674 M). Sultanah legendaris yang cerdas ini belajar agama sejak usia 7 tahun kepada para ulama dan sarjana-sarjana terkenal seperti Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, Taqiyyuddin Hasan, Muhyiddin Ali, Faqih Zainul Abidin, dan lain-lain. Ia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu, juga ilmu fikih, sastra, sejarah, mantiq, falsafah dll. Kecintaannya pada ilmu menjadikan Aceh Darussalam maju pesat dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra, dan seni budaya. Universitas dan dayah-dayah maju pesat, termasuk yang berbeda pandangan dengan Sultanah. Beberapa kitab ulama besar ditulis atas permintaan sang Sultanah, antara lain Hidayatul Iman bi Fadhlil Manan oleh Syekh Nuruddin ar-Raniry, Mir’atut Thullab fi Tashili Ma’rifatil Ahkam dan 9 kitab lainnya oleh Syekh Abdurrauf as-Sinkily, Risalah Masail Muhtadin li Ikhawanil Mubtadi oleh Syekh Daud ar-Rumy. Kitab-kitab ini kemudian dianjurkan dipelajari masyarakat umum.
Sultanah juga sangat mempedulikan nasib perempuan dan mengembangkan Armada Inong Bale, menjalin hubungan diplomatik dengan Turki Usmani, dan mampu menghadapi Belanda dan kekuatan-kekuatan lain yang mengancam kedaulatan kerajaan Aceh Darussalam. Ia juga menjadi referensi keberhasilan perempuan memimpin negara sehingga melempangkan jalan kepemimpinan bagi 3 sultanah di Aceh Darussalam pada periode setelahnya.
Ada pula Ratu Sinuhun (…w.1642 M), isteri Raja Kesultanan Palembang Darussalam, yang memiliki karya monumental “Kitab Simbur Cahaya”, yang merupakan undang-undang tertulis, paduan antara hukum adat dan hukum Islam. Kitab ini berisi 5 bab, di dalamnya ada aturan tentang pranata hukum dan kelembagaan adat yang menyetarakan laki-laki dan perempuan, serta melindungi perempuan. Adanya denda hukuman yang berat bagi laki-laki yang menggoda perempuan diyakini sebagai hukum peninggalan Ratu Sinuhun.
Abad 18 M, ada Fatimah al-Banjary, cucu pertama dari Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (w 1710 M). Fatimah menguasai berbagai ilmu Islam dari kakek dan ayahnya, mulai bahasa Arab, ushuluddin, tafsir, hadis, hingga fikih. Jika guru besar laki-laki Banjar adalah Syekh Arsyad, maka guru besar perempuannya adalah Fatimah. Ada satu kitab Arab Melayu yang populer di Banjar dan Melayu dan menjadi rujukan umat dalam beragama dan beribadah sampai sekarang, yakni “Perukunan Jamaluddin” atau juga dikenal “Perukunan Besar” atau “Perukunan Melayu”. Kitab ini dicetak pertamakali tahun 1897 M, dan terus dicetak ulang, dan dipakai juga di Filipina, Malaysia, Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. Menurut hasil penelitian Martin van Bruinessen berdasar tutur lisan masyarakat Banjar, kitab ini ditulis oleh Syaikhah Fatimah yang tidak lain adalah keponakan Syaikh Jamaluddin. Ini terjadi karena ada tradisi bahwa menulis kitab adalah “pekerjaan laki-laki”, sehingga walau penulis aslinya perempuan, yang dipublikasikan adalah laki-laki.
Abad 19 M, ada Ratu Aisyah We Tenri Olle, Ratu Tanete di Sulawesi Selatan yang berkuasa selama 55 tahun (1855-1910 M). Aisyah cinta ilmu dan menguasai sastra. Bersama ibunya, ia menyelamatkan naskah kuno I La Galigo, sebuah epos warisan dunia yang ditulis abad ke-13 sd 15 M, berupa sajak yang terangkai dalam 300.000 larik di atas daun lontar. Naskah ini lebih panjang dari epos Mahabharata (160-200 ribu larik). Saat ini naskah asli disimpan di Universitas Leiden. Aisyah sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, dan mendirikan sekolah untuk laki-laki dan perempuan di masa pemerintahannya. Ia dikenal cerdas, pandai mengatur administrasi negara dengan menerapkan desentralisasi, teguh pendirian, namun fleksibel dalam membawakan diri.
Dari Kepulauan Riau, ada Raja Aisyah binti Raja Sulaiman (1870-an- 1924 M) , cucu Raja Ali Haji, Riau. Ia seorang penulis produktif sejak usia belasan tahun. Ia sangat kritis menyikapi ketidakadilan terhadap perempuan. Pemikirannya tersebut dapat ditelusuri lewat karya-karya sastranya; Hikayat Samsul Anwar atau Malikatu Badrul Munir; Syair Khadamuddin (diterbitkan pada 1926) ; Syair Seligi Tajam Bertimbal; Hikayat Syariful Aktar (diterbitkan pada 1929). Hikayat Samsul Anwar yang menggambarkan perempuan yang merdeka dari belenggu adat untuk mencapai pengetahuan dan hikmah hidup dengan melewati berbagai tantangan merupakan cerminan kehidupan pengarang.
Masih di abad 19 M, nama Tengku Fakinah (1856 – 1938 M), pengasuh pondok pesantren (dayah) yang luas ilmu agamanya dan punya banyak keterampilan dari kampung Lam Krak dikenal sebagai ulama besar yang sekaligus panglima perang, dan pengumpul logistik pasukan Aceh melawan Belanda. Selama 4 tahun (Tahun 1914 – 1918), ia pergi ke Mekkah untuk haji sekaligus memperdalam fikih di Masjidil Haram. Setibanya di kampung halaman, ia disambut meriah para santri dan pengikutnya, dan selanjutnya ia mengasuh pesantrennya hingga akhir hayat.
Di penghujung abad 19 M, ada Ratu Zaleha (1880 - 1953 M), cucu Pangeran Antasari, pejuang di medan perang dan pendidik kaumnya. Ia menghimpun kekuatan berbagai suku di Kalimantan untuk melawan Belanda, mengajar baca tulis dan ilmu-ilmu Islam kepada anak-anak Banjar dan penyuluhan untuk kaum perempuan. Setelah tertangkap bersama ibunya Nyai Salmah, pada 1906, Ratu Zaleha diasingkan di Bogor dan Banjar pun dijajah Belanda.
Di masa pergerakan kemerdekaan Indonesia, nama Siti Walidah/Nyai Ahmad Dahlan (1872-1946 M) tercatat indah, dan berpengaruh besar, terutama kepada perempuan Muhammadiyah. Isteri pendiri Muhammadiyah dan Pahlawan Nasional ini adalah penggerak Aisyiyah dan muballighah terkemuka. Melalui “Sopo Tresno” Nyai Walidah mengajar agama kepada para perempuan, membentuk kesadaran mereka, mengajak dan memahamkan mereka tentang pentingnya organisasi dan perjuangan. Sopo Tresno semakin membesar dan berpengaruh, sehingga pada tahun 1922 perkumpulan ini resmi menjadi organisasi perempuan Islam Muhammadiyah yang bernama Aisyiyah. Nyai Ahmad Dahlan terus aktif berdakwah, meningkatkan iman, ilmu dan keterampilan anggota Aisyiyah, mendirikan panti yatim, sekolah, rumah sakit, serta melakukan berbagai amal usaha untuk kemaslahatan umat hingga akhir hayatnya.
Dari ranah Minang ada nama Rohana Koedoes (1884- 1972 M) yang sejak kecil sudah menguasai bahasa Belanda, Arab dan Melayu. Komitmennya untuk pemberdayaan perempuan diwujudkan secara nyata melalui dunia pendidikan, jurnalistik dan penguatan ekonomi. Di Koto Gadang ia mendirikan sekolah Kerajinan “Amai Setia” yang mengajarkan agama Islam, budi pekerti, baca tulis, bahasa Belanda, berbagai keterampilan dan pengetahuan umum kepada kaum perempuan. Sekolah ini berkembang hingga mempunyai koperasi simpan pinjam yang merupakan KSP pertama di Minangkabau. Di Bukit Tinggi ia mendirikan “Rohana School”. Pemikiran, puisi dan artikelnya disebarluaskan melalui soran yang diterbitkannya sendiri tahun 1912, Sunting Melayu, dan juga surat kabar Radio dan Cahaya Sumatera. Ia juga aktif dalam pergerakan kemerdekaan.
Masih dari ranah Minang, ada nama HR Rasuna Said (1910-1965 M), pahlamawan nasional Indonesia yang namanya dijadikan nama salah satu jalan protokol di Jakarta. Beliau adalah aktivis politik, pergerakan, pendidikan dan jurnalistik sekaligus. Ia aktif di organisasi PERMI dan banyak organisasi lainnya, mendirikan Sekolah Thawalib Puteri dan Perguruan Puteri, serta kursus baca tulis “Menyesal”. Ia menerbitkan dan memimpin koran Raya dan majalah Menara Puteri, memimpin Laskar Rakyat bagian putri. Aktivitas politiknya terus berlangssung hingga akhir hayat. Ia pernah dipenjara oleh Belanda, dan di usia senja dipercaya sebagai anggota DPR dan kemudian DPA.
Ulama perempuan yang namanya besar dan jejak keulamaannya ada dan makin maju hingga hingga kini dari Minang adalah Rahmah El-Yunusiyah (1900-1969 M). Di usia 23 tahun ia mendirikan dan memimpin madrasah pertama untk perempuan di Indonesia, Diniyah Puteri Padang Panjang. yang terus berkembang dan eksis hingga kini. Istiqamahnya Rahmah di bidang pendidikan dan juga perjuangannya dalam pergerakan kemerdekaan mengundang kekaguman Rektor Univ al-Azhar Kairo yang berkunjung pada tahun 1955. Terinspirasi Diniyah Puteri, al-Azhar membuka Kulliyyatul Banat, dan pada tahun 1957 Rahmah dianugerahi gelar “Syaikhah” oleh Al Azhar Kairo. Gelar Syaikhah adalah gelar bergengsi yang diberikan kepada hanya sedikit orang.
Dari Jombang, Jawa ada nama Nyai Khoiriyah Hasyim. Keulamaannya tidak ada yang meragukan. Beliau juga piawai dalam menajemen pendidikan dan keterampilan. Beliau mendirikan Madrasah Lil Banat di Makkah al-Mukarramah, dan beliau menjadi pengajarnya. Ini prestasi keilmuan yang tidak mudah dicapai sembarang orang, termasuk perempuan Saudi sendiri.
Demikian ini hanyalah sekelumit jejak ulama perempuan dalam kilas sejarah Indonesia hingga zaman awal kemerdekaan. Masih banyak sesungguhnya nama ulama perempuan yang tidak kami sebutkan, dan lebih banyak lagi yang namanya tidak terekam oleh sejarah. Namun demikian dapat dinyatakan bahwa jejak sejarah keulamaan perempuan Indonesia sejak abad 17 sudah ada dan tidak terputus hingga sekarang, dan saat ini ulama perempuan semakin banyak dan berperan di berbagai bidang kehidupan.
Sayangnya, seperti terjadi dalam sejarah peradaban Islam, teramat sedikit dari nama hebat yang telah kami sebutkan di atas ditulis dalam sejarah bangsa Indonesia. Jangankan sejarah bangsa, penulisan sejarah Islam Indonesia pun belum memberi tempat yang layak kepada mereka. Nama besar seperti Sultanah Safiatuddin yang berkuasa selama 34 tahun dan berjasa besar pada peradaban Islam tidak tercatat dalam pelajaran sejarah yang diajarkan kepada anak-anak sekolah di zaman saya bersekolah. Padahal peninggalannya ada sampai saat ini, antara lain dipakainya nama dua ulama besar pada zamannya yang mendukung perjuangan dan kebijakan Sultanah sebagai nama perguruan tinggi terkemuka di Aceh, yakni Universitas Syah Kuala dan Universitas Islam Negeri ar-Raniry. Demikian pula Rahmah el-Yunusiyah yang madrasah Diniyah Putri nya ada sampai saat ini dan semakin maju.
Paska kemerdekaan, ormas-ormas muslimah mulai eksis dan mapan. Bersamaan dengan itu ulama perempuan mulai berkiprah dalam tampuk kepemimpinan organisasi induk, selain aktif di organisasi sayap perempuannya. Misalnya , di PBNU, pada tahun 1950-an ada Nyai Fatimah, Nyai Mahmudah Mawardi dan Nyai Khoiriyah Hasyim. Di PP Muhammadiyah (periode 1962-1968) ada Prof Baroroh Baried. Keberadaan ulama perempuan di pucuk pimpinan ormas-ormas Islam terus ada hingga sekarang. Paska ratifikasi CEDAW tahun 1984 dan adanya kebijakan gender mainstreaming, seiring dengan makin kuatnya isu gender diadopsi oleh kalangan muslim, dan makin banyaknya ulama perempuan, maka hari ini banyak pesantren dan perguruan tinggi Islam swasta dan negeri, yang santri dan mahasiswanya perempuan dan laki-laki, memiliki pemimpin tertinggi atau rektor perempuan. Ulama perempuan juga ada di pucuk-pucuk pimpinan ormas Islam bersama laki-laki, meski proporsinya masih jauh lebih sedikit dibanding laki-laki.
Melihat perjalanan sejarah keulamaan perempuan dalam peradaban Islam dan Indonesia yang disebutkan secara sekilas di atas, di mana keberadaan mereka ada dan nyata kontribusinya di satu sisi, namun di sisi lain keberadaan dan peran mereka mengalami pasang surut, dan banyak sekali nama mereka tidak ditempatkan secara layak dalam sejarah peradaban, di sinilah terlihat urgensi KUPI diselenggarakan.
Kini Indonesia telah memiliki banyak ulama perempuan yang aktif memberikan kontribusi untuk meneguhkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan. Sudah saatnya ulama perempuan mengkonsolidasikan diri untuk memperkuat kapasitas keulamaannya, bertemu satu sama lain, dan kemudian bergerak bersama untuk membangun peradaban Islam, bangsa dan kemanusiaan bersama ulama laki-laki, negara, dan seluruh elemen civil society lainnya.
Dengan demikian keberadaan ulama perempuan perlu lebih diperkokoh untuk memperkuat perannya bagi Islam, bangsa dan kemanusiaan, dan memberikan sumbangsih nyata bagi penyelesaian beragam permasalahan aktual melalui sinergi antar ulama perempuan itu sendiri dan antara ulama perempuan dengan berbagai stakeholder terkait. Ulama perempuan juga diharapkan dapat memberikan ruh keislaman, keadilan, kesetaraan, kebangsaan dan kemanusiaan ke dalam alam pemikiran dan tindakan umat dan masyarakat, serta hukum dan kebijakan negara.