Khilafah

Khilafah berasal dari bahasa Arab yang berarti pemerintahan, perwakilan dari pihak lain dan kepemimpinan.[1] Orang yang menjalankan pemerintahan, menjadi perwakilan ummat, dan menjadi pemimpin ini disebut sebagai Khalifah. Khilafah atau suatu pemerintahan dibentuk untuk menerapkan syariat Allah terhadap umat manusia, agar tercapai tujuan bersama berupa kehidupan yang tertib, damai, dan teratur. Allah swt. berfirman:

إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

“Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” (QS. Al-Baqarah: 30)

Dalam Al-Qur’an, khalifah memiliki makna ‘pengganti’, ‘pemimpin’, ‘penguasa’, atau ‘pengelola alam semesta’. Contoh sebuah khilafah adalah kepemimpinan para Nabi dan Rasul yang kemudian dilanjutkan oleh sebagian manusia untuk menjadi pemimpin atas sebagian lainnya.

إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ

“...ketika Dia (Allah) menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum Nuh,...” (QS. AL-A’raf: 69)

Dan tugas manusia sebagai khalifah tak lain hanyalah menjalankan amanat yang dibebankan kepadanya sebagai ujian yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak, berdasarkan firman Allah swt:

[النساء: 58] {إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ}

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil.” (QS. Ani-Nisa’: 58)

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ

“Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu beberapa derajat atas sebagian (yang lain) untuk menguji kamu atas apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS. Al-An’am: 165)

Dalil yang berisi penugasan untuk bersikap adil tersebut telah sangat jelas membuka pintu ijtihad bagi sang khalifah. Keharusan memberi solusi yang adil ini tentu saja melihat kepada situasi dan kondisi yang ada, sehingga tercapailah maslahat yang merupakan tujuan utama maqasid syariah. Guru Besar Ilmu Ushul Fiqh, Dr. KH. Afifuddin Muhajir kerap menyampaikan bahwa sebuah hukum yang disarikan dari sebuah dalil (takhrijul manath) masih memerlukan tahqiqul manath sebelum diaplikasikan. Hal ini untuk menimbang apakah hukum tersebut sesuai dengan kebutuhan dan memenuhi kriteria maqashid ataukah tidak (tercapainya maslahat dan tertolaknya mafsadat).

Sejalan dengan hal ini, Dr. Imam Nakhei menyampaikan bahwa untuk memberikan solusi yang maslahat perlu ditinjau konteks kebutuhan kasus yang ada, karena sebuah solusi bisa menjadi maslahat bagi sebuah kasus namun tidak bagi kasus serupa lainnya, baik bagi lingkup keluarga tapi tidak baik bagi keluarga lainnya. Salah satu contohnya terjadi dalam rekam sejarah di zaman Sayyidina Umar r.a., ketika sang khalifah tak menyamakan sanksi potong tangan bagi semua pencuri. Sudah pasti kebijakan tersebut atas dasar pertimbangan maslahat dan Sayyidina Umar r.a. sebagai khalifah saat itu tentu saja tak asal-asalan dalam memberikan kebijakan.

Dalam peletakan hukum di suatu pemerintahan, setidaknya terdapat empat unsur yang menjadi pedoman dasar tasyri’ berdasarkan ayat berikut:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pepegang kekuasaan) di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 59)

Ayat ini memberi kejelasan dan batasan bahwa selain quran dan sunnah, juga ada ijtihad jama’iy dan ijtihad fardiy yang dapat menjadi pedoman tasyri’. Ijtihad jama’iy atau ijma’ melibatkan para hakim, umara’ (pemimpin atau pejabat konstutisonal), ulama, komandan militer, tenaga ahli dari segi politik, sosial, dan ekonomi (perdagangan, industri, pertanian, seniman dan professional artist). Ijtihad fardiy dari para ulama mujtahid yang mengetahui hukum-hukum syar’i serta metode istinbath, sehingga dapat memberi kebijakan yang maslahat.[2] Dan yang patut disyukuri adalah keempat unsur tersebut telah terpenuhi dengan sempurna di negara Indonesia, dengan sistem demokrasi atas dasar musyawarah dan kekayaan ulama serta ukhuwah wathaniyah yang kuat.

Negara Islam yang berbasis pada sistem khilafah idealnya harus menyatu. Sehingga, hanya ada satu negara Islam di seluruh dunia yang dipimpin oleh seorang khalifah yang bergelar amirul mukminin. Ia menguasai seluruh wilayah tempat domisili kaum muslimin. Dengan demikia, tujuan izzul islam wal muslimin (Islam yang kuat dan kaum muslimin yang jaya) kian mudah terwujud. Idealisme tersebut pernah terjadi dalam sejarah, tetapi tidak berlangsung lama yaitu hanya dalam waktu tidak lebih dari tiga abad. Terhitung dari zaman Rasulullah ﷺ, setelah itu negara Islam terbelah menjadi beberapa negara. Misalnya, kekhalifahan Umaiyyah Kedua di Spanyol (317-423 H.) dan Fathimiyah di Maroko (267-567 H.) yang kemudian pindah ke Mesir pada tahun 372 H.

Menurut pendapat KH. Afifuddin Muhajir dalam bukunya Fiqih Tata Negara, menyatunya khilafah merupakan tujuan ideal yang perlu diperjuangkan. Namun, tujuan ini juga harus memperhatikan kondisi riil secara bijak dan penuh hikmah, serta dibangun berdasarkan dua kaidah berikut ini:

الأَخْذُ بِأَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ

“Mengambil yang lebih ringan di antara dua kemudharatan.”

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Penolakan terhadap kerusakan harus diprioritaskan daripada pemerolehan kemaslahatan.”

Sebagai catatan beliau menambahkan bahwa menyatunya negara khilafah tidaklah menjadi syarat sahnya suatu negara menurut pandangan Islam. sebab, yang terpenting ialah terwujudnya maqashid asy-syari’ah melalui suatu negara dengan sistem yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip Islam seperti musyawarah, keadilan, kesetaraan, dan pengawasan rakyat.[3]

Melihat kepada tujuan didirikannya khilafah dan pengangkatan manusia sebagai khalifah di bumi, sangatlah jauh rasanya jika yang terjadi justru teror yang meresahkan dan membuat manusia lainnya merasa tak aman. Sebagaimana fenomena radikalisme yang masih bergerak secara massive di Indonesia. Aksi terorisme tersebut disebabkan oleh diskursus pengertian khilafah yang tak dipahami sebagaimana mestinya. Penyimpangan ideologi macam ini sungguh telah merusak citra Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin yang seharusnya menebar rahmat, malah menebar ketakutan dan kekhawatiran.

Khilafah versi kekuasaan politik dianggap sebagai sistem pemerintahan paling “islami”, sehingga negara manapun yang tak mengusung konsep khilafah akan dianggap sebaga negara thagut yang harus diperangi. Sehingga terjadinya pemberontakan dan tindak kekerasan tak lagi mempertimbangkan apa tujuannya, siapa korbannya, dan akibat fatal yang ditimbulkannya. Nafsu berkuasa semakin menggila tanpa memandang kaum rentan dan orang-orang tak bersalah untuk dilindungi. Padahal, bahkan dalam perang sekalipun Islam mengajarkan etika. Namun aksi terorisme zaman ini malah melibatkan perempuan dan anak-anak (kaum rentan) sebagai alat teror.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPA, Ratna Susianawati mengungkapkan bahwa adanya fenomena peningkatan pelibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme menunjukan perempuan lebih rentan terlibat dalam persoalan ini. Hal ini disebabkan karena faktor  sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta adanya doktrin yang terus mendorong bahkan menginspirasi para perempuan, hingga akhirnya mereka nekat melakukan aksi terorisme dan radikalisme. Oleh karena itu, pondasi awal yang harus benar-benar dikuatkan adalah ketahanan keluarga. Bagaimana setiap keluarga dapat melindungi diri mereka dari paparan radikalisme yang merupakan bibit terorisme, yang dalam hal ini pemerintah membutuhkan bantuan banyak pihak untuk bergerak bersama.

Senada dengan Ratna, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Akhmad Nurwakhid menekankan pentingnya memperkuat civil society dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, khususnya tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam memerangi adanya pemahaman dan ideologi menyimpang yang mengarah pada aksi terorisme dan radikalisme. Akhmad menambahkan adanya anggapan perempuan memiliki perasaan yang lebih sensitif, peka, emosi labil, dan memiliki sikap taat pada suami, cenderung membuat mereka lebih mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan teroris laki-laki dalam melakukan aksinya. Menindaklanjuti persoalan ini, BNPT telah berupaya menanggulanginya, diantaranya dengan membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang sudah dibentuk di 32 Provinsi untuk melakukan sosialisasi kepada generasi muda, termasuk perempuan, dan anak.

“Aksi radikalisme dan terorisme bukanlah bentuk monopoli satu agama, melainkan ada di setiap agama, kelompok, bahkan berpotensi ada di setiap individu manusia. Segala bentuk terorisme yang mengatasnamakan agama, sejatinya adalah manipulator agama dan tidak terkait dengan agama apapun. Ini menjadi musuh kita bersama, kita harus bersatu untuk menanggulanginya,” tutup Akhmad.[4]

Memahami makna khilafah sesederhana memahaminya sebagai suatu bentuk kepemimpinan yang mengatur berjalannya tatanan kehidupan di bumi agar tercipta kedamaian dan kebaikan bagi semesta alam. Manusia sebagai khalifah yang menjalankan khilafah ini tak lepas dari pantauan Sang Pencipta dalam menjalankan amanat pemberian-Nya. Apakah ia akan memberikan dampak yang baik atau justru membuat kerusakan dengan wewenangnya itu. Dan lingkup amanat ini pun beragam mulai dari skala marital, familiar, hingga sosial. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama bertanggungjawab dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka pimpin, sesuai dengan firman Allah swt:

ثُمَّ جَعَلْنَاكُمْ خَلَائِفَ فِي الْأَرْضِ مِنْ بَعْدِهِمْ لِنَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ

“Kemudian, Kami jadikan kamu sebagai pengganti-pengganti di bumi setelah mereka untuk Kami lihat bagaimana kamu berbuat.” (QS. Yunus: 14).


Penulis: Nurun Sariyah


  1. Larrouse, Munjid fi Al-Lughoh wa Al-A’lam, Daar El-Machreq, Beirut, 2005, hal 192.
  2. Az-Zuhailiy, Wahbah bin Musthofa Az-Zuhailiy, Al-Fiqhu Al-Islamiy wa Adillatuhu, Daar Al-Fikr, Damaskus-Syiria, juz 8, hal 6.135.
  3. Afifuddin Muhajir, Fiqih Tata Negara, IRCiSoD, Yogyakarta, hal. 63-65.
  4. Perempuan Rentan Terjerumus Aksi Radikalisme dan Terorisme, Saatnya Perkuat Ketahanan Keluarga! kemenpppa.go.id