Keluarga Berencana

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Keluarga Berencana (family planning) merupakan salah satu persoalan yang kini menjadi agenda pembicaraan dalam Islam khususnya kaitannya dengan fiqh dan hak-hak perempuan. Sebagaimana persoalan-persoalan "baru" lainnya, KB juga menjadi kontroversial dalam Islam. Kontroversi itu di sekitar persoalan, apakah KB dibolehkan atau tidak dalam Islam.

Sebelum jauh memberikan jawaban atas persoalan di atas terlebih dahulu akan diterangkan beberapa hal mengenai apa saja sebenarnya sumber-sumber otoritatif yang sesungguhnya digunakan dalam tradisi Islam. Pembicaraan tentang tradisi Islam ini sangat penting karena inilah yang menjadi jantung dari Islam itu sendiri. Tanpa sebuah tradisi maka keberadaan Islam ibarat isi yang tidak berwadah.

Sebagaimana kita ketahui bersama, tradisi keagamaan itu tidak berasal dari satu sumber saja. Di dalam Islam setidaknya ada empat sumber tradisi Islam yang otoritatif yakni: al-Qur'an, hadits Nabi Muhammad, fiqh, dan Syari’ah.[1] Empat hal inilah yang pada dasarnya menjadi sumber tradisi Islam. Namun meskipun demikian sumber-sumber di atas tidak membentuk sebuah perangkat norma Islam (set of Islamic norms) yang satu. Di sini sering terjadi inkonsistensi antara satu sumber dengan sumber yang lain. Misalnya seringkali terjadi inkonsistensi antara apa yang ada di dalam al-Qur'an dan apa yang ada di dalam hadits. Demikian juga seringkali ada inkonsistensi antara apa yang ada di dalam hadits dengan apa yang ada di dalam fiqh atau syari’ah. Ini memberikan pengertian kepada kita bahwa ketika bicara tentang Islam atau tradisi Islam, maka sesungguhnya sangat sulit kita menemukan bentuknya yang satu. Kita tidak mudah mengatakan bahwa ini Islam tanpa terlebih dahulu melakukan identifikasi secara mendalam terhadap berbagai variasi yang menyusun Islam. Hal ini sangat diperlukan agar kita tidak jatuh dalam generalisasi yang mengatasnamakan Islam.


KB dalam Al-Qur'an

Secara teoritis, dalam struktur pengambilan hukum Islam, al-Qur'an merupakan sumber pertama yang harus dijadikan pedoman dalam membahas setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat Islam. Al-Qur'an adalah sumber yang paling tinggi dan otoritatif bagi ajaran-ajaran Islam. Karena sebagai sumber tertinggi dan paling otoritatif, maka setiap pernyataan yang muncul dari al-Qur'an oleh kalangan muslim dipahami secara decisive [sudah diputuskan dengan pasti] dan tidak boleh dipertanyakan lagi. Meskipun demikian al-Qur'an tidak berpretensi sebagai buku hukum yang berisi aturan-aturan yang yang menawarkan solusi praktis untuk problem-problem yang muncul dalam dunia Islam secara langsung. Sebagai sumber nilai Islam yang tertinggi, al-Qur'an memang terkadang juga bicara soal solusi praktis, namun kebanyakannya berbicara tentang nilai-nilai universal.

Dalam menyikapi al-Qur'an sebagai sumber nilai tertinggi bagi Islam, di kalangan masyarakat Islam terpecah ke dalam dua golongan. Pertama, mereka yang berpendapat bahwa semua problem kehidupan di atas bumi ini sudah termuat dalam al-Qur'an. Kedua, mereka yang berpendapat bahwa al-Qur'an hanya memuat prinsip-prinsip umum saja. Dua pendapat ini sebenarnya memiliki alur yang sama yaitu sama-sama beranggapan bahwa al-Qur'an adalah memuat segala hal yang ada di bumi ini sesuai dengan firman Allah:


مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ (الأنعام، 38)


Artinya: “Dan tidaklah Kami alpakan sesuatu apapun di dalam al-Kitab (al-Qur’an)”. QS, Al-An’am, 6: 38.

Sebenarnya pemuatan itu tidak berarti menjelaskan detil-detilnya, akan tetapi hanya meliputi hal-hal yang bersifat prinsip dan universal saja. Adapun detil-detilnya diserahkan kepada ijtihad umat manusia. Hal ini bukan berarti al-Qur'an tidak lengkap, namun dengan ijtihad ini sesungguhnya Tuhan mengajarkan manusia untuk senantiasa berpikir dan mencari jalan keluar dalam mengatasi segala problem kehidupan. Dengan ini pada dasarnya manusia diberi penghormatan yang sangat tinggi karena mendapat amanah dari Tuhan untuk memakmurkan dunia ini. Seorang feminis muslim berkebangsaan Pakistan, Riffat Hassan, mengatakan bahwa al-Qur'an merupakan buku suci yang berfungsi memberi petunjuk agar manusia dapat mengaktualkan potensi mereka sebagai manusia yang telah dinobatkan Allah sebagai khalifah Tuhan di bumi.[2]

Dalam kaitannya dengan keluarga berencana (KB) sesungguhnya al-Qur'an tidak berbicara secara langsung tentang isu keluarga berencana, namun Islam hanya menetapkan kerangka etis bagi isu-isu kontemporer yang muncul, termasuk soal KB. Menurut kalangan Islam yang mendukung KB, sikap diam al-Qur'an terhadap isu KB merupakan simbol persetujuan Islam. Tokoh yang berpandangan demikian antara lain adalah Fazlur Rahman. Menurut Rahman, ayat-ayat al-Qur'an yang menyatakan perlunya mengontrol tingkat populasi kita dan perlunya mempersiapkan masa depan kita bersama tidak lain pada dasarnya adalah isyarat pentingnya dilaksanakan program KB.[3] Namun pendapat yang demikian ini ditolak oleh sebagian kalangan Islam. Mereka menolak keberadaan KB. Abul a’la al Maududi, tokoh Islam garis keras, menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur'an dengan sangat jelas telah mengutuk praktik penguburan bayi perempuan yang baru lahir atau membunuh anak-anak sebagaimana dilukiskan dalam surat ak-Takwir, ayat 8-9, an-Nahl ayat 57-59, al-An'am, ayat 137, 140, 151, al-Isra ayat 31, dan al-Mumtahanah ayat 13. Dalam sebuah pernyataannya, Maududi berpendapat bahwa apabila pengendalian perkembangan janin anak ini didasari oleh motivasi takut kekurangan rizki dan sumber kehidupan lainnya, maka hal ini akan menjadi sama dengan praktik pembunuhan anak-anak perempuan yang menjadi budaya masyarakat Arab pra Islam.[4]

Lebih lanjut untuk memperkuat argumennya, kalangan Islam konservatif juga merujuk kepada ayat-ayat yang menyatakan bahwa kehidupan merupakan anugrah. Dengan ayat-ayat ini jelas bahwa menghargai kehidupan adalah termasuk menjalankan perintah Allah. Adapun ayat-ayat yang menjelaskan tentang hal ini antara lain sebagai berikut:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً (النساء، 1)


Artinya: “Wahai manusia takutlah kepada Tuhanmu yang telah diciptakan dari sumber yang satu dan darinya diciptakan pasangannya dan Dia dari keduanya telah mengembangkan laki-laki dan perempuan”. An-Nisa':1


وَاذْكُرُوا إِذْ كُنْتُمْ قَلِيلًا فَكَثَّرَكُمْ (الأعراف، 86)


Artinya: “Ingatlah ketika kamu semua sedikit lalu Dia memperbanyak jumlah kamu”. [al-A'raf, 7: 86]


وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ (الرعد، 38)


Artinya: “Dan sungguh Aku utus seorang rasul sebelum kamu dan Aku jadikan bagi mereka pasangan dan keturunan, dan tidak ada bagi seorang rasul untuk mendatangkan mukjizat kecuali dengan izin Allah, bagi setiap masa ada kitab”. [QS, ar-Ra'd, 13: 38]


وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ (النحل، 72)

Artinya: “Dan Allah telah menjadikan bagimu dari diri golonganmu istri-istri dan Dia telah menjadikan untuk dirimu dari istri-istrimu anak-anak dan cucu dan Dia telah memberikan rizki kepada kamu dari hal-hal yang baik”.[QS, an-Nahl, 16: 72]


وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (الفرقان، 74)


Artinya: “Dan mereka berkata wahai Tuhan kami, berikanlah kami istri-istri dan anak keturunan kami sebagai permata hati dan jadikanlah bagi kami orang-orang yang bertaqwa sebagai imam”. [QS, al-Furqon, 25: 74]

Selain ayat-ayat di atas, kalangan yang tidak mendukung KB juga mengemukakan ayat-ayat tentang jaminan rizqi dari Allah serta ayat-ayat tentang perlunya menghargai kehidupan sebagai pendukungannya. Adapun ayat-ayat yang dikutip antara lain adalah:


وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ (الأنعام، 151)

Artinya: “Dan janganlah kamu semua membunuh anak-anakmu karena takut kekurangan, Kami memberi rizki kamu dan juga mereka” [QS. al-An'am, 6: 151].


وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا (هود، 6)

Artinya: “Dan tidak ada satupun makhluk melata di atas bumi ini kecuali rizkinya ditanggung oleh Allah” [QS. Hud, 11: 6]


وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُه (الطلاق، 2-3)

Artinya: “Dan barang siapa yang takut kepada Allah, maka Dia akan jadikan jalan keluar baginya dan memberikan rizki padanya dengan tanpa duga dan barang siapa yang bertaqwa atas Allah, maka ia akan mencukupinya.” [QS. al-Thalaq, 65: 2-3]

Ayat-ayat al-Qur’an yang dikemukan oleh sementara kalangan Islam untuk menolak keberadaan KB dikritisi kembali oleh Riffat Hassan. Ada beberapa catatan yang diberikan oleh Riffat tentang hal ini sebagai berikut:

  1. Ayat-ayat al-Qur'an yang melarang pembunuhan terhadap anak-anak kecil ditujukan kepada anak-anak yang sudah lahir, bukan untuk mereka yang belum lahir. Berdasarkan alas an ini tidak relevan apabila menyatakan bahwa ajaran al-Qur'an yang demikian tidak memperbolehkan KB.
  2. Yang dimaksud dengan pembunuhan dalam ayat-ayat di atas tidak selalu dipahami sebagai pembunuhan yang sebenarnya, akan tetapi merupakan simbol penanganan untuk anak-anak kecil yang sedang sakit. Dengan mengutip Ghulam Ahmad Parwez, Riffat menyatakan bahwa makna qatala tidak hanya membunuh dengan senjata atau pukulan, akan tetapi juga merendahkan dan menurunkan derajat pendidikan dari yang semestinya.
  3. Meskipun al-Qur'an berulang-ulang menyebut Tuhan sebagai pencipta dan penjamin keberlangsungan seluruh makhluk, ini tidak berarti bahwa Tuhan membebaskan individu atau masyarakat dari tanggung jawab untuk keberlangsungan hidup mereka.


Adapun terhadap kalangan Islam yang mendukung KB, Riffat memberikan catatan sebagai berikut:

  1. Ketiadaan perang bukan berarti mengharuskan adanya kedamaian sebagaimana juga tidak adanya sakit tidak otomatis menandakan kesehatan. Pada kenyataannya al-Qur'an memang tidak menyatakan apa-apa melawan ide KB, namun ini bukan berarti menyokong adanya KB.
  2. Masyarakat muslim sekarang sering mendengar bahwa al-Qur'an merupakan kitab yang memuat segala hal dalam kehidupan mereka. Mereka sangat berharap untuk menemukan pernyataan langsung dari ayat al-Quran yang menyinggung soal-soal yang sangat penting bagi mereka. Ketika mereka tidak menemukannya, mereka berkata bahwa al-Qur'an ternyata tidak menyatakan apa-apa tentang sebuah isu atau persoalan. Sikap diam al-Qur'an terhadap segala isu yang muncul dalam dunia modern, menurut Riffat telah menciptakan kevakuman teologis dan etik yang oleh berbagai kalangan diisi dengan cara yang berbeda-beda. Selanjutnya menurut guru besar Studi Islam di Universitas Haviseville ini, apa yang kita butuhkan sekarang adalah melakukan kritik terhadap cara pikir bahwa al-Qur'an merupakan buku yang lengkap tentang kehidupan. Al-Qur'an bukan ensiklopedia yang menyediakan informasi tentang semua problem, isu dan situasi yang dihadapi manusia. Al-Qur'an juga bukan buku hukum sebagaimana disinyalir oleh Muhammad Iqbal.


Selanjutnya Riffat menandaskan bahwa meskipun al-Qur'an tidak secara langsung membicarakan persoalan KB, namun persoalan-persoalan seperti ini--termasuk persoalan-persoalan kontemporer lainnya-- bisa diletakkan dalam sinaran kerangka etis Islam. Misalnya, bagaimana al-Qur'an bicara tentang hal-hal prinsip yang disebut dengan hak-hak manusia yang fundamental seperti 1) hak untuk dihormati sebagai manusia, 2) hak untuk diperlakukan adil dan setara, 3) hak untuk bebas dari tradisionalisme, otoritarianisme, tribalisme, klasisme, sistem kasta, seksisme dan sistem perbudakan, 4) hak untuk menjaga diri dari penganiayaan,  5) hak untuk memperoleh ilmu pengetahuan, 6) hak untuk bekerja atau memiliki kekayaan, 7) hak mendapatkan tempat tinggal yang aman, 8) hak untuk meninggalkan tempat tinggal karena dibawah tekanan, 9) hak untuk mengembangkan perasaan keindahan dan menikmati ciptaan Tuhan, 10) hak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.[5]

Berdasarkan uraian di atas nampak sekali bahwa al-Qur'an sebagai wahyu Tuhan sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hak-hak di atas harus diperkenalkan dan dijadikan alat perlindungan bagi umat manusia. Karena kita saksikan mayoritas penduduk muslim hidup dalam situasi politik, ekonomi, budaya dengan tingkat populasi yang sangat tinggi, maka di sini kita butuhkan sebuah perencanaan keluarga. Di sinilah KB menjadi sangat dibutuhkan. Dan beberapa kerangka etis di atas bisa dijadikan landasan bagi pelaksanaan program KB.


KB dalam Hadits

Hadits adalah sumber pengambilan hukum Islam kedua yang mesti dirujuk oleh umat Islam setelah al-Qur'an. Dalam masalah KB, meskipun tidak ada hadits yang spesifik menyebutnya, namun nampaknya terdapat model pelaksanaan perencanaan keluarga yang direkam oleh hadits yakni azl. Dalam bahasa modern, azl, sama dengan "coitus interruptus" yang artinya persenggamaan yang terputus. Namun secara harfiyah pengertian azl adalah pelepasan hormon seks laki-laki dari tubuh perempuan sebelum orgasme. Pertanyaannya adalah apakah azl dibolehkan atau dilarang?

Sebenarnya hadits-hadits yang menyinggung persoalan azl ini tidak hanya bersifat monolitik artinya hanya menolak saja, akan tetapi terdapat pula hadits-hadits lain yang mendukung pelaksanaa azl. Dengan demikian di sini terdapat dua kelompok hadits yang saling kontradiktif; pertama, yang mendukung dan kedua yang menolak azl. Untuk melihat tingkat kontradiksinya, berikut ini saya kemukakan dua kelompok hadits di atas.

Adapun hadits-hadits yang tidak membolehkan azl antara lain adalah sebagai berikut:

  1. Hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Muslim yang dicatat dari Aisyah berkaitan dengan sahabat perempuan yang bernama Jundamah binti Wahb. Ia pernah mendengar pertanyaan seputar azl yang diajukan kepada Rasulullah. Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, nabi berpendapat bahwa azl sama dengan sebuah tindakan tersembunyi penguburan bayi-bayi baru. Oleh kalangan yang menolak azl, hadits ini dijadikan pedoman pengharaman tindakan tersebut. Selanjutnya kelompok ini berkata bahwa “segala hal pada dasarnya dibolehkan sebelum ada keputusan hukum”. Karena jelas azl sudah dilarang oleh Rasulullah, maka hukum azl juga tidak diperbolehkan.
  2. Hadits lain yang melarang azl datang dari Ubaidillah bin Umar yang mengutip Nafih. Dijelaskan bahwa Ibnu Umar tidak mempraktikkan azl dan ia mengatakan, "kalau tahu bahwa salah seorang anak saya mempraktikkan azl, maka akan aku hukum dia". Sedangkan Ibnu Umar tidak akan memberikan hukuman atas semua tindakan yang diizinkan oleh agama. Dengan demikian berdasarkan riwayat ini maka azl dilarang. Selain itu, menurut pendapat beberapa ahli hadits, Ali dan Abdullah Ibnu Mas'ud juga melarang azl. Alasannya karena azl sama dengan penguburan bayi. Said Ibn Musayyab juga meriwayatkan bahwa sahabat Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan melarang azl.


Namun demikian, selain hadits-hadits yang melarang azl, juga terdapat hadits-hadits yang membolehkannya. Hadits-hadits yang membolehkan azl ini sekaligus menjadi tandingan atas hadits-hadits yang melarang dilakukannya azl. Hadis-hadis tersebut antara lain dikumpulkan oleh Imam As-Syaukani dalam Nailul Authar yang intinya sebagai berikut:

  1. Diriwayat dari Jabir (ra), bahwa kalangan sahabat pada masa Nabi sering mempraktikkan azl sedangkan masa itu al-Qur'an masih turun. Dalam sebuah riwayat lain dinyatakan bahwa praktik azl ini dilaporkan kepada Nabi, tetapi Nabi diam saja.
  2. Riwayat dari Jabir menyatakan bahwa suatu saat pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan berkata, bahwa ia ingin melakukan hubungan seks dengan budaknya tanpa resiko kehamilan, Nabi menjawab agar laki-laki tersebut mempraktikkan azl.
  3. Riwayat Abu Said yang menyatakan bahwa ia pernah bersama Rasulullah berputar-putar dalam rangka merazia Banu Musthaliq dan menangkap beberapa perempuan saat itu diantara tawanannya. Para sahabat yang ikut serta tergetar hatinya untuk melakukan hubungan seksual. Mereka ingin mempraktikkan azl, dan sebelumnya tanya kepada Rasulullah tentang hal tersebut. Rasullah mengatakan, kamu tidak usah ragu-ragu, Allah telah menentukan segala apa yang diciptakanNya sampai hari akhir.
  4. Riwayat Abu Said yang menyatakan bahwa orang Yahudi menganggap azl itu pembunuhan kecil. Atas persoalan ini, lalu Rasulullah menyatakan bahwa orang Yahudi salah, jika Allah menginginkan untuk mencipta sesuatu, maka tidak seorangpun yang dapat mengalihkan.
  5. Riwayat Umar bin Khattab yang menyatakan bahwa Rasulullah mengharamkan azl jika dilakukan tanpa seizin istri.


Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, kita tahu bahwa ternyata azl dipraktikkan pada masa Rasulullah sendiri tidak melarang atau memberhentikan praktik tersebut. Kalau kita lihat urutan hadits di atas pada dasarnya ada dua hal yang patut diperhatikan kaitannya dengan kehalalan azl. Pertama, azl boleh dilaksanakan dengan syarat harus mendapatkan persetujuan dari istri sebagaimana tercantum dalam hadits riwayat Umar bin Khattab di atas. Kedua, azl berkaitan dengan kekuasaan Allah yang tidak terbatas. Artinya, apapun yang dikehendaki oleh Allah untuk terjadi pasti akan terjadi. Hal ini bisa kita lihat nomor 2, 3 dan 4.  Dengan demikian azl tidak mengancam rencana Allah.

Adapun hadits riwayat dari Jundamah tentang azl itu serupa dengan pembunuhan kecil, hadits tersebut mendapat tantangan dari beberapa hadits yang lain. Hadits yang lain tersebut antara lain riwayat dari Abu Dawud yang menyatakan bahwa seseorang pernah menghadap Rasulullah dan berkata bahwa dia (laki-laki) memiliki budak yang dengannya si laki-laki tersebut melakukan azl, karena laki-laki ini tidak mau si budak perempuan melahirkan anaknya, akan tetapi laki-laki itu merindukannya. Lanjut laki-laki tersebut kepada Nabi, orang Yahudi pernah berkata bahwa azl termasuk tindakan penguburan bayi perempuan yang hidup. Atas pertanyaan ini lalu Rasul menjawab bahwa orang Yahudi berdusta sebab jika Tuhan menginginkan sesuatu maka tak seorangpun yang dapat mencegahnya untuk berbuat demikian. Narasi Jundamah di atas juga bisa dikaitkan dengan sumber-sumber lain yang secara eksplisit mengizinkan azl. Namun demikian di kalangan ulama berbeda pendapat dalam melihat hadits tentang Jundamah di atas. Ada yang berpendapat bahwa hadits Jundamah di atas mengandung konotasi atas sebuah pilihan yang tidak diinginkan dan bukan merupakan keharaman. Pandangan demikian didukung oleh Baihaqi, salah seorang ulama hadits yang senior. Sedangkan menurut Ibn Qayyim al-Ghazi, bahwa jelas di dalam hadits riwayat Abu Dawud di atas menunjukkan bahwa Nabi menyangkal azl sebagai tindakan yang secara total mencegah kehamilan dan juga sama dengan membunuh bayi hidup yang baru lahir. Menurutnya, jika Tuhan menginginkan janin itu dan jika Dia tidak ingin melakukan itu, maka tindakan demikian tidak bisa disamakan dengan mengubur bayi tersebut. Jadi di sini sangat berbeda antara mengubur bayi dan azl.

Ada catatan yang menarik terhadap hadits di atas yang datang dari Ibnu Hajar, penulis komentar Sahih al-Bukhari, dalam kitabnya Fathul Bari. Catatan yang diberikan oleh Ibnu Hajar bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Jundamah adalah dhaif (lemah) karena dalam kenyataannya hadits tersebut bertentangan dengan hadis-hadis yang lain kaitannya dengan isu yang sama. Bahkan kalangan ahli hadis yang lain ada yang membatalkan keberlakuan hadits tersebut. Dalam hal ini Ibnu Hajar mencatat pendapat al-Tahawi yang menyatakan bahwa sangat mungkin apabila hadits Jundamah ini merefleksikan sikap konfirmatif Nabi terhadap pendapat Ahli Kitab. Menurut Tahawi Nabi memang sangat kompromis terhadap pandangan-pandangan Ahli Kitab dalam masalah-masalah yang belum ada petunjuknya. Akan tetapi kemudian Allah memberikan wahyu tentang aturan-aturan tersebut yang juga berfungsi menolak apa-apa yang dikatakan oleh kalangan Ahli Kitab. Pendapat al-Tahawi ini juga disepakati oleh Ibnu Rusyd dan juga Ibnu Arabi.


KB dalam Pandangan Fiqh

Lalu bagaimana fiqh memandang KB. Terus terang dikatakan di sini bahwa hukum KB itu sangat tergantung dengan bagaimana hukum azl ditentukan. Di kalangan ulama fiqh, terutama pendapat lima madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali dan Ja'fari, pada dasarnya semuanya mengizinkan dilakukannya azl. Namun di sini sedikit ada perbedaan mengenai syarat kebolehannya. Madzhab Syafi'i misalnya mengizinkan pemakaian kontrasepsi atau melaksanakan azl oleh suami dengan tanpa izin dari istri, akan tetapi empat madzhab yang lain mengharuskan minta izin terlebih dahulu kepada istrinya. Di kalangan para ahli hukum Islam, pemakaian konstrasepsi hanya dilarang oleh ulama fiqh abad pertengahan berkebangsaan Spanyol dari garis literalis (zhahiriyah) bernama Ibnu Hazm al-Zahiri yang juga diikuti oleh beberapa muridnya. Menurut Ibnu Hazm dengan atau tanpa izin suami, azl tetap diharamkan.[6]

Sedangkan seorang ulama terkemuka, Imam Ghazali, juga menyatakan kebolehan untuk melakukan azl. Al-Ghazali menjelaskan bahwa azl sangat berbeda dengan aborsi apalagi dengan penguburan bayi-bayi perempuan hidup yang baru lahir sebab keduanya merupakan tindakan pembunuhan janin (the act of felony) pada saat perkembangan.

Lebih lanjut menurut al-Ghazali, azl bisa dilakukan apabila tujuannya adalah untuk menjaga kecantikan perempuan guna menjaga keharmonisan kehidupan seksual atau karena alasan menjaga kehidupan si istri. Dalam hal ini syari’ah sangat memperbolehkan.

Untuk lebih jelas tentang hukum azl di kalangan ahli fiqh berikut ini saya kemukakan pendapat-pendapat dari madzhab lima:

  1. Madzhab Hanafi dalam hal ini diwakili oleh Imam al-Kasani menyatakan bahwa hukum azl makruh dilakukan oleh seorang suami kalau tidak disertai izin dari istrinya.[7]
  2. Madzhab Maliki dalam hal ini Imam Malik sendiri dalam kitabnya al-Muwattha menyatakan bahwa seorang laki-laki (suami) tidak memiliki hak untuk melakukan azl tanpa disertai izin dari istrinya.[8]
  3. Madzhab Syafi'i dalam hal ini Imam Nawawi berpendapat bahwa melakukan hubungan seksual di mana sebelum ejakulasi seorang laki-laki mencabut penisnya dan kemudian proses ejakulasi tersebut dilakukan di luar vagina istri, hukumnya adalah makruh.[9]
  4. Madzhab Hambali dalam hal ini Ibnu Qudamah yang menyatakan bahwa mempraktikkan azl tanpa alasan apapun adalah makruh, akan tetapi tidak diharamkan. Ibnu Qudamah menganjurkan agar azl tidak dilakukan dengan seorang istri yang belum punya anak kecuali tanpa izinya.[10]
  5. Madzhab Ja'fari (salah satu madzhab fiqh dari kalangan Syi’ah) menyatakan bahwa azl dengan perempuan yang masih belum punya anak tidak dihalalkan kecuali mendapat izin darinya.


Berdasarkan uraian di atas, mengapa seringkali harus minta izin kepada istri yang masih belum punya anak, menurut Mohsin Ebrahim karena pada dasarnya seorang istri juga memiliki hak untuk mempunyai anak. Selain alasan itu, alasan lain adalah praktik azl ini seringkali mengurangi rasa kenikmatan dalam hubungan seksual.[11]

Setelah melihat bagaimana kalangan ahli fiqh menentukan hukum azl, maka untuk selanjutnya adalah bagaimana metode kontrasepsi modern dalam kaitannya dengan syari’ah Islam. Sebelum lebih panjang membahas soal konstrasepsi dengan menggunakan metode modern, berikut ini terlebih dahulu ingin kami kemukakan tentang persoalan yang sampai saat ini masih menjadi krusial di kalangan ahli fiqh yaitu bagaimana hukumnya memakaikan IUD kepada kaum perempuan? Dalam hal ini sebaiknya dokter-dokter perempuan memberi pengetahuan kepada kaum perempuan untuk menggunakan IUD. Apabila ini tidak mungkin dilakukan maka akseptor perempuan harus ditangani oleh dokter perempuan. Penanganan oleh dokter laki-laki hanya bisa dilakukan ketika dokter perempuan tidak ada yang mampu. Ini pun harus dilakukan tanpa memperlihatkan badan si perempuan.

Dalam hal ini kalangan ulama menyatakan bahwa dokter pria boleh menangani pemasangan IUD terhadap perempuan, akan tetapi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. Dia harus dikenal baik integritasnya.
  2. Dia harus tidak pernah berbuat kesalahan karena mendapat godaan (guilty of seduction)
  3. Si perempuan harus ditemani oleh mahramnya, suaminya sendiri atau dua saksi perempuan karena menurut agama seorang laki-laki diizinkan sendiri dengan dua saksi perempuan.[12]

Dengan demikian, seorang dokter laki-laki tidak boleh sendirian dengan seorang pasien perempuan karena hal ini dilarang oleh Rasullah sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar bahwa apabila ada laki-laki bersepi-sepi dengan seorang perempuan maka syaithan adalah pihak ketiga. Hadits ini jelas bisa dijadikan pedoman pengambilan hukum untuk kasus pemasangan IUD ini.

Selanjutnya berikut ini dikemukakan beberapa penjelasan teknis metode KB modern berikut juga bagaimana tanggapan syariah Islam terhadap persoalan ini sebagai berikut:

  1. Kondom. Yang dimaksud kondom di sini adalah sarung plastik yang sangat tipis yang dipakai oleh seorang laki-laki ketika penisnya mengalami ereksi sebelum melakukan hubungan seksual. Kondom ini berguna untuk menghalangi aliran sperma ke dalam uterus guna menghindari terjadinya konsepsi (pembuahan). Adapun keputusan syari’ah Islam terhadap metode ini adalah disamakan keputusan terhadap azl. Bahkan kalangan mayoritas ulama mengizinkan pemakaian kondom dengan dalih analogi (qiyas).
  2. Vaginal Cap (Diaghram). Vaginal cap adalah sebuah tutup (cap) dengan lingkaran tembaga yang fleksibel yang dimasukkan ke dalam vagina dengan menggunakan cara-cara tertentu. Vaginal cap ini memiliki ukuran yang berbeda-beda. Seorang dokter dapat menentukan ukuran yang pantas bagi pasiennya setelah mencoba berbagai ukuran tapi dengan syarat tidak menimbulkan iritasi. Sebab jika terlalu kecil atau pendek, maka kemungkinan alat ini akan jatuh atau berubah posisinya selama tindakan aktivitas seksual dilakukan dan akibatnya akan menyebabkan terjadinya perlukaan. Sebelum alat ini dimasukkan, pembunuh sperma harus dimasukkan untuk membunuh sperma. Pemakaian konstrasepsi ini memiliki dua efek samping: Pertama, alat ini menjadi penghalang (barrier) yang melindungi sperma masuk ke cervik. Kedua, alat ini harus diberi spermicide. Adapun pemakaian alat ini pada dasarnya bisa dilakukan oleh perempuan sendiri ketika mau memasukkan atau ketika mau merubah posisinya. Seorang perempuan dapat memasukkan alat ini kapan saja sebelum melakukan hubungan seksual. Adapun status hukum dari pemakaian alat kontrasepsi ini juga dianalogikan dengan hukum azl. Dengan demikian syari’ah Islam memandang sah seorang perempuan yang memakai alat ini.
  3. Cervical cap. Cervical cap adalah sebuah tutup yang terbuat dari karet kecil. Alat ini berbeda dengan vaginal cap. Apabila vaginal cap dimasukkan ke dalam vagina dan terletak sebelum cervik, maka cervical cap ini mengelilingi cervik. Alat ini merupakan metode konstrasepsi yang sangat tua yang dikembangkan oleh kalangan ilmuwan dan sangat bisa dipercaya. Namun demikian bukan berarti alat ini tidak memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan metode kontrasepsi tua ini adalah keberadaannya yang menghalangi aliran cairan yang dikeluarkan oleh uterus dan cervik. Kekurangan ini kemudian disempurnakan oleh kalangan ilmuwan yang mendesain tutup (cap) ini menurut ukuran-ukuran yang berbeda-beda sesuai dengan ukuran cerviknya masing-masing. Di samping itu juga disediakan katup untuk aliran cairan-cairan yang keluar termasuk dalam hal ini adalah menstruasi. Alat ini juga melindungi masuk sperma ke dalam uterus.[13] Dengan melihat cara kerjanya jelas metode kontrasepsi dengan menggunakan alat ini tidak bertentangan dengan syari’ah Islam. Sebab alat ini hanya menghalangi jangkauan sperma terhadap sel telur. Hal ini tidak berbeda dengan azl karena kedua metode ini sama-sama menghalangi sperma untuk bergabung dengan sel telur. Selama azl diizinkan, maka metode ini juga diizinkan.
  4. Spermicide. Pada masa lalu seorang perempuan memasukkan secarik katun atau benda lain yang sudah dibasahi dengan sabun, juice lemon, minyak pelumas, atau bahan rumah tangga lainnya ke dalam uterus sebelum melakukan hubungan seksual sebagai metode kontrasepsi. Metode yang sangat primitif ini tidak terpercaya dan sangat tidak efisien. Metode ini kemudian diganti dengan kontrasepsi yang bersifat kimia seperti salep, tablet, dan obat-obat perangsang lainnya yang diletakkan di vagina sebelum melakukan hubungan seksual. Akan tetapi obat-obatan kimia ini memiliki pengaruh negatif terhadap kesehatan perempuan ketika bahan-bahan diserap oleh vagina kemudian mengalir ke seluruh tubuh.[14] Melihat cara kerjanya yang menyebabkan kemudhratan bagi tubuh manusia maka alat ini tidak diizinkan pemakaiannya oleh syari’ah Islam.
  5. Pil. Mungkin pil merupakan alat konstrasepsi yang paling populer di seluruh dunia. Berkenaan dengan fungsinya, ada dua tipe utama pil KB ini. Pertama, pil yang terdiri dari dua zat yaitu estrogen dan gestogen. Kedua pil yang hanya terdiri dari zat gestogen saja. Tipe pertama ini lebih efisien dan sangat umum digunakan. Biasanya cara pemakaian pil ini adalah setiap hari minum satu dan dimulai dari hari kelima masa menstruasi. Jadi selama tiga minggu diminum I. Seorang perempuan tidak boleh meminum pil ini selama tujuh hari menstruasi. Memang pil-pil seperti ini sangat mudah didapatkan di pasar-pasar umum, namun tidak terdiri dari bahan-bahan estrogen dan gestogen alami akan tetapi berasal dari bahan-bahan sintetis yang terdiri dari 19 nortestosteron dan 17 pro­gesteron alpha-hydroxy. Beberapa negara telah menyetop penggunaan 17 progesteron alpha-hydroxy karena disinyalir menye­babkan kanker. Karena itu, pemakaian pil sebagai alat konstrasepsi ini tidak diperbolehkan. Pemakaian alat ini bisa diperbolehkan jika alat ini benar-benar tidak menimbulkan kemudla­ratan bagi diri si pemakaianya.


KB dan Politik Negara

Ternyata persoalan KB tidak hanya berhenti pada legitimasi fiqh saja, akan tetapi juga terkait dengan faktor-faktor lain seperti politik, sosiologis dan yang lainnya. Dalam hal ini sebagai sebuah program yang diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan umat manusia terutama kalangan perempuan, ternyata KB bukan sesuatu yang bebas dari kepentingan politik pihak-pihak yang berkepentingan baik penguasa maupun kalangan industri. KB sudah bukan didasarkan kepada kepentingan perempuan atau laki-laki untuk mencapai kehidupan yang lebih baik akan tetapi sudah diambil sebagai program pemerintah dan komuditas industrialis. Pengambilalihan program oleh negara pada satu sisi mungkin membantu para akseptor untuk lebih mudah mendapatkan fasilitas serta alat-alat KB lebih mudah. Namun seringkali penanganan pemerintah ini berujung kepada pemaksaan. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan antara kepentingan pemerintah dan orientasi individu. Apabila pemerintah menjalankan program KB untuk efisiensi pembangunan, maka individu menjalankan program KB untuk kepentingan kesehatan dan kesejahteraan dirinya. Perbedaan kepentingan ini memang pada suatu saat bisa dipertemukan, akan tetapi lebih banyak pertentangannya.

Di Indonesia misalnya ada fenomena yang agak ganjil tentang perbedaan kepentingan ini. Indonesia yang konon dinobatkan sebagai negara yang paling berhasil menjalankan program keluarga berencana di mana mantan Presiden Soeharto diberi penghargaan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dunia,[15] namun ternyata pelaksanaan program KB ini tidak begitu menggembirakan bagi kalangan perempuan. Salah satu faktor keberhasilan yang menurut kalangan perempuan sangat penting untuk diperhatikan ternyata tidak dihitung. Menurut kalangan perempuan selain berhasil menurunkan dan mengendalikan tingkat jumlah penduduk, salah satu hal pokok yang harus diperhitungkan adalah dampaknya terhadap peningkatan kesejahteraan kaum perempuan. Hal ini lah yang tidak bisa dipenuhi oleh Indonesia. Bagaimana bisa tingkat kematian ibu melahirkan di Indonesia saja ternyata mencapai rekor paling tinggi di Asia Tenggara. Sebelum krisis ekonomi dan politik diperkirakan tingkat kematian ibu saat melahirkan (mortality rate) sudah mencapai 425/100.000. Ini angka yang sangat fantastis sebab di Singapura saja tidak lebih dari 5/100.000. Bagaimana dengan kenyataan yang demikian kita menobatkan diri sebagai negara yang paling berhasil dalam KB. Sungguh sangat ironis.

Ada beberapa sebab mengapa kita mengalami peristiwa yang demikian ini. Pertama, pemerintah salah dalam menentukan orientasi kebijakannya sehingga berdampak kepada pelaksanaan yang salah pula di lapangan. Perlu diketahui bahwa orientasi pemerintah adalah orientasi target artinya bagaimana para petugas KB ini bisa melakukan rekrutmen keanggotaan (akseptor) yang sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitasnya. Akibat orientasi yang demikian ini seringkali rekrutmen dilakukan dengan cara pemaksaan. Pemaksaan ini tidak hanya terjadi pada level rekrutmen saja, akan tetapi sudah menjalar kepada pemakaian alat kontrasepsi. Sehingga dalam melaksanakan pemasangan atau pemakaian alat KB ini, seringkali petugas lapangan atau juga dokter memasangkan atau memakaikan begitu saja alat tersebut tanpa si akseptor diberi tahu lebih dahulu informasi yang seluas-luasnya tentang dampak-dampak negatif yang akan dideritanya pasca pemasangan dan pemakaian tersebut. Kedua, tingkat pelayanan kesehatan baik yang berkaitan dengan fasilitas kesehatan maupun yang berkaitan dengan kesiapan SDM masih sangat rendah mutunya di samping juga kekurangan tenaga yang melayaninya. Akibat masih kurangnya fasilitas dan SDM yang mampu ini pada akhirnya menyebabkan pelayanan bagi para akseptor menjadi rendah. Ketiga, hal yang masih berkaitan dengan faktor pertama dan kedua adalah ketidakterjangkaun tempat maupun biaya oleh para akseptor. Tidak dipungkiri bahwa selama ini tempat-tempat pelayanan kesehatan memang masih sulit dijangkau oleh pengguna pelayanan ini. Keadaan ini sangat terkait dengan paradigma pembangunan sentralistik yang selama ini kita anut. Akibatnya, penduduk yang berada di wilayah terpencil terasa sangat sulit untuk menjangkaunya. Toh meskipun terjangkau, persoalan biaya juga masih menjadi kendala besar dalam pelayanan kesehatan ini.

Lalu yang perlu dipertanyakan di sini adalah bagaimana mekanisme yang digunakan pemerintah selama ini untuk menekan tingkat pertumbuhan penduduk sedangkan dasar-dasar pelayanan kesehatan bagi akseptor masih sangat minim sekali?  Sita Aripurnami menyatakan bahwa selain faktor-faktor lain seperti dokter, tenaga kesehatan dan lain sebagainya, nampaknya yang paling berperan dalam keberhasilan KB ini adalah faktor intervensi kekuasaan melalui kekerasan.[16] Yang dimaksud kekerasan pemerintah di sini tidak hanya bersifat fisik saja akan tetapi juga psikis. Misalnya sanksi berupa keterlambatan kenaikan pangkat bagi pegawai negeri yang istrinya tidak mengikuti program KB dan lain sebagainya.

Melihat kenyataan yang memprihatinkan di atas dapat diambil bahwa pelaksanaan KB meskipun mendapat legitimasi agama dan bahkan negara, perlu kita pertanyakan lagi.  Yang jelas selama ini kehalalan KB telah dimanfaatkan oleh negara untuk kepentingan mereka yakni meningkat efisiensi pembangunan yang dampaknya tidak begitu terasa di kalangan masyarakat bawah. Kalau demikian yang terjadi, maka bisa jadi hukum KB yang halal bisa berubah menjadi haram sebab pelaksanaannya tidak didasarkan kepada kepentingan dan kemashlahatan umat manusia. Negara seharusnya tidak usah mencampuri kebijakan teknis KB, akan tetapi cukup memberikan dukungan moral dan material bagi program ini. Pemerintah fungsinya di sini hanya sebagai fasilitator saja sedangkan yang menentukan adalah rakyatnya. Dalam hal ini negara harus berpedoman kepada sebuah kaidah fiqhiyyah yang menurut saya bisa berlaku universal yaitu:


تصرف الراعي على الرعية منوط بالمصلحة


Artinya: Kebijakan imam itu harus diikutkan dengan kemashlahatan umatnya”.

Jelas bahwa melaksanakan KB yang dilakukan dengan kekerasan serta tidak memperhatikan kepentingan rakyat bukan merupakan kebijakan yang berpijak atas kepentingan rakyat. Setiap kebijakan yang bertentangan dengan rakyat berarti melanggar hukum Tuhan. Bukankah dikatakan bahwa vox populi, voc Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Untuk itu, dalam hal ini negara harus mengubah kebijakannya yang tadinya menggunakan pedekatan kursif (memaksa menjadi) kebijakan yang menggunakan pendekatan volunteristik (kesukarelaan). Kebijakan yang menggunakan pendekatan kesukarelaan inilah nampaknya yang sesuai dengan hak asasi manusia.


KB dan Perempuan

Selama ini berkembang pemikiran di kalangan masyarakat awam bahwa akseptor KB hanya efektif dipakai oleh kalangan perempuan saja. Pemikiran demikian sebenarnya tidak hanya berhenti sampai di sini, akan tetapi berlanjutk kepada kesimpulan bahwa kalau begitu KB merupakan kewajiban perempuan. Pemikiran seperti sebenarnya tidak muncul begitu saja, akan tetapi sangat berhubungan erat dengan peristiwa sosial, politik, budaya bahkan industri yang melingkupinya. Memang perlakuan masyarakat terhadap kaum perempuan selama ini baik disengaja maupun tidak sengaja telah menyebabkan kaum perempuan senantiasa menjadi obyek. Obyek apa saja, bisa obyek laki-laki, obyek negara, dan obyek masyarakat. Perlakuan masyarakat yang demikian ini didukung oleh kebijakan politik negara di mana perempuan baik pada level publik maupun domestik (keluarga) masih diperlakukan diskriminatif. Baik perlakuan masyarakat maupun kebijakan negara yang bias gender ini pada akhirnya bermuara kepada world view (pandangan dunia) kebudayaan kita yang masih menganut pola-pola aturan kebapakan (patriarkhi; the rule of the fathers).

Dalam kaitan dengan KB, perempuan sekali lagi juga masih menjadi obyek. Pertanyaannya adalah bagaimana sesungguhnya hubungan KB dan perempuan? Apakah KB menjadi kewajiban perempuan ataukah menjadi hak? Secara historis, dalam konsep yang mungkin sederhana sesuai dengan zamannya, KB sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh kalangan perempuan saja. Bahkan dalam sejarah Islam, pertama kali yang melakukan KB bukannya kaum perempuan, akan tetapi justru kaum laki-laki dengan metode azlnya itu. Sebagaimana disebutkan di atas, azl adalah semata-mata tindakan suami karena ia tidak ingin memiliki anak. Karena itu tindakan azl ini oleh beberapa kalangan fikih harus dimintai persetujuan lebih dahulu kepada istri sebab istri juga memiliki hak untuk mempunyai anak, terutama bagi istri-istri yang masih belum punya anak.

Namun sejarah ternyata berbalik bahwa sekarang justru yang melaksanakan KB adalah kaum perempuan. Hal ini, menurut Sita Aripurnami, bersumber kepada cara pikir bahwa karena yang melahirkan selama ini adalah kaum perempuan, maka segala sesuatu yang menyangkut kepada persoalan keluarga diserahkan kepada perempuan termasuk perempuanlah yang harus menggunakan alat-alat kontrasepsi.[17] Selain ditunjang oleh pola pikir yang demikian juga ditunjang oleh kalangan industri memang lebih banyak menyediakan alat-alat kontrasepsi yang dipakai oleh kaum perempuan.

Sebagai manusia, pilihan apapun yang dilakukan oleh kaum perempuan dijamin oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia. Tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang boleh memaksanakan kehendak terhadap kaum perempuan termasuk dalam hal ini adalah pemaksaan KB. Karena ini merupakan bagian dari hak asasi manusia, maka KB sesungguhnya bukan merupakan kewajiban perempuan.

Dalam deklarasi internasional hak-hak asasi manusia artikel 16 dinyatakan bahwa laki-laki dan perempuan, sepanjang mereka telah sampai kepada batas umur pernikahan, maka mereka memiliki hak untuk mendapatkan jodoh dan membentuk keluarga tanpa mendapat tekanan dari manapun baik karena alasan ras maupun agama. Keduanya memiliki hak yang sama baik pada saat, selama dan sesudah pekawinan. Berdasarkan deklarasi ini, maka jelas bahwa perempuan memiliki hak sepenuhnya dalam merencanakan keluarga termasuk apakah dia mau punya anak atau tidak punya anak, mau melahirkan atau tidak mau melahirkan. Hal ini diperkuat lagi oleh hasil Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) yang dilaksanakan di Kairo tahun 1994 di mana kaum perempuan memiliki hak reproduksi yang harus dijunjung dan dihormati.

Dengan demikian, sebenarnya kita sudah tidak punya alasan lagi untuk menyatakan bahwa KB merupakan kewajiban perempuan saja. Kalau kita mau jujur, sebagai umat Islam, kita harus kembali kepada sejarah awal pemberlakuan konsep ini dalam Islam. Hal ini bukan berarti bahwa kaum laki-lakilah yang seharusnya menggunakan KB, tapi KB bisa dilakukan oleh siapa saja. Yang penting di sini tidak ada unsur pemaksaan dan juga harus disertai oleh kelengkapan informasi agar pelaksanaan KB tidak merugikan umat manusia.


Penutup

Berdasarkan catatan-catatan di atas, dapat disimpulkan bahwa keputusan Islam terhadap hukum keluarga berencana pada dasarnya sangat tergantung dengan kepada apakah itu mashlahah atau tidak bagi umat manusia. Kemashlahatan ini harus menjadi kunci utama sebab dampak dari pemakaian alat-alat kontrasepsi adalah manusia sendiri yang menanggungnya. Untuk mencapai kemashlahatan bersama, maka kepentingan negara atau siapa saja yang sifatnya merugikan akseptor KB harus dibersihkan.


*Catatan:

Tulisan ini sudah pernah diterbitkan Rahima dalam buku bunga rampai berjudul "Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan" tahun 2002.


Penuis: Syafiq Hasyim

Editor: Faqihuddin Abdul Kodir


Referensi

  1. Di sini penulis ikut pada aliran pemikiran yang membedakan antara fiqh dan syari’ah. Apabila fiqh lebih kepada persoalan-persoalan yang menyangkut hukum Islam secara ad hoc, maka syari’ah lebih umum dari fiqh yaitu segala sesuatu yang menyangkut human life.
  2. Riffat Hassan, Is Family Planning Permitted By Islam?: The Issue of A Woman's Rights To Contraception, dalam Women Rights and Islam: From The ICPD to Beijing, Paper tidak terpublikasi, h. 35.
  3. Fazlur Rahman, Religion and Planned Parenthood in Pakistan, dalam Muslim Attitudes toward Family Planning, New York, 1972, h. 94
  4. Abul Fadl Mohsin Ebrahim, Biomedical Issues, Islamic Perspective, Edisi Revisi, A.S. Noorden, Kuala Lumpur, h. 52
  5. Riffat, h. 38
  6. Ibnu Hazm, al-Muhalla, J. I0, h. 70
  7. al-Kasani, Bada'i al-Sana'i, J. 2 h. 334. Perlu diketahui bahwa istri di sini adalah istri-istri yang masih bebas, artinya, belum memiliki anak.
  8. Malik bin Ana, al-Muwatta, tercantum dalam Kitab al-Nikah, h. 409.
  9. Lihat Bab tentang Hukum Azl dalam Sahih Muslim yang dikomentari oleh Imam Nawawi, J. 3, h. 613
  10. Ibnu Qudamah, al-Mughni, Bagian 7, h. 23-24.
  11. Mohsin Ebrahim, h. 58
  12. Lihat al-Badjuri atas Syarah Ibnu Qasim al-Guzy dan Matan Abu Syuja, J. 2 h. 99
  13. Family Planning Methode, ditulis oleh kelompok dokter-dokter dunia  Arab di bawah bantuan Regional Arab Federation for Fertility Care.
  14. Ibid
  15. Menurut Sita Aripurnami program KB di Indonesia dianggap berhasil karena dalam dua dekade telah mampu menurunkan tingkat kelahiran dari 5.5 menjadi 3 setiap perempuan. Pertumbuhan penduduk dapat diturunkan dari 2.5 - 2.7 pada tahun 1970 menjadi 1.6 dalam tahun 1991. Lihat Sita Aripurnami, Keluarga Berencana Sebagai Hak Asasi Manusia: Perspektif Feminis, dalam Imparsial, Okt. 1996. 35.
  16. Ibid.
  17. Sita, ibid.