Maqashid asy-Syari’ah
Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir | 03-Okt-2023
Secara bahasa, kata maqâshid adalah bentuk jamak dari kata maqshad (dalam bahasa Arab), yang berarti tujuan. Ia juga menunjuk pada makna-makna dari kata hadaf (tujuan), ghardl (sasaran), mathlûb (yang diinginkan), dan ghâyah (tujuan akhir). Karena itu, Maqâshid asy-Syarî’ah berarti tujuan-tujuan dari hukum Islam. Substansi pembahasan Maqashid asy-Syari’ah sudah bisa ditemukan dalam kaidah-kaidah mengenai qiyâs (analogi hukum), ‘illah (sebab hukum), istihsân (pencarian kebaikan), dan mashlahah (kemaslahatan).[1]
Pada masa kontemporer, diawali oleh Ibn Asyur (w. 1973), banyak sekali ulama dan cendekiawan yang memandang penggunaan Maqashid asy-Syari’ah sebagai sesuatu yang niscaya, pada saat metode-modet lain dalam Ushul Fiqh tidak cukup mampu, untuk merespon berbagai tantangan kehidupan modern.[2]Dalam pandangan Jasser Audah, menurut M. Amin Abdullah, Maqashid asy-Syari’ah adalah “Inti dari seluruh metodologi ijtihad Usul linguistik dan rasional”.[3]
Tidak ada definisi yang baku dan tunggal mengenai Maqâshid asy-Syarî’ah. Para ulama dan cendekiawan, di samping menawarkan berbagai definisi Maqâshid asy-Syarî’ah, juga menjelaskan bentuk-bentuknya secara berbeda-beda. Menurut al-Khadimi, berbagai definisi Maqâshid asy-Syarî’ah mengarah pada: “maksud dan tujuan utama yang terdapat dalam hukum Islam, baik tujuan umum maupun khusus, yang semuanya mengarah pada ketaatan dan ibadah kepada Allah Swt, serta untuk memperoleh kebaikan (manusia) di dunia dan akhirat”.[4]
Bentuk-bentuk Maqâshid asy-Syarî’ah yang paling populer adalah yang telah dikenalkan oleh ulama klasik, Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), bahwa tujuan-tujuan hukum Islam adalah lima. Yaitu melindungi agama (hifdh ad-dîn), jiwa (hifdh an-nafs), akal (hifdh al-‘aql), harta (hifdh al-mâl), dan keluarga/keturunan (hifdh an-nasl). Imam Syihabuddin al-Qarafi (w. 1285 M) menambhkan perlindungan kehormatan (hifdh al-‘irdh) yang dibedakan dari perlindungan keluarga/keturunana. Sementara ulama-lama lain memasukan perlindungan kehormatan pada perlindungan keturunan, sehingga tetap berjumlah lima.[5]Lima perlindungan ini sering disebut sebagai prinsip-prinsip yang laim dalam hukum Islam, al-kulliyat al-khamsah. Jika berjumlah enam, dengan penambangan perlindungan kehormatan, bisa disebut prinsip yang enam, al-kulliyat as-sittah.
Beberapa ulama tidak membatasi Maqâshid asy-Syarî’ah pada lima atau enam prinsip saja. Orang pertama, menurut Hasyim Kamali, yang membebaskan tujuan-tujuan hukum Islam menjadi lebih dari lima adalah Ibn Taymiyah (w. 1328). Artinya, Maqâshid asy-Syarî’ah tidak lagi dalam satu daftar yang tertutup dan spesifik, melainkan terbuka pada kemungkinan berbagai prinsip lain yang masuk sebagai Maqâshid asy-Syarî’ah. Menurut Ibn Taymiyah, tujuan-tujuan hukum Islam itu terbagi menjadi dua. Pertama, tujuan akhirat, seperti cinta pada Allah Swt, ketulusan pada-Nya, keimanan, dan kemurnian moral. Kedua, tujuan dunia, seperti pemenuhan kontrak, pemeliharaan pertalian keluarga, menghormati tetangga, dan yang lain.[6]
Pendekatan terbuka Ibn Taymiyah ini diikuti banyak ulama kontemporer untuk merespon berbagai masalah kehidupan modern yang semakin kompleks. Hal ini terlihat, di antaranya pada tawaran Rasyid Rida (w. 1345 H/1935 M) mengenai reformasi sosial politik dan pemenuhan hak-hak perempuan sebagai salah satu Maqâshid asy-Syarî’ah;[7]Ibn Asyur (w. 1393 H/1973 M) memasukkan fitrah, hurriyah (kebebasan), musawah (kesetaraan), dan samahah (toleransi);[8] Yusuf al-Qaradawi memasukkan keadilan, kebebasan, persaudaraan, kesejahteraan sosial, martabat manusia, pembangunan bangsa muslim dan kerjasama antara manusia;[9]KH. Ali Yafie mengusulkan hifz al-bi’ah (perlindungan alam dan lingkungan) sebagai prinsip keeanam menambah al-kulliyat al-khams menjadi al-kulliyat as-sitt;[10]Zaenab al-‘Ulwani lebih khusus memasukan sakinah (ketenangan dan kebahagiaan) sebagai tujuan hukum keluarga Islam (maqashid as-syari’ah fi al-usrah);[11]Hasyim Kamali menambah dengan pemenuhan hak-hak dasar, pembangunan ekonomi, penelitian ilmu pengetahuan, dan pengembangan teknologi ke dalam bentuk-bentuk Maqâshid asy-Syarî’ah;[12]dan banyak lagi ulama dan cendekiawan lain yang mengusulkan hal-hal lain yang dianggapnya sebagai Maqâshid asy-Syarî’ah.
Sebagian besar ulama dan cendekiawan berpandangan bahwa bentuk-bentuk Maqâshid asy-Syarî’ah seperti di atas harus ditemukan dari dan berakar pada teks-teks al-Qur’an dan Hadits, walaupun tidak harus secara literal, namun melalui filosofi umum dan tujuan dari teks-teks tersebut. Implementasi dari Maqâshid asy-Syarî’ah, menurut kelompok ini, tidak boleh bertentangan dengan teks-teks al-Qur’an dan Hadits yang jelas dan tegas tentang suatu hukum tertentu. Beberapa ulama dan cendekiawan yang lain, dari kelompok berbeda, memandang bahwa Maqâshid asy-Syarî’ah bisa ditemukan dari dan diperkuat oleh sumber-sumber lain, selain al-Qur’an dan Sunnah, selama masih sejalan dengan filosofi umum dari Hukum Islam. Kelompok ini juga dengan tegas mendahulukan Maqâshid asy-Syarî’ah yang universal daripada teks-teks, al-Qur’an maupun Hadits, yang bersifat partikular.[13]
Musyawarah Keagamaan (MK) KUPI, baik yang pertama di Cirebon maupun yang kedua di Jepara, menerima dan menggunakan seluruh konsepsi Maqâshid asy-Syarî’ah di atas, namun tidak dengan netral gender. MK KUPI mengintegrasikan Maqâshid asy-Syarî’ah dengan perspektif perempuan, agar pengalaman dan pengetahuan mereka tercakup di dalam dan menjadi otoritas. Pendekatan ini, yang ditawarkan sebagai Maqâshid asy-Syarî’ah cum-Mubadalah. Secara bahasa, Mubadalah berarti pertukaran, kesalingan, dan kerjasama. Secara istilah, dalam konteks ini, ia berarti cara pandang yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai sama-sama subjek penuh kehidupan, sehingga konsepsi kebaikan hidup harus diperoleh dan dilakukan keduanya, begitupun keburukan hidup harus dihindarkan dari dan tidak dilakukan keduanya. Cara pandang ini meniscayakan integrasi perspektif perempuan dalam setiap perumusan konsep pengetahuan, seperti Maqâshid asy-Syarî’ah, agar perempuan benar-benar menjadi subjek penuh kehidupan, sebagaimana laki-laki.
Selama ini, konsepsi pengetahuan secara sengaja meninggalkan pengalaman kongkrit perempuan, atau secara netral gender yang tanpa sengaja, tetapi melupakanya. Pada gilirannya, peminggiran perempuan terjadi dalam seluruh sistem kehidupan, baik sebagai isu, perspektif, sudut pandang, kepentingan, lembaga, termasuk sistem pengetahuan, dan termasuk pengetahuan agama.
“Pengalaman kemanusiaan khas perempuan, baik biologis seperti menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui, maupun sosial seperti stigmatisasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda, yang semua terjadi hanya karena menjadi perempuan, dimarginalkan sebagai bagian dari pengalaman kemanusiaan karena laki-laki tidak mengalaminya. Pengalaman kemanusiaan khas perempuan ini dipandang sebagai pengalaman keperempuanan yang terlepas dari kemanusiaan sehingga tidak dipandang sebagai tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan melainkan hanya sebagai urusan perempuan”.[14]
Integrasi konsepsi pengetahuan dengan perspektif kesalingan laki-laki dan perempuan dilakukan dengan dua strategi sekaligus. Pertama, fokus pada persamaan laki-laki dan perempuan sebagai sama-sama manusia utuh, hamba Allah Swt, dan khalifah fi al-ardh. Strategi ini, sebagaimana ditegaskan Zainab al-Ulwani, telah disuarakan berbagai ulama dan cendekiawan kontemporer dalam penjelasan mereka mengenai bentuk-bentuk Maqâshid asy-Syarî’ah. Seperti dalam isu keluarga adalah tentang prinsip tauhid (spiritualitas), prinsip istikhlaf (mandat sebagai khalifah di bumi), prinsip qiwamah (pertanggung-jawaban), dan prinsip zawjiyah (keberpasangan) sebagai bentuk Maqâshid asy-Syarî’ah cum-Mubadalah.[15]
Strategi kedua adalah fokus pada perbedaan perempuan dari laki-laki, dengan memberi perhatian pada kekhususan perempuan yang khas dialami dalam pengalaman hidup mereka, dan tidak dialami laki-laki, baik secara biologis maupun sosial. Pengalaman biologis khas perempuan seperti menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Pengalaman sosial khas perempuan yaitu kerentanan mereka secara sosial pada stigmatisasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda, hanya karena mereka berjenis kelamin perempuan.
Di kalangan KUPI, strategi pertama dikenal sebagai perspektif kesalingan dan strategis kedua ini dikenal sebagai perspektif keadilan hakiki. Keduanya harus sekaligus menjadi bagian integral dari konsepsi dan validasi pendekatan Maqâshid asy-Syarî’ah cum-Mubadalah. Dengan strategi pertama, seluruh bentuk-bentuk Maqâshid asy-Syarî’ah di atas, baik yang tertutup (al-kulliyat as-sitt) maupun yang terbuka (prinsip-prinsip lain) mencakup sekaligus laki-laki dan perempuan sebagai sesama manusia, hamba Allah Swt, dan khalifah fil ardh. Dengan strategi kedua, pengalaman khas perempuan yang biologis dan sosial dipandang sebagai pengalamaan kemanusiaan yang harus tercakup dalam semua bentuk Maqâshid asy-Syarî’ah tersebut. Sehingga, pengalaman khas perempuan ini menjadi tanggung-jawab bersama laki-laki dan perempuan, bukan menjadi urusan perempuan semata.
Dengan demikian, kemaslahatan Islam yang harus diwujudkan melalui al-kulliyat as-sitt misalnya mencakup kemaslahatan laki-laki dan perempuan sebagai sesama manusia (strategi pertama), yang di antara indikator utamanya adalah pengalaman khas biologis dan sosial juga tercakup dalam konsepsi kemaslahatan tersebut (strategi kedua). Melindungi jiwa manusia (hifz an-nafs) misalnya, adalah dengan melindungi semua manusia, laki-laki dan perempuan, dari kematian di antaranya dengan penyediaan makanan bergizi yang dibutuhkan mereka berdua (strategi pertama), dan dengan memastikan kebutuhan gizi perempuan yang hamil dan menyusui yang berbeda atau lebih, dan lebih khusus lagi menyediakan fasilitas memadai agar perempuan yang melahirkan terlindungi dari kematian (maternal mortality) yang sia-sia (strategi kedua).
Begitupuan dengan bentuk-bentuk Maqâshid asy-Syarî’ah yang lain, ia akan menjadi cum-Mubadalah ketika mengintegrasikan dua strategi kesalingan tersebut. Menjaga dan melindungi agama (hifz ad-din), misalnya dengan memastikan laki-laki dan perempuan dapat beribadah dengan leluasa sebagai sama-sama hamba Allah Swt. Sehingga, ketika laki-laki perlu dibebaskan dari kesibukan tertentu agar bisa beribadah, maka perempuan juga memiliki hak yang sama (strategi pertama). Termasuk pada perlindungan agama adalah memastikan perempuan tidak direndahkan kualitas agamanya karena pengalaman reproduksi khasnya (strategi kedua). Hal yang sama juga dalam merumuskan dan memvalidasi konsepsi perlindungan akal (hifz al-‘aql), keluarga/keturunan (hifz an-nasl), perlindungan kehormatan (hifz al-‘irdh), perlindungan harta (hifz al-mal), termasuk juga perlindungan lingkungan (hifz al-bi’ah).[16]
Daftar Referensi
- ↑ Lihat: Auda, Jasser. 2008. Membumikan Hukum Islam melalui Maqashid Syari’ah, (Mizan: Bandung). halaman 32-33.
- ↑ Lihat: Kamali, Mohammad Hasyim. 2013. Membumikan Syariah: Pergulatan Mengaktualkan Islam, (Mizan: Bandung), halaman 164-168; dan Ferdiansyah, Hengki. 2018. Pemikirain Hukum Islam Jasser Auda. (Jakarta: Yayasan Pengkajian Hadits el-Bukhari), hal. 32-41.
- ↑ Abdullah, M. Amin. 2015. “Pengantar”, dalam: Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqâshid Syari’ah: Pendekatan Sistem. (Bandung: Mizan), hal. 14.
- ↑ Al-Khadimi, Nuruddin. 2003. al-Maqashid asy-Syari’ah: Ta’rifuha, Amthilatuha, Hujjiyyatuha, (Riyad: Eshbelia). vo. 1, hal. 26.
- ↑ Lihat: Kamali, Membumikan Syariah, hal. 166-167.
- ↑ Lihat: Kamali, Membumikan Syariah, hal. 167-168.
- ↑ Lihat; Zaprulkhan. 2020. Rekonstruksi Paradigma Maqâshid asy-Syarî’ah: Kajian Kritis dan Komprehensif, (Yogyakarta: IRCISOD). hal. 174-196.
- ↑ Banyak sekali nilai-nilai yang masuk dalam kategori Maqashid asy-Syariah. Lihat: Ibn Asyur, Muhammad ath-Thahir. 2006. Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah, (Cairo: Dar as-Salam), khusus tentang empat nilai di atas bisa dilihat di halaman: 449-63.
- ↑ Al-Qaradhawi, Yusuf. 1997. Madkhal li-Dirasat asy-Syari’ah al-Islamiyah, (Cairo: Maktabah Wahbah), hal. 75.
- ↑ Yafie, Ali. 2006. Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, (Jakarta: Yayasan Amanah), hal. 223-234.
- ↑ Al-Ulwani, Zainab Thaha. 2012. al-Usrah fi Maqashid asy-Syari’ah: Qira’ah fi Qadhaya az-Zawaj wa ath-Thalaq fi Amerika. (Herndon: IIIT). hal. 90-97.
- ↑ Lihat: Kamali, Membumikan Syariah. hal. 168.
- ↑ Lihat: Ferdiansyah. Pemikirain Hukum Islam Jasser Auda. hal. 67-84.
- ↑ Nur Rofiah. 2022. “Metode Studi Islam Keulamaan Perempuan Indonesia”, dalam: Faqihuddin Abdul Kodir. Metodologi Fatwa KUPI: Pokok-pokok Pikiran Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia. (Cirebon: Fahmina Institute). hal. 20.
- ↑ al-Ulwani, al-Usrah fi Maqashid asy-Syari’ah, hal. 74-82.
- ↑ Lihat penjelasan lengkap mengenai perspektif kesalingan dan keadilan hakiki sebagai metodologi KUPI terkait Maqashid Syari’ah dalam: Kodir, Metodologi Fatwa KUPI, hal. 17-112. Dalam buku ini ada penjelasan mengenai pendekatan trilogi KUPI, yaitu ma’ruf, mubadalah, dan keadilan hakiki. Trilogi ini berlaku juga dalam merumuskan konsepsi Maqâshid asy-Syarî’ah cum-Mubadalah di sini, tetapi penjelasan pendekatan ma’ruf -secara bahasa berarti kebaikan- tidak dilakukan, karena sudah tercakup dalam penjelasan konsep Maqashid itu sendiri, sebelum penjelasan mengenai perspektif kesalingan dan keadilan hakiki. Artinya, konsep Maqâshid asy-Syarî’ah cum-Mubadalah adalah konsepsi dan validasi bentuk-bentuk Maqâshid asy-Syarî’ah yang menggunakan pendekatan trilogy KUPI, sebagaimana aku jelaskan dalam buku ini.