Hamim Ilyas
Dr. H. Hamim Ilyas, M.Ag lahir pada tanggal 1 April 1961 di Klaten, Jawa Tengah. Ia adalah dosen di Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Di samping, ia juga aktif sebagai narasumber dalam kegiatan-kegiatan gender dan menjadi anggota Panel Ahli PKBI Pusat dan Dewan Ahli PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta. Selain mengajar, ia juga sebagai pendiri dan pengawas syariah dua BMT dan juga sebagai aktivis ekonomi syariah.
Hamim menghadiri perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 2017 di Cirebon. Ia menuturkan bahwa kajian-kajian KUPI dan organisasi perempuan lainnya bertujuan memperoleh ilmu yang meninggikan derajat, dalam arti derajat relasi laki-laki dan perempuan. Selama ini, relasi antara laki-laki dan perempuan adalah subordinasi dan menjadi komplementer (sokorsimetris).
Riwayat Hidup
Hamim berasal dari desa/kecamatan Karangnangka, pedalaman Klaten utara, di kaki gunung Merapi—ditandai dengan banyaknya umbul dan sumber mata air di wilayahnya dan wilayah sekitarnya—berjarak sekitar 22 KM dari puncak gunung. Hamim anak terkecil dari 4 bersaudara dan hanya dia yang mendapatan pendidikan tingggi, sedang kakak-kakaknya hanya menamatkan pendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Tsanawiyah (SMP). Lulus SD, ia melanjutkan pendidikan ke pesantren di Jawa Tengah, kemudian ke pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, Jawa Timur, satu almamater dengan Ma’mun Murod Al-Barbasy (Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, saat ini).
Ketika nyantri di Jombang, Hamim mengikuti ujian ekstrani Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 4 dan 6 tahun. Dengan ijazah PGAN 6 tahun, ia melanjutkan kuliah. Saat itu, tahun 1981, lulusan dengan ijazah sekolah swasta tidak diperkenankan mendaftar kuliah di perguruan tinggi negeri. Ia melanjutkan kuliah karena merasa mampu dan untuk mengubah nasib.
Orangtua semula tidak mengizinkan Hamim kuliah. Dari teman tetangga kampung, ia mengetahui pembukaan pendaftaran kuliah di Institute Agama Islam Negeri (sekarang Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ketika orangtuanya sedang bekerja di sawah dan di rumah ada satu karung gabah, dia nekat menjualnya untuk mendaftar kuliah. Hamim berani nekat dengan pertimbangan, jika tidak dibiayai kuliah, maka dia akan kuliah sambil kerja, jadi tukang becak pun tidak masalah. Hamim kuliah dengan penuh keprihatinan. Rata-rata uang saku bulanan teman-temannya yang kaya adalah Rp. 30.000 dan yang menengah Rp. 15.000, sementara uang saku bulanannya hanya Rp. 8000. Ia membawa beras dari rumah untuk memasak sendiri.
Kenekatan Hamim di antaranya dilatarbelakangi oleh tradisi pembagian harta warisan di kampung halamannya yang menggunakan hukum adat. Anak perempuan pada umumnya mendapatkan bagian sak-gendongan, harta yang diberikan orangtua sebagai modal hidup berkeluarga bersama suami. Adapun anak laki-laki mendapatkan bagian tanah dan bangunanan di atasnya, dengan ketentuan bahwa anak laki-laki tertua mendapatkan sawah dan pekarangan, sementara adiknya hanya mendapatkan pekarangan. Sebagai anak laki-laki terkecil, Hamim hanya mendapatkan pekarangan. Dalam pikirannya, jika tidak kuliah dia hanya akan menjadi petani gurem dan jika mendaftar menjadi PNS dengan ijazah PGAN-nya, dia hanya bisa menjadi guru agama.
Hamim kuliah dengan biaya pas-pasan selama 3 tahun sampai mendapatkan ijazah sarjana muda. Pada tahun keempat ketika menempuh tingkat sarjana dia mendapatkan beasiswa Supersemar. Dengan beasiswa itu dia bisa membeli buku. Kemudian pada tahun kelima, ia menerjemahkan buku berbahasa Arab bersama teman penerjemah Rajawali Pers yang bekerja di kampusnya, yakni almarhum Bapak Drs. Mahnun Husain dan bersama gurunya, Bapak Dr. H.A. Malik Mardani, MA (Katib Syuriah PBNU). Bersama Pak Mahnun, Hamim menerjemahkan buku karya Husain adz-Dzahabi yang terbit dengan judul Penyimpangan-Penyimpangan dalam Tafsir Al-Qur’an; dan bersama Pak Malik, Hamim menerjemahkan 2 buku karya Husain Thabathai dan Yusuf Musa yang terbit dengan judul Mengungkap Rahasia Al-Qur’an dan Islam: Satu Kajian Komprehensif.
Ketika lulus, Hamim menjadi wisudawan terbaik. Kemudian ia diangkat menjadi Dosen di almamaternya pada tahun 1988. Dia lulus dari Jurusan Tafsir/Hadis Fakultas Syariah dengan dominasi pendekatan ushul fikih. Ia melanjutkan studinya mengambil program magister Jurusan Akidah/Filsafat pada tahun 1990 ketika ada kerjasama Kementerian Agama dan Pemerintah Belanda sehingga beberapa dosennya berasal dari negara tersebut. Dia belajar ilmu-ilmu akademik dari Pak Herman Leonard Beck (Sejarah Agama, Antropologi Agama dan Fenomenologi Agama) dan Pak Martin van Bruinessen (Sosiologi Agama). Dari keduanya, Hamim memahami teori-terori dalam ilmu-ilmu tersebut dan penerapannya dalam studi agama.
Pada waktu menyelesaikan S3, Hamim menulis disertasi tentang tafsir Al-Manar di bawah bimbingan Almarhum Prof. Simuh dan Prof. Qodri Azizy. Hamim diarahkan untuk menggunakan pendekatan sejarah. Dia merasa sangat tertantang sehingga mempelajari ilmu sejarah selama dua tahun. Dari hasil membaca banyak buku, ia belum yakin untuk menggunakan pendekatan sejarah. Ia baru tercerahkan oleh Prof. Kuntowijoyo yang dalam salah satu bukunya menjelaskan pembagian sejarawan menjadi 3 kelompok. Pertama, sejarawan profesional, mereka yang belajar di jurusan sejarah. Kedua, sejarawan komunitas, mereka yang menulis sejarah komunitasnya sendiri. Ketiga, sejarawan dari disiplin ilmu lain, mereka yang menekuni disiplin ilmu di luar ilmu sejarah, tetapi menggunakan pendekatan sejarah dalam melakukan penelitian bidang ilmu yang ditekuninya.
Pengelompokan Kuntowijoyo itu mendorong rasa percaya dirinya untuk menulis disertasi dengan pendekatan sejarah karena merasa termasuk kelompok ketiga, sejarawan dari disiplin non-sejarah. Ketika menulis deskripsi Al-Manar, ia dapat menulis dengan mudah dan lancar, namun ketika analisis, ia memerlukan waktu yang lama. Untuk menulis deskripsi ia hanya membutuhkan waktu sekitar 4 bulan, namun untuk menulis analisis, 3 bulan hanya dapat satu aliena. Padahal, setiap habis subuh, ia sudah mulai menulis. Bila diingat-ingat ia mengaku “kagum” atas kesabarannya menulis analisis disertasi. Dalam ujian promosi doktor, ia diuji oleh penguji sejarawan profesional dari UGM yang memberinya nilai sangat tinggi, yaitu 3, 90.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Hamim merasa sangat beruntung dengan penggunaan pendekatan sejarah dalam penulisan disertasinya. Melalui pengalaman akademisnya ini, ia bisa melakukan konversi intelektual. Saat menempuh pendidikan sarjana (S1) pada tahun 80-an, ia sempat bergabung dalam kelompok diskusi (usrah) yang mengembangkan islamisme. Mentornya menjelaskan Islamisme dengan pendekatan logika struktural, yaitu satu logika yang menelusuri satu ideologi dari akar pemikiran aliran filsafatnya. Kapitalisme dan komunisme berakar pada materialisme, sementara islamisme berakar pada tauhid. Dalam islamisme, tauhid menjadi dasar sistem nilai Islam, dan sistem nilai Islam membangun peradaban Islam yang tidak materialistik.
Pelajaran dari kuliah tingkat sarjana yang menggunakan ushul fikih dan dari diskusi yang menggunakan logika struktural, membuatnya menjadi Muslim penganut pemikiran normatif-formalistik dan ideologis. Sementara penulisan disertasi dengan pendekatan sejarah didukung dengan pelajaran ilmu-ilmu akademik agama Islam yang ditekuninya selama kuliah pada tingkat magister dan doktoral, membuatnya berubah menjadi Muslim yang berpikir dengan memperhatikan proses dan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya pemikiran, termasuk pemikiran keagamaan yang membentuk mazhab-mazhab agama Islam yang dianut umat. Berpikir demikian membuat dia menjadi Muslim yang terbuka.
Keterbukaan Hamim membuatnya menerima pemikiran feminisme yang diperkenalkan oleh koleganya di Fakultas Syariah, Prof. Siti Ruhaini, yang kemudian mengajaknya untuk aktif di Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga. Dari aktivismenya di PSW, ia kemudian ditarik untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan lembaga lain. Di PSW ia aktif menjadi narasumber diskusi, seminar, dan pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan di berbagai wilayah. Dalam pelatihan untuk tokoh-tokoh organisasi Islam dan hakim-hakim agama, ia sering menyampaikan materi yang paralel dengan materi yang disampaikan oleh Prof. Amin Abdullah. Kepararelalan materi ini membuat keduanya menjadi “pasangan” narasumber yang harus hadir dan jika salah satunya tidak hadir maka ada pimpinan PSW yang menyatakan pelatihan menjadi cacat, invalid.
Ia kemudian terlibat di dalam kegiatan-kegiatan lembaga lain di antaranya Rifka Annisa Yogyakarta dan PEKKA. Keterlibatannya di Rifka Annisa di antaranya dalam pelatihan-pelatihan di berbagai daerah sebagai narasumber bersama dengan Dr. Budi Wahyuni dan Mbak Tyas yang membuat ketiganya disebut Trio Kwek Kwek; satu sebutan yang diambil dari nama grup musik anak-anak yang terdiri dari 2 anak perempuan dan 1 anak laki-laki yang populer sampai awal tahun 2000-an.
Sebagai narasumber, Hamim hampir selalu diminta untuk menyampaikan materi tentang gender dalam Islam. Semula dia menjelaskan perspektif Islam dengan merujuk pada tafsir Islam dalam aliran-aliran tradisionalisme, konservativisme, modernism, dan neo modernisme. Pada 2006, Hamim diundang dalam acara pelatihan yang diselenggarakan oleh komunitas yang mengikuti tafsir tradisionalisme. Apabila ia menjelaskan gender dalam Islam dengan berangkat dari peta aliran-aliran tersebut, maka dapat menimbulkan resistensi. Oleh karena itu, ia menjelaskan dari perspektif Islam Rahmatan Lil ‘Alamin di dalam Al-Qur’an.
Berawal dari sini, Hamim melakukan penelitian dan refleksi tentang Islam Rahmatan lil ‘Alamin yang akhirnya dia temukan hakikat dan penjabarannya di dalam Al-Qur’an, termasuk penjabarannya dalam ilmu pengetahuan: ilmu harus meninggikan derajat semua bidang kehidupan, menjadi power (sulthan) dan mengembangkan spiritualitas. Ia juga menulis tentang poligami, bahwa poligami merupakan lembaga yang tidak etis dan tulisannya mengarah kepada mewujudkan masyarakat tanpa poligami.
Afirmasi gerakan perempuan yang dilakukan oleh Al-Qur’an mempunyai karakter feminis, dalam pengertian memiliki kesadaran bahwa perempuan itu tertindas dan berusaha untuk menghilangkan kekerasan. Al-Qur’an jelas membela perempuan sehingga bisa ditemukan dalam satu surat, yakni surat An-Nisa’. Jika melakukan politik afirmasi maka itulah sunnah Al-Qur’an dalam mewujudkan kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan. Dalam ayat yarfaillahu lladzina amanu minkum wal ladzina uthul’ilma darojat (al-Mujadalah:11) yang dimaksud ilmu adalah meninggikan derajat semua bidang kehidupan, tidak hanya derajat dalam bidang agama, bisa ekonomi, dan sosial. Al-Qur’an bertujuan mengubah sistem sosial.
Gerakan perempuan bertujuan untuk keadilan sosial. Semakin banyak komunitas perempuan maka akan semakin banyak menjangkau keadilan. Keadilan harus diperjuangkan, dan bagi Hamim Ilyas adalah dengan memberikan landasan teologisnya. Ia menuturkan, menjadi aktivis perempuan harus sabar apalagi di Indonesia karena kesenjangan peradaban yang sangat luas, seperti Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang tidak pernah rampung. Akses terhadap pendidikan juga masih jauh dari harapan, seperti anak-anak yang di pelosok-pelosok pedesaan harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk sampai ke sekolah, padahal di dalam rumah mereka sudah terdapat televisi dan radio.
Jika perempuan akan melakukan ijtihad maka mereka harus memiliki ilmu yang meninggikan derajat, menjadi Sulthon (penguasa) atau power, mengembangkan spritualitas, dan mengerti bahasa Arab. Hamim mengutip Imam Adh-Dahlawi mengenai syarat wajib mufasir. Pertama, menguasai Bahasa Arab, kedua, mengetahui sejarah, khususnya sejarah Al-Qur’an ketika turun, dan ketiga, hafal Al-Qur’an, namun bisa merujuk kepada mu’jam al-Qur’an. Selain itu, penting untuk mengetahui realitas kehidupan sekarang sehingga sejarahnya harus dikembangkan. Jika tidak merujuk pada wawasan sejarah, maka Islam dipisahkan dari kehidupan. Inilah yang dilakukan oleh ulama-ulama saat ini, yakni mempelajari agama tetapi tidak belajar ilmu-ilmu umum sehingga tidak memahami kehidupan.
Karya-Karya
Pada tahun 2006, Hamim Ilyas menulis Islam Rahmatan lil Alamin dan terbit di jurnal tahun 2009. Ia juga menulis Islam Kaffah dan menjadi pembimbing disertasi untuk kepala Litbang Kemenag Semarang. Saat Hamim bercerita kepada kepala Litbang tersebut bahwa ia memiliki gagasan penelitian tentang Islam Rahmatan lil Alamin, ia mendapatkan kesempataan pembiayaan penelitian selama dua tahun untuk menulis. Hasilnya adalah penerbitan buku Fikih Akbar Pertama, dan Fikih Akbar Kedua sedang dalam proses penerbitan
Karya Fikih Akbar Hamim Ilyas akan diterbitkan sebagai buku saku kecil sebagai pedoman beribadah dan akan digunakan sebagai kurikulum pelajaran pendidikan agama Islam. Pemikiran disebut maju atau tidak adalah ketika mempunyai penerus atau kader yang melanjutkan misi dakwahnya.
Penulis | : | Rusli Latief |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |